BAB
I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Masalah
Berbicara masalah filsafat, itu merupakan kebutuhan
sehari-hari dan merupakan sesuatu yang tidak akan lepas dalam kehidupan
manusia, bahwasanya filsafat merupakan kebutuhan yang tidak bisa di
abaikan.Oleh Karena itu semakin enggan orang mengenal filsafat berarti semakin
jauh juga dia dari kebijaksanaan. Karena banyak sekali di zaman sekarang orang
yang jauh dari filsafat, sehingga pemikiranya menjadi dangkal, ada keterangan
menyebutkan “filsafat tanpa agama adalah sesat dan agama tanpa filsafat
adalah dangkal” selain dari itu, Islam diklaim telah mengcopy faste
filsafat dari yunani, dan tema inilah yang akan kami bahas.
Sebelum islam di
bilang telah meng copy faste filsafat dari barat atau yunani, terlebih dahulu kita
akan mengetahui persentuhan pemikiran antara pemikiran islam dan barat, oleh
karena itu kami penulis menyuguhkan berbagai tokoh-tokoh islam yang memang
bersentuhan langsung dengan filsafat barat, selain itu kami mengkritisi akan
pernyataan bahwa islam copyfaste dari yunani, padahal kenyataan yang sebenar
nya pemikiran filsafat jaya di naungan kendali Filusuf Islam, islam pada
dasarnya mengadopsi pemikiran filsafat yunani, tapi di padukan dengan pemikiran
islam itu sendiri, jadi islam mempunyai cirri fisafat tersendiri bila
dibandingkan dengan filsafat yunani murni.
Selain dari
persentuhan pemikiran islam dan filsafat yunani yang berlanjut kepada peng
klaiman bahwa islam telah meng copy faste kemudian , timbul pengkritikan
terhadap itu semua, atau mengidentifikasi terhadap itu semua. Kemudian
timbullah tokoh yang bergulat atau belajar mengenai filsafat yunani dan di
gabungkan persamaan dan kemiripan pemikiran dari keduanya.
1.2.
Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang masalah diatas penulis merumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimana
Awal Persentuhan Pemikiran Islam dan Barat (Yunani)
2. Seperti
Apa Mengkritisi Klaim Bahwa Islam Pada
Dasarnya Copy Paste Filsafat Yunani
3.
Bagaimana Mengidentifikasi Pergulatan Para Tokoh
Muslim Dalam
Invasi Pemikiran Kedalam Dunia Islam
1.3. Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan yang
diharapkan dalam pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut :
1.
Untuk Mengetahui Awal Persentuhan
Pemikiran Islam dan Barat (Yunani)
2.
Untuk Mengetagui Bagaimana Mengkritisi Klaim Bahwa Islam Pada Dasarnya Copy
Paste FilsafatYunani
3.
Untuk Mengetahui Bagaimana Mengidentifikasi Pergulatan
Para Tokoh Muslim Dalam Invasi Pemikiran
Kedalam Dunia Islam
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1.
Awal
Persentuhan Pemikiran Islam dan Barat (Yunani)
A.
Aspek
Doktrin
Sebelum filsafat dikenal oleh kaum Muslim, mereka
terlebih dahulu mengenal ilmu kalam. Ilmu yang mempelajari tentang ketuhanan
dan berbagai cabangnya, termasuk di dalamnya tentang kenabian dan hari akhir.
Awal mula kemunculan ilmu kalam adalah perdebatan mengenai Al-qur’an itu qadim
atau hadits, namun benihnya sudah ada sejak Nabi Muhammad wafat. Yaitu siapakah
pengganti atau pemimpin setelah beliau wafat. Dan mulai terlihat dengan jelas
ketika terjadinya perpecahan diantara umat Islam pada perang shiffin antara
Sayyidina Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah bin Abu Sufyan.
Dalam perang shiffin terjadilah peristiwa tahkim
yaitu pihak Muawiyah meminta damai dan kembali pada kitabullah sambil
mengangkat mushaf Qur-an. Awalnya Sayidina Ali menolak, namun sebagian
pengikutnya memaksa agar kembali pada kitabullah yang akhirnya beliau
menyetujuinya. Pada saat itu Muawiyah meminta agar kepemimpinan umat dipilih
oleh rakyat dan mengosongkan terlebih dahulu kepemimpinan yang sudah ada
masing-masing pihak mengutus delegasinya.
Pihak Sayidina Ali mengutus Abu Musa al-Al’asyari dan pihak Muawiyah
mengutus Amr bin Ash. Dengan siasatnya yang cerdik, Amr bin Ash berhasil
memenangkan kepemimpinan Muawiyah dan menurunkan Sayidina Ali.
Setelah peristiwa tersebut umat Islam terpecah
menjadi tiga golongan yaitu pengikut setia Sayidina Ali yang kemudian dikenal
dengan sebutan Syi’ah, golongan yang keluar dari barisan Sayidina Ali yang
merasa kecewa dengan hasil keputusan yang didapat, padahal merekalah yang
menyuruh beliau untuk menerima perdamaian dengan Muawiyah, mereka kemudian
disebut kaum Khwarij. Dan golongan yang tidak berpihak pada keduanya dan
menangguhkan penilaian (salah dan benar) terhadap keduanya, golongan ini
dikenal dengan kaum Murjiah.
Golongan ini kemudian menjadi semacam madzhab yang
mempunyai doktrinnya sendiri dengan mencari pebenaran Al-Quran dan Hadis.
Mereka pun kemudian terpecah-pecah lagi dan semuanya
mengatakan bahwa apa yang mereka yakini adalah dari Qur’an dan hadits. Mereka
menggunakan dalil naqli sekigus dalil aqli. Dan belakangan munculalah kaum
Mu’tazilah dengan teologi rasionalnya yang banyak meminjam konsep-konsep Yunani
dalam hal logika tanpa mengikatkan diri pada ajaran filsafat Yunani.
Kaum Mu’tazilah meletakan dasar kebebasan berpikir
dan kebebasan berkehendak dalam teologinya. Mereka menggunakan alat yang
bernama logika formal yang biasa digunakan oleh filsafat dalam mencari
kebenarannya. Dan disinilah benih filsafat dalam Islam ditanamkan.
B.
Aspek
Sejarah
Latar belakang
kemunculan filsafat Islam adalah karena adanya penerjemahan buku-buku filsafat
Yunani kedalam bahasa arab yang tersimpan di perpustakaan kuno daerah-daerah
yang telah dikuasai oleh kaum muslim, seperti Alexandria, Antioch, Edessa,
Harran dan Judinsapur. Kota-kota tersebut dulunya adalah pusat ilmu
pengetahuan.
Pada masa berakhirnya Bani Umayah dan permulaan Bani
Abbasiyyah penerjemahan buku-buku yang berbahasa Yunani ataupun Suryani
diterjemahkan dengan bantuan orang-orang terpelajar dari berbagai pusat
tersebut. Penerjemahan tersebut memakan waktu sekitar 150 hingga 200 tahun.
Pada masa berikutnya bahasa arab menjadi bahasa ilmu pengetahuan selama 700
tahun.
Penerjemahan di masa Harun Ar-Rasyid (786-809) di
fokuskan pada karya-karya Aristoteles dan karya-karya bangsa Persia. Kemudian
dilanjutkan oleh Al-Makmun yang dikenal sangat tertarik dengan kebebasan
berfikir yang berkuasa 813-833 M. beliau mengadakan hubungan kenegaraan dengan
raja-raja Romawi, Bizantium yang berpusat di Konstantinopel.
Dengan adanya berbagai macam interaksi dengan dunia
luar dan penerjemahan buku inilah yang mengakibatkan kemunculan filsafat di
dunia Islam. Metode-metode filsafat mulai digunakan dalam menafsirkan ajaran
Islam yang bersumber dari Quran dan Hadis. Seperti yang dilakukan Al-Kindiyang
dikenal sebagai bapak Filsuf Islam atau arab yang menafsirkan Qur’an secara rasional
bahkan dengan cara filosofis.
Pada awal kemunculannya corak filsafat Islam
kebanyakan beraliran paripatetik yang dipengaruhi oleh filsafat Yunani
khususnya Aristoteles. Walau demikian bukan berarti filosof muslim hanya
mengekor pada pemikiran Yunani, melainkan melakukan kritik dan menambahkah
permasalahan-permasalahan baru yang harus diselesaikan.
Permasalahan-permasalahan ini sebelumnya tidak ada pada masa Yunani. Selain
paripatetik ada juga aliran Iluminisionis dan Hikmah Muta’aliyah yang merupakan
ciri khas pemikiran/filsafat Islam.
Itulah sejarah singkat tentang lahirnya filsafat
Islam, yang memunculkan banyak tokoh filsafat di dunia Islam seperti, Al-Kindi,
ibnu Sina, Ar-Razi, Al-Farabi, Suhrawardi, At-Thusi, Ibnu Rusyd, Ibnu Bajah,
Ikhwanus Shafa, Mulia Shadra dll. Yang masing-masing mempunyai pemikirannya
sendiri-sendri.
C.
Kontak Pertama Kaum Muslimin dengan Filsafat
Yunani
1.
Penaklukan Alexander
dan Perkembangan Pemikiran Yunani di Timur Tengah
Perkembangan pemikiran Yunani di kawasan Timur Tengah tidak dapat
dilepaskan dari penaklukkan yang dilakukan Alexander yang Agung terhadap
kawasan tersebut. Ia dapat menguasai Arbela, sebelah Timur Tigris pada tahun
331 yang pada waktu itu berada di bawah kekuasaan Darius. Kedatangannya ke
daerah tersebut tidak menghancurkan peradaban dan kebudayaan Persia, tetapi
sebaliknya ia berusaha menyatukan kebudayaan Yunani dan Persia. Dari segi
kultural, ia sendiri berusaha mengenakan pakaian secara Persia, dan orang-orang
Persia sendiri banyak pula yang diangkat menjadi pengawal-pengawalnya. Ia kawin
dengan Statira, anak Darius.
Setelah Alexander meninggal, perkembangan selanjutnya terdiri dari
Kerajaan Ptolemeus di mesir, dengan Alexandria sebagai ibukotanya dan kerajaan
Seleucid (Seleucus) di Asia dengan kota-kota pentingnya seperti Antioch di
Siria, Seleucia di Mesopotamia dan Bactra di Persia sebelah Timur. Ptolemus dan
Seleucus berusaha meneruskan politik Alexander untuk menyatukan kedua peradaban
Yunani dan Iran. Sungguhpun usaha itu tidak berhasil, namun kebudayaan dan
peradaban Yunani meninggalkan bekas di daerah-daerah ini. Bahasa administrasi
yang dipakai disana ialah bahasa Yunani. Di Mesir dan Siria bahasa ini tetap
dipakai sesudah masuknya Islam ke dalam kedua daerah itu, dan baru ditukar
dengan bahasa Arab pada abad VII Masehi oleh Khalifah Bani Umayyah A. Malik Ibn
Marwan (685-705). Alexandria, Antioch dan Bactra kemudian menjadi pusat ilmu
pengetahuan dan filsafat Yunani. Pada Abad III Masehi pusat-pusat kebudayaan
Yunani ini ditambah dengan kota Jundishapur yang letaknya tidak jauh dari
Baghdad (didirikan di tahun 762 M). Di sana sewaktu kota itu masuk ke dalam
wilayah kekuasan Islam, telah terdapat suatu akademi dan rumah sakit.
Alexandria merupakan kota yang berfungsi sebagai salah satu pusat
kegiatan intelektual yang penting dijaman akhir filsafat Yunani Kuno. Menurut
keterangan yang diberikan oleh De Lacy O’leary, bahwa di kota ini terdapat
bangunan musium yang dilengkapi dengan perpustakaan yang kemudian ia berkembang
di zaman Philadelphia (285-247 SM) menjadi perpustakaan terbesar di dunia dalam
bidang pemikiran Yunani.
Dari uraian singkat tersebut dapat disimpulkan bahwa penaklukkan
Alexander yang Agung di kawasan Timur Tengah ternyata membawa pengaruh terhadap
perkembangan pemikiran Yunani di daerah yang ditaklukkannya itu. Perkembangan
pemikiran Yunani tersebut terlihat dari munculnya berbagai pusat atau
lembaga pengkajian filsafat Yunani. Semua kota yang menjadi tempat perkembangan
pemikiran Yunani ini kemudian dikuasai oleh Islam.
2.
Peranan Khalifah
Abbasiyah dalam Masuknya Pemikiran Yunani ke Dunia Islam
Ketika Khalifah Bani Abbas Al Mansur sakit di tahun 765 M,
dinasehati oleh menterinya Khalid Ibn Barmak (Seorang Persia), kepala rumah
sakit Jundishapur agar memanggil Girgis Ibn Bukhtyishu untuk mengobatinya.
Khalid Ibn Barmak sendiri adalah berasal dari Bactra, dan dikenal sebagai
keluarga yang gemar pada ilmu pengetahuan serta filsafat, dan condong pada
paham Mu’tazilah.
Selanjutnya Harun Al Rasyid menjadi Khalifah Abbasiyah pada tahun
786 M. Sebelumnya ia pernah belajar di Persia di bawah asuhan Yahya Ibn Khalid
Ibn Barmak. Dengan demikian ia banyak dipengaruhi oleh kegemaran keluarga
Barmak pada ilmu pengetahuan dan filsafat. Pada zaman pemerintahan Harun
Al Rasyid inilah penerjemahan buku-buku ilmu pengetahuan Yunani ke dalam bahasa
Arab mulai dilakukan.
Peranan penerjemahan dalam memasukkan pemikiran Yunani ke dalam
Islam itu telah banyak disebut oleh para ahli sejarah. De Lacy O’eary misalnya,
mengatakan bahwa orang-orang Islam menguasai filsafat Yunani adalah melalui
kegiatan penerjemahan dan pensyarahan bahasa Yunani, dan kegiatan ini banyak
mendapat bantuan dari orang-orang Suryani. Sumber lain menyebutkan bahwa
sebagian besar karya ilmu-ilmu populer ditemui oleh orang Islam melalui dorongan
dari orang-orang Kristen Nestoria, khususnya para penerjemah dari Siria.
Melalui saluran ini sebagian besar ilmu pengetahuan Yunani seperti ilmu
pengetahuan kealaman, matematika astronomi, geografi dan kedokteran, dapat
dijumpai orang-orang Islam. Khususnya dalam bidang kedokteran, sumbangan yang
besar diberikan oleh Akademi Jundishapur yang dipimpin oleh dokter-dokter
Yahudi dan Kristen.
Melalui kegiatan penerjemahan itu para cendikiawan Muslim dapat
menguasai berbagai disiplin ilmu pengeteahuan dan filsafat, dan mereka berusaha
menambahkan kedalamnya hasil-hasil penyelidikan yang mereka lakukan sendiri
dalam lapangan ilmu pengetahuan dan hasil pemikiran mereka dalam lapangan
filsafat. Dengan demikian tidaklah tepat pendapat sebagian penelitian Barat
yang cenderung memperkecil peranan kaum Muslimin, dimana mereka menganggap
bahwa kaum Muslimin hanyalah sebagai penyalin, penerjemah, atau paling tidak
sebagai penyarah dan komentator.
Anggapan ini dibantah oleh George Sarton yang pendapatnya dikutip oleh
Dr. Effat al-Sharqawi. Beliau mengatakan bahwa pendapat demikian adalah keliru.
Tidak ada kretifitas yang lebih besar dari kehausan yang mendominasi perasaan
tokoh-tokoh pemikir Muslim akan ilmu pengetahun. Lebih lanjut ia mengatakan
bahwa kaum muslimin setelah mengenal Khazanah Yunani segera berusaha mengkaji,
memberi komentar dan menjelaskannya. Mereka mengemukakan analis kritik dan
polesan Islami terhadap pemikiran Yunani itu.
Perlu juga dikemukakan di sini bahwa keadaan perkembangan filsafat
Yunani, ketika dijumpai oleh kaum Muslimin tengah dalam keadaan mundur , bahkan
hampir hancur, karena ditekan dan diabaikan oleh para penguasa saat itu.
Khazanah ilmu pengetahuan Yunani menemukan penyelamatannya yang mampu
membangkitkan kembali pokok-pokoknya yang lama dan mengungkapkan
subtansi-subtansinya dengan uraian yang orisinil pada orang Islam, seperti yang
dilakukan oleh Ibnu Rusyd. Selain itu, kaum Muslimin juga berusaha
mengkompromikan antara filsafat dan agama dengan cara yang adil, seimbang dan
rasional. Lebih jauh lagi seringkali sumbangan sumbangan kaum Muslimin itu
lebih mendalam dan lebih tinggi peringkatnya daripada sumbangan yang diberikan
oleh kaum Iskandariah dan lainnya dari filosof Hellennistik.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pada masa khalifah
Abbasiyah adalah awal mula diterjemahkannya naskah-naskah ilmu filsafat ke
dalam bahasa Arab. Sehingga lahirlah sejumlah Filosof Muslim terkemuka
dikalangan umat Islam. Kemudian ilmu filsafat dari para Filosof Muslim inilah
yang dikenal dengan Filsafat Islam.
2.2. Mengkritisi
Klaim Bahwa Islam Pada Dasarnya Copy Paste Filsafat Yunani
Periode filsafat Yunani merupakan periode sangat penting dalam sejarah
peradaban manusia karena pada waktu itu terjadi perubahan paradigma manusia
dari mitosentris menjadi logosentris. Paradigma mitosentris adalah pola pikir
masyarakat berdasarkan mitos untuk menjelaskan gejala fenomena alam, seperti
gempa bumi dan pelangi.
Ketika filsafat diperkenalkan, fenomena alam tersebut tidak lagi dianggap
sebagai aktifitas dewa, tetapi aktifitas alam yang terjadi secara kausalitas.
Perubahan paradigma tersebut kelihatannya sederhana, namun implikasinya tidak
sederhana karena selama ini alam ditakuti dan dijauhi kemudian didekati bahkan
dieksploitasi. Manusia yang dulunya pasif dalam menghadapi fenomena alam
menjadi lebih proaktif dan kreatif, sehingga alam dijadikan obyek penelitian
dan pengkajian. Dari proses inilah kemudian ilmu berkembang dari rahim
filsafat, yang akhirnya kita nikmati dalam bentuk teknologi. Karena itu,
periode perkembangan filsafat Yunani merupakan entri point untuk memasuki
peradaban baru umat manusia
Pada makalah ini, penulis tidak akan membahas Filsafat Yunani secara
spesifik, namun penulis mencoba memaparkan tentang histografi filsafat Yunani
ke dalam Islam, Integrasi Filsafat dan Islam dan bagaimana Hubungan keduanya.
Makalah ini mencoba memberikan gambaran Filsafat Islam serta tokoh-tokoh
filsafat Islam.
1. Histografi Filsafat Yunani kedalam Islam
Masyarakat Islam
dilihat dari sisi latar belakang etnis, bahasa, adat dan pola kebudayaan,
menampilkan keberagaman sosok yang disatukan dalam satu ikatan visi keagamaan,
yaitu Islam. Islam dengan keragamannya merupakan hasil interaksi sosial,
politik,dan budaya masyarakat Islam Arab dengan masyarakat-masyarakat lainnya.
Islam banyak mengalami inovasi-inovasi dengan corak social, politik budaya
Arab, Persia, dan Yunani ( Hellenisme), China dan Barat. Semuanya itu merupakan
bagian penting dalam pembentukan peradaban Islam.
Dari segi Historis,
interaksi Islam dengan peradaban dunia sangat diwarnai oleh ekspansi atau
penaklukan terhadap daerah kekuasaan lain. Motif-motif penaklukan yang
dilakukan kaum muslimin sejak kepemimpinan Nabi Muhammad SAW adalah Jihad untuk
melawan orang – orang kafir yang menz}alimi kaum muslimin. Pada awal
petumbuhannya, Islam dapat mengambil simpati masyarakat Arab karena semangatnya
yang menegakkan keadilan. Islam bukan disebarkan dengan kekerasan atau pedang.
Dalam sejarah dibuktikan, dalam ekspansi tesebut kaum muslimin tidak melakukan
pemaksaan dalam hal agama.
Setelah Rasulullah
SAW wafat 632 M,berturut-turut umat Islam dipimpin al-Khulafa’ al- Rashidun,
Bani Umaiyyah dan Bani Abbasiyah. Dibawah kepemimpinan Abu Bakar, Islam telah melakukan
penaklukan –penaklukan dibeberapa daerah kekuasaan Byzantium dan Persia. Di
akhir pemerintahan ‘Umar bin Khattab Pada tahun 644 M
( Hodgson,2002:24), kekuasaan Islam meliputi Asia Barat, seluruh Irak, Suriah
sampai Mesir Selatan dan sebagian pantai Afrika Utara ke arah Cyrenaica. Dan
pada waktu kekhilafahan ‘Uthman bin ‘Affan arah peta Islam meluas ke Cyprus.
Dalam perjalanan berikutnya, kekuasaan khalifah ‘Uthman sudah mencapai
sepanjang pantai Afrika Utara sampai Tripoli. Ke arah utara dari Irak mereka
menaklukkan sebagian besar Armenia dan menerobos daerah Kaukus, menempatkan
Garnizun di Tiflis. Di Timur mereka telah mencapai sungai Trans-Oxiana, mereka
mnguasai Heart, Afganistan, melewati Mekran, Persia Tenggara dan perbatasan
Asia Selatan.
Sampai akhir
pemerintahan Khulafa’ al-Rashidin Islam hampir separuh dari wilayah kekaisaran
Romawi dan Persia telah ditaklukkan. Pada masa pemerintahan bani Umayyah banyak
dilakukan ekspansi ke berbagai wilayah. Utamanya ekspansi ke arah utara yaitu
ke Syiria dan Mesir, yang nota bene merupakan kota-kota peninggalan peradaban
Yunani.Pada masa Kekhalifahan Abbasiyah,ekspansi-ekspansi Islam dilakukan ke
berbagai daerah yaitu dua imperium besar Byzantium dan Sasania, menyebabkan
terjadinya intereksi dan dinamisasi bahasa, tradisi budaya, yang cepat atau
lambat tak terelakkan.Dialektika dan dinamisasi tersebut berimbas kepada
praktis keberagaman,pemerintahan dan pengembangan keilmuan.
Bersamaan dengan
itu,juga dilakukan penerjemahan terhadap ilmu pengetahuan ilmiah dan tehnik,
diantara gagasan kedokteran , matematika, astronomi, dan filsafat
Hellenistik.Disamping itu juga dilakukan penerjemahan terhadap pengetahuan
praksis tentang tehnik pemerintahan, manajemen pertanian dan irigasi kedalam
bahasa Arab. Karena didalam pemerintahan Abbasiyah banyak menempatkan kaum
mawali khusus orang-orang Persia pada jabatan-jabatan strategis, bahkan banyak
tradisi-tradisi dalam pemerintahan dan keilmuan yang ditransfer dari tradisi
sistem pemerintahan Persia.
Pada masa
kekhilafahan ‘Abbasiyah, cakupan keilmuan saat itu berkembang dengan pesat
tidak hanya terbatas tidak hanya terbatas pada masalah teologi dan
keagamaan,tapi juga berkisar pada filsafat, matematika, kedokteran dan lain
sebagainya.Lengkapnya ,ciri keilmuan yang muncul saat itu antara lain,teologi
dan keagamaan,sastra,sejarah,geografi,sufisme,kedokteran, matematika,
astronomi, filsafat dan lainnya.
Hal tersebut dapat
dibuktikan dengan munculnya beberapa tokoh kenamaan. Misalnya di bidang
teologi, al-Ash’ari (935) dan al-Maturidi (w.944). Di bidang sastra al-Jahiz (w.780) dan Ibnu Qutaibah (w.828).
Dibidang sejarah dan geografi al-Baladhuri (w.820) dan al-Ya’qub (w.897). Di bidang sufisme, al- Muhasibi (w.857) dan
Yazid al-Bust{ami (w.875) dan al-Hallaj (w.922). Di bidang kedokteran al-Razi
(w.923) dan Ibnu Sina ( w.1037). Di bidang matematika dan astronomi,
al-Khawrizmi (w.846) dan Ibnu Haitham ( w.1039) dan di bidang Filsafat al-Kindi
( w.881), al-Farabi ( w.870) dan Ibnu Sina (w.980).
2. Hubungan Islam – Yunani
Sebenarnya interaksi
Islam dengan peradaban Yunani, sebagaimana dijelaskan diatas, telah terjadi
sejak masa al-Khulafa’ al-Rashidun. Namun interaksi tersebut semakin kuat dan
tampak jelas wujudnya pada masa pemerintahan ‘Abbasiyah dan memberikan pengaruh
yang tidak sedikit pada masa-masa setelahnya.
Penaklukkan
Iskandariyah, termasuk Syiria dan Persia yang merupakan sentra Hellenisme,
membawa Islam untuk bersentuhan dengan peradaban Yunani dan peradaban Timur
Tengah lainnya seperti mistis Mesir, Phoenisia, Persia, Yahudi dan Kristen.
Persentuhan Islam dengan tradisi Hellenistik ini pada akhirnya mempengaruhi
cara dan gaya berfikir kaum muslimin. Faktor yang sangat berpengaruh terhadap
penyerapan tradisi hellenistik adalah booming terjemahan. Penerjemahan
karya-karya berbahasa Suryani dan Yunani ke dalam bahasa Arab terjadi pada abad
ke 8 Masehi. Terjemahan karya filsafat pertama dilakukan oleh sastrawan
terkemuka saat itu, Abdullah Ibnu al-Muqaffa dan putranya Muhammad, yang
mencakup Categories, Hermeneutica, dan Analytica Apriora karya Aristoteles pada
masa Khalifah al- Mans{ur ( 754-773 M). Lalu ada Yahya bin al-Bitriq yang
menerjemaahkan karya Plato yang berjudul Temaeus. Juga karya Aristoteles
seperti; De Anima, Book of Animals, dan Secret of the secret.
Khalifah al-Makmun ,
mendirikan Bait al-Hikmah sebagai pusat perpustakaan dan terjemahan, sehingga
lembaga ini tercata sebagai institute terbesar sepanjang sejarah penerjemahan
karya-karya filsafat dan kedokteran Yunani. Dari beberapa buku yang
diterjemahkan pada masa awal kedalam bahasa Arab, jelas terlihat didominasi
oleh karya Aristoteles khususnya masalah logika. Hal ini disebabkan logika Aristoteles ( al-Mantiq al-Arist}o)
dirasa cocok dan memang diperlukan kaum muslimin pada saat itu sebagai alat
argumentasi.
Pasca penerjemahan
ilmu-ilmu Yunani ke Arab, maka filsafat Yunani tidak asing lago dikalangan
akademisi muslim. Para teolog muslim mengambil sebagian tradisi filsafat
Yunani, yaitu filsafat ketuhanan dan logika Aristoteles sebagai dasar argumen
teologi dan alat berdebat. Kemudian para filosof muslim murni seperti
al-Kindi,al-Razi, al-Farabi, Ibnu Sina, Ibnu Bajah, Ibnu Tufail dan Ibnu Rushd, mengambil hampir semua tradisi
Yunani yang dimodifikasi dengan ajaran islam.
3. Hubungan Filsafat Islam Dengan Filsafat Yunani
Dilihat
dari aspek sejarah, kelahiran ilmu Filsafat Islam dilatarbelakangi oleh adanya
usaha penerjemahan naskah-naskah ilmu filsafat ke dalam bahasa Arab yang telah
dilakukan sejak masa klasik Islam. Usaha ini melahirkan sejumlah filosof besar
muslim. Dunia Islam belahan timur yang berpusat di Bagdad, Irak lebih dahulu
melahirkan filosof muslim daripada dunia Islam belahan barat yang berpusat di
Cordoba, Spanyol.
Memperkuat
pernyataan diatas, Ahmad Salabi dan Louis Ma’luf menguraikan bahwa sejarah
kebudayaan Islam mencatat, ilmu filsafat tidak diketahui oleh orang-orang
Islam, kecuali setelah masa Daulah Abbasiyah pertama (132-232 H / 750-847 M).
Ilmu ini ditransfer ke dunia Islam melalui penerjemahan dari buku-buku Filsafat
Yunani yang telah tersebar di daerah-daerah Laut Putih seperti Iskandariah,
Anthakian, dan Harran. Terlebih pada masa Al-Makmun yang dikenal sangat
tertarik pada kemerdekaan berpikir, yang berkuasa antara 198-218 H / 813-833 M
dan mengadakan hubungan kenegaraan dengan raja-raja Romawi, Bezantium yang
beribu kota di Konstantinopel, yang juga dikenal dengan sebagai kota
“Al-Hikmah”, pusat ilmu Filsafat. Dari kota ini, buku-buku filsafat diperoleh
dan diterjemahkan sekalipun dari bahasa Suryani. Kegiatan penerjemahan ini
disertai pula dengan uraian dan penjelasan seperlunya. Para cendikiawan ketika
itu berusaha memasukkan Filsafat Yunani sebagai bagian dari metodologi dalam
menjelaskan Islam, terutama akidah untuk melihat perlunya persesuaian antara
wahyu dan akal.
Tentu
saja, aktifitas para filosof di atas bersentuhan dengan penafsiran Al-Qur’an.
Bahkan, kecenderungan menafsirkan Al-Qur’an secara filosofis besar sekali.
Al-Kindi Misalnya, yang dikenal sebagai Bapak Filosof Arab dan Muslim,
berpendapat bahwa untuk memahami Al-Qur’an dengan benar, isinya harus
ditafsirkan secara rasional, bahkan filosofis. Al-Kindi berpendapat bahwa
Al-Qur’an mengandung ayat-ayat yang mengajak manusia untuk merenungkan
peristiwa-peristiwa alam dan menyingkapkan makna yang lebih dalam di balik
terbit-tenggelamnya matahari, berkembang-menyusutnya bulan, pasang-surutnya air
laut dan seterusnya. Ajakan ini merupakan seruan untuk berfilsafat. Seperti
halnya Al Kindi, Ibn Rusyd pun berpendapat demikian. Lebih jauh, Ibn Rusyd
menyatakan bahwa tujuan dasar filsafat adalah memperoleh pengetahuan yang benar
dan berbuat benar. Dalam hal ini filsafat sesuai dengan agama, sebab tujuan
agama pun tidak lain adalah menjamin pengetahuan yang benar bagi umat manusia
dan menunjukkan jalan yang benar bagi kehidupan yang praktis.
Itulah
sebabnya, Nurcholis Madjid menyatakan bahwa sumber dan pangkal tolak filsafat
dalam Islam adalah ajaran Islam sendiri sebagaimana terdapat dalam Al-Qur’an
dan Sunnah. Meskipun mempunyai dasar yang kokoh dalam sumber-sumber ajaran
Islam sendiri, filsafat banyak mengandung unsur-unsur dari luar, terutama
Hellenisme atau dunia pemikiran Yunani.
Uraian
di atas terlihat jelas bahwa di satu sisi, filsafat Islam berkembang setelah
umat Islam memiliki hubungan interaksi dengan dunia Yunani, seperti yang telah
disebutkan oleh Nurcholis Madjid, yang menyatakan bahwa pemakaian kata
“filsafat” di dunia Islam digunakan untuk menerjemahkan kata “hikmah” yang ada
dalam teks-teks keagamaan Islam, seperti dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Namun,
sebagaimana dijelaskan oleh Nurcholis Madjid bahwa orang-orang Islam berkenalan
dengan ajaran Aristoteles dalam bentuknya yang telah ditafsirkan dan diolah
oleh orang-orang Syria, dan itu berarti masuknya unsur-unsur Neoplatonisme.
Cukup menarik bahwa sebagian orang Islam begitu sadar tentang Aristoteles dan
apa yang mereka anggap sebagai ajaran-ajarannya, namun mereka tidak sadar atau
sedikit sekali mengetahui adanya unsur-unsur Neoplatonis di dalamnya. Ini
menyebabkan sulitnya membedakan antara kedua unsur Hellenisme yang paling
berpengaruh terhadap falsafah Islam itu karena memang terkait satu sama
lainnya.
Sekalipun
begitu, masih dapat dibenarkan melihat adanya pengaruh khas Neoplatonisme dalam
dunia pemikiran Islam, seperti yang kelak muncul dengan jelas dalam berbagai
paham tasawuf. Ibnu Sina misalnya, dapat dikatakan sebagai seorang Neo-platonis
disebabkan ajarannya tentang mistik perjalanan rohani manuju Tuhan seperti yang
dumuat dalam kitabnya, Isharat. Memang Neoplatonisme yang spiritualistik
itu banyak mendapatkan jalan masuk ke dalam ajaran-ajaran Sufi, dan yang paling
banyak menonjol adalah yang ada dalam ajaran sekelompok orang muslim yang
menamakan diri mereka Ikhwan Ash-Shafa.
Demikian
pula kita sepenuhnya dapat berbicara tentang pengaruh besar Aristoteles, yaitu
dari sudut kenyataan bahwa kaum Muslim banyak memanfaatkan metode berfikir
logis menurut logika formal (silogisme) Aristoteles ini, yaitu yang lebih
dikenal dengan ilmu mantiq dikalangan umat Islam.
Akan
tetapi mustahil melihat filsafat Islam sebagai carbon copy Hellenisme.
Misalnya, meskipun terdapat variasi, semua pemikir Muslim berpandangan bahwa
wahyu adalah sumber ilmu pengetahuan, dan karena itu mereka juga membangun
berbagai teori tentang kenabian seperti yang dilakukan Ibnu Sina dengan
risalahnya yang terkenal, Itsbat An-Nubuwwat. Mereka juga mencurahkan
banyak tenaga untuk membahas kehidupan sesudah mati, suatu hal yang tidak
terdapat padanya dalam Hellenisme, kecuali dengan sendirinya pada kaum Hellenis
Kristen. Para Filosof Muslim juga membahas masalah baik dan buruk, pahala dan
dosa, tanggung jawab pribadi di hadapan Allah, kebebasan dan keterpaksaan (determinisme),
asal usul penciptaan, dan seterusnya yang semua itu merupakan bagian integral
dari ajaran Islam, dan sedikit sekali terdapat hal serupa dalam Hellenisme.
Dengan
demikian, tampak jelas adanya hubungan yang bersifat akomodatif bahwa filsafat
Yunani memberi modal dasar dalam penelusuran berfikir yang ditopang sejatinya
oleh Al-Qur’an sejak dulu. Secara teologis, dapat dikatakan bahwa sumber
Al-Qur’an secara Azali telah ada, maka filsafat Yunani hanya sebagai
pembuka, sementara bahan-bahannya sudah ada di dalam Al-Qur’an sebagai desain
besar Allah Swt. Akan tetapi, persoalan yang muncul adalah Orisinilitas
filsafat Islam, apakah ia mengekor atau pelopor.
Tidak
adanya orisinilitas yang mengesankan pada pemikiran kefilsafatan Islam klasik
tidak perlu mengherankan. Sebab para filosof klasik Islam, betapapun pengembaraan
intelektualnya adalah orang-orang yang relegius. Mungkin tafsiran mereka atas
beberapa noktah ajaran agama tidak dapat diterima oleh para ulama ortodoks,
namun berbeda dengan rekan-rekan mereka di Eropa pada masa-masa Skolastik,
Renaisans, dan modern, yang umumnya justru menolak atau meragukan agama. Para
filosof muslim klasik ini berfilsafat tetap karena dorongan keagamaan, malahan
seringkali justru untuk membela dan melindungi keimanan agama. Karena
relegiusitas mereka, pemikiran spekulatif kefilsafatan terjadi hanya dalam
batas-batas yang masih dibenarkan oleh agama, yang agama itu sendiri bagi
mereka telah cukup rasional sebagaimana dituntut oleh filsafat.
Pernyataan-pernyataan
di atas dikuatkan pula oleh Abdul Mun’im bahwa Islam adalah agama yang
memberikan kebebasan dalam membicarakan filsafat, berbeda halnya dengan
Kristen. Dengan demikian orang Arablah yang memberikan keutamaan dalam
menyebarkan filsafat Yunani dan menyiarkannya ke penjuru dunia. Lebih terbuka
lagi, dinyatakan oleh O’Leray, “Sekarang, kita mengikuti jalannya filsafat
Hellenis. Dari Yunani ia mengalir ke dalam pengetahuan Syria Lama. Kemudian, ia
berjalan dari orang-orang Syria ke dalam dunia kaum muslimin yang berbahasa
Arab. Orang-orang Arab kemudian memasukkannya kembali, jauh ke tengah-tengah
dunia Barat”.
Sampai
disini, dapat dinyatakan bahwa hubungan filsafat Islam dengan filsafat Yunani
adalah sebagai pengembang dan penerus sekaligus pelopor filsafat yang bercorak
Islam yang disebarkan ke berbagai dunia Barat.
Suatu kebenaran yang
tidak dapat ditolak adalah pengaruh peradaban Yunani, Persia dan India.
Diantara ilmu-ilmu India yang besar pengaruhnya kepada intelektual Islam adalah
ilmu hitung, astronomi, ilmu kedokteran dan matematika dengan angka-angka yang
oleh orang Arab disebut dengan angka India dan oleh orang Eropa dikenal dengan
angka Arab. Sedangkan dari Persia terdapat ilmu bumi, astronomi, logika
filsafat, ilmu ukur, kedokteran, seni dan sastra.
Pemasukan pengaruh
Persia, yang dinilai lebih besar daripada pengaruh India, ke dalam Islam
melalui Baghdad, berada di lingkungan Persia sebagai ganti ibu kota sebelumnya,
Damshik. Menurut Harun Nasution peranan yang besar dalam hal ini ialah kelurga
Barmak yang turun temurun menjadi menteri, gubernur, dan sekretaris khalifah
mulai dari zaman al-Saffah (750-754) sampai dengan al-Makmun (813-833).
Akan tetapi,
pengaruh terbesar yang diterima umat Islam dalam bidang ilmu pengetahuan dan
filsafat, menurut Ahmad Amin, adalah dari Yunani. Karena kontak umat Islam
dengan peradaban Yunani bersamaan waktunya dengan penulisan ilmu-ilmu Islam.
Logika Yunani mempunyai pengaruh besar pada alam pemikiran saat itu.
Perlu ditegaskan
bahwa pengaruh bukan berarti plagiat. Betapa banyak para filosof baik Islam
maupun non Islam terpengaruh oleh pemikiran filosof sebelumnya, namun mereka
tidak menyandang predikat plagiator atau penjiplak. Filosof Amsterdam, Belanda,
Burch De Spinoza (1632-1677) dikenal sebagai pengikut Bapak Filsafat modern
asal Prancis, Rene Descartes ( 1596- 1650). Demikian pula filosof Muslim Ibnu
Sina walaupun terpengaruh berat oleh Aristoteles, tetapi ia juga memiliki
pemikiran filsafat sendiri, yang tidak dimiliki oleh mu’allim al-Awwal,
Aristoteles sendiri.
Secara karakteristik
, filsafat Islam menurut Sirajuddin Zar dirangkum menjadi tiga;
1)
Filsafat Islam membahas masalah yang sudah pernah
dibahas filsafat Yunani dan lainnya, seperti ketuhanan, alam dan ruh. Akan
tetapi, selain penyelesaian dalam filsafat Islam berbeda dengan filsafat lain,
para filosof Muslim juga menambahkan dan mengembangkan ke dalamnya hasil-hasil
pemikiran mereka sendiri.
2)
Filsafat Islam membahas masalah yang belum yang
belum pernah dibahas sebelumnya seperti Filsafat Kenabian ( al-Naz}ariyat
al-Nubuwat).
3)
Dalam filsafat Islam terdapat pemanduan antara agama
dan filsafat, antara aqidah dan hikmah, antara wahtu dan akal. Bentuk seperti
ini banyak terlihat dalam pemikiran filosof Muslim seperti; al- Madinat
al-Fad{ilat (Negara Utama) dalam filsafat al-Farabi: bahwa yang menjadi kepala
Negara adalah nabi atau filosof . Begitu juga pendapat al-Farabi pada filsafat
kenabian: bahwa Nabi dan Filosof adalah sama-sama menerima kebenaran dari
sumber yang sama, yakni Akal Aktif ( Akal X). Akan tetapi, berbeda hanya dari
segi tehnik, Filosof melalui Akal Perolehan (Mustafad) dengan latihan-latihan,
sedangkan Nabi dengan akal Had yang memiliki daya yang kuat (al-Qudsiyat) jauh
kekuatannya melebihi akal Mustafad filosof. Akal had Nabi berasal dari Allah,
hal itu diperoleh bukan berdasarkan latihan-latihan berpikir. Oleh karena itu ,
pengetahuan diperoleh para nabi (wahyu) tidak mungkin bertentangan dengan
pengetahuan yang diperoleh para filosof.
Jelas bahwa filsafat
Islam benar-benar ada dan bukan plagiat dari filsafat Yunani. Kalau dilacak
dari akar sejarahnya , pandangan Islam tentang Filsafat tumbuh besamaan
munculnya Islam itu sendiri. Ketika rasulullah SAW menerima wahyu yang pertama
, yang mula-mula diperintahkan kepadanya adalah ‘ membaca’. Dari kata Iqra’
inilah lahir aneka makna seperti menyampaikan, menelaah, mendalami,
meneliti,mengetahui ciri sesuatu dan membaca teks baik yang tersurat maupun
tersirat.
Jadi yang disebut
filsafat Islam adalah perkembangan pemikiran umat islam dalam masalah
ketuhanan, kenabian, manusia, dan alam semesta yang disinari ajaran Islam.
Adapun difinisinya secara khusus seperti apa yang dikemukakan penulis islam
sebagai berikut :
Ibrahim Madkur,
Filsafat Islam adalah pemikiran yang lahir dalam dunia Islam untuk menjawab
tantangan zaman, yang meliputi Allah dan alam semesta, wahyu dan akal, agama
dan filsafat.
Ahmad Fu’ad al-Ahwani. Filsafat Islam adalah
pembahasan tentang alam dan manusia yang disinari ajaran Islam.
M. ‘Atif al-‘Iraqi.
Filsafat Islam secara umum didalamnya tercakup ilmu kalam, ilmu usul fiqih,
ilmu tasawuf, dan ilmu pengetahuan lainnya yang diciptakan oleh intelektual
Islam. Pengertiannya secara khusus, ialah pokok-pokok atau dasar-dasar
pemikiran filosofis yang dikemukakan para filosof Muslim.
4.
Orisinilitas
dan Otentisitas Filsafat Islam
Sejarawan Islam abad
pertengahan, Ibnu Khladun (w.708 H/1406 m), mengakui adanya unsur Yunani dalam
filsfat Islam. Ia menganalisa filsafat di dunia Arab dengan pendekatan
sosiologis. Ia menyimpulkan bahwa masyarakat Arab sebenarnya tidak memiliki
kemampuan berfilsafat karena keseharian mereka disibukkan dengan urusan
pengaturan dan pembelaan negara. Filsafat masuk ke dalam Islam di Barat
(Andalusia), Abu Said al-Andalusi dalam kitabnya Thabaqatul umam, ia
mangatakan masyarakat Arab adalah masyarakat sederhana yang tidak mampu
berfilsafat. Bedanya adalah ia yang berasal dari Barat cenderung rasis dalam
menganalisa permasalahan. Said menyimpulkan bahwa dalam tradisi Arab hanya
dikenal dua orang filosof, yaitu Al-Kindi dan al-hamdani, sementara filosof
lainnya berasal dari Barat. Pandangan rasis said inilah yang tampaknya di
kemudian hari mempengaruhi tesa Ernest Renan dalam membagi fikiran manusia berdasarkan ras.
Dalam ranah pemikiran
kontemporer, hampir semua ajaran Islam yang menekuni bidang filsafat juga mengakui
bahwa filsafat Islam menerima banyak pengaruh dari peradaban luar, tidak saja
dari Yunani. Mustafa Abdul Raziq misalnya menganggap bahwa keterpengaruhan
adalah sebuah bentuk aksioma dari sejarah peradaban manapun. Tidak ada yang
perlu diperdebatkan bahwa semua peradaban tidak luput dari pengaruh dan
pengalaman peradaban sebelumnya. Termasuk juga didalamnya peradaban Yunani.
Permasalahan yang muncul sebenarnya adalah pada bentuk metode orisinil (manhaj
ashil) milik peradaban tersebut. Mustafa Abdul Raziq membuat pendekatan
baru dalam meneliti orisinilitas filasfat dalam peradaban Islam. Untuk
menghasilkan konklusi yang lebih berkesesuaian dengan realitas, ia mengajak
para pengkaji filsafat Islam untuk terlebih dahulu meneliti sejarah tasyri’
Islam. Pemikiran filosofis (al nazhar al-aqliy) dalam Islam sesungguhnya
dimulai dalam sejarah tasyri’ tersebut. Jika ditelusuri sejarah ini,
maka geneologi filsafat dalam Islam sesungguhnya sudah dumulai sejak munculnya
ijtihad fiqih. Ijtihad merupakan usaha untuk memfungsikan peran akal dalam
bimbingan wahyu adalah terma yang paling mewakili untuk menampilkan metode
Islam yang orisinil dalam filsafat dan tidak terkontaminasi peradaban lain.
Pemikiran filosofis
didunia Arab diakui oleh Mustafa sebenarnya sudah ada sejak masa pra Islam.
Akan tetapi sejak kemunculan Islam pemikiran tersebut lebih terarahkan karena
mendapatkan banyak dukungan dari al-Qur’an dan al-Sunnah. Di dalam al-Qur’an
banyak ditemukan ayat-ayat yang berisi ajakan agar manusia menggunakan akal
fikiran dan perintah agar merenungkan setiap fenomena yang ditemui oleh akal
fikiran. Al-qur’an dan Sunnah juga mengajarkan agar akal fikiran digunakan
untuk mencerna dan mengambil pelajaran dari ayat-ayat al-Qur’an dan Sunnah itu
sendiri. Mustafa Abdul Raziq kemudian sampai pada sebuah kesimpulan bahwa Ushul
fiqih dan Ilmu kalam adalah dua disiplin ilmu orisinil dalam Islam yang
merupakan bentuk modifikasi dari nash-nash al-Qur’an daaaaan as-Sunnah yang
dipahami secara filosofis oleh umat Islam, sehingga menjadi bagian ilmu
filsafat dalam Islam.
Ibrahim Madkour juga
memulai kajian di bidang filsafat Islam dengan terlebih dahulu membuat
pengakuan bahwa filsafat adalah fenomena generik (al-zhahirah al-insaniyyah)
di mana keterpengaruhan bukanlah sebuah aib bagi sebuah peradaban. Setelah itu
Ibrahim Madkour juga mengatakan bahwa sebesar apapun filsafat asing melakukan
inflitrasi ke dalam peradaban Islam, umat Islam tetap mampu membuat ciri yang
khas dan independen.
Secara umum ada tiga
metode yang digunakan oleh Ibrahim Madkour dalam mengkaji otentisitas dan
otoritas filsafat Islam. Pertama, metode historis (mutaba’atu sair)
yaitu dengan melakukan penelitian terhadap sumber-sumber sejarah yang berupa
teks-teks klasik karya para filosof Islam. Kedua, dengan melakukan
komparasi (muqaranah) antara pemikiran Islam dengan pemikiran lainnya,
baik sebelum ataupun sesudah Islam. Ketiga, dengan membuat teori
ketersambungan filsafat, dimana Islam adalah salah satu mata rantai dari sejarah
panjang filsafat.
Ibrahim Makour
mengaplikasikan tiga metode ini dengan mengangkat lima nazhariyah
(teori) yang pernah muncul di filsafat Islam. Teori pertama, adalah tentang
kebahagiaan. Teori kedua, tentang kenabian. Teori ketiga tentang nafs. Teori
keempat, tentang ketuhanan. Teori kelima, tentang kebebasan berkehendak.
Penelitian Ibarahim
Madkour terhadap lima teori ini mengahasilkan kesimpulan bahwa filsafat Islam
adalah filsafat yang ekletis (al-tawfiq) dan sinkretis (al-ikhtiar).
Filsafat Islam bisa melakuka harmonisasi antara akal (aql) dan
periwayatan (naql), dan juga antara filsafat dengan agama. Filsafat
Islam memiliki karakter yang bebas menentukan pilihan sepanjang sesuai dengan
ruh islami. Filsafat Islam juga mampu memadukan antara karya filosof Barat
(Yunani) dengan Filsafat Timur (India dan Persia) di bidang kedokteran dan
perhitungan. filsafat Islam juga mampu memadukan antara Aristoteles dan plato.
Filsafat Islam menurut
Ibrahim Madkour adalah filsafat yang progresif dan mampu melampaui para periode
sebelumnya. Sebagai sebuah bagian dari mata rantai filsafat, Islam mampu
memanfaatkan warisan (legacy) peradaban-peradaban kuno, Islam mampu
membentangkan jalan bagi lahirnya peradaban-peradaban yang datang sesudahnya.
Islam lah yang membangkitkan filsafat Yahudi dan Nasrani dari kubur (marqad)
mereka masing-masing.
Dalam karyanya The
Rocontruction of Religion Thought in Islam Muhamamad iqbal juga
berkesimpulan bahwa filsafat Islam lah yang menjadi pemasok bagi pemikiran
filsfat abad pertengahan dan abad modern. Pemikir semisal Roger Baicon adalah
contoh filosof Barat yang terpengaruh dengan Manhaj Tajribiy (metode
impiris) yang dikembangkan di dunia Islam.
Masalah orisinilitas
filsafat Islam juga dikaji oleh tokoh Ali Sami an-Nasyar. Sepanjang hayatnya
adalah dipergunakan untuk membuktikan bahwa Islam sama sekali tidak pernah
berhutang dengan peradaban Yunani. Ia mengarang trilogi Nasyatul Fikril
Falsafi fil Islam yang berisikan pandangan-pandangan barunya mengenai wujud
filsafat Islam. Menurut Ali Sami an-Nasyar, filosof Islam adalah mereka yang
menjadikan al-Qur’an dan al-Sunnah sebagai muntalaq pemikirannya, bukan
dari karya bangsa Yunani. Walhasil filosof Islam dalam perspektif Ali adalah Fuqaha,
mutashawwifun, dan Mutakallimun.
Jika megacu kepada
al-Qur’an, jelas tidak benar jika Islam dituduh tidak mampu membuat kreasi dan
mendatangkan hal baru di hadapan konsep-konsep filsafat Yunani. Sebab al-Qur’an
telah banyak berbicara tentang Tuhan, manusia, alam semesta dan moralitas yang
sama sekali berbeda dengan yang pernah difikirkan oleh bangsa Yunani. Tidak
benar juga jika Islam dituduh sebagai agama yang tidak mampu memberikan
seperangkat sistem berfikir yang filosofis, sebab Islam adalah agama yang
menghormati akal. Sebegaimana disebutkan dalam surat al-Jatsiyah ayat 13, yang
artinya:
“Dan dia Telah menundukkan untukmu apa yang di langit dan
apa yang di bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya. Sesungguhnya pada
yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum
yang berfikir”.
Dari beberapa uraian dan
pendapat para pakar filsafat tersebut diatas maka dapat disimpulkan bahwa
filsafat Islam bukanlah filsafat Yunani. Filsafat Islam mempunyai orisinilitas
dan otentisitas tersendiri yang berbeda dengan filsafat Yunani. Memang betul
dalam beberapa hal filsafat Islam ada yang terpengaruh dari pemikiran Yunani
dan peradaban lainnya, namun itu tidak menghilangkan ciri keislamannya, yaitu
berupa pandangan hidup yang bersumber dari al-Qur’an dan As-Sunnah.
2.3. Mengidentifikasi
Pergulatan Para Tokoh Muslim Dalam Invasi Pemikiran Kedalam Dunia Islm
Kelahiran kaum rasionalis Islam, mu’tazilah yang banyak memakai akal tidak
dapat lepas dari pengaruh besar Aristoteleanisme, terutama dalam pengunaan
penalaran logis menurut logika Aristoteles, yang menurut Ibrahim Madkour,
mu’tazilah adalah peletak ilmu kalam (teologi) yang sesungguhnya, karena ia
telah membahas persoalan-persoalan teologi dengan lebih mendalam dan bersifat
filosofis.
Akan tetapi al-Kindi (185/801-260 H/873M) adalah failosuf pertama yang
memprakasai proses perumusan vokabuler teknis falsafah dalam Islam, dan
melakukan sorotan-sorotan terhadap falsafah dengan ajaran-ajaran Islam.
Al-Kindi telah mengatakan gagasan-gagasan baru dalam mendamaikan atau mamadukan
atau mengharmonisasikan atau memadukan warisan Aristoteles dengan ajaran-ajaran
Islam. Usaha pemaduan atau pengharmonisasian antara falsafah dan agama untuk
jangka lama menjadi ciri utama falsafah dalam Islam.
Di atas sudah disebutkan bahwa al-Ma’mun telah memprakarsai secara
besar-besaran Helenisasi di dunia Islam. ia mendukung aliran Mu’tazilah yang
lebih dekat kepada para failosuf. akan tetapi setelah al-Ma’mun meninggal
dunia, kekhalifahan digantikan oleh al-Mutawakkil (w.247H.), maka ia mendukung
para ulama sunni dan menentang kaum rasionalitas Islam. Al-Kindi sendiri,
menurut Ibn Abi Ushaibi’ah, pernah disakiti karena pekerjaanya mengembangkan
pemikiran falsafah. Dengan disakiti itu al-Kindi bukannya menjadi jera, malahan
menjadi bertambah gigih mempertahankan falsafah. Al-Kindi sungguh yakin bahwa
falsafah adalah ilmu yang mengetahui tentang kehakekatan sesuatu, ia adalah
tugas manusia yang paling tinggi dan mulia serta paling tinggi martabatnya.
Kalau orang-orang Yunani telah membukakan dan memudahkan jalan bagi
kita untuk mencari hakekat yang tersembunyi, seharusnya kita berterimakasih
kepada mereka yang telah bersungguh-sungguh mencari kebenaran itu, bukannya
harus memberikan celaan dan makian, kata al-Kindi. Al-Kindi benar-benar
yakin bahwa antara filsafat dan agama selalu harmonis, dan tidak pernah
bertentangan, karena akal dan wahyu sama-sama bersumber dari Tuhan.
Usaha al-kindi kemudian secara intensif dilanjutkan oleh al-Farabi
(258/870-339H/950M) yang membuat dasar falsafah Aristoteleanisme menjadi kukuh
dalam Islam. Al-Farabi, sebagai yang dikenal dengan “guru kedua”, begitu yakin
dengan kebenaran falsafah, sehingga ia mengatakan bahwa kebenaran yang dibawa
failosuf sebenarnya adalah satu dan sama. Falsafah Plato dan Aristoteles
sebenarnya adalah sama, yang berbeda hanya berbentuk lahirnya saja, demikian
juga pada hakekatnya ajaran antara para failosuf dan para nabi adalah sama, dan
tidak bertentangan.
Akan tetapi eksponen Islam yang terbesarnya adalah Ibnu Sina (980-1037 M).
Ia mengarah ke suatu filsafat yang berdasarkan penggunaan logika dan bertumpu
pada hakekatnya pada metode syllogis Aristoteles dan berupaya mencapai
kebenaran dengn argumen berdasarkan nalar. Baginya tidak ada yang tidak dapat
dikaji oleh akal, harta alam metafisik, alam gaib, atau masalah ketuhanan,
karena antara failosuf dan nabi tidak akan berbeda, sebab setiap
nabi adalah failosuf. Hal inilah yang dipersalahkan oleh al-ghazali
(450/1058-505H/1111M). Al-Ghazali menyerang tendensirasionalistis yang inheren
dalam falsafah Aristoteles dan menuduh para failosuf, terutama al-Farabi dan
Ibnu Sina, telah membuat banyak kesalahan dengan logika mereka, terutama dalam
masalah metafisika (ketuhanan). Sampai-sampai al-Ghazali mengkafirkan para
failosuf dalam masalah ini. dengan serangannya itu ia berhasil mengurangi
pengaruh filsafat Aristoteleanisme di dunia Islam, khususnya dikalangan sunni,
dan mengandung danpak negatif. Sungguh al-Ghazali sendiri sebenarnya masih
menghalalkan dan memakai logika Aristoteles, namun dalam ketentuan yang
terbatas.
Aspek rasionalistis falsafah Aristoteles mencapai puncaknya pada Ibnu Rusyd
(520/1126-595 H./1198 M). Ia merupakan tokoh yang paling berpaham Aristoteles
dikalangan paripatetik muslim. Puncak kesempurnaan yang dicapai oleh Ibnu Rusyd
adalah usahanya dalam memadukan antara falsafah dan agama. Bahkan ia
berpendapat bahwa agama Islam secara inheren adalah agama yang filosofis,
karena agama mewajibkan kita berfalsafah.
Ibnu Rusyd diakui sebagai pengikut termurni Aristoteles di antara failosuf
muslim. Ia adalah komentator terbesar abad pertengahan tentang Aristoteles. St.
Tomas menyebutnya “sang komentator” dan Dante menamakannya orang yang membuat
komentar hebat”. H.A. Walfson menyebutnya “seorang ahli terkemuka tentang
falsafah abad petengahan dan khususnya perihal Aristoteles”. Gelar-gelar
ini memang tepat untuknya, karena ia telah berusaha dengan sungguh-sungguh
untuk mengembalikan falsafah Aristoteles kepada kemurniannya yang semula,
setelah falsafah itu sampai ketangan orang-orang Islam bercampur dengan
berbagai aliran berfalsaafat, dan berbagai fikiran dan pemahaman.
Memang disadiri bahwa Ibnu Rusyd adalah seorang Aristotelean yang dapat
dikatakan sangat mengaguminya dan pengikut yang setia. Ibnu Sab’in menyebutkan
bahwa Ibnu Rusyd mengikuti pemikiran Aristoteles dengan penuh kesadaran, dengan
akal dan perasaan, seolah-olah Aristoteles adalah seorang laki-laki yang
bersifat ilahi. (nabi, pen.) yang tidak pernah bersalah.
Didalam pengantar kaitan fisika (al-Tabi’iyat) Ibnu Rusyd mengatakan:
“pengarang kitab ini Aristoteles, failosuf Yunani yang paling agung dan jenius.
Peletak pertama ilmu logika, fisika, dan metafisika, dan sekaligus dengan cara
yang paling sempurna, yang tidak pernah dicapai oleh para failosuf sebelum dan
sesudahnya. Orang yang datang sesudahnya tidak dapat berbuat sesuatu melebihi
Aristoteles, dan orang selalu mengambil darinya. Sampai saat ini (masa Ibnu
Rusyd, pen.) orang tidak pernah menambahkan sesuatu yang baru dan tidak
pernah menemukan sesuatu yang salah dan keliru dari
Aristoteles Aristoteles. Ini sungguh aneh dan luar biasa, mu’jijat. Kata
Ibnu Rusyd, karena semua ilmu ini (logika, fisika dan metafisika) telah
berkumpul pada diri satu orang. Karena diistimwakannya itu ia lebih pantas
disebut sebagai seorang pribadi yang bersifat illahi ketimbang pribadi
manusiawi.
Malahan lebih lanjut lagi Ibnu Rusyd mengatakan, bahwa ajaran Aristoteles
adalah kebenaran tertinggi (al-Haqq al-a’la) dan sesuatu tertinggi yang pernah
tercapai oleh seorang manusia peripurna. Ajarannya adalah kebenaran obsolut
(al-haqiqah al-muthlaqah), yaitu yang pernah dicapai oleh tingkatan akal
manusia yang tertinggi. Aristoteles termasuk orang yang disebutkan dalam firman
Allah (al-haddid, 57:21)” itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada yang
dikehendaki-Nya.
Memang Ibnu Rusyd, dilihat dari suatu pandangan sejarah falsafah di Eropa
Barat, dianggap sebagai penafsiran Aristoteles yang terbesar disepanjang masa.
Ibnu Rusyd menjadi sumber-sumber utama Aristoteleanisme abad pertengahan. Dan
untuk jangka waktu lama ia dipandang sebagai pemikir muslim yang paling besra
pengaruhnya di Barat. Keyatannya, sebagian besar karyanya yang masih ada waktu
ini adalah versi Latin dan Ibrani, bukan dalam bahasa Arab. Demikian juga lahir
suatu gerakan yang terkenal dengan “Latin Averroist”.
Jika sepeninggal Ibnu Rusyd,
falsafahnya tidak mendapat penghargaan yang wajar dari dunia Islam sendiri,
namun dalam lingkungan Yahudi dan Kristen memberikan penghargaan yang
tingi-tingginya terhadap Ibnu Rusyd dan berkembang menjadi salah satu bahan
pokok pembangkitan intelektual di dunia Eropa. Jika didunia Barat banyak sekali
yang tercatat sebagai murid dan pengikut Ibn Rusyd, seperti Maimonides seorang
Yahudi, Josep ibn Judah muridnya, Siger de Brabat dan lain-lain, maka di dunia
Islam Ibn Rusyd hampir tidak mempunyai murid atau penerusnya.
Kenyataan bahwa kaum muslim banyak memanfaatkan metode berfikir logis
menurut logika formal (sillogisme) Aristoteles, cukup sebagai bukti
betapa jauhnya ajaran Aristoteles dikalangan orang-orang Islam. Hingga sampai
saat ini logika Aristoteles tetap merupakan ajaran pokok dalam
pesantren-pesantren dan perguruan tinggi. Pengaruhnya tidak hanya terbatas
dikalangan failosuf dan teolog, tetapi juga masuk kedalam ulama dan tafsir. Disamping
banyak yang terpengaruh oleh Aristoteleanisme, terdapat pula orang-orang yang
kontra terhadapnya, yaitu dari kalangan bahasa, Ibn Taimiyah , Ibn Qayyim
al-Jauziyah, al-Syuhrawardi dan lain-lain.
Memang tidak ada alasan untuk mengatakan bahwa pemikiran Islam tidak
mengenal pengaruh dari pemikiran Yunani dan lainnya, tapi bagi orang
Islam pemikiran Yunani bukan hanya satu-satunya yang mereka miliki, di samping
itu mereka juga memiliki al-Quran, yang oleh Ibn Rusyd disebutkan bahwa, kitab
yang secara inheren mengandung nilai-nilai filosofis, karena al-Quran
mengajarkan pada kita berfilsafat. Akal dan wahyu akan selalu sejalan dan
harmonis, tidak bertentangan, sebab akal adalah pemberian Tuhan, ia merupakan
suatu kebenaran, wahyu juga pemberian Tuhan, juga suatu kebenaran; maka
kebenaran itu tidak akan bertentangan dengan kebenaran, malah saling menguatkan
dan mengokohkan.
Kita tidak menolak bahwa pemikiran falsafah Islam terpengaruh oleh
falsafah Yunani, para filosof muslim meminjam sebagian besar pandangannya dari
Plato, Aristoteles, Neo Platonisme dan lain-lain. Akan tetapi kita juga
bertanya, siapakah yang tidak pernah menjadi murid dari orang yang
mendahuluinya dan tidak terkena pengaruh dari para pendahulunya? Kita saja
generasi abad ke-20 selalu menggantungkan diri kita dalam banyak hal kepada
kajian Yunani dan Rumawi. Tentu saja benar-benar salah dan keliru jika kita
berpendapat bahwa belajar dan berpengaruh dari pendahulu kita adalah
meniru dan membebek semata-mata, dan mengatakan bahwa falsafah Islam hanyalah
copy naskah yang dinukil dari Aristoteleanisme, Neo Platonisme, dll.
Transformasi dan peminjaman beberapa pemikiran tidak harus
mengkonsekwensikan perbudakan dan perhambatan. Maka satu ide dapat dibahas oleh
banyak orang, dan tidak lama segera tanpil atas prakasa mereka di dalam
berbagai macam fenomena. Seorang failosuf berhak mengambil pandangan orang
lain, tetapi hal itu tidak menghalanginya untuk membawa teori-teori dan
falsafahnya sendiri. Spinoza, misalnya, walaupun dengan secara jelas sebagai
pengikut Deskrates, tetapi ia dianggap memiliki pandangan-pandangan filosofis
yang berdiri sendiri. Begitu pula kaum rasionalis Islam, para teolog dan
failosuf, walaupun sebagai murid yang murni dari Aristoteles atau Neo
Platonisme, tetapi mereka mempunyai pandangan tersendiri yang tidak pernah
dikatakan oleh failosuf Yunani.
Banyak persoalan pokok falsafat yang tidak terdapat dalam falsafat Yunani
mendapatkan pembahasan pokok dalam falsafat Islam. Kaum rasionalis Islam, para
teolog dan failosuf, disamping membahas persoalan falsafat dan agama secara
terpadu, mereka juga membahas masalah baik dan buruk, pahala dan dosa, tanggung
jawab pribadi dihadapan Tuhan, kebebasan dan keterpaksaan (determenisme),
kehidupan sesudah mati, surga dan neraka, teori tentang kenabian, mu’jizat.
Asal-usul penciptaan, dsb., yang kesemuannya itu bagian integral dari ajaran
Islam, dan sedikit sekali terdapat hal serupa dalam hellenisme.
Dalam artian, bahwa dalam suatu pinjaman dan utang dari pemikiran asing dengan
cara yang selectif adalah logis dan wajar, tetapi kemudian kaum rasionalis
Islam melestarikan dan mengembangkannya, yang kalau tidak karena mereka
tentu peradaban Yunani itu menjadi hilang ditelan masa dan tidak akan ada orang
yang mengenalinya secara baik pada saat ini. Karena merekalah yang mewariskan
peradaban Yunani itu kepada generasi yang akan datang sesudahnya. Di samping
itu persoalan-persoalan baru yang mereka bahas, yang tidak terdapat pada
peradaban asing, telah merupakan sumbangan yang tidak ternilai artinya terhadap
peradaban umat manusia.
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
3.1.
Kesimpulan
dan Saran
Hari ini kita telah berfilsafat, besok kita berfilsafat, entah kapan
berakhirnya…. Semua orang berfilsafat, dan kita telah membuktikan bahwa filsafat
Islam telah dikenal luas dalam pemikiran peradaban manusia baik di kalangan
Islam sendiri maupun dimancanegara . Sebagaimana filsafat lain, Filsafat Islam
memiliki posisi yang amat penting dalam dunia pemikiran filsafat. Bahkan orang
Barat tidak akan mengenal filsafat juga sains tanpa kontribusi Islam, terutama
pemikiran rasionalistik Ibnu Rushd yang menjadi motifasi timbulnya renaisans di
Eropa yang kemudian membuat kemajuan Barat sekarang.
Makalah ini akan ada artinya jika kita yang hidup hari ini mampu
menangkap sinyal yang diisyaratkan oleh para filosof Islam juga saintisnya dan
mengaplikasikannya dengan kondisi kekenian. Mengenal filsafat Islam, berarti
kita harus mampu menyelaminya. Pemakalah ingin menutup makalah ini mengutip
ungkapan seorang filosof seperti yang tertera dalam kitab al- Falsafah fi Athariha al-Tarikhi oleh Taufiq Tawil ;
“ Saya bukanlah seorang ahli pengetahuan , karena ahli pengetahuan itu
khusus untuk Tuhan saja, saya adalah seorang Filosof , yakni pencinta ilmu
pengetahuan”
Dari berbagai uraian tersebut diatas maka dapat disimpulkan bahwa
filsafat Islam adalah suatu ilmu yang didalamnya terdapat ajaran Islam dalam
membahas hakikat kebenaran segala sesuatu. Filsafat Islam adalah filsafat yang
diterapkan berdasarkan pada hukum Islam. Ia merupakan filsafat khusus dan
objeknya tertentu, yaitu hukum Islam.
Adapun hubungan filsafat Islam dengan filsafat Yunani adalah
sebagai pengembang, penerus sekaligus pelopor filsafat yang bercorak Islam.
Filsafat Islam itu lahir karena dilatarbelakangi oleh adanya usaha penerjemahan
naskah-naskah ilmu filsafat Yunani ke dalam bahasa Arab yang telah dilakukan
sejak masa klasik Islam, yakni pada masa Khalifah Abbasiyah.
Filsafat Islam mempunyai
orisinilitas dan otentisitas tersendiri yang berbeda dengan filsafat Yunani.
Memang betul dalam beberapa hal filsafat Islam ada yang terpengaruh dari
pemikiran Yunani dan peradaban lainnya, namun itu tidak menghilangkan ciri
keislamannya, yaitu berupa pandangan hidup yang bersumber dari al-Qur’an dan As-Sunnah.
Jika megacu kepada
al-Qur’an, jelas tidak benar jika Islam dituduh tidak mampu membuat kreasi dan
mendatangkan hal baru di hadapan konsep-konsep filsafat Yunani. Sebab al-Qur’an
telah banyak berbicara tentang Tuhan, manusia, alam semesta dan moralitas yang
sama sekali berbeda dengan yang pernah difikirkan oleh bangsa Yunani.
DAFTAR
PUSTAKA
R. Slamet Imam Santoso. 1977. Sejarah Perkembangan Ilmu Pengetahuan. Jakarta: Sastra Hudaya
Bertrand Russell. 1974. History of Western Philosophy, London: George Allen/Unwin LTD
Ahmad Amin,
Fajr al-Islam, 1978. Maktabah al-Nahdhah
al-Mishriyah, Kairo
M. Abd al-Sattan Nasr, al-Madrasah al-Salafiyah wa
Mauqif Rijaluha min al-Manthiq, (Kairo: Dar al-Anshar, 1976)
Jalal al-Din al-Sayuthiy, Shaun al-Manthiq wa
al-Kalam, ed. Ali Sami al- Nasysyar, (Kairo: Tanpa Penerbit, 1947)
Ali Sami al-Nasysyar, Manahijal-Bahts inda
Muffairi al-Islam (Kairo: Dar al-Ma’rif, 1978)
Majid
Fakhri, Sejarah Filsafat Islam, Ter. (jakarta:Pustaka Jaya, 1986)
Harun Hadiwijono,
Sari Sejarah Filsafat Barat I. (jakaera:Pustaka Jaya, 1986)
Muhammad
Yusuf Musa, Bain al-Din wa al-Falsafah, (Mesir: Dal al-Ma’arif, 1968)
Djemil
Shaliba, Min Aflaton ila Ibn Sina, (Bairut: Dar al-Andalas, 1981)
De lacy O’
Leary, D.D., How Greek Science Passed to the Arab, (London: 1957)
Ali Sami al-Nasysyar, Manajih, h. 31. Lihat juga T.j
De Boer, The History of Philosophy in Islam, (New York: Dover Publication,
Inc., 1967)
Nuchalis
madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, (Jakarta: Paramadina, 1992)
Djemil Shaliba, Tarekh al-Falsafah al-Arabiyah,
(Bairut: Dar al-Kitab a-Libnaniy, 1973)
Harun Nasution, Falsafah dan Mistisisme dalamIslam,
Jakarta: Bulan Bintang, 1978)
Ibn
al-Nadin, Al-Fihrist, (Bairut: Dar al-Ma’rifah, 1978)
George N.
Attyeh, Al-Kindi Tokoh Failosuf Muslim, (Bandung: Pustaka, 1983)
Ibrahim
Madkour, Fi al-Falsafah al-Islamiyah II, (Mesir Dar al-Ma’arif, 1976)
Seyyed Hossen Nasr, Science and Civilization in Islam,
(Massachusetts: Cambridge, 1968)
Usaha pemaduan al-Kindi ini lebih jauh dapat
dilihat pada M. ‘Atif al-iragi, Mazhab Falasifah al-Masyriq, (Kairo: Dar
al-Ma’arif, 1978)
Dalam hal ini al-Farabi menulis sebuah buku khusus
yang bernama: Kitab al-Jam’u Batin Ra’yi al-Hikimain.
Harun
Nasution, Falsafah
Ibn Rusyd, Fashl al-Maqam fi ma bain al-Hikmah wa
al-Syari’ah min al-Ittishal, ed. M. Emara (Kairo: Dar al-Mairrif 1972)
Djemil
Shaliba, Min Aflaton ila Ibn Sina
Ernest Renan, Ibn Rustd wa al-Rusydiyah, terj. Adil
Zu’aitir (Kairo:Isa al-Babi al-Halabi, 1957)
Nurcholis
Madjid, ed., Khasanah Intelektual Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1948)
Ibrahim
Madkour, Fi al-Falsafah al-Islamiyah-I,
Muzairi.
2009. Filsafat Umum. Yogyakarta:
Teras
Akhyar Yusuf Lubeis. 2011. Pengantar Filsafat Ilmu Pengetahuan. Depok: Koekoesan
Mustofa.
2009.Filsafat Islam. Bandung: CV
Pustaka Setia
http://taufikrahmatullah.wordpress.com/2013/01/07/perbedaan-mendasar-filsafat-islam-dan-barat_/
20:00 wib /21/04/214
A. Mustofa, Filsafat Islam,
Pustaka Setia, Bandung, 2009
Nurcholish
Madjid, “Memahami Hikmah dalam Agama” dalam Kehampaan Spiritual Masyarakat
Modern, Mediacita, Jakarta, 2000
http://www.google.com/url?q=http://anongscolection.files.wordpress.com/2012/01/hubungan-filsafat-islam-dengan-filsafat-yunani.doc&sa=U&ei=2VhWU_rnlePtiAfjgoG4Cw&ved=OCBYQFjAAOAo&usg=AFQjCNGPLLuXFPJaXrCUSkZi61042uOi2g
19:00/22/04/2014