Jumat, 01 Februari 2019

Haruskah aku seperti Khadijah atau Fatimah : Ungkapkan atau menunggu


Bismillah,,
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.....
Saya ingin sedikit cerita, usia saya dalam beberapa hari kedepan akan menjumpai angka 24 (semoga sampai kesana) aamiin. Pertanyaan kapan nikah ? sudah ada calon atau belum ? sudah sarjana loh, kenapa masih belum nikah ? nyari calon yang kaya gimana sih, jangan terlalu pemilih coba ?! dan pertanyaan pertanyaan serupa lainnya, Masyaa Allah itu sudah tidak asing lagi ditelinga saya, bukan hanya orang tua, teman, sahabat, rekan kerja bahkan tetanggapun juga menanyakan hal yang serupa, begitu pentingnyakah pernikahan saya bagi mereka-mereka itu ? atau mereka hanya sebatas ingin tahu saja ? wallahu a'lam

Lantas kenapa masih belum menikah ?

Tulisan ini saya persembahkan untuk kalian para wanita shalihah yang selalu ditanya kapan nikah

Beberapa hari yang lalu saya membaca postingannya mbak Ummu Hanif Alfatih, dan Masyaa Allah saya sangat setuju sekali dengan tulisan beliau, benar sekali bahwa cepat atau lambatnya pernikahan seseorang itu tidak ditentukan oleh keelokan fisiknya, pendidikannya, tidak oleh hitungan logika bahkan oleh diri kita sendiri, namun itu semua karena Allah belum menakdirkannya, maka berprasangka baiklah pada-Nya, bahwa semuanya berjalan sesuai kehendak-Nya yang tentunya itu yang terbaik buat kita, karenaboleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia Amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui". (Q.S. Al-Baqarah: 216) 

Jadii... Keep Husnudzon aja sama Allah dan berbahagia, karena menikah bukanlah satu-satunya jenis ibadah yang Allah syariatkan untuk kita, masih banyak ko ibadah-ibadah lainnya yang mungkin bahkan belum tersentuh sama sekali oleh kita. Ketika kita belum bisa memasuki satu kebaikan, kebaikan yang lain masih banyak, kita bisa mengambil pintu-pintu kebaikan yang lainnya. 

Teringat dengan kisah Siti Fatimah putri Rasulullah SAW dan Sayyidina Ali bin Abu Thalib, yang mana dari kisah keduanya kita tahu bahwa perlu bertahun-tahun bagi Ali untuk memantaskan diri agar bisa menjadi pendamping hidup Fatimah, bahkan Ali mencoba mengikhlaskan bila pada kenyataannya kelak Fatimah memang bukan jodohnya. Begitupun dengan Fatimah, nampak diam dan tenang, tapi doanya menembus langit. 

Maka sekali lagi, berbahagialah bagi kita yang masih diberi kesempatan oleh Allah untuk memantaskan diri dalam penantian menunggu dipertemukannya dengan jodoh kita, dengan memperbanyak istighfar dan taubat, memperbanyak doa dan yakin bahwa doa kita akan dikabul oleh Allah, serta ikhtiar mencari calon yang shaleh dengan cara yang syar'i, dan mengisi waktu dengan amal shaleh (menuntut ilmu,  berbakti kepada orang tua, menghafal al-quran, sering-sering berada di majlis ilmu serta masih banyak kebaikan-kebaikan lainnya).

Atau kita bisa belajar dari bunda Khadijah, wanita cerdas, pemberani dan terhormat. Dengan kecerdasannya bunda Khadijah tau  bagaimana harus bersikap ketika beliau menginginkan seseorang untuk menjadi pendampingnya. 

Jadi... mau belajar dari bunda Khadijah ataupun dari Siti Fatimah, sama-sama baik, selagi kita tetap dalam kesabaran. Sabar dalam menaati Allah, sabar dari menghindari maksiat kepada Allah, serta sabar dalam menerima takdir-Nya, dan semoga Allah mendatangkan untuk kita jodoh yang shaleh yang tepat untuk kita, aamiin :) 

Seputar Tanaman Kuping Gajah dan Manfaatnya Bagi Kesehatan


Bismillah,,
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.....
Kenalin nih sicantik kuping gajah, tanaman hias satu ini sudah pasti tidak asing lagi, karna sudah banyak ditanam di hampir setiap rumah pecinta tanaman. Tanaman ini dinamakan kuping gajah karena daunnya yang lebar mirip kuping gajah dan juga untuk membedakan antara jenis anthurium daun dan anthurium bunga. Tanaman ini juga memiliki warna hijau tua  dengan kombinasi garis-garis putih yang menyebar ke seluruh bagian daunnya, adapun klasifikasinya yaitu :

Kingdom : Plantae 
Sub Kingdom : Tracheobionta 
Super Divisi : Spermatophyta 
Divisi : Magnoliophyta 
Kelas : Liliopsida 
Sub Kelas : Arecidae 
Famili : Araceae 
Genus : Anthurium 
Spesies : Anthurium crystallinum


Dan uniknya lagi tanaman ini bisa dirawat di dalam maupun di luar ruangan, 
menarik kan ? 
Adapun  cara merawatnya cukup simple sih, sama seperti kebanyakan tanaman lainnya, hanya saja si kuping gajah ini jangan disimpan di bawah cahaya matahari langsung, karena ia akan mudah layu jika berhadapan langsung dengan cahaya matahari, dan satu lagi pastikan media tanamnya selalu lembab agar dia bisa tumbuh dengan baik. 

Selain memiliki fungsi sebagai tanaman hias, sikuping gajah ini ternyata memiliki segudang manfaat bagi kesehatan, yuk kita simak baik-baik apasih manfaatnya bagi kesehatan 

Oke, jadi khasiat tersembunyi yang terkandung di dalam tanaman hias satu ini yaitu mampu mengobati beberapa penyakit, hal ini karena dalam tanaman tersebut terutama pada bagian daun dan batangnya terkandung sejumlah zat yang mampu berperan dalam hal pengobatan, diantaranya yaitu saponim, flavonoida, dan tanin yang semua itu memiliki sifat antiradang dan juga anti bakteri. Salah satunya yaitu dapat menyembuhkan bengkak pada organ mulut dan tenggorokan, caranya cukup mudah dan sederhana, anda cukup sediakan beberapa lembar daun kuping gajah yang sudah dicuci kemudian di rebus dengan menggunakan 1 gelas air selama kurang lebih 15 menit dengan nyala api sedang, setelah selesai lalu dinginkan kemudian saring air rebusan tersebut hingga kemudian diminum sekali habis. simple bukan ? :) 
Adapun khasiat lainnya yaitu dapat :
  • Mempercepat penuaan bisul 
  • Mencegah beberapa jenis penyakit kulit 
  • mencegah infeksi akibat kuman dan bakteri 

Demikian uraian seputar tanaman kuping gajah dan khasiatnya bagi kesehatan. 
Semoga bermanfaat :) 


Pola Hubungan Interaksi Pendidik dan Peserta Didik dalam Q.S al-Kahfi Ayat 70-71

Filsafat Ilmu : Aksiologi Ilmu (Relasi ilmu, etika dan tanggungjawab moral ilmuwan)

Base line : Sejarah Pendidikan Islam

Senin, 26 November 2018

Hadits Tarbawi : Akal, Qalbu dan Nafs Sebagai Potensi Manusia


BAB 1
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang Masalah

Pendidikan secara tidak langsung sangat berkaitan dengan proses belajar mengajar. Sebagai suatu sistem yang saling berhubungan proses belajar mengajar perlu memahami berbagai komponen-komponen pendidikan.
Diantara komponen-komponen pendidikan menurut Jamaludin dkk (2015:96), adalah siswa, guru, tujuan, materi, metode, evaluasi, dan lingkungan. Siswa merupakan elemen yang sangat penting dalam proses belajar mengajar, seorang guru tidak bisa dikatakan mengajar jika dalam proses pengajaran tidak ada siswa sebagai objek yang di didik.
Peserta didik sebagai manusia oleh Allah diberikan tiga potensi dasar Akal, Qalbu dan Nafs. Secara jelas Allah nyatakan dalam firmannya Qs. Qaf ayat 37 yang artinya : “Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai akal atau yang menggunakan pendengarannya, sedang Dia menyaksikannya.” Sedangkan dalam surat lain dinayatakan bahwa : dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaan” (QS al-Syams : 7-8).
Diantara ayat-ayat al-Qur’an yang menyatakan tentang potensi manusia sangatlah jelas lalu bagaimanakan dengan penjelasan hadits menyenai potensi manusia ?, lalu apakah implikasinya dalam pendidikan yang diterapkan khususnya Pai ?.

B.       Rumusan Masalah

Dari latar belakang masalah di atas dapat dibuat rumusan masalah sebagai berikut:
1.      Apa hadits yang meneangkan akal, qalbu dan nafs sebagai potensi manusia?
2.      Bagaimana takhrij mengenai hadits tersebut ?
3.      Bagaimana implikasi hadits akal, qalbu dan nafs sebagai potensi manusia dalam pendidikan ?

C.      Tujuan

Berdasarkan rumusan masalah di atas maka tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
1.      Untuk mengetahui hadits-hadits tentang akal, qalbu dan nafs sebagai potensi manusia
2.      Untuk mengetahui takhrij hadits akal, qalbu dan nafs sebagai potensi manusia
3.      Untuk mengetahui implikasi dari hadits tentang akal, qalbu dan nafs sebagai potensi manusia terhadap pendidikan

BAB II
PEMBAHASAN

A.    HADITS TENTANG POTENSI MANUSIA

1.    Hadits tentang akal sebagai potensi manusia
حَدَّثَنَا حَاجِبُ بْنُ الْوَلِيدِ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ حَرْبٍ عَنْ الزُّبَيْدِيِّ عَنْ الزُّهْرِيِّ أَخْبَرَنِي سَعِيدُ بْنُ الْمُسَيَّبِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّهُ كَانَ يَقُولُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا مِنْ مَوْلُودٍ إِلَّا يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ وَيُنَصِّرَانِهِ وَيُمَجِّسَانِهِ كَمَا تُنْتَجُ الْبَهِيمَةُ بَهِيمَةً جَمْعَاءَ هَلْ تُحِسُّونَ فِيهَا مِنْ جَدْعَاءَ
ثُمَّ يَقُولُا أَبُو هُرَيْرَةَ وَاقْرَءُوا إِنْ شِئْتُم (فِطْرَةَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ) الْآيَةَ حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْأَعْلَى ح و حَدَّثَنَا عَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ أَخْبَرَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ كِلَاهُمَا عَنْ مَعْمَرٍ عَنْ الزُّهْرِيِّ بِهَذَا الْإِسْنَادِ وَقَالَ كَمَا تُنْتَجُ الْبَهِيمَةُ بَهِيمَةً وَلَمْ يَذْكُرْ جَمْعَاءَ
Artinnya : Telah menceritakan kepada kami Hajib bin Al Walid telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Harb dari Az Zubaidi dari Az Zuhri telah mengabarkan kepadaku Sa'id bin Al Musayyab dari Abu Hurairah, dia berkata; "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam telah bersabda: 'Seorang bayi tidak dilahirkan (ke dunia ini) melainkan ia berada dalam kesucian (fitrah). Kemudian kedua orang tuanyalah yang akan membuatnya menjadi Yahudi, Nasrani, ataupun Majusi -sebagaimana hewan yang dilahirkan dalam keadaan selamat tanpa cacat. Maka, apakah kalian merasakan adanya cacat? ' Lalu Abu Hurairah berkata; 'Apabila kalian mau, maka bacalah firman Allah yang berbunyi: '…tetaplah atas fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrahnya itu. Tidak ada perubahan atas fitrah Allah.' (QS. Ar Ruum (30): 30). Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abu Syaibah; telah menceritakan kepada kami 'Abdul 'Alaa Demikian juga diriwayatkan dari jalur lainnya, dan telah menceritakan kepada kami 'Abd bin Humaid; telah mengabarkan kepada kami 'Abdurrazzaq keduanya dari Ma'mar dari Az Zuhri dengan sanad ini dan dia berkata; 'Sebagaimana hewan ternak melahirkan anaknya. -tanpa menyebutkan cacat.- (HR. MUSLIM - 4803).
2.        Hadits tentang qalbu sebagai potensi manusia
حَدَّثَنَا أَبُو نُعَيْمٍ حَدَّثَنَا زَكَرِيَّاءُ عَنْ عَامِرٍ قَالَ سَمِعْتُ النُّعْمَانَ بْنَ بَشِيرٍ يَقُولُ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ الْحَلَالُ بَيِّنٌ وَالْحَرَامُ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا مُشَبَّهَاتٌ لَا يَعْلَمُهَا كَثِيرٌ مِنْ النَّاسِ فَمَنْ اتَّقَى الْمُشَبَّهَاتِ اسْتَبْرَأَ لِدِينِهِ وَعِرْضِهِ وَمَنْ وَقَعَ فِي الشُّبُهَاتِ كَرَاعٍ يَرْعَى حَوْلَ الْحِمَى يُوشِكُ أَنْ يُوَاقِعَهُ أَلَا وَإِنَّ لِكُلِّ مَلِكٍ حِمًى أَلَا إِنَّ حِمَى اللَّهِ فِي أَرْضِهِ مَحَارِمُهُ أَلَا وَإِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ أَلَا وَهِيَ الْقَلْبُ
Artinya: Telah menceritakan kepada kami Abu Nu'aim Telah menceritakan kepada kami Zakaria dari 'Amir berkata; aku mendengar An Nu'man bin Basyir berkata; aku mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Yang halal sudah jelas dan yang haram juga sudah jelas. Namun diantara keduanya ada perkara syubhat (samar) yang tidak diketahui oleh banyak orang. Maka barangsiapa yang menjauhi diri dari yang syubhat berarti telah memelihara agamanya dan kehormatannya. Dan barangsiapa yang sampai jatuh (mengerjakan) pada perkara-perkara syubhat, sungguh dia seperti seorang penggembala yang menggembalakan ternaknya di pinggir jurang yang dikhawatirkan akan jatuh ke dalamnya. Ketahuilah bahwa setiap raja memiliki batasan, dan ketahuilah bahwa batasan larangan Allah di bumi-Nya adalah apa-apa yang diharamkan-Nya. Dan ketahuilah pada setiap tubuh ada segumpal darah yang apabila baik maka baiklah tubuh tersebut dan apabila rusak maka rusaklah tubuh tersebut. Ketahuilah, ia adalah hati". (HR. BUKHARI - 50)

3.        Hadist tentang Nafs sebagai potensi manusia
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا زَيْدُ بْنُ الْحُبَابِ أَخْبَرَنِي مُعَاوِيَةُ بْنُ صَالِحٍ حَدَّثَنِي رَبِيعَةُ بْنُ يَزِيدَ الدِّمَشْقِيُّ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَامِرٍ الْيَحْصَبِيِّ قَالَ سَمِعْتُ مُعَاوِيَةَ يَقُولُا إِيَّاكُمْ وَأَحَادِيثَ إِلَّا حَدِيثًا كَانَ فِي عَهْدِ عُمَرَ فَإِنَّ عُمَرَ كَانَ يُخِيفُ النَّاسَ فِي اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ
سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ يَقُولُ مَنْ يُرِدْ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّينِ وَسَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّمَا أَنَا خَازِنٌ فَمَنْ أَعْطَيْتُهُ عَنْ طِيبِ نَفْسٍ فَيُبَارَكُ لَهُ فِيهِ وَمَنْ أَعْطَيْتُهُ عَنْ مَسْأَلَةٍ وَشَرَهٍ كَانَ كَالَّذِي يَأْكُلُ وَلَا يَشْبَعُ
Artinya: Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abu Syaibah telah menceritakan kepada kami Zaid bin Al Hubab telah mengabarkan kepadaku Mu'awiyah bin Shalih telah menceritakan kepadaku Rabi'ah bin Yazid Ad Dimasyqi dari Abdullah bin Amir Al Yahshabi ia berkata, saya mendengar Mu'awiyah berkata; Hati-hatilah kalian dari hadits-hadits (palsu), kecuali hadits-hadits pada masa Umar bin Al Khaththab. Sesungguhnya Umar sangat ditakuti orang mengenai hukum-hukum Allah. Saya mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Siapa yang dikehendaki Allah menjadi baik, maka akan dipahamkan-Nya dengan kepahaman yang dalam tentang agama." Dan saya juga mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Aku ini adalah seorang bendahara. Maka siapa yang kuberi sedekah dan diterimanya dengan hati yang bersih, maka dia akan beroleh berkah dari harta itu. Tetapi siapa yang kuberi karena meminta-minta dan rakus, maka dia seperti orang yang makan yang tak pernah kenyang." (HR. MUSLIM - 1719)



B.       TAKHRIJ HADITS

1.    Hadits tentang akal sebagai potensi manusia
Matan hadits :
مَا مِنْ مَوْلُودٍ إِلَّا يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ وَيُنَصِّرَانِهِ وَيُمَجِّسَانِهِ كَمَا تُنْتَجُ الْبَهِيمَةُ بَهِيمَةً جَمْعَاءَ هَلْ تُحِسُّونَ فِيهَا مِنْ جَدْعَاءَ
Artinya: 'Seorang bayi tidak dilahirkan (ke dunia ini) melainkan ia berada dalam kesucian (fitrah). Kemudian kedua orang tuanyalah yang akan membuatnya menjadi Yahudi, Nasrani, ataupun Majusi -sebagaimana hewan yang dilahirkan dalam keadaan selamat tanpa cacat. Maka, apakah kalian merasakan adanya cacat? (HR. MUSLIM - 4803).
Dilihat dari matannya hadits ini merupakan hadits Qauni karena isinya berupa keadaan hal ihwal dan sifat tertentu. Dan menurut penisbatannya hadits ini merupakan hadits marfu’ karena matannya dinisbatkan kepada Nabi Muhammad saw yang berupa perkataan nabi saw.
Dilihat dari jalur periwayatannya hadits ini termasuk pada hadits ahad karena jumlah perawinya tidak mencapai jumlah perawi hadits mutawatir yaitu terdapat 3 jalur sanad. Berikut ini jalur sanad pada hadit riwayat muslim no 4803, memiliki 3 jalur sanad.
Biografi singkat perawi hadits muslim no. 4803 :
a.       Abdur Rahman bin Shakhr, merupakan sahabat beliau terkenal dengan nama Abu Hurairah, yang semasa hidupnya tinggal di madinah dan wafat tahun 57 H.
b.      Sa'id bin al Musayyab bin Hasan bin Abi Wahab bin 'Amru, merupakan Tabi’in kalangan tua, yang hidup di daerah madinah dan terkenal dengan nama Abu Muhammad wafat tahu 93 H. Beberapa ualama yang berpendapat tentang beliau; Ahmad bin Hambal ia berpandangan tentang beliau adalah ia Tsiqah (‘Adil), Abu Zur’ah Arrazy ia berpandangan tentang beliau adalah Tsiqah Imam; Adz Dzahabi ia berpandangan tentang beliau adalah imam, Ahadul A’lam, Tsiqah Hujjah, dan ahli Fiqih.
c.       Muhammad bin Muslim bin 'Ubaidillah bin 'Abdullah bin Syihab, merupakan kalangan tabi’ut Tabi’in kalangan pertengahan yang hidup di daerah madinah dan terkenal dengan nama Abu Bakar, wafat tanggal 124 H. Beberapa ulama yang berpendapat Ibnu Hajar al ‘Asqalani ia berpandangan tentang beliau adalah faqah hafidz mutaqin dan adz dzahabi ia berpandangan tentang beliau adalah seorang tohoh. Secara umum ia termasuk orang yang buruk hafalannya.
d.      Muhammad bin Al Walid bin 'Amir merupakan tabi’ut Tabi’in kalangan tua yang semasa hidupnya tinggal di negri Syams dan terkenal dengan nama Abu al Hudzail, wafat tahun 147 H. Beberapa ulama yang berpendapat tentang Muhammad bin Al Walid bin 'Amir; Ibnu Madini dan Abu Zur’ah dan An-Naza’i ia berpandangan tentang beliau adalah tsiqah (‘adil); ibnu Hibban menyebutnya dalam ‘ats tsiqaat; ibnu hajar al ‘Asqalani ia berpandangan tentang beliau adalah tsiqah tsabat, adz Dahabi  ia berpandangan tentang beliau adalah tsabat. Secara umum beliau termasuk tsiqah tsiqah atau tsiqah hafidz.
e.       Muhammad bin Harb,merupakan tabi’in kalangan biasa yang hidup di daerah syam dan terkenal dengan nama Abu ‘Abdullah wafat tahun 194 H. Beberapa ulama yang berpendapat tentang beliau adalah Abu Hatim ia berpandangan tentang beliau adalah Shalihul Hadits, Ibnu Hibban ia menyebut dalam ‘ats tsiqaat, ibnu hajar al ‘Asqalani ia berpandangan tentang beliau adalah tsiqah. Secara ulum ia termasuk tsiwah (‘adil).
f.       Hajib bin Al Walid bin Maymun merupakan Tabi’ul Atba’ kalangan tua yang tinggal di Syam wafat tahun 228 H. Beberapa ulama yang berpendapat tentang beliau adalah Abu Bakar Khatib dan Adz Dzahabi ia berpandangan tentang beliau adalah Tsiqah, Ibnu Hibban ia disebutkan dalam ‘ats Tsiqaat, ibnu Hajar al ‘Asqalani ia berpandangan tentang beliau adalah Shaduuq. Secara umum ia dipandang Shaduuq la ba’sa bih.
g.      Ma’mar bin Raosyid, merupakan tabi’ut Tabi’in kalangan tua yang tinggal di Yaman dan terkenal dengan nama Abu ‘Urwah yang wafat 154 H. Beberapa ulama Yahya bin Ma’in, al ‘Ajli dan Ya’kub bin Syu’bah ia berpandangan tentang beliau adalah Tsiqah, Abu Hatim ia berpandangan tentang beliau adalah Shalihul Hadits, an-Nasa’i ia berpandangan tentang beliau adalah Tsiqah Ma’mun, Ibnu Hibban ia disebutkan dapam ‘ats Tsiqaat, Ibnu Hajar al ‘Asqalani ia berpandangan tentang beliau adalah Tsiqah Tsabat. Secara umum ia dipandang buruk hafalannya.
h.      Abdul A’laa bin ‘Abdul A’laa merupakan tabi’ut Tabi’in kalangan pertengahan yang hidup di daerah Bashrah terkenal dengan nama Abu Muhammad, dan wafat tahun 189 H. Beberapa ulama berpandangan tentang beliau Yahya bin Ma’in, Abu Zur’ah, al ‘Ajli, Ibnu Hajar al ‘Asqalani, Adz Dzahabi ia berpandangan tentang beliau adalah Tsiqah, Abu Hatim ia berpandangan tentang beliau adalah Shalihul hadits, an Nsa’i ia berpandangan tentang beliau adalah laisa bihi ba’s, ibnu Hibban ia disebutkan dalam ‘ats Tsiqaat. Secara umum ia dipandang tsiqah (‘Adil).
i.        Abdullah bin Muhammad bin Abi Syaibah Ibrahim bin 'Utsma, merupakanTabi’ul Atba’ kalangan tua, yang hidup di daerah Kufah dan dikenal dengan nama Abu Bakar, wafat tahun 235 H. Beberapa ulama berpendapat; Ahmad bin Hambal ia berpandangan tentang beliau adalah Shaduuq, Abu Hatim ia berpandangan tentang beliau adalah tsiqah. Secara umum ia dipandang Tsiqah Hafidz (perawi yang mempunyai kredibilitas tinggi, dalam dirinya berkumpul sifat adil, dan hafalannya sangat kuat).
j.        Abdur Razzaq bin Hammam bin Nafi’, beliau termasuk Tabi’ut Tabi’in kalangan biasa, tinggal di daerah Yaman, dikenal dengan nama Abu Bakr wafat tahun 211 H. Secara umum ia dipandang Tsiqah Hafidz.
k.      Abdul Hamid bin Humaid bin Nashr, merupakan Tabi’ul Atba’ kalangan pertengahan yang hidup di daerah Himsh, dan wafat tahun 249 H. Ia lebih dikenal dengan nama Abu Muhammad. Secara umum dipandang Tsiqah (perawi dipandang bersifat ‘Adil dan kuat hafalannya.


Hadits muslim no.4803 memiliki beberapa hadits penguat diantaranya HR. Abu Daud no. 4091 :
حَدَّثَنَا الْقَعْنَبِيُّ عَنْ مَالِكٍ عَنْ أَبِي الزِّنَادِ عَنْ الْأَعْرَجِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كُلُّ مَوْلُودٍ يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ وَيُنَصِّرَانِهِ كَمَا تَنَاتَجُ الْإِبِلُ مِنْ بَهِيمَةٍ جَمْعَاءَ هَلْ تُحِسُّ مِنْ جَدْعَاءَ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفَرَأَيْتَ مَنْ يَمُوتُ وَهُوَ صَغِيرٌ قَالَ اللَّهُ أَعْلَمُ بِمَا كَانُوا عَامِلِينَ
Artinya: (ABUDAUD - 4091) : Telah menceritakan kepada kami Al Qa'nabi dari Malik dari Abu Az Zinad dari Al A'raj dari Abu Hurairah ia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Setiap bayi dilahirkan dalam keadaan fitrah, maka kedua orang tuannya-lah yang menjadikan ia yahudi atau nashrani. Sebagaimana unta melahirkan anaknya yang sehat, apakah kamu melihatnya memiliki aib?" Para sahabat bertanya, "Wahai Rasulullah, bagaimana dengan orang yang meninggal saat masih kecil?" Beliau menjawab: "Allah lebih tahu dengan yang mereka lakukan."
Hadits lainnya yang menjadi penguat sebagai berikut:
a. HR. Bukhari no 1270, 6110
b. Hr. Muslim no. 4803, 4805
c. HR. Tirmidzi No. 2064
d. Hr Ahmad no. 6884,  7387, 7463, 8206, 8739, 8049, dan 9851
e. HR. Malik no. 507

2.      Hadits Tentang Hati sebagai potensi manusia
Hadits Riwayat Bukhari no 50 yang bertema yang halal itu jelas dan yang haram juga jelas dan antara keduanya ada perkara yang syubhat.  Dan matan hadist ini adalah
الْحَلَالُ بَيِّنٌ وَالْحَرَامُ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا مُشَبَّهَاتٌ لَا يَعْلَمُهَا كَثِيرٌ مِنْ النَّاسِ فَمَنْ اتَّقَى الْمُشَبَّهَاتِ اسْتَبْرَأَ لِدِينِهِ وَعِرْضِهِ وَمَنْ وَقَعَ فِي الشُّبُهَاتِ كَرَاعٍ يَرْعَى حَوْلَ الْحِمَى يُوشِكُ أَنْ يُوَاقِعَهُ أَلَا وَإِنَّ لِكُلِّ مَلِكٍ حِمًى أَلَا إِنَّ حِمَى اللَّهِ فِي أَرْضِهِ مَحَارِمُهُ أَلَا وَإِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ أَلَا وَهِيَ الْقَلْبُ
Yang artinya: “"Yang halal sudah jelas dan yang haram juga sudah jelas. Namun diantara keduanya ada perkara syubhat (samar) yang tidak diketahui oleh banyak orang. Maka barangsiapa yang menjauhi diri dari yang syubhat berarti telah memelihara agamanya dan kehormatannya. Dan barangsiapa yang sampai jatuh (mengerjakan) pada perkara-perkara syubhat, sungguh dia seperti seorang penggembala yang menggembalakan ternaknya di pinggir jurang yang dikhawatirkan akan jatuh ke dalamnya. Ketahuilah bahwa setiap raja memiliki batasan, dan ketahuilah bahwa batasan larangan Allah di bumi-Nya adalah apa-apa yang diharamkan-Nya. Dan ketahuilah pada setiap tubuh ada segumpal darah yang apabila baik maka baiklah tubuh tersebut dan apabila rusak maka rusaklah tubuh tersebut. Ketahuilah, ia adalah hati".
Dari segi matannya hadits in merupakan hadits fa’li karena isinya berupa perbuatan penjelasan praktis terhadap aturan syari’at. Dan dari segi penisbatan matannya hadits ini merupakan hadits Qudsi karena isinya dinisbahkan kepada Dzat yang Maha suci, yaitu Allah Ta'ala, dan hadits yang dinukil dari Nabi Shallallahu 'alaihi Wa Sallam yang disandarkan beliau kepada Rabb-nya.
Dilihat dari segi kuantitas hadits in itermasuk pada Hadits ahad karena sanad pada hadits ini terdiri dari satu jalur sanad yaitu :
حَدَّثَنَا أَبُو نُعَيْمٍ حَدَّثَنَا زَكَرِيَّاءُ عَنْ عَامِرٍ قَالَ سَمِعْتُ النُّعْمَانَ بْنَ بَشِيرٍ يَقُولُ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Biografi singkat perawi:
a.       An-Nu'man bin Basyir Binb Sa'ad, merupakan orang dari kalangan sahabat, yang sering dipanggil Abu ‘Abdillah,  hidup di Kufah dan wafat tahun 65 H.
b.      Amir bin Syarahil, merupakan tabiin kalangan pertengahan, yang  dikenal sebagai Abu ‘Amru, hidup di kuffah dan wafat pada tahun 104 H. Menurut para ulama: Yahya bin Ma’in dan Abu Zur’ah ia merupakan orang yang Tsiqah (Adil), sedangkan menurut Ibnu Hajar al ‘Asaqalani ia merupakan Tabi’in yang Tsiqah masyhur, sedangkan menurut Adz Dzahabi ia merupakan seorang tokoh.
c.       Zakariya bin Abi Za'idah Khalid, merupakan seorang Tabi’in yang tidak pernah berjumpa dengan sahabat, ia terkenal dengan nama Abu Yahya, tinggal di Kufah dan meninggal tahun 148 H. Komentar ulama tentang Zakariya bin Abi Za’idah Khalid diantaranya menurut Yahya bin Ma’in merupakan orang yang shahih, menurut an-Nasa’i orang yan Tsiqah (adil), menurut Ibnu Hibban tersebut dalam ‘ats tsaqaat, menurut Ya’qub bin sufyan dan al Bazaar merupakan orang yang Tsiqah (adil), sedangkan menurut Ibnu hajar al-‘Asqalani dan adz Dzahabi merupakan tabi’in yang Tsiqah Yusallis, dan Adz Dzahabi menambahkan ia ta’biin yang diberi gelar alhafidz.
d.      Al Fadiol bin Dukain bin Hammad bin Zuhair, merupakan kalangan Tabi’ut Tabi’in kalangan tua, ia terkenal dengan nama Abu Nu’aim,  selama hidupnya berada di Kufah yang wafat pada tahun 218 H. Beberapa komentar pada ulama diantaranya;  An-Nasa’i ia merupakan Tsiqah ma’mun, menurut al-Ajli dan Ibnu Hajar al-‘Asqalani ia merupakan Tsiqah Tsabat, menurut Abu Hatim ar-Rozy ia merupakan orang yang tsiqah, sedangkan menurut Adz Dzahabi ia merupakan alhafidz.
Hadits ini di perkuat oleh Hadits-Hadits lain dalam kitab hadits diantaranya :
a.       Hadits riwayat Muslim nomor 2996 tentang mengambil yang halal dan meninggalkan yang haram (اخذ الحلال و ترك الشبهات)
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ نُمَيْرٍ الْهَمْدَانِيُّ حَدَّثَنَا أَبِي حَدَّثَنَا زَكَرِيَّاءُ عَنْ الشَّعْبِيِّ عَنْ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيرٍ قَالَ سَمِعْتُهُ يَقُولُ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ وَأَهْوَى النُّعْمَانُ بِإِصْبَعَيْهِ إِلَى أُذُنَيْهِ إِنَّ الْحَلَالَ بَيِّنٌ وَإِنَّ الْحَرَامَ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا مُشْتَبِهَاتٌ لَا يَعْلَمُهُنَّ كَثِيرٌ مِنْ النَّاسِ فَمَنْ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ اسْتَبْرَأَ لِدِينِهِ وَعِرْضِهِ وَمَنْ وَقَعَ فِي الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِي الْحَرَامِ كَالرَّاعِي يَرْعَى حَوْلَ الْحِمَى يُوشِكُ أَنْ يَرْتَعَ فِيهِ أَلَا وَإِنَّ لِكُلِّ مَلِكٍ حِمًى أَلَا وَإِنَّ حِمَى اللَّهِ مَحَارِمُهُ أَلَا وَإِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ أَلَا وَهِيَ الْقَلْبُ و حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا وَكِيعٌ ح و حَدَّثَنَا إِسْحَقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ أَخْبَرَنَا عِيسَى بْنُ يُونُسَ قَالَا حَدَّثَنَا زَكَرِيَّاءُ بِهَذَا الْإِسْنَادِ مِثْلَهُ و حَدَّثَنَا إِسْحَقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ أَخْبَرَنَا جَرِيرٌ عَنْ مُطَرِّفٍ وَأَبِي فَرْوَةَ الْهَمْدَانِيِّ ح و حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا يَعْقُوبُ يَعْنِي ابْنَ عَبْدِ الرَّحْمَنِ الْقَارِيَّ عَنْ ابْنِ عَجْلَانَ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ سَعِيدٍ كُلُّهُمْ عَنْ الشَّعْبِيِّ عَنْ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيرٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِهَذَا الْحَدِيثِ غَيْرَ أَنَّ حَدِيثَ زَكَرِيَّاءَ أَتَمُّ مِنْ حَدِيثِهِمْ وَأَكْثَرُ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْمَلِكِ بْنُ شُعَيْبِ بْنِ اللَّيْثِ بْنِ سَعْدٍ حَدَّثَنِي أَبِي عَنْ جَدِّي حَدَّثَنِي خَالِدُ بْنُ يَزِيدَ حَدَّثَنِي سَعِيدُ بْنُ أَبِي هِلَالٍ عَنْ عَوْنِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ عَامِرٍ الشَّعْبِيِّ أَنَّهُ سَمِعَ نُعْمَانَ بْنَ بَشِيرِ بْنِ سَعْدٍ صَاحِبَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ يَخْطُبُ النَّاسَ بِحِمْصَ وَهُوَ يَقُولُ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ الْحَلَالُ بَيِّنٌ وَالْحَرَامُ بَيِّنٌ فَذَكَرَ بِمِثْلِ حَدِيثِ زَكَرِيَّاءَ عَنْ الشَّعْبِيِّ إِلَى قَوْلِهِ يُوشِكُ أَنْ يَقَعَ فِيهِ
Artinya: (MUSLIM - 2996) : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Abdullah bin Numair Al Hamdani telah menceritakan kepada kami Ayahku telah menceritakan kepada kami Zakaria dari As Sya'bi dari An Nu'man bin Basyir dia berkata, "Saya mendengar dia berkata, "Saya pernah mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda -Nu'man sambil menujukkan dengan dua jarinya kearah telinganya-: "Sesungguhnya yang halal telah nyata (jelas) dan yang haram telah nyata. Dan di antara keduanya ada perkara yang tidak jelas, yang tidak diketahui kebanyakan orang, maka barangsiapa menjaga dirinya dari melakukan perkara yang meragukan, maka selamatlah agama dan harga dirinya, tetapi siapa yang terjatuh dalam perkara syubhat, maka dia terjatuh kepada keharaman. Tak ubahnya seperti gembala yang menggembala di tepi pekarangan, dikhawatirkan ternaknya akan masuk ke dalamnya. Ketahuilah, setiap raja itu memiliki larangan, dan larangan Allah adalah sesuatu yang diharamkannya. Ketahuilah, bahwa dalam setiap tubuh manusia terdapat segumpal daging, jika segumpal daging itu baik maka baik pula seluruh badannya, namun jika segumpal daging tersebut rusak, maka rusaklah seluruh tubuhnya. Ketahuilah, gumpalan darah itu adalah hati." Dan telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abu Syaibah telah menceritakan kepada kami Waki'. (dalam jalur lain disebutkan) Telah menceritakan kepada kami Ishaq bin Ibrahim telah mengabarkan kepada kami Isa bin Yunus dia berkata; telah menceritakan kepada kami Zakaria dengan isnad seperti ini." Dan telah menceritakan kepada kami Ishaq bin Ibrahim telah mengabarkan kepada kami Jarir dari Mutharif dan Abu Farwah Al Hamdani. (dalam jalur lain disebutkan) Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa'id telah menceritakan kepada kami Ya'qub yaitu Ibnu Abdurrahman Al Qari, dari Ibnu Ajlan dari Abdurrahman bin Sa'id semuanya dari As Sya'bi dari An Nu'man bin Basyir dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dengan hadits ini, hanya saja hadits Zakaria lebih sempurna dan lebih banyak daripada hadits mereka." Telah menceritakan kepada kami Abdul Malik bin Syu'aib bin Laits bin Sa'd telah menceritakan kepadaku Ayahku dari Kakekku telah menceritakan kepadaku Khalid bin Yazid telah menceritakan kepadaku Sa'id bin Abu Hilal dari 'Aun bin Abdullah dari 'Amir Asy Sya'bi bahwa dia pernah mendengar Nu'man bin Basyir bin Sa'd salah seorang sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, saat ia berkhutbah di hadapan manusia di daerah Himsh, dia berkata, "Saya pernah mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Sesuatu yang halal telah jelas dan yang haram juga telah jelas…." Kemudian dia menyebutkan seperti hadits Zakaria dari Asy Sya'bi, sampai sabdanya: "Dikhawatirkan akan terjatuh di dalamnya."
b.      Hadits riwayat Tirmidzi nomor 1126 tentang meninggalkan Syubhatما حاء في ترك الشبهات) )
c.       Hadits riwayat Ibnu Majah nomor 3974 tentang mehan diri dari Syubhat (الوقوف عند الشبهات )
d.      Hadits riwayat Ahmad nomor 17645 tentang hadits An-Nu’man bin Basyir dari Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam (حديث النُّعْمَانَ بْنَ بَشِيرٍ عن النبي صلى الله عليه و سلم) dan hadist no 17649 tentang  An-Nu’man bin Basyir dari Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam (حديث النُّعْمَانَ بْنَ بَشِيرٍ عن النبي صلى الله عليه و سلم)
e.       Hadits riwayat Dailami nomor 2419 tentang yang halal jelas dan yang harah telah jelas ( باب في : الحلال بين و الحرام بين )

3.      Hadits tentang Qalbu sebagai potensi manusia
a.       Matan hadist dan artinya:
مَنْ يُرِدْ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّينِ وَسَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّمَا أَنَا خَازِنٌ فَمَنْ أَعْطَيْتُهُ عَنْ طِيبِ نَفْسٍ فَيُبَارَكُ لَهُ فِيهِ وَمَنْ أَعْطَيْتُهُ عَنْ مَسْأَلَةٍ وَشَرَهٍ كَانَ كَالَّذِي يَأْكُلُ وَلَا يَشْبَعُ
Artinya: "Siapa yang dikehendaki Allah menjadi baik, maka akan dipahamkan-Nya dengan kepahaman yang dalam tentang agama." Dan saya juga mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Aku ini adalah seorang bendahara. Maka siapa yang kuberi sedekah dan diterimanya dengan hati yang bersih, maka dia akan beroleh berkah dari harta itu. Tetapi siapa yang kuberi karena meminta-minta dan rakus, maka dia seperti orang yang makan yang tak pernah kenyang." (HR. MUSLIM - 1719)
Dilihat dari bentuk wujud matannya hadits ini merupakan hadits Qauni karena isinya berupa keadaan tentang sifat tertentu yaitu jika Allah menghendaki seseorang maka ia akan diberikan kepahaman yang dalam tentang agama.
Sedangkan, Hadits ini merupakan hadits Qudsi’ karena hadits yang dinisbahkan kepada Dzat yang Maha suci, yaitu Allah Ta'ala, dan hadits yang dinukil dari Nabi Shallallahu 'alaihi Wa Sallam yang disandarkan beliau kepada Rabb-nya. sanadnya sampai kepada Rasul, dan juga maqbul dapat di amalkan, rawinya adil, tsiqoh hafizh dan juga langsung dari sahabat, matannya tidak ada kejanggalan karena rawinya ada yang sampai sahabat.
b.      Sanad hadits :





Dilihat dari jalur sanad, hadits ini termasuk pada hadits ahad, karena hadits ini hanya memiliki satu jalur sanad yaitu dari Mu’awiyah Bin abi Sufyan. Berikut ini bigrafi singkat perawi hadits pada hadits ini:
1)      Mu’awoyah bin Abi Sufyan Shakhr bin Harb bin Umayyah, dikenal dengan nama Muawiyah bin abi sufayan, merupakan kalangan sahabat yang hidup di syam dan wafat pada tahun 60 H
2)      Abdullah bin ‘amir bin Yasir, merupakan tabiin kalangan pertengahan yang lebih dikenal dengan nama Abu ‘Imran yang hidup di negri Syam dan wafat pada tahun 118 H. Diantara ulama yang berpendapat mengenai Abdullah bin Amir bin Yasir adalah ; al ‘Ajli, Ibnu Hajar Al Atsqalani dan an-Nasa’i berpendapat bahwa ia adalah orang yang adil (Tsiqah); Ibnu Hibban ia menyebutkan dalam ‘ats Tsiqaat.
3)      Rabi’ah bin Yazid, merupakan tabi’in dikalangan biasa yang lebih dikenal dengan Abu Syu’aib, yang semasa hidupnya di Syam dan wafat pada tahun 121 H. Diantara ulama yang berkomentar tentang Rabi’ah bin Yazid diantaranya Ya’kub Ibnu Syaibah, Ya’qub bin Sufyan, An-Nasa’i dan Ibnu Sa’d berpendapat ia adalah orang yang adil (tsiqah); Ibnu Hajar al-“asqalani ia berpendapat bahwa ia merupakan orang yang Tsiqah Abid; Ibnu Hibban menyebutkan dalam ‘ats Tsiqaat, dan Adz Dzahabi ia berpendapat faqih ahli damaskus. . Iah banyak meriwayatkan hadits dalam kitab haidts Ahmad sebanyak 22 hadits.
4)      Muawiyah bin Shalih bin Hudair, merupakan Tabi’ul atba’ kalangan pertengahan, yang dikenal dengan Abu ‘Amru yang hidup di Andalusia dan wafat tahun 158 H. Beberapa yang berkomentar tentang muawiyah bin Shalih bin Hudair adalah Ahmad bin Hambal, Yahya bin Ma’in, Al ‘Ajli, An Nasa’i mereka berkomentar tentangnya adalah tabi’ul Atba yang Adil (Tsiqah), abu Zur’ah berpendapat Tsiqah Muhaddits, Abu Hatim berpendapat shalihul hadits, ibnu hubban berpendapat dalam ‘ats tsiqaat, al-Bzzar berpendapat laisa bihi ba’s, ibnu hajar al-‘Asqalani berpendapat shaduuq tetapi ia sedikit ragu, dan Adz Dzahabi berpendapat ahaduuq imam. . Iah banyak meriwayatkan hadits dalam kitab haidts Ahmad sebanyak 91 Hadits.
5)      Zaid bin al Hubbab bin Ar Rayyan, merupakan kalangan Tabi’ut Tabi’in kalangan biasa yang dikenal dengan nama Abu Al Husain, yang dihup di Kufah dan wafat tahun 230 H. Beberapa ulama yang berkomentar adalah Yahya bin Ma’in, ad Daruquthni ia berpendapat bahwa zaid orang yang adil (Tsiqah), Abu Hatim ia berpendapat Shalih, dan Ibnu Hibban menyebutkan dalam ‘ats tsiqaat. Iah banyak meriwayatkan hadits dalam kitab haidts Ahmad sebanyak 126 Hadits.
6)      Abdullah bin Muhammad bin Abi Syaibah Ibrahim bin ‘Utsman merupakan kalangan Tabi’ul Atba’ kalangan tua yang dikenal dengan nama Abu Bakar yang hidup di Kufah dan wafat pada tahun 235 H. Ahmad bin Hambal berpendapat bahwa ia Shaduuq dan Abu Hatm berpendapat ia adalah orang yang adil (Tsiqah). Ia banyak meriwayatkan hadits dalam kitab Hadits Muslim sebanyak 1301 Hadits.
Dilihat dari Rawinya hadits ini merupakan hadits shahih yang diriwayatkan oleh Imam Muslim. Hadits ini diperkuat pula oleh 22 hadits-hadits lain dalam kitab hadits diantaranya:
حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ قَالَ أَخْبَرَنَا إِسْمَاعِيلُ قَالَ أَخْبَرَنِي عَبْدُ اللَّهِ بْنُ سَعِيدِ بْنِ أَبِي هِنْدٍ عَنْ أَبِيهِ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ يُرِدْ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهُّ فِي الدِّينِ
Artinya: (AHMAD - 2654) : Telah menceritakan kepada kami Sulaiman berkata; telah mengabarkan kepada kami Isma'il berkata; telah mengabarkan kepadaku Abdullah bin Sa'id bin Abu Hind dari ayahnya dari Ibnu Abbas; bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Barangsiapa yang dikehendaki oleh Allah kebaikan, niscaya Dia akan memahamkan dalam agama."

Hadits penguat lainnya diantaranya:
1)      Hadits Bukhari 3, no 69, 2884, dan 6768
2)      Hadits Ahmad 9 no 2654, 6896, 12928, 16234, 16 243, 16246, 16 273, 16305 dan nomor 16323.
3)      Hadits Darimi 4 nomor 226, 227, 228 dan 2590.
4)      Hadits Ibnu Majah 1 no 216
5)      Hdits Malik 2 nomor 1400 dan 1477
6)      hadits muslim 2, no 3549 dan 1721
7)      hadits tirmidzi 1 no 2569

C.      Istinbath Hadits dalam Praktik Pendidikan

1.    Implikasi Hadits Tentang Akal dalam Pendidikan
Telah menceritakan kepada kami Hajib bin Al Walid telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Harb dari Az Zubaidi dari Az Zuhri telah mengabarkan kepadaku Sa'id bin Al Musayyab dari Abu Hurairah, dia berkata; "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam telah bersabda: 'Seorang bayi tidak dilahirkan (ke dunia ini) melainkan ia berada dalam kesucian (fitrah). Kemudian kedua orang tuanyalah yang akan membuatnya menjadi Yahudi, Nasrani, ataupun Majusi -sebagaimana hewan yang dilahirkan dalam keadaan selamat tanpa cacat. Maka, apakah kalian merasakan adanya cacat? ' Lalu Abu Hurairah berkata; 'Apabila kalian mau, maka bacalah firman Allah yang berbunyi: '…tetaplah atas fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrahnya itu. Tidak ada perubahan atas fitrah Allah.' (QS. Ar Ruum (30): 30). Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abu Syaibah; telah menceritakan kepada kami 'Abdul 'Alaa Demikian juga diriwayatkan dari jalur lainnya, dan telah menceritakan kepada kami 'Abd bin Humaid; telah mengabarkan kepada kami 'Abdurrazzaq keduanya dari Ma'mar dari Az Zuhri dengan sanad ini dan dia berkata; 'Sebagaimana hewan ternak melahirkan anaknya. -tanpa menyebutkan cacat”.- (HR. MUSLIM - 4803).
Berdasarkan hadits di atas bahwa manusia terlahir dengan fitrahnya. Fitrah menurut KBBI yaitu sifat asal; kesucian; bakat; pembawaan. Fitrah yang disebut dalam hadits itu adalah potensi, yang merupakan bawaan dari setiap anak, sedangkan ayah ibu adalah lingkungan yang dapat berpengaruh besar terhadap perkembangan anak, sebagaimana yang dimaksud oleh para ahli pendidikan.
Konsep fitrah dalam pengertiannya sangat beragam, sebagaimana pengertian fitrah menurut al-Ghozali adalah suatu sifat dari dasar manusia yang dibekali sejak kelahirannya dengan keistimewaan berikut:
1.    Beriman kepada Allah
2.    Kemampuan dan kesediaannya untuk menerima kebaikan dan keburukan atas kemampuan untuk menerima pendidikan dan pengajaran.
3.    Dorongan ingin tahu untuk mencapai hakekat kebenaran yang merupakan daya untuk berpikir
4.    Dorongan biologis yang berupa syahwat dan insting
5.    Kekuatan-kekuatan dan sifat-sifat manusia yang dapat dikembangkan dan disempurnakan[1].
Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa manusia memiliki beberapa potensi yang dapat dikembangkan, dan pendidikanlah yang mempunyai peran utama dalam perkembangannya. Adapun pendidikan menurut Marimba adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani anak didik menuju terbentuknya kepribadian yang utama[2]. Sedangkan pendidikan dari segi masyarakat berarti pewarisan kebudayaan kepada generasi muda agar hidup tetap berlangsung. Dan dari segi individu pendidikan adalah pengembangan potensi-potensi yang sudah dimiliki sejak lahir[3].
Akal adalah suatu peralatan rohaniah manusia yang berfungsi untuk membedakan yang salah dan yang benar serta menganalisis sesuatu yang kemampuannya sangat tergantung luas pengalaman dan tingkat pendidikanformal maupun informal, dari manusia pemiliknya. Jadi, akal bisa didefinisikan sebagai salah satu peralatan rohaniah manusia yang berfungsi untuk mengingat, menyimpulkan, menganalisis, menilai apakah sesuai benar atau salah[4]. Adapun mayoritas ulama memahami akal dalam tiga ketegori. Pertama, merujuk pada potensi dasar manusia dalam berbicara, bersikap dan bertindak. Kedua, potensi dalam berusaha memahami dan meneliti premis-premis umum, sehingga mampu melakukan deduksi dan akumulasi premis-premis tentang tujuan dan kebaikan dalam hatinya. Ketiga,  validitas karakter primordial manusia, sehingga ia mampu mengetahui kualifikasi kategori baik-buruk, sempurna-cacat, sesuatu yang diperhatikannya[5]. Adapula ulama yang berpendapat dan meyakini bahwa ‘aql adalah hidayah yang telah ditanamkan (embedded) oleh Allah kedalam setiap manusia bisa menerima hidayah dan mengamalkannya[6]. Adapun menurut Imam Bawani bahwa akal merupakan substansi rohaniyah yang dengannya manusia dapat memahami dan membedakan kebenaran dan kepalsuan[7]  
Dari beberapa pengertian akal diatas dapat disimpulkan bahwa akal adalah suatu unsur rohaniyah manusia yang dengannya manusia dapat membedakan mana yang benar dan salah, mana yang baik dan buruk, sekaligus merupakan kemampuan untuk menerima ilmu pengetahuan.
Berkaitan dengan kehidupan, Islam datang dengan berbagai kosepnya. Islam akan tetap mampu menjadi alternative petunjuk yang benar dalam kehidupan. Dengan al-Quran dan hadits sebagai sumber utama, sebagaimana Nabi Muhammad SAW bersabda: “Aku telah tinggalkan pada kamu dua perkara. Kamu tidak akan sesat selama berpegang kepada keduanya, (yaitu) Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya. (Hadits Shahih Lighairihi, H.R. Malik; al-Hakim, al-Baihaqi, Ibnu Nashr, Ibnu Hazm. Dishahihkan oleh Syaikh Salim al-Hilali di dalam At Ta’zhim wal Minnah fil Intisharis Sunnah, hlm. 12-13)[8]. Islam mengatur segala kehidupan. Dalam mengatur kehidupan ini, ada yang dijelaskan secara rinci dan ada yang hanya disebutkan secara global. Salah satu yang diatur secara global adalah tentang pendidikan.
Akal yang diberikan kepada manusia merupakan potensi yang belum siap pakai, maka pendidikan akal berarti mengusahakan agar akal tersebut menjadi aktual[9]. Potensi ini akan berkembang menjadi baik jika disertai dengan pendidikan yang baik pula. Sebaliknya jika potensi dibiarkan akibatnya bisa fatal. Sebagaimana disebutkan dalam al-Quran Surah An-Nahl ayat 12
t¤yur ãNà6s9 Ÿ@ø©9$# u$yg¨Y9$#ur }§ôJ¤±9$#ur tyJs)ø9$#ur ( ãPqàfZ9$#ur 7Nºt¤|¡ãB ÿ¾Ín̍øBr'Î/ 3 žcÎ) Îû šÏ9ºsŒ ;M»tƒUy 5Qöqs)Ïj9 šcqè=É)÷ètƒ ÇÊËÈ                                        
Artinya: “dan Dia menundukkan malam dan siang, matahari dan bulan untukmu. dan bintang-bintang itu ditundukkan (untukmu) dengan perintah-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar ada tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang memahami (Nya)”
Dari ayat ini tampak jelas bahwa dengan menggunakan akal manusia dapat menyelidiki alam, karena hal ini menjadi titik tolak untuk memahami dan mengkaji alam juga untuk membuktikan kebenaran adanya yang Maha Pencipta.        
Pendidikan akal, tidak lain adalah untuk mengembangkan potensi dasar yang sudah ada sejak manusia lahir, tetapi masih berada dalam alternative berkembang menjadi akal yang baik, atau sebaliknya tidak berkembang sebagaimana mestinya. Dengan demikian maka tugas pendidiklah untuk mengembangkan potensi tersebut menjadi akal yang baik. Akal adalah potensi gaib yang tidak dimiliki oleh makhluk lain, yang mampu menuntun kepada pemahaman diri dan alam. Ia juga mampu melawan hawa nafsu. Sehingga dengan akalnya manusia bersedia menerima berbagai macam ilmu pengetahuan yang memerlukan pemikiran. Sebagaimana Rasulullah SAW bersabda yang berbunyi: “Tidak dijadikan oleh Allah suatu makhluk yang lebih mulia dari padanya kecuali daripada akal”[10]. Selain itu juga terdapat banyak ayat al-Quran yang menyatakan betapa pentingnya akal, diantaranya terdapat dalam surah al-Baqarah ayat 164 yang berbunyi :
¨bÎ) Îû È,ù=yz ÏNºuq»yJ¡¡9$# ÇÚöF{$#ur É#»n=ÏG÷z$#ur È@øŠ©9$# Í$yg¨Y9$#ur Å7ù=àÿø9$#ur ÓÉL©9$# ̍øgrB Îû ̍óst7ø9$# $yJÎ/ ßìxÿZtƒ }¨$¨Z9$# !$tBur tAtRr& ª!$# z`ÏB Ïä!$yJ¡¡9$# `ÏB &ä!$¨B $uŠômr'sù ÏmÎ/ uÚöF{$# y÷èt/ $pkÌEöqtB £]t/ur $pkŽÏù `ÏB Èe@à2 7p­/!#yŠ É#ƒÎŽóÇs?ur Ëx»tƒÌh9$# É>$ys¡¡9$#ur ̍¤|¡ßJø9$# tû÷üt/ Ïä!$yJ¡¡9$# ÇÚöF{$#ur ;M»tƒUy 5Qöqs)Ïj9 tbqè=É)÷ètƒ ÇÊÏÍÈ  
Artinya: Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan. (QS. Al-Baqarah: 164).
Dari keterangan di atas, jelas bahwa kedidikan akal sangat penting untuk realitas, baik yang kongkrit maupun gaib, terutama dalam pandangan Islam seperti kehidupan sesudah mati, surga, neraka, jin, malaikat dan lainnya. Pada prinsipnya, tujuan pendidikan akal adalah agar akal berkembang secara optimal dalam batas kualitas yang paling maksimal menurut ukuran ilmu dan ketakwaan secara seimbang, sehingga dengan ilmunya, manusia dapat menjalankan fungsinya.

2.    Implikasi Hadits Tentang Qalbu dalam Pendidikan
Telah menceritakan kepada kami Abu Nu'aim Telah menceritakan kepada kami Zakaria dari 'Amir berkata; aku mendengar An Nu'man bin Basyir berkata; aku mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Yang halal sudah jelas dan yang haram juga sudah jelas. Namun diantara keduanya ada perkara syubhat (samar) yang tidak diketahui oleh banyak orang. Maka barangsiapa yang menjauhi diri dari yang syubhat berarti telah memelihara agamanya dan kehormatannya. Dan barangsiapa yang sampai jatuh (mengerjakan) pada perkara-perkara syubhat, sungguh dia seperti seorang penggembala yang menggembalakan ternaknya di pinggir jurang yang dikhawatirkan akan jatuh ke dalamnya. Ketahuilah bahwa setiap raja memiliki batasan, dan ketahuilah bahwa batasan larangan Allah di bumi-Nya adalah apa-apa yang diharamkan-Nya. Dan ketahuilah pada setiap tubuh ada segumpal darah yang apabila baik maka baiklah tubuh tersebut dan apabila rusak maka rusaklah tubuh tersebut. Ketahuilah, ia adalah hati". (HR. BUKHARI - 50)
Hadits di atas dapat dipahami bahwa makna yang dimaksud pada kata الْقَلْبُ adalah hati, sehingga hadits tersebut mengandung pengertian akan pentingnya hati, dan dorongan untuk memperbaikinya. Akan tetapi, berbeda dengan pendapat  Zaghlul An-Najjar yang menyatakan bahwa maksud الْقَلْبُ dari hadits di atas adalah jantung. Dengan beralasan bahwa مُضْغَةً merupakan segumpal darah yang vital bagi tubuh. Hadits ini memuat secercah kemukjizat ilmiah, karena penyakit apapun kalau sudah menyerang hati atau jantung, maka ia akan merusaknya dan akhirnya akan merusak seluruh tubuh[11]. Hal ini karena jantung berfungsi memompa darah yang tidak bersih  (belum teroksidasi) dari bilik jantung bagian kanan ke paru-paru yang langsung melakukan proses oksidasi darah, lalu mengembalikan darah yang sudah bersih  (teroksidasi) dari paru-paru ke bilik jantung bagian kiri yang kemudian memompanya ke seluruh bagian tubuh[12].
Dengan demikian, jika kita memahami hati dalam dimensi fisiknya sebagai organ tubuh yang dapat diraba dan dalam dimensi spiritualnya sebagai sesuatu yang bersifat immateri dan tidak terlihat. Maka organ fisik hati merupakan pilar kehidupan tubuh, sehingga jika ia baik dan sehat, maka sehat dan baiklah semua tubuhnya, dan sebaliknya jika ia bobrok dan rusak, maka akan bobrok dan rusaklas seluruh tubuhnya. Sedangkan sebagai organ maknawi, hati merupakan pilar perasaan, keyakinan, nalar, pemikiran, pemahaman, akhlak dan budi pekerti. Sehingga jika ia baik dan shaleh, maka baik dan shaleh pula seluruh tubunya, namun jika ia bobrok dan bejat, maka bobrok dan bejat pula seluruh tubuhnya[13].
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa qalbu merupakan alat yang sangat strategis dan sangat vital bagi kehidupan manusia dalam mengabdi dan menuju kepada Allah, dan untuk kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Namun dalam realitas kesehariannya, banyak sekali qalbu manusia yang tidak berfungsi sebagaimana mestinya, hal ini karena qalbu selalu menjadi sasaran utama godaan syaitan. Maka dari itu perlu adanya upaya untuk mendidik qalbu agar dapat mengantarkan manusia untuk bermakrifat kepada Allah, sehingga terbentuklah akhlakul karimah dan akhlakul mahmudah dari pribadi-pribadi muslim muttaqin yang muqorrobin.
Dengan demikian, tugas pendidik adalah membimbing dan mengarahkan peserta didik agar hatinya tertuju kepada Allah SWT dengan cara:
1.    Istighfar, yaitu meminta ampun kepada Allah atas segala dosa dan kesalahan. Disini pendidik membimbing peserta didik untuk selalu beristighfar setiap selesai shalat, atau ketika marah, kesal dan ketika ada hal yang membuatnya emosi. Karena dengan beristighfar akan melapangkan dada seorang hamba dan mendatangkan rahmat Allah, sebagaimana firman Allah dalam QS. An-Naml; 46

Artinya: "Hai kaumku mengapa kamu minta disegerakan keburukan sebelum (kamu minta) kebaikan? hendaklah kamu meminta ampun kepada Allah, agar kamu mendapat rahmat". (QS. An-Naml: 46)
2.    Doa, yaitu memohon dan meminta kepada Allah atas segala keinginan. Tugas pendidik adalah mengajak peserta didik untuk membiasakan berdoa setiap hendak melakukan pekerjaan, misalnya berdoa ketika mau berangkat sekolah, mau belajar, mau ke kamar mandi, dan setiap aktivitas lainnya. Berdoa juga hendaknya dilakukan setiap selesai shalat.
3.    Shalawat, yaitu membaca salam kepada Nabi Muhammad SAW dengan menggunakan lafadz-lafadz tertentu. Shalawat kepada Nabi SAW merupakan ibadah yang telah diperintahkan oleh Allah SWT, terdapat dalam QS. al-Ahzab: 56
  
Artinya: “Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi[1229]. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya[1230].

[1229] Bershalawat artinya: kalau dari Allah berarti memberi rahmat: dari Malaikat berarti memintakan ampunan dan kalau dari orang-orang mukmin berarti berdoa supaya diberi rahmat seperti dengan perkataan:Allahuma shalli ala Muhammad.
[1230] Dengan mengucapkan Perkataan seperti:Assalamu'alaika ayyuhan Nabi artinya: semoga keselamatan tercurah kepadamu Hai Nabi.
4.    Dzikrullah, yaitu berusaha untuk selalu ingat kepada Allah dengan kalimat-kalimat tertentu dimana saja, kapan saja sepanjang hayat. Dzikrullah ini merupakan amalan paling utama dan merupakan jalan terdekat menuju Allah[14].
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa hadits tersebut memuat tentang eksistensi qalbu sebagai organ tubuh yang sangat berperan penting bagi tubuh kita. Qalbu bisa diartikan sebagai dimensi fisik yang berfungsi sebagai organ tubuh yang dapat dilihat dan diraba, dan sebagai dimensi spiritual sebagai sesuatu yang bersifat immateri dan tidak terlihat, sebagai pilar kehidupan tubuh, akhlak dan budi pekerti. Adapun mengenai kuantitas haditsnya tersebut merupakan hadits yang ahad yang bisa dijadikan sebagai patokan.

3.    Implikasi Hadits Tentang Nafs dalam Pendidikan
Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abu Syaibah telah menceritakan kepada kami Zaid bin Al Hubab telah mengabarkan kepadaku Mu'awiyah bin Shalih telah menceritakan kepadaku Rabi'ah bin Yazid Ad Dimasyqi dari Abdullah bin Amir Al Yahshabi ia berkata, saya mendengar Mu'awiyah berkata; Hati-hatilah kalian dari hadits-hadits (palsu), kecuali hadits-hadits pada masa Umar bin Al Khaththab. Sesungguhnya Umar sangat ditakuti orang mengenai hukum-hukum Allah. Saya mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Siapa yang dikehendaki Allah menjadi baik, maka akan dipahamkan-Nya dengan kepahaman yang dalam tentang agama." Dan saya juga mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Aku ini adalah seorang bendahara. Maka siapa yang kuberi sedekah dan diterimanya dengan hati yang bersih, maka dia akan beroleh berkah dari harta itu. Tetapi siapa yang kuberi karena meminta-minta dan rakus, maka dia seperti orang yang makan yang tak pernah kenyang." (HR. MUSLIM - 1719)
Berdasarkan hadits di atas menjelaskan bahwa berkah tidaknya suatu harta tergantung dari bagaimana keikhlasan dan kerakusan hati orang tersebut. Adapun kondisi tersebut bisa dikatakan dengan nafsu, yang mana nafsu itu adalah sesuatu yang lembut pada diri seseorang yang menimbulkan keinginan seseorang atau dorongan-dorongan hati yang kuat untuk memuaskan kebutuhan hidupnya, baik kebutuhan jasmani maupun rohani. Misalnya keinginan makan, minum, disanjung dihargai dan sebagainya. Karena itu sering disebut dengan hawa nafsu, yang mana hawa nafsu merupakan disenangi oleh jiwa kita, baik bersifat jasmani maupun yang bersifat maknawi. Nafs yang bersifat jasmani yaitu sesuatu yang berkaitan dengan kebutuhan tubuh kita seperti makanan, minuman, dan kebutuhan biologis lainnya. Adapun nafsu yang bersifat maknawi yaitu nafsu yang berkaitan dengan kebutuhan rohani, seperti nafsu ingin diperhatikan orang lain, ingin dianggap sebagai orang yang paling penting, nafsu ingin disanjung dan lain-lain. Nafs dalam kondisi tertentu dibutuhkan bagi kehidupan manusi, namun harus dikendalikan dengan baik agar tidak mengakibatkan pengaruh buruk/negative bagi manusia[15]. Hal ini sejalan dengan Quraish Sihab yang menyatakan bahwa secara umum dapat dikatakan bahwa nafs dalam kontek pembicaraan manusia menunjuk kepada sisi dalam manusia yang berpotensi baik dan buruk[16].  Nafs ini berisi impuls-impuls yang berupa rasa sedih, rasa benci, rasa iri hati, yang terkumpul dalam hati. Nafs  diciptakan oleh Allah dalam keadaan sempurna yang berfungsi menampung serta mendorong manusia berbuat kebaikan dan keburukan[17].
Dalam tasawuf, istilah nafs mempunyai dua arti. Pertama, kekuatan hawa nafsu amarah, syahwat dan perut yang terdapat dalam jiwa manusia, dan merupakan sumber bagi timbulnya akhlak. Kedua, jiwa ruhani yang bersifat lathif, ruhani, dan rabbani. Nafs dalam pengertian kedua inilah yang merupakan hakikat manusia yang membedakan dengan hewan dan makhluk lainnya[18]. Nafs juga dipahami sebagai ruh akhir atau ruh yang diturunkan Allah SWT, atau yang mendhohirkan ke dalam jasadiyah manusia dalam rangka menghidupkan jasadiyah itu, menghidupkan qalbu, akal pikiran, inderawi, dan menggerakkan seluruh unsur dan organ dari jasadiyah tersebut agar dapat berinteraksi dengan lingkungannya di permukaan bumi dan dunia ini[19].
Pada hakikatnya, nafs memiliki fungsi menggerakkan dan mendorong diri manusi untuk melahirkan beberapa hal, diantaranya mendorong dan menggerakkan otak manusia agar berpikir dan merenungkan apa-apa yang telah Allah ilhamkan berupa kebaikan dan keburukan. Sehinnga dapat menemukan hikmah-hikmah dari kedunya, serta mendorong dan menggerakkan qalbu yang ada dalam dada agar merasakan dua perasaan, yaitu perasaan ketuhanan dan perasaan kemakhlukan, agar menerima ilham dan penampakkan isyarat-isyarat ketuhanan yang abstrak dan tersembunyi[20].
Berdasarkan hadis di atas, dapat disimpulkan bahwa nafs itu terbagi menjadi dua yaitu nafsu jasmani yang berkaitan dengan kebutuhan tubuh kita seperti makanan, minuman, dan kebutuhan biologis lainnya. Dalam konteks kehidupan nafs ini bisa mendorong seseorang dalam mengeluarkan instruksi kepada jasmani untuk berbuat durhaka atau takwa, kekuatan yang dituntut pertanggungjawabannya atas perbuatan buruk dan baik. Salah satunya yaitu nafs kalbiyah yang artinya jiwa anjing, yaitu sebagai perumpamaan orang yang ingin memonopoli sendiri, sebagaimana kutipan hadis diatas yaitu  siapa yang kuberi karena meminta-minta dan rakus, maka dia seperti orang yang makan yang tak pernah kenyang”. Dalam dunia pendidikan, sebagai pendidik kita bisa mengajarkan, mencontohkan serta membimbing peserta didik agar membiasakan diri untuk mau berbagi dengan temannya ketika punya makanan, atau ketika temannya ada yang tidak membawa alat tulis, agar mau untuk meminjamkannya. Disini peserta didik dilatih untuk mau berbagi dan tidak memiliki sifat rakus, atau ingin memonopoli semuanya sendiri.
Adapun nafsu yang bersifat maknawi yaitu nafsu yang berkaitan dengan kebutuhan rohani, seperti nafsu ingin diperhatikan orang lain, ingin dianggap sebagai orang yang paling penting, nafsu ingin disanjung dan lain-lain. Oleh karenanya nafsu dapat menggerakkan dan mendorong diri manusia, sehingga nafsu ini dapat melahirkan semangat untuk beraktivitas, bekerja, belajar dan juga aktivitas lainnya. Dengan dorongan semangat tersebut maka apapun yang dikerjakan oleh seseorang maka hasilnyapun pasti akan bagus, misalnya ketika seorang guru berangkat ke sekolah dengan semangat yang tinggi untuk mengajar, maka ilmu yang disampaikan kepada siswapun akan berbeda hasilnya dengan ilmu yang disampaikan oleh guru yang kurang memiliki semangat dalam mengajar. Begitupun dengan siswa, jika dari rumah dia berangkat ke sekolah dengan keadaan kurang semangat, maka ilmu yang didapatnyapun akan berbeda dengan siswa yang berangkat ke sekolah dengan keadaan semangat untuk belajar.


BAB III
P
ENUTUP

A.      Simpulan
Dari penjelasan hadits di atas dapat disimpulkan bahwa akal, qalbu dan nafs memiliki pengaruh besar terhadap kelangsungan baik buruknya hidup seseorang. Dengan akal seseorang mampu mendapatkan ilmu pengetahuan, menentukan kebenaran dan kesalahan, membedakan kebaikan dan keburukan. Namun untuk menentukan tindakan benar dari yang salah, baik dari yang buruk maka perlu adanya pertimbangan hati. 
Hati ibarat pengemudi yang menentukan keselamatan atau kesengsaraan penumpangnya. Sehingga jika hati baik, maka perilaku anggota lahirpun akan baik. Jika hati buruk maka perilaku anggota lahirpun akan buruk.
Demikian juga nafsu kesenangan jika dilepaskan dari petunjuk akal dan arahan hati, maka akan melahirkan perilaku tercela dan merugikan. Manusia diberi nafsu makan, minum, seksual dan sebagainya agar anggota badan sehat dan melangsungkan keturunan. Manusia tidak bisa lepas dari nafsu, karena dengan nafsu manusia bisa bertahan hidup.
Begitupun dengan peserta didik, jika seseorang lebih unggul di kecerdasan akalnya, sedangkan qalbu dan nafs nya kurang, maka besar kemungkinan ia akan menjadi anak yang sombong, begitupun sebaliknya, jika seorang anak memiliki kecerdasan akal yang kurang maka ia akan tertinggal berada dibelakang, terlebih di zaman sekarang ini. Oleh karena itu perlu adanya keseimbangan antara ketiga hal itu, yaitu selalu mengasah kecerdasan menggunakan akal untuk mempertimbangkan semua hal yang akan kita lakukan, termasuk tambahan ilmu agama dan pengetahuan. Selain itu juga mengasah ketajaman perasaan dan kepekaan hati agar hati kita berfungsi dengan baik, agar bisa mengendalikan pikiran dan nafsu dalam setiap tindakan.




B.       Saran
Dengan selesainya makalah ini, bukan berarti seluruh pembahasan mengenai akal, qalbu dan nafs telah selesai dibahas tuntas. Makalah ini hanya sebagian kecil mengenai akal, qalbu dan nafs sebagai potensi manusia bukanlah penyempurna dari berbagai literatur yang membahas tentang akal, qalbu dan nafs sebagai potensi manusia.
Kepada pembaca yang merasa tertarik untuk membahas materi tentang akal, qalbu dan nafs guna menindak lanjuti dan memperdalam materi ini lebih lengkap lagi dengan senang hati kami mempersilahkannya.

DAFTAR PUSTAKA

An-Najjar, Zaghlul, 2006, “Pembuktian Sains dalam Sunnah”, Jakarta: Amzah
Hamdani Bakran Adz-Dzakiy. 2007. “Psikologi Kenabian; Prophetic Psychology: Menghidupkan Potensi dan Kepribadian dalam Diri”, Yogyakrta: Beranda Publishing
Hodri, 2013. “Penafsiran Akal Dalam Al-Quran”, Mutawwir: Jurnal Keilmuan Tafsir Hadits, Volume 3, Nomor 1
https://agorsiloku.wordpress.com/2010/09/21/konsep-nafs-dalam-al-qur%E2%80%99an/
https://id.wikipedia.org/wiki/Akal
http://man3tangerang.blogspot.com/2016/11/kedudukan-akal-nafsu-dan-qalbu.html
https://muslim.or.id/6966-kaedah-penting-dalam-memahami-al-quran-dan-hadits.html
http://nurdinmubarok.blogspot.com/2015/02/pendidikan-qolbu.html
http://www.wartamadrasahku.com/2016/04/pendidikan-akal-menurut-konsep-islam.html
Humaini. 2008. “Konsep Tazkiyatun Nafs dalam Al-Quran dan Implikasinya dalam Pengembangan Pendidikan Islam”. Malang: Skripsi
Jamaludin, KOmarudin, A., & Khoerudin, K. (2015). Pembelajaran Perspektif ISlam. Bandung: Remaja Rosdakarya.
 Lidwa software
M. Solihin. 2002, “Kamus Tasawuf”, Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Tafsir, Ahmad. 2014, “Ilmu Pendidikan Perspektif Islam”, Bandung: Remaja Rosdakarya
Zainudin, dkk, 1991, Seluk Beluk Pendidikan dari al-Ghozali, Jakarta: Bumi Aksara




[1] Zainudin, dkk, 1991, Seluk Beluk Pendidikan dari al-Ghozali, Jakarta: Bumi Aksara, hlm. 66-67
[2] Tafsir, Ahmad. 2014, “Ilmu Pendidikan Perspektif Islam”, Bandung: Remaja Rosdakarya, hlm. 24
[3] Muhaimin Abdul Mujib, 1993, “Pemikiran Pendidikan Islam (Kajian Filosofis dan Kerangka Dasar Operasionalisasinya), Bandung: Trigenda Karya, hlm 80 dalam http://www.wartamadrasahku.com/2016/04/pendidikan-akal-menurut-konsep-islam.html
[4] https://id.wikipedia.org/wiki/Akal
[5] Hodri, 2013. “Penafsiran Akal Dalam Al-Quran”, Mutawwir: Jurnal Keilmuan Tafsir Hadits, Volume 3, Nomor 1, hlm. 5
[6] Ibid. hlm. 5
[7] http://www.wartamadrasahku.com/2016/04/pendidikan-akal-menurut-konsep-islam.html
[8] https://muslim.or.id/6966-kaedah-penting-dalam-memahami-al-quran-dan-hadits.html
[9] Imam Bawani, 1987, “Segi-segi Pendidikan Islam” Surabaya: Al-Ikhlas, hlm 209 dalam http://www.wartamadrasahku.com/2016/04/pendidikan-akal-menurut-konsep-islam.html
[10] Imam Ghozali, Ihya Ulumuddin, Juz. 4, hlm. 102 dalam http://www.wartamadrasahku.com/2016/04/pendidikan-akal-menurut-konsep-islam.html
[11] An-Najjar, Zaghlul, 2006, “Pembuktian Sains dalam Sunnah”, Jakarta: Amzah, hlm. 60
[12] Ibid, hlm. 60
[13] Ibid, hlm. 64
[14] http://nurdinmubarok.blogspot.com/2015/02/pendidikan-qolbu.html
[15] http://man3tangerang.blogspot.com/2016/11/kedudukan-akal-nafsu-dan-qalbu.html
[16] M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Berbagai Persoalan Umat, (Bandung: Mizan, 1996), 285-286.
[17] https://agorsiloku.wordpress.com/2010/09/21/konsep-nafs-dalam-al-qur%E2%80%99an/
[18] M. Solihin. 2002, “Kamus Tasawuf”, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, hlm 153
[19] Hamdani Bakran Adz-Dzakiy. 2007. “Psikologi Kenabian; Prophetic Psychology: Menghidupkan Potensi dan Kepribadian dalam Diri”, Yogyakrta: Beranda Publishing, hlm.102
[20] Humaini. 2008. “Konsep Tazkiyatun Nafs dalam Al-Quran dan Implikasinya dalam Pengembangan Pendidikan Islam”. Malang: Skripsi