BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan secara tidak langsung
sangat berkaitan dengan proses belajar mengajar. Sebagai suatu sistem yang
saling berhubungan proses belajar mengajar perlu memahami berbagai
komponen-komponen pendidikan.
Diantara komponen-komponen pendidikan
menurut Jamaludin dkk (2015:96), adalah siswa, guru, tujuan, materi, metode,
evaluasi, dan lingkungan. Siswa merupakan elemen yang sangat penting dalam
proses belajar mengajar, seorang guru tidak bisa dikatakan mengajar jika dalam
proses pengajaran tidak ada siswa sebagai objek yang di didik.
Peserta didik sebagai manusia oleh
Allah diberikan tiga potensi dasar Akal, Qalbu dan Nafs. Secara jelas Allah
nyatakan dalam firmannya Qs. Qaf ayat 37 yang artinya : “Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan
bagi orang-orang yang mempunyai akal atau yang menggunakan pendengarannya,
sedang Dia menyaksikannya.” Sedangkan dalam surat lain dinayatakan bahwa : dan
jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa
itu (jalan) kefasikan dan ketakwaan” (QS al-Syams : 7-8).
Diantara ayat-ayat al-Qur’an yang
menyatakan tentang potensi manusia sangatlah jelas lalu bagaimanakan dengan
penjelasan hadits menyenai potensi manusia ?, lalu apakah implikasinya dalam
pendidikan yang diterapkan khususnya Pai ?.
B. Rumusan Masalah
Dari
latar belakang masalah di atas dapat dibuat rumusan masalah sebagai berikut:
1.
Apa hadits
yang meneangkan akal, qalbu dan nafs sebagai potensi
manusia?
2.
Bagaimana takhrij mengenai hadits tersebut ?
3.
Bagaimana
implikasi hadits akal, qalbu dan nafs sebagai potensi
manusia dalam pendidikan ?
C.
Tujuan
Berdasarkan rumusan
masalah di atas maka tujuan penulisan makalah
ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui hadits-hadits tentang akal, qalbu dan nafs sebagai potensi manusia
2. Untuk mengetahui takhrij
hadits akal, qalbu dan nafs sebagai potensi manusia
3. Untuk mengetahui implikasi dari hadits tentang akal, qalbu dan nafs sebagai potensi manusia terhadap
pendidikan
BAB II
PEMBAHASAN
A.
HADITS
TENTANG POTENSI MANUSIA
1.
Hadits
tentang akal sebagai potensi manusia
حَدَّثَنَا
حَاجِبُ بْنُ الْوَلِيدِ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ حَرْبٍ عَنْ الزُّبَيْدِيِّ
عَنْ الزُّهْرِيِّ أَخْبَرَنِي سَعِيدُ بْنُ الْمُسَيَّبِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ
أَنَّهُ كَانَ يَقُولُ قَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا مِنْ مَوْلُودٍ إِلَّا
يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ وَيُنَصِّرَانِهِ
وَيُمَجِّسَانِهِ كَمَا تُنْتَجُ الْبَهِيمَةُ بَهِيمَةً جَمْعَاءَ هَلْ
تُحِسُّونَ فِيهَا مِنْ جَدْعَاءَ
ثُمَّ
يَقُولُا أَبُو هُرَيْرَةَ وَاقْرَءُوا إِنْ شِئْتُم (فِطْرَةَ اللَّهِ الَّتِي
فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ) الْآيَةَ حَدَّثَنَا
أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْأَعْلَى ح و حَدَّثَنَا
عَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ أَخْبَرَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ كِلَاهُمَا عَنْ مَعْمَرٍ
عَنْ الزُّهْرِيِّ بِهَذَا الْإِسْنَادِ وَقَالَ كَمَا تُنْتَجُ الْبَهِيمَةُ
بَهِيمَةً وَلَمْ يَذْكُرْ جَمْعَاءَ
Artinnya : Telah
menceritakan kepada kami Hajib bin Al Walid telah menceritakan kepada kami
Muhammad bin Harb dari Az Zubaidi dari Az Zuhri telah mengabarkan kepadaku
Sa'id bin Al Musayyab dari Abu Hurairah, dia berkata; "Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam telah bersabda: 'Seorang bayi tidak dilahirkan (ke
dunia ini) melainkan ia berada dalam kesucian (fitrah). Kemudian kedua orang
tuanyalah yang akan membuatnya menjadi Yahudi, Nasrani, ataupun Majusi
-sebagaimana hewan yang dilahirkan dalam keadaan selamat tanpa cacat. Maka,
apakah kalian merasakan adanya cacat? ' Lalu Abu Hurairah berkata; 'Apabila
kalian mau, maka bacalah firman Allah yang berbunyi: '…tetaplah atas fitrah
Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrahnya itu. Tidak ada perubahan
atas fitrah Allah.' (QS. Ar Ruum (30): 30). Telah menceritakan kepada kami Abu
Bakr bin Abu Syaibah; telah menceritakan kepada kami 'Abdul 'Alaa Demikian juga
diriwayatkan dari jalur lainnya, dan telah menceritakan kepada kami 'Abd bin
Humaid; telah mengabarkan kepada kami 'Abdurrazzaq keduanya dari Ma'mar dari Az
Zuhri dengan sanad ini dan dia berkata; 'Sebagaimana hewan ternak melahirkan
anaknya. -tanpa menyebutkan cacat.- (HR. MUSLIM - 4803).
2.
Hadits
tentang qalbu sebagai potensi manusia
حَدَّثَنَا
أَبُو نُعَيْمٍ حَدَّثَنَا زَكَرِيَّاءُ عَنْ عَامِرٍ قَالَ سَمِعْتُ النُّعْمَانَ
بْنَ بَشِيرٍ يَقُولُ سَمِعْتُ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ الْحَلَالُ بَيِّنٌ
وَالْحَرَامُ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا مُشَبَّهَاتٌ لَا يَعْلَمُهَا كَثِيرٌ مِنْ
النَّاسِ فَمَنْ اتَّقَى الْمُشَبَّهَاتِ اسْتَبْرَأَ لِدِينِهِ وَعِرْضِهِ وَمَنْ
وَقَعَ فِي الشُّبُهَاتِ كَرَاعٍ يَرْعَى حَوْلَ الْحِمَى يُوشِكُ أَنْ
يُوَاقِعَهُ أَلَا وَإِنَّ لِكُلِّ مَلِكٍ حِمًى أَلَا إِنَّ حِمَى اللَّهِ فِي
أَرْضِهِ مَحَارِمُهُ أَلَا وَإِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ
الْجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ أَلَا وَهِيَ
الْقَلْبُ
Artinya: Telah
menceritakan kepada kami Abu Nu'aim Telah menceritakan kepada kami Zakaria dari
'Amir berkata; aku mendengar An Nu'man bin Basyir berkata; aku mendengar
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Yang halal sudah jelas
dan yang haram juga sudah jelas. Namun diantara keduanya ada perkara syubhat
(samar) yang tidak diketahui oleh banyak orang. Maka barangsiapa yang menjauhi
diri dari yang syubhat berarti telah memelihara agamanya dan kehormatannya. Dan
barangsiapa yang sampai jatuh (mengerjakan) pada perkara-perkara syubhat,
sungguh dia seperti seorang penggembala yang menggembalakan ternaknya di
pinggir jurang yang dikhawatirkan akan jatuh ke dalamnya. Ketahuilah bahwa
setiap raja memiliki batasan, dan ketahuilah bahwa batasan larangan Allah di
bumi-Nya adalah apa-apa yang diharamkan-Nya. Dan ketahuilah pada setiap tubuh
ada segumpal darah yang apabila baik maka baiklah tubuh tersebut dan apabila
rusak maka rusaklah tubuh tersebut. Ketahuilah, ia adalah hati". (HR.
BUKHARI - 50)
3.
Hadist
tentang Nafs sebagai potensi manusia
حَدَّثَنَا
أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا زَيْدُ بْنُ الْحُبَابِ أَخْبَرَنِي
مُعَاوِيَةُ بْنُ صَالِحٍ حَدَّثَنِي رَبِيعَةُ بْنُ يَزِيدَ الدِّمَشْقِيُّ عَنْ
عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَامِرٍ الْيَحْصَبِيِّ قَالَ سَمِعْتُ مُعَاوِيَةَ يَقُولُا
إِيَّاكُمْ وَأَحَادِيثَ إِلَّا حَدِيثًا كَانَ فِي عَهْدِ عُمَرَ فَإِنَّ عُمَرَ
كَانَ يُخِيفُ النَّاسَ فِي اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ
سَمِعْتُ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ يَقُولُ مَنْ يُرِدْ
اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّينِ وَسَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّمَا أَنَا خَازِنٌ فَمَنْ أَعْطَيْتُهُ
عَنْ طِيبِ نَفْسٍ فَيُبَارَكُ لَهُ فِيهِ وَمَنْ أَعْطَيْتُهُ عَنْ مَسْأَلَةٍ
وَشَرَهٍ كَانَ كَالَّذِي يَأْكُلُ وَلَا يَشْبَعُ
Artinya: Telah
menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abu Syaibah telah menceritakan kepada
kami Zaid bin Al Hubab telah mengabarkan kepadaku Mu'awiyah bin Shalih telah
menceritakan kepadaku Rabi'ah bin Yazid Ad Dimasyqi dari Abdullah bin Amir Al
Yahshabi ia berkata, saya mendengar Mu'awiyah berkata; Hati-hatilah kalian dari
hadits-hadits (palsu), kecuali hadits-hadits pada masa Umar bin Al Khaththab.
Sesungguhnya Umar sangat ditakuti orang mengenai hukum-hukum Allah. Saya
mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Siapa yang
dikehendaki Allah menjadi baik, maka akan dipahamkan-Nya dengan kepahaman yang
dalam tentang agama." Dan saya juga mendengar Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam bersabda: "Aku ini adalah seorang bendahara. Maka siapa
yang kuberi sedekah dan diterimanya dengan hati yang bersih, maka dia akan
beroleh berkah dari harta itu. Tetapi siapa yang kuberi karena meminta-minta
dan rakus, maka dia seperti orang yang makan yang tak pernah kenyang."
(HR. MUSLIM - 1719)
B. TAKHRIJ HADITS
1.
Hadits tentang akal sebagai potensi manusia
Matan hadits :
مَا
مِنْ مَوْلُودٍ إِلَّا يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ وَيُنَصِّرَانِهِ
وَيُمَجِّسَانِهِ كَمَا تُنْتَجُ الْبَهِيمَةُ بَهِيمَةً جَمْعَاءَ هَلْ
تُحِسُّونَ فِيهَا مِنْ جَدْعَاءَ
Artinya: 'Seorang bayi tidak dilahirkan (ke dunia ini)
melainkan ia berada dalam kesucian (fitrah). Kemudian kedua orang tuanyalah
yang akan membuatnya menjadi Yahudi, Nasrani, ataupun Majusi -sebagaimana hewan
yang dilahirkan dalam keadaan selamat tanpa cacat. Maka, apakah kalian
merasakan adanya cacat? (HR. MUSLIM - 4803).
Dilihat dari matannya hadits ini
merupakan hadits Qauni karena isinya berupa keadaan hal ihwal dan sifat
tertentu. Dan menurut penisbatannya hadits ini merupakan hadits marfu’ karena
matannya dinisbatkan kepada Nabi Muhammad saw yang berupa perkataan nabi saw.
Dilihat dari jalur periwayatannya
hadits ini termasuk pada hadits ahad karena jumlah perawinya tidak mencapai
jumlah perawi hadits mutawatir yaitu terdapat 3 jalur sanad. Berikut ini jalur
sanad pada hadit riwayat muslim no 4803, memiliki 3 jalur sanad.
Biografi singkat perawi hadits muslim no. 4803
:
a.
Abdur Rahman
bin Shakhr, merupakan sahabat beliau terkenal dengan nama Abu Hurairah, yang
semasa hidupnya tinggal di madinah dan wafat tahun 57 H.
b.
Sa'id bin al
Musayyab bin Hasan bin Abi Wahab bin 'Amru, merupakan Tabi’in kalangan tua,
yang hidup di daerah madinah dan terkenal dengan nama Abu Muhammad wafat tahu
93 H. Beberapa ualama yang berpendapat tentang beliau; Ahmad bin Hambal ia
berpandangan tentang beliau adalah ia Tsiqah (‘Adil), Abu Zur’ah Arrazy ia
berpandangan tentang beliau adalah Tsiqah Imam; Adz Dzahabi ia berpandangan
tentang beliau adalah imam, Ahadul A’lam, Tsiqah Hujjah, dan ahli Fiqih.
c.
Muhammad bin
Muslim bin 'Ubaidillah bin 'Abdullah bin Syihab, merupakan kalangan tabi’ut
Tabi’in kalangan pertengahan yang hidup di daerah madinah dan terkenal dengan
nama Abu Bakar, wafat tanggal 124 H. Beberapa ulama yang berpendapat Ibnu Hajar
al ‘Asqalani ia berpandangan tentang beliau adalah faqah hafidz mutaqin dan adz
dzahabi ia berpandangan tentang beliau adalah seorang tohoh. Secara umum ia
termasuk orang yang buruk hafalannya.
d.
Muhammad bin
Al Walid bin 'Amir merupakan tabi’ut Tabi’in kalangan tua yang semasa hidupnya
tinggal di negri Syams dan terkenal dengan nama Abu al Hudzail, wafat tahun 147
H. Beberapa ulama yang berpendapat tentang Muhammad bin Al Walid bin 'Amir;
Ibnu Madini dan Abu Zur’ah dan An-Naza’i ia berpandangan tentang beliau adalah
tsiqah (‘adil); ibnu Hibban menyebutnya dalam ‘ats tsiqaat; ibnu hajar al
‘Asqalani ia berpandangan tentang beliau adalah tsiqah tsabat, adz Dahabi ia berpandangan tentang beliau adalah tsabat.
Secara umum beliau termasuk tsiqah tsiqah atau tsiqah hafidz.
e.
Muhammad bin
Harb,merupakan tabi’in kalangan biasa yang hidup di daerah syam dan terkenal
dengan nama Abu ‘Abdullah wafat tahun 194 H. Beberapa ulama yang berpendapat
tentang beliau adalah Abu Hatim ia berpandangan tentang beliau adalah Shalihul
Hadits, Ibnu Hibban ia menyebut dalam ‘ats tsiqaat, ibnu hajar al ‘Asqalani ia
berpandangan tentang beliau adalah tsiqah. Secara ulum ia termasuk tsiwah
(‘adil).
f.
Hajib bin Al
Walid bin Maymun merupakan Tabi’ul Atba’ kalangan tua yang tinggal di Syam
wafat tahun 228 H. Beberapa ulama yang berpendapat tentang beliau adalah Abu
Bakar Khatib dan Adz Dzahabi ia berpandangan tentang beliau adalah Tsiqah, Ibnu
Hibban ia disebutkan dalam ‘ats Tsiqaat, ibnu Hajar al ‘Asqalani ia
berpandangan tentang beliau adalah Shaduuq. Secara umum ia dipandang Shaduuq la
ba’sa bih.
g.
Ma’mar bin
Raosyid, merupakan tabi’ut Tabi’in kalangan tua yang tinggal di Yaman dan
terkenal dengan nama Abu ‘Urwah yang wafat 154 H. Beberapa ulama Yahya bin
Ma’in, al ‘Ajli dan Ya’kub bin Syu’bah ia berpandangan tentang beliau adalah
Tsiqah, Abu Hatim ia berpandangan tentang beliau adalah Shalihul Hadits, an-Nasa’i
ia berpandangan tentang beliau adalah Tsiqah Ma’mun, Ibnu Hibban ia disebutkan
dapam ‘ats Tsiqaat, Ibnu Hajar al ‘Asqalani ia berpandangan tentang beliau
adalah Tsiqah Tsabat. Secara umum ia dipandang buruk hafalannya.
h.
Abdul A’laa
bin ‘Abdul A’laa merupakan tabi’ut Tabi’in kalangan pertengahan yang hidup di
daerah Bashrah terkenal dengan nama Abu Muhammad, dan wafat tahun 189 H.
Beberapa ulama berpandangan tentang beliau Yahya bin Ma’in, Abu Zur’ah, al
‘Ajli, Ibnu Hajar al ‘Asqalani, Adz Dzahabi ia berpandangan tentang beliau
adalah Tsiqah, Abu Hatim ia berpandangan tentang beliau adalah Shalihul hadits,
an Nsa’i ia berpandangan tentang beliau adalah laisa bihi ba’s, ibnu Hibban ia
disebutkan dalam ‘ats Tsiqaat. Secara umum ia dipandang tsiqah (‘Adil).
i.
Abdullah bin
Muhammad bin Abi Syaibah Ibrahim bin 'Utsma, merupakanTabi’ul Atba’ kalangan
tua, yang hidup di daerah Kufah dan dikenal dengan nama Abu Bakar, wafat tahun
235 H. Beberapa ulama berpendapat; Ahmad bin Hambal ia berpandangan tentang
beliau adalah Shaduuq, Abu Hatim ia berpandangan tentang beliau adalah tsiqah.
Secara umum ia dipandang Tsiqah Hafidz (perawi yang mempunyai kredibilitas
tinggi, dalam dirinya berkumpul sifat adil, dan hafalannya sangat kuat).
j.
Abdur Razzaq
bin Hammam bin Nafi’, beliau termasuk Tabi’ut Tabi’in kalangan biasa, tinggal
di daerah Yaman, dikenal dengan nama Abu Bakr wafat tahun 211 H. Secara umum ia
dipandang Tsiqah Hafidz.
k.
Abdul Hamid
bin Humaid bin Nashr, merupakan Tabi’ul Atba’ kalangan pertengahan yang hidup
di daerah Himsh, dan wafat tahun 249 H. Ia lebih dikenal dengan nama Abu
Muhammad. Secara umum dipandang Tsiqah (perawi dipandang bersifat ‘Adil dan
kuat hafalannya.
Hadits muslim no.4803 memiliki beberapa hadits
penguat diantaranya HR. Abu Daud no. 4091 :
حَدَّثَنَا
الْقَعْنَبِيُّ عَنْ مَالِكٍ عَنْ أَبِي الزِّنَادِ عَنْ الْأَعْرَجِ عَنْ أَبِي
هُرَيْرَةَ قَالَ
قَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كُلُّ مَوْلُودٍ يُولَدُ عَلَى
الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ وَيُنَصِّرَانِهِ كَمَا تَنَاتَجُ
الْإِبِلُ مِنْ بَهِيمَةٍ جَمْعَاءَ هَلْ تُحِسُّ مِنْ جَدْعَاءَ قَالُوا يَا
رَسُولَ اللَّهِ أَفَرَأَيْتَ مَنْ يَمُوتُ وَهُوَ صَغِيرٌ قَالَ اللَّهُ أَعْلَمُ
بِمَا كَانُوا عَامِلِينَ
Artinya: (ABUDAUD - 4091) : Telah menceritakan kepada
kami Al Qa'nabi dari Malik dari Abu Az Zinad dari Al A'raj dari Abu Hurairah ia
berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Setiap
bayi dilahirkan dalam keadaan fitrah, maka kedua orang tuannya-lah yang
menjadikan ia yahudi atau nashrani. Sebagaimana unta melahirkan anaknya yang sehat,
apakah kamu melihatnya memiliki aib?" Para sahabat bertanya, "Wahai
Rasulullah, bagaimana dengan orang yang meninggal saat masih kecil?"
Beliau menjawab: "Allah lebih tahu dengan yang mereka lakukan."
Hadits lainnya yang menjadi penguat sebagai berikut:
a. HR. Bukhari
no 1270, 6110
b. Hr. Muslim
no. 4803, 4805
c. HR. Tirmidzi
No. 2064
d. Hr Ahmad no.
6884, 7387, 7463, 8206, 8739, 8049, dan
9851
e. HR. Malik no.
507
2.
Hadits
Tentang Hati sebagai potensi manusia
Hadits Riwayat Bukhari no 50 yang bertema yang halal itu
jelas dan yang haram juga jelas dan antara keduanya ada perkara yang
syubhat. Dan matan hadist ini adalah
الْحَلَالُ
بَيِّنٌ وَالْحَرَامُ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا مُشَبَّهَاتٌ لَا يَعْلَمُهَا كَثِيرٌ
مِنْ النَّاسِ فَمَنْ اتَّقَى الْمُشَبَّهَاتِ اسْتَبْرَأَ لِدِينِهِ وَعِرْضِهِ
وَمَنْ وَقَعَ فِي الشُّبُهَاتِ كَرَاعٍ يَرْعَى حَوْلَ الْحِمَى يُوشِكُ أَنْ
يُوَاقِعَهُ أَلَا وَإِنَّ لِكُلِّ مَلِكٍ حِمًى أَلَا إِنَّ حِمَى اللَّهِ فِي
أَرْضِهِ مَحَارِمُهُ أَلَا وَإِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ
الْجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ أَلَا وَهِيَ
الْقَلْبُ
Yang artinya: “"Yang
halal sudah jelas dan yang haram juga sudah jelas. Namun diantara keduanya ada
perkara syubhat (samar) yang tidak diketahui oleh banyak orang. Maka
barangsiapa yang menjauhi diri dari yang syubhat berarti telah memelihara
agamanya dan kehormatannya. Dan barangsiapa yang sampai jatuh (mengerjakan)
pada perkara-perkara syubhat, sungguh dia seperti seorang penggembala yang
menggembalakan ternaknya di pinggir jurang yang dikhawatirkan akan jatuh ke
dalamnya. Ketahuilah bahwa setiap raja memiliki batasan, dan ketahuilah bahwa
batasan larangan Allah di bumi-Nya adalah apa-apa yang diharamkan-Nya. Dan
ketahuilah pada setiap tubuh ada segumpal darah yang apabila baik maka baiklah
tubuh tersebut dan apabila rusak maka rusaklah tubuh tersebut. Ketahuilah, ia
adalah hati".
Dari
segi matannya hadits in merupakan hadits fa’li karena isinya berupa perbuatan
penjelasan praktis terhadap aturan syari’at. Dan dari segi penisbatan matannya
hadits ini merupakan hadits Qudsi karena isinya dinisbahkan kepada Dzat yang
Maha suci, yaitu Allah Ta'ala, dan hadits yang dinukil dari Nabi Shallallahu
'alaihi Wa Sallam yang disandarkan beliau kepada Rabb-nya.
Dilihat dari segi
kuantitas hadits in itermasuk pada Hadits ahad karena sanad pada hadits ini
terdiri dari satu jalur sanad yaitu :
حَدَّثَنَا
أَبُو نُعَيْمٍ حَدَّثَنَا زَكَرِيَّاءُ عَنْ عَامِرٍ قَالَ سَمِعْتُ النُّعْمَانَ
بْنَ بَشِيرٍ يَقُولُ سَمِعْتُ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Biografi singkat perawi:
a.
An-Nu'man bin
Basyir Binb Sa'ad, merupakan orang dari kalangan sahabat, yang sering dipanggil
Abu ‘Abdillah, hidup di Kufah dan wafat
tahun 65 H.
b.
Amir bin
Syarahil, merupakan tabiin kalangan pertengahan, yang dikenal sebagai Abu ‘Amru, hidup di kuffah
dan wafat pada tahun 104 H. Menurut para ulama: Yahya bin Ma’in dan Abu Zur’ah
ia merupakan orang yang Tsiqah (Adil), sedangkan menurut Ibnu Hajar al
‘Asaqalani ia merupakan Tabi’in yang Tsiqah masyhur, sedangkan menurut Adz
Dzahabi ia merupakan seorang tokoh.
c.
Zakariya bin
Abi Za'idah Khalid, merupakan seorang Tabi’in yang tidak pernah berjumpa dengan
sahabat, ia terkenal dengan nama Abu Yahya, tinggal di Kufah dan meninggal
tahun 148 H. Komentar ulama tentang Zakariya bin Abi Za’idah Khalid diantaranya
menurut Yahya bin Ma’in merupakan orang yang shahih, menurut an-Nasa’i orang
yan Tsiqah (adil), menurut Ibnu Hibban tersebut dalam ‘ats tsaqaat, menurut
Ya’qub bin sufyan dan al Bazaar merupakan orang yang Tsiqah (adil), sedangkan
menurut Ibnu hajar al-‘Asqalani dan adz Dzahabi merupakan tabi’in yang Tsiqah
Yusallis, dan Adz Dzahabi menambahkan ia ta’biin yang diberi gelar alhafidz.
d.
Al Fadiol bin
Dukain bin Hammad bin Zuhair, merupakan kalangan Tabi’ut Tabi’in kalangan tua,
ia terkenal dengan nama Abu Nu’aim,
selama hidupnya berada di Kufah yang wafat pada tahun 218 H. Beberapa
komentar pada ulama diantaranya; An-Nasa’i
ia merupakan Tsiqah ma’mun, menurut al-Ajli dan Ibnu Hajar al-‘Asqalani ia
merupakan Tsiqah Tsabat, menurut Abu Hatim ar-Rozy ia merupakan orang yang
tsiqah, sedangkan menurut Adz Dzahabi ia merupakan alhafidz.
Hadits ini di perkuat oleh Hadits-Hadits lain dalam kitab hadits
diantaranya :
a.
Hadits
riwayat Muslim nomor 2996 tentang mengambil yang halal dan meninggalkan yang
haram (اخذ الحلال و ترك
الشبهات)
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ
نُمَيْرٍ الْهَمْدَانِيُّ حَدَّثَنَا أَبِي حَدَّثَنَا زَكَرِيَّاءُ عَنْ
الشَّعْبِيِّ عَنْ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيرٍ قَالَ سَمِعْتُهُ يَقُولُ سَمِعْتُ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ وَأَهْوَى
النُّعْمَانُ بِإِصْبَعَيْهِ إِلَى أُذُنَيْهِ إِنَّ الْحَلَالَ بَيِّنٌ وَإِنَّ
الْحَرَامَ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا مُشْتَبِهَاتٌ لَا يَعْلَمُهُنَّ كَثِيرٌ مِنْ
النَّاسِ فَمَنْ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ اسْتَبْرَأَ لِدِينِهِ وَعِرْضِهِ وَمَنْ
وَقَعَ فِي الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِي الْحَرَامِ كَالرَّاعِي يَرْعَى حَوْلَ
الْحِمَى يُوشِكُ أَنْ يَرْتَعَ فِيهِ أَلَا وَإِنَّ لِكُلِّ مَلِكٍ حِمًى أَلَا
وَإِنَّ حِمَى اللَّهِ مَحَارِمُهُ أَلَا وَإِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا
صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ
أَلَا وَهِيَ الْقَلْبُ و حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا
وَكِيعٌ ح و حَدَّثَنَا إِسْحَقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ أَخْبَرَنَا عِيسَى بْنُ
يُونُسَ قَالَا حَدَّثَنَا زَكَرِيَّاءُ بِهَذَا الْإِسْنَادِ مِثْلَهُ و
حَدَّثَنَا إِسْحَقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ أَخْبَرَنَا جَرِيرٌ عَنْ مُطَرِّفٍ
وَأَبِي فَرْوَةَ الْهَمْدَانِيِّ ح و حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ
حَدَّثَنَا يَعْقُوبُ يَعْنِي ابْنَ عَبْدِ الرَّحْمَنِ الْقَارِيَّ عَنْ ابْنِ
عَجْلَانَ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ سَعِيدٍ كُلُّهُمْ عَنْ الشَّعْبِيِّ عَنْ
النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيرٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
بِهَذَا الْحَدِيثِ غَيْرَ أَنَّ حَدِيثَ زَكَرِيَّاءَ أَتَمُّ مِنْ حَدِيثِهِمْ
وَأَكْثَرُ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْمَلِكِ بْنُ شُعَيْبِ بْنِ اللَّيْثِ بْنِ سَعْدٍ
حَدَّثَنِي أَبِي عَنْ جَدِّي حَدَّثَنِي خَالِدُ بْنُ يَزِيدَ حَدَّثَنِي سَعِيدُ
بْنُ أَبِي هِلَالٍ عَنْ عَوْنِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ عَامِرٍ الشَّعْبِيِّ
أَنَّهُ سَمِعَ نُعْمَانَ بْنَ بَشِيرِ بْنِ سَعْدٍ صَاحِبَ رَسُولِ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ يَخْطُبُ النَّاسَ بِحِمْصَ وَهُوَ
يَقُولُ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ
الْحَلَالُ بَيِّنٌ وَالْحَرَامُ بَيِّنٌ فَذَكَرَ بِمِثْلِ حَدِيثِ زَكَرِيَّاءَ
عَنْ الشَّعْبِيِّ إِلَى قَوْلِهِ يُوشِكُ أَنْ يَقَعَ فِيهِ
Artinya: (MUSLIM - 2996) : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin
Abdullah bin Numair Al Hamdani telah menceritakan kepada kami Ayahku telah
menceritakan kepada kami Zakaria dari As Sya'bi dari An Nu'man bin Basyir dia
berkata, "Saya mendengar dia berkata, "Saya pernah mendengar
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda -Nu'man sambil menujukkan
dengan dua jarinya kearah telinganya-: "Sesungguhnya yang halal telah
nyata (jelas) dan yang haram telah nyata. Dan di antara keduanya ada perkara
yang tidak jelas, yang tidak diketahui kebanyakan orang, maka barangsiapa
menjaga dirinya dari melakukan perkara yang meragukan, maka selamatlah agama
dan harga dirinya, tetapi siapa yang terjatuh dalam perkara syubhat, maka dia
terjatuh kepada keharaman. Tak ubahnya seperti gembala yang menggembala di tepi
pekarangan, dikhawatirkan ternaknya akan masuk ke dalamnya. Ketahuilah, setiap
raja itu memiliki larangan, dan larangan Allah adalah sesuatu yang
diharamkannya. Ketahuilah, bahwa dalam setiap tubuh manusia terdapat segumpal
daging, jika segumpal daging itu baik maka baik pula seluruh badannya, namun
jika segumpal daging tersebut rusak, maka rusaklah seluruh tubuhnya.
Ketahuilah, gumpalan darah itu adalah hati." Dan telah menceritakan kepada
kami Abu Bakar bin Abu Syaibah telah menceritakan kepada kami Waki'. (dalam
jalur lain disebutkan) Telah menceritakan kepada kami Ishaq bin Ibrahim telah
mengabarkan kepada kami Isa bin Yunus dia berkata; telah menceritakan kepada
kami Zakaria dengan isnad seperti ini." Dan telah menceritakan kepada kami
Ishaq bin Ibrahim telah mengabarkan kepada kami Jarir dari Mutharif dan Abu
Farwah Al Hamdani. (dalam jalur lain disebutkan) Telah menceritakan kepada kami
Qutaibah bin Sa'id telah menceritakan kepada kami Ya'qub yaitu Ibnu Abdurrahman
Al Qari, dari Ibnu Ajlan dari Abdurrahman bin Sa'id semuanya dari As Sya'bi
dari An Nu'man bin Basyir dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dengan hadits
ini, hanya saja hadits Zakaria lebih sempurna dan lebih banyak daripada hadits
mereka." Telah menceritakan kepada kami Abdul Malik bin Syu'aib bin Laits
bin Sa'd telah menceritakan kepadaku Ayahku dari Kakekku telah menceritakan
kepadaku Khalid bin Yazid telah menceritakan kepadaku Sa'id bin Abu Hilal dari
'Aun bin Abdullah dari 'Amir Asy Sya'bi bahwa dia pernah mendengar Nu'man bin
Basyir bin Sa'd salah seorang sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, saat
ia berkhutbah di hadapan manusia di daerah Himsh, dia berkata, "Saya
pernah mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Sesuatu yang halal telah jelas dan yang haram juga telah jelas…."
Kemudian dia menyebutkan seperti hadits Zakaria dari Asy Sya'bi, sampai
sabdanya: "Dikhawatirkan akan terjatuh di dalamnya."
b.
Hadits riwayat Tirmidzi nomor 1126 tentang
meninggalkan Syubhatما
حاء في ترك الشبهات)
)
c.
Hadits riwayat Ibnu Majah nomor 3974 tentang
mehan diri dari Syubhat (الوقوف
عند الشبهات )
d.
Hadits riwayat Ahmad nomor 17645 tentang hadits
An-Nu’man bin Basyir dari Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam (حديث النُّعْمَانَ بْنَ
بَشِيرٍ عن النبي صلى الله عليه و سلم) dan hadist no 17649 tentang An-Nu’man bin Basyir dari Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam (حديث النُّعْمَانَ
بْنَ بَشِيرٍ عن النبي صلى الله عليه و سلم)
e.
Hadits
riwayat Dailami nomor 2419 tentang yang halal jelas dan yang harah telah jelas ( باب في : الحلال بين و الحرام بين )
3.
Hadits
tentang Qalbu sebagai potensi manusia
a.
Matan hadist
dan artinya:
مَنْ
يُرِدْ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّينِ وَسَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّمَا أَنَا خَازِنٌ فَمَنْ
أَعْطَيْتُهُ عَنْ طِيبِ نَفْسٍ فَيُبَارَكُ لَهُ فِيهِ وَمَنْ أَعْطَيْتُهُ عَنْ
مَسْأَلَةٍ وَشَرَهٍ كَانَ كَالَّذِي يَأْكُلُ وَلَا يَشْبَعُ
Artinya: "Siapa yang dikehendaki
Allah menjadi baik, maka akan dipahamkan-Nya dengan kepahaman yang dalam
tentang agama." Dan saya juga mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam bersabda: "Aku ini adalah seorang bendahara. Maka siapa yang
kuberi sedekah dan diterimanya dengan hati yang bersih, maka dia akan beroleh
berkah dari harta itu. Tetapi siapa yang kuberi karena meminta-minta dan rakus,
maka dia seperti orang yang makan yang tak pernah kenyang." (HR. MUSLIM -
1719)
Dilihat dari bentuk wujud matannya
hadits ini merupakan hadits Qauni karena isinya berupa keadaan tentang sifat
tertentu yaitu jika Allah menghendaki seseorang maka ia akan diberikan
kepahaman yang dalam tentang agama.
Sedangkan, Hadits ini merupakan hadits
Qudsi’ karena hadits yang dinisbahkan kepada Dzat yang Maha suci, yaitu
Allah Ta'ala, dan hadits yang dinukil dari Nabi Shallallahu 'alaihi Wa Sallam
yang disandarkan beliau kepada Rabb-nya. sanadnya sampai kepada Rasul, dan juga
maqbul dapat di amalkan, rawinya adil, tsiqoh hafizh dan juga langsung dari
sahabat, matannya tidak ada kejanggalan karena rawinya ada yang sampai sahabat.
b. Sanad hadits :
Dilihat dari jalur
sanad, hadits ini termasuk pada hadits ahad, karena hadits ini hanya memiliki
satu jalur sanad yaitu dari Mu’awiyah Bin abi Sufyan. Berikut ini bigrafi
singkat perawi hadits pada hadits ini:
1)
Mu’awoyah bin
Abi Sufyan Shakhr bin Harb bin Umayyah, dikenal dengan nama Muawiyah bin abi
sufayan, merupakan kalangan sahabat yang hidup di syam dan wafat pada tahun 60
H
2)
Abdullah bin
‘amir bin Yasir, merupakan tabiin kalangan pertengahan yang lebih dikenal
dengan nama Abu ‘Imran yang hidup di negri Syam dan wafat pada tahun 118 H.
Diantara ulama yang berpendapat mengenai Abdullah bin Amir bin Yasir adalah ;
al ‘Ajli, Ibnu Hajar Al Atsqalani dan an-Nasa’i berpendapat bahwa ia adalah
orang yang adil (Tsiqah); Ibnu Hibban ia menyebutkan dalam ‘ats Tsiqaat.
3)
Rabi’ah bin
Yazid, merupakan tabi’in dikalangan biasa yang lebih dikenal dengan Abu
Syu’aib, yang semasa hidupnya di Syam dan wafat pada tahun 121 H. Diantara
ulama yang berkomentar tentang Rabi’ah bin Yazid diantaranya Ya’kub Ibnu
Syaibah, Ya’qub bin Sufyan, An-Nasa’i dan Ibnu Sa’d berpendapat ia adalah orang
yang adil (tsiqah); Ibnu Hajar al-“asqalani ia berpendapat bahwa ia merupakan
orang yang Tsiqah Abid; Ibnu Hibban menyebutkan dalam ‘ats Tsiqaat, dan Adz
Dzahabi ia berpendapat faqih ahli damaskus. . Iah banyak meriwayatkan hadits
dalam kitab haidts Ahmad sebanyak 22 hadits.
4)
Muawiyah bin
Shalih bin Hudair, merupakan Tabi’ul atba’ kalangan pertengahan, yang dikenal
dengan Abu ‘Amru yang hidup di Andalusia dan wafat tahun 158 H. Beberapa yang
berkomentar tentang muawiyah bin Shalih bin Hudair adalah Ahmad bin Hambal,
Yahya bin Ma’in, Al ‘Ajli, An Nasa’i mereka berkomentar tentangnya adalah
tabi’ul Atba yang Adil (Tsiqah), abu Zur’ah berpendapat Tsiqah Muhaddits, Abu
Hatim berpendapat shalihul hadits, ibnu hubban berpendapat dalam ‘ats tsiqaat,
al-Bzzar berpendapat laisa bihi ba’s, ibnu hajar al-‘Asqalani berpendapat
shaduuq tetapi ia sedikit ragu, dan Adz Dzahabi berpendapat ahaduuq imam. . Iah
banyak meriwayatkan hadits dalam kitab haidts Ahmad sebanyak 91 Hadits.
5)
Zaid bin al
Hubbab bin Ar Rayyan, merupakan kalangan Tabi’ut Tabi’in kalangan biasa yang
dikenal dengan nama Abu Al Husain, yang dihup di Kufah dan wafat tahun 230 H.
Beberapa ulama yang berkomentar adalah Yahya bin Ma’in, ad Daruquthni ia
berpendapat bahwa zaid orang yang adil (Tsiqah), Abu Hatim ia berpendapat
Shalih, dan Ibnu Hibban menyebutkan dalam ‘ats tsiqaat. Iah banyak meriwayatkan
hadits dalam kitab haidts Ahmad sebanyak 126 Hadits.
6)
Abdullah bin
Muhammad bin Abi Syaibah Ibrahim bin ‘Utsman merupakan kalangan Tabi’ul Atba’
kalangan tua yang dikenal dengan nama Abu Bakar yang hidup di Kufah dan wafat
pada tahun 235 H. Ahmad bin Hambal berpendapat bahwa ia Shaduuq dan Abu Hatm berpendapat
ia adalah orang yang adil (Tsiqah). Ia banyak meriwayatkan hadits dalam kitab
Hadits Muslim sebanyak 1301 Hadits.
Dilihat dari Rawinya hadits
ini merupakan hadits shahih yang diriwayatkan oleh Imam Muslim. Hadits ini
diperkuat pula oleh 22 hadits-hadits lain dalam kitab hadits diantaranya:
حَدَّثَنَا
سُلَيْمَانُ قَالَ أَخْبَرَنَا إِسْمَاعِيلُ قَالَ أَخْبَرَنِي عَبْدُ اللَّهِ
بْنُ سَعِيدِ بْنِ أَبِي هِنْدٍ عَنْ أَبِيهِ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ
أَنَّ النَّبِيَّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ يُرِدْ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا
يُفَقِّهُّ فِي الدِّينِ
Artinya: (AHMAD -
2654) : Telah menceritakan kepada kami Sulaiman berkata; telah mengabarkan
kepada kami Isma'il berkata; telah mengabarkan kepadaku Abdullah bin Sa'id bin
Abu Hind dari ayahnya dari Ibnu Abbas; bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam
bersabda: "Barangsiapa yang dikehendaki oleh Allah kebaikan, niscaya Dia
akan memahamkan dalam agama."
Hadits penguat
lainnya diantaranya:
1)
Hadits
Bukhari 3, no 69, 2884, dan 6768
2)
Hadits Ahmad
9 no 2654, 6896, 12928, 16234, 16 243, 16246, 16 273, 16305 dan nomor 16323.
3)
Hadits Darimi
4 nomor 226, 227, 228 dan 2590.
4)
Hadits Ibnu
Majah 1 no 216
5)
Hdits Malik 2
nomor 1400 dan 1477
6)
hadits muslim
2, no 3549 dan 1721
7)
hadits tirmidzi
1 no 2569
C.
Istinbath
Hadits dalam Praktik Pendidikan
1. Implikasi Hadits
Tentang Akal dalam Pendidikan
“Telah menceritakan kepada kami Hajib bin Al Walid telah menceritakan
kepada kami Muhammad bin Harb dari Az Zubaidi dari Az Zuhri telah mengabarkan
kepadaku Sa'id bin Al Musayyab dari Abu Hurairah, dia berkata; "Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam telah bersabda: 'Seorang bayi tidak dilahirkan
(ke dunia ini) melainkan ia berada dalam kesucian (fitrah). Kemudian kedua
orang tuanyalah yang akan membuatnya menjadi Yahudi, Nasrani, ataupun Majusi
-sebagaimana hewan yang dilahirkan dalam keadaan selamat tanpa cacat. Maka,
apakah kalian merasakan adanya cacat? ' Lalu Abu Hurairah berkata; 'Apabila
kalian mau, maka bacalah firman Allah yang berbunyi: '…tetaplah atas fitrah
Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrahnya itu. Tidak ada perubahan
atas fitrah Allah.' (QS. Ar Ruum (30): 30). Telah menceritakan kepada kami Abu
Bakr bin Abu Syaibah; telah menceritakan kepada kami 'Abdul 'Alaa Demikian juga
diriwayatkan dari jalur lainnya, dan telah menceritakan kepada kami 'Abd bin
Humaid; telah mengabarkan kepada kami 'Abdurrazzaq keduanya dari Ma'mar dari Az
Zuhri dengan sanad ini dan dia berkata; 'Sebagaimana hewan ternak melahirkan anaknya.
-tanpa menyebutkan cacat”.- (HR. MUSLIM - 4803).
Berdasarkan
hadits di atas bahwa manusia terlahir dengan fitrahnya. Fitrah menurut KBBI
yaitu sifat asal; kesucian; bakat; pembawaan. Fitrah yang disebut dalam hadits
itu adalah potensi, yang merupakan bawaan dari setiap anak, sedangkan ayah ibu
adalah lingkungan yang dapat berpengaruh besar terhadap perkembangan anak,
sebagaimana yang dimaksud oleh para ahli pendidikan.
Konsep
fitrah dalam pengertiannya sangat beragam, sebagaimana pengertian fitrah menurut
al-Ghozali adalah suatu sifat dari dasar manusia yang dibekali sejak
kelahirannya dengan keistimewaan berikut:
1. Beriman kepada Allah
2. Kemampuan dan kesediaannya
untuk menerima kebaikan dan keburukan atas kemampuan untuk menerima pendidikan
dan pengajaran.
3. Dorongan ingin tahu untuk
mencapai hakekat kebenaran yang merupakan daya untuk berpikir
4. Dorongan biologis yang
berupa syahwat dan insting
5. Kekuatan-kekuatan dan
sifat-sifat manusia yang dapat dikembangkan dan disempurnakan[1].
Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa
manusia memiliki beberapa potensi yang dapat dikembangkan, dan pendidikanlah
yang mempunyai peran utama dalam perkembangannya. Adapun pendidikan menurut
Marimba adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh pendidik terhadap
perkembangan jasmani dan rohani anak didik menuju terbentuknya kepribadian yang
utama[2].
Sedangkan pendidikan dari segi masyarakat berarti pewarisan kebudayaan kepada
generasi muda agar hidup tetap berlangsung. Dan dari segi individu pendidikan
adalah pengembangan potensi-potensi yang sudah dimiliki sejak lahir[3].
Akal adalah suatu peralatan rohaniah manusia yang berfungsi untuk membedakan yang
salah dan yang benar serta menganalisis sesuatu yang kemampuannya sangat
tergantung luas pengalaman dan tingkat pendidikan, formal maupun
informal, dari manusia pemiliknya. Jadi, akal bisa didefinisikan sebagai salah
satu peralatan rohaniah manusia yang berfungsi untuk mengingat, menyimpulkan,
menganalisis, menilai apakah sesuai benar atau salah[4]. Adapun mayoritas ulama memahami akal dalam tiga
ketegori. Pertama, merujuk pada potensi dasar manusia dalam berbicara,
bersikap dan bertindak. Kedua, potensi dalam berusaha memahami dan
meneliti premis-premis umum, sehingga mampu melakukan deduksi dan akumulasi
premis-premis tentang tujuan dan kebaikan dalam hatinya. Ketiga, validitas karakter primordial manusia,
sehingga ia mampu mengetahui kualifikasi kategori baik-buruk, sempurna-cacat,
sesuatu yang diperhatikannya[5]. Adapula ulama yang berpendapat dan meyakini bahwa ‘aql
adalah hidayah yang telah ditanamkan (embedded) oleh Allah kedalam
setiap manusia bisa menerima hidayah dan mengamalkannya[6]. Adapun menurut Imam Bawani bahwa akal merupakan
substansi rohaniyah yang dengannya manusia dapat memahami dan membedakan
kebenaran dan kepalsuan[7]
Dari beberapa pengertian akal diatas
dapat disimpulkan bahwa akal adalah suatu unsur rohaniyah manusia yang
dengannya manusia dapat membedakan mana yang benar dan salah, mana yang baik
dan buruk, sekaligus merupakan kemampuan untuk menerima ilmu pengetahuan.
Berkaitan dengan kehidupan, Islam
datang dengan berbagai kosepnya. Islam akan tetap mampu menjadi alternative
petunjuk yang benar dalam kehidupan. Dengan al-Quran dan hadits sebagai sumber
utama, sebagaimana Nabi Muhammad SAW bersabda: “Aku telah tinggalkan pada kamu dua
perkara. Kamu tidak akan sesat selama berpegang kepada keduanya, (yaitu) Kitab
Allah dan Sunnah Rasul-Nya”. (Hadits Shahih Lighairihi, H.R.
Malik; al-Hakim, al-Baihaqi, Ibnu Nashr, Ibnu Hazm. Dishahihkan oleh Syaikh
Salim al-Hilali di dalam At Ta’zhim wal Minnah fil Intisharis Sunnah,
hlm. 12-13)[8]. Islam mengatur segala kehidupan. Dalam mengatur
kehidupan ini, ada yang dijelaskan secara rinci dan ada yang hanya disebutkan
secara global. Salah satu yang diatur secara global adalah tentang pendidikan.
Akal yang diberikan kepada manusia
merupakan potensi yang belum siap pakai, maka pendidikan akal berarti
mengusahakan agar akal tersebut menjadi aktual[9]. Potensi ini akan berkembang menjadi baik jika
disertai dengan pendidikan yang baik pula. Sebaliknya jika potensi dibiarkan
akibatnya bisa fatal. Sebagaimana disebutkan dalam al-Quran Surah An-Nahl ayat
12
t¤yur ãNà6s9 @ø©9$# u$yg¨Y9$#ur }§ôJ¤±9$#ur tyJs)ø9$#ur ( ãPqàfZ9$#ur 7Nºt¤|¡ãB ÿ¾ÍnÌøBr'Î/ 3 cÎ) Îû Ï9ºs ;M»tUy 5Qöqs)Ïj9 cqè=É)÷èt ÇÊËÈ
Artinya: “dan Dia menundukkan malam dan siang, matahari dan bulan
untukmu. dan bintang-bintang itu ditundukkan (untukmu) dengan perintah-Nya.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar ada tanda-tanda (kekuasaan
Allah) bagi kaum yang memahami (Nya)”
Dari ayat ini tampak jelas bahwa
dengan menggunakan akal manusia dapat menyelidiki alam, karena hal ini menjadi
titik tolak untuk memahami dan mengkaji alam juga untuk membuktikan kebenaran
adanya yang Maha Pencipta.
Pendidikan akal, tidak lain adalah untuk
mengembangkan potensi dasar yang sudah ada sejak manusia lahir, tetapi masih
berada dalam alternative berkembang menjadi akal yang baik, atau sebaliknya
tidak berkembang sebagaimana mestinya. Dengan demikian maka tugas pendidiklah
untuk mengembangkan potensi tersebut menjadi akal yang baik. Akal adalah
potensi gaib yang tidak dimiliki oleh makhluk lain, yang mampu menuntun kepada
pemahaman diri dan alam. Ia juga mampu melawan hawa nafsu. Sehingga dengan
akalnya manusia bersedia menerima berbagai macam ilmu pengetahuan yang
memerlukan pemikiran. Sebagaimana Rasulullah SAW bersabda yang berbunyi: “Tidak
dijadikan oleh Allah suatu makhluk yang lebih mulia dari padanya kecuali
daripada akal”[10]. Selain
itu juga terdapat banyak ayat al-Quran yang menyatakan betapa pentingnya akal,
diantaranya terdapat dalam surah al-Baqarah ayat 164 yang berbunyi :
¨bÎ)
Îû
È,ù=yz
ÏNºuq»yJ¡¡9$#
ÇÚöF{$#ur
É#»n=ÏG÷z$#ur
È@ø©9$#
Í$yg¨Y9$#ur
Å7ù=àÿø9$#ur
ÓÉL©9$#
ÌøgrB
Îû
Ìóst7ø9$#
$yJÎ/
ßìxÿZt
}¨$¨Z9$#
!$tBur
tAtRr&
ª!$#
z`ÏB
Ïä!$yJ¡¡9$#
`ÏB
&ä!$¨B
$uômr'sù
ÏmÎ/
uÚöF{$#
y֏t/
$pkÌEöqtB
£]t/ur
$pkÏù
`ÏB
Èe@à2
7p/!#y
É#ÎóÇs?ur
Ëx»tÌh9$#
É>$ys¡¡9$#ur
̤|¡ßJø9$#
tû÷üt/
Ïä!$yJ¡¡9$#
ÇÚöF{$#ur
;M»tUy
5Qöqs)Ïj9
tbqè=É)÷èt
ÇÊÏÍÈ
Artinya:
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan
siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan
apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia
hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala
jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan
bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum
yang memikirkan. (QS. Al-Baqarah: 164).
Dari
keterangan di atas, jelas bahwa kedidikan akal sangat penting untuk realitas,
baik yang kongkrit maupun gaib, terutama dalam pandangan Islam seperti
kehidupan sesudah mati, surga, neraka, jin, malaikat dan lainnya. Pada
prinsipnya, tujuan pendidikan akal adalah agar akal berkembang secara optimal
dalam batas kualitas yang paling maksimal menurut ukuran ilmu dan ketakwaan
secara seimbang, sehingga dengan ilmunya, manusia dapat menjalankan fungsinya.
2. Implikasi Hadits Tentang Qalbu dalam Pendidikan
“Telah menceritakan kepada kami Abu Nu'aim Telah menceritakan kepada
kami Zakaria dari 'Amir berkata; aku mendengar An Nu'man bin Basyir berkata;
aku mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Yang
halal sudah jelas dan yang haram juga sudah jelas. Namun diantara keduanya ada
perkara syubhat (samar) yang tidak diketahui oleh banyak orang. Maka
barangsiapa yang menjauhi diri dari yang syubhat berarti telah memelihara
agamanya dan kehormatannya. Dan barangsiapa yang sampai jatuh (mengerjakan)
pada perkara-perkara syubhat, sungguh dia seperti seorang penggembala yang
menggembalakan ternaknya di pinggir jurang yang dikhawatirkan akan jatuh ke
dalamnya. Ketahuilah bahwa setiap raja memiliki batasan, dan ketahuilah bahwa
batasan larangan Allah di bumi-Nya adalah apa-apa yang diharamkan-Nya. Dan
ketahuilah pada setiap tubuh ada segumpal darah yang apabila baik maka baiklah
tubuh tersebut dan apabila rusak maka rusaklah tubuh tersebut. Ketahuilah, ia
adalah hati". (HR. BUKHARI - 50)
Hadits di atas dapat dipahami
bahwa makna yang dimaksud pada kata الْقَلْبُ adalah
hati, sehingga hadits tersebut mengandung pengertian akan pentingnya hati, dan
dorongan untuk memperbaikinya. Akan tetapi, berbeda dengan pendapat Zaghlul An-Najjar yang menyatakan bahwa maksud
الْقَلْبُ dari hadits di atas adalah jantung.
Dengan beralasan bahwa مُضْغَةً merupakan segumpal darah yang vital
bagi tubuh. Hadits ini memuat secercah kemukjizat ilmiah, karena penyakit
apapun kalau sudah menyerang hati atau jantung, maka ia akan merusaknya dan
akhirnya akan merusak seluruh tubuh[11]. Hal ini
karena jantung berfungsi memompa darah yang tidak bersih (belum teroksidasi) dari bilik jantung bagian
kanan ke paru-paru yang langsung melakukan proses oksidasi darah, lalu
mengembalikan darah yang sudah bersih
(teroksidasi) dari paru-paru ke bilik jantung bagian kiri yang kemudian
memompanya ke seluruh bagian tubuh[12].
Dengan
demikian, jika kita memahami hati dalam dimensi fisiknya sebagai organ tubuh
yang dapat diraba dan dalam dimensi spiritualnya sebagai sesuatu yang bersifat
immateri dan tidak terlihat. Maka organ fisik hati merupakan pilar kehidupan
tubuh, sehingga jika ia baik dan sehat, maka sehat dan baiklah semua tubuhnya,
dan sebaliknya jika ia bobrok dan rusak, maka akan bobrok dan rusaklas seluruh
tubuhnya. Sedangkan sebagai organ maknawi, hati merupakan pilar perasaan,
keyakinan, nalar, pemikiran, pemahaman, akhlak dan budi pekerti. Sehingga jika
ia baik dan shaleh, maka baik dan shaleh pula seluruh tubunya, namun jika ia
bobrok dan bejat, maka bobrok dan bejat pula seluruh tubuhnya[13].
Dari
penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa qalbu merupakan alat yang sangat
strategis dan sangat vital bagi kehidupan manusia dalam mengabdi dan menuju
kepada Allah, dan untuk kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Namun dalam
realitas kesehariannya, banyak sekali qalbu manusia yang tidak berfungsi
sebagaimana mestinya, hal ini karena qalbu selalu menjadi sasaran utama godaan
syaitan. Maka dari itu perlu adanya upaya untuk mendidik qalbu agar dapat
mengantarkan manusia untuk bermakrifat kepada Allah, sehingga terbentuklah
akhlakul karimah dan akhlakul mahmudah dari pribadi-pribadi muslim muttaqin
yang muqorrobin.
Dengan
demikian, tugas pendidik adalah membimbing dan mengarahkan peserta didik agar
hatinya tertuju kepada Allah SWT dengan cara:
1. Istighfar,
yaitu meminta ampun kepada Allah atas segala dosa dan kesalahan. Disini
pendidik membimbing peserta didik untuk selalu beristighfar setiap selesai
shalat, atau ketika marah, kesal dan ketika ada hal yang membuatnya emosi.
Karena dengan beristighfar akan melapangkan dada seorang hamba dan mendatangkan
rahmat Allah, sebagaimana firman Allah dalam QS. An-Naml; 46
Artinya: "Hai kaumku mengapa kamu minta
disegerakan keburukan sebelum (kamu minta) kebaikan? hendaklah kamu meminta
ampun kepada Allah, agar kamu mendapat rahmat". (QS. An-Naml: 46)
2. Doa, yaitu
memohon dan meminta kepada Allah atas segala keinginan. Tugas pendidik adalah
mengajak peserta didik untuk membiasakan berdoa setiap hendak melakukan
pekerjaan, misalnya berdoa ketika mau berangkat sekolah, mau belajar, mau ke
kamar mandi, dan setiap aktivitas lainnya. Berdoa juga hendaknya dilakukan
setiap selesai shalat.
3. Shalawat, yaitu
membaca salam kepada Nabi Muhammad SAW dengan menggunakan lafadz-lafadz
tertentu. Shalawat kepada Nabi SAW merupakan ibadah yang telah diperintahkan
oleh Allah SWT, terdapat dalam QS. al-Ahzab: 56
Artinya: “Sesungguhnya Allah dan
malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi[1229]. Hai orang-orang yang
beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan
kepadanya[1230].
[1229] Bershalawat artinya: kalau dari Allah berarti
memberi rahmat: dari Malaikat berarti memintakan ampunan dan kalau dari
orang-orang mukmin berarti berdoa supaya diberi rahmat seperti dengan
perkataan:Allahuma shalli ala Muhammad.
[1230] Dengan mengucapkan Perkataan
seperti:Assalamu'alaika ayyuhan Nabi artinya: semoga keselamatan tercurah
kepadamu Hai Nabi.
4. Dzikrullah,
yaitu berusaha untuk selalu ingat kepada Allah dengan kalimat-kalimat tertentu
dimana saja, kapan saja sepanjang hayat. Dzikrullah ini merupakan amalan paling
utama dan merupakan jalan terdekat menuju Allah[14].
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa
hadits tersebut memuat tentang eksistensi qalbu sebagai organ tubuh yang sangat
berperan penting bagi tubuh kita. Qalbu bisa diartikan sebagai dimensi fisik
yang berfungsi sebagai organ tubuh yang dapat dilihat dan diraba, dan sebagai
dimensi spiritual sebagai sesuatu yang bersifat immateri dan tidak terlihat,
sebagai pilar kehidupan tubuh, akhlak dan budi pekerti. Adapun mengenai
kuantitas haditsnya tersebut merupakan hadits yang ahad yang bisa dijadikan
sebagai patokan.
3. Implikasi Hadits Tentang Nafs dalam Pendidikan
“Telah menceritakan kepada
kami Abu Bakar bin Abu Syaibah telah menceritakan kepada kami Zaid bin Al Hubab
telah mengabarkan kepadaku Mu'awiyah bin Shalih telah menceritakan kepadaku
Rabi'ah bin Yazid Ad Dimasyqi dari Abdullah bin Amir Al Yahshabi ia berkata,
saya mendengar Mu'awiyah berkata; Hati-hatilah kalian dari hadits-hadits
(palsu), kecuali hadits-hadits pada masa Umar bin Al Khaththab. Sesungguhnya
Umar sangat ditakuti orang mengenai hukum-hukum Allah. Saya mendengar
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Siapa yang dikehendaki
Allah menjadi baik, maka akan dipahamkan-Nya dengan kepahaman yang dalam
tentang agama." Dan saya juga mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam bersabda: "Aku ini adalah seorang bendahara. Maka siapa yang kuberi
sedekah dan diterimanya dengan hati yang bersih, maka dia akan beroleh berkah
dari harta itu. Tetapi siapa yang kuberi karena meminta-minta dan rakus, maka
dia seperti orang yang makan yang tak pernah kenyang." (HR. MUSLIM - 1719)
Berdasarkan hadits di atas menjelaskan bahwa
berkah tidaknya suatu harta tergantung dari bagaimana keikhlasan dan kerakusan
hati orang tersebut. Adapun kondisi tersebut bisa dikatakan dengan
nafsu, yang mana nafsu itu adalah sesuatu
yang lembut pada diri seseorang yang menimbulkan
keinginan seseorang atau dorongan-dorongan hati yang kuat untuk memuaskan
kebutuhan hidupnya, baik kebutuhan jasmani maupun rohani. Misalnya keinginan
makan, minum, disanjung dihargai dan sebagainya. Karena itu sering disebut
dengan hawa nafsu, yang mana hawa nafsu
merupakan disenangi oleh jiwa kita, baik bersifat jasmani
maupun yang bersifat maknawi. Nafs yang bersifat jasmani yaitu sesuatu yang
berkaitan dengan kebutuhan tubuh kita seperti makanan, minuman, dan kebutuhan
biologis lainnya. Adapun nafsu yang bersifat maknawi yaitu nafsu yang berkaitan
dengan kebutuhan rohani, seperti nafsu ingin diperhatikan orang lain, ingin
dianggap sebagai orang
yang paling penting, nafsu ingin disanjung dan lain-lain. Nafs dalam kondisi
tertentu dibutuhkan bagi kehidupan manusi, namun harus dikendalikan dengan baik
agar tidak mengakibatkan pengaruh buruk/negative bagi manusia[15]. Hal ini sejalan dengan Quraish Sihab yang menyatakan bahwa
secara umum dapat dikatakan bahwa nafs dalam kontek pembicaraan manusia
menunjuk kepada sisi dalam manusia yang berpotensi baik dan buruk[16]. Nafs ini berisi impuls-impuls yang berupa
rasa sedih, rasa benci, rasa iri hati, yang terkumpul dalam hati. Nafs
diciptakan oleh Allah dalam keadaan sempurna yang berfungsi menampung serta
mendorong manusia berbuat kebaikan dan keburukan[17].
Dalam tasawuf,
istilah nafs mempunyai dua arti. Pertama, kekuatan hawa nafsu amarah,
syahwat dan perut yang terdapat dalam jiwa manusia, dan merupakan sumber bagi
timbulnya akhlak. Kedua, jiwa ruhani yang bersifat lathif, ruhani, dan
rabbani. Nafs dalam pengertian kedua inilah yang merupakan hakikat
manusia yang membedakan dengan hewan dan makhluk lainnya[18].
Nafs juga dipahami sebagai ruh akhir atau ruh yang diturunkan Allah SWT, atau
yang mendhohirkan ke dalam jasadiyah manusia dalam rangka menghidupkan
jasadiyah itu, menghidupkan qalbu, akal pikiran, inderawi, dan menggerakkan
seluruh unsur dan organ dari jasadiyah tersebut agar dapat berinteraksi dengan
lingkungannya di permukaan bumi dan dunia ini[19].
Pada
hakikatnya, nafs memiliki fungsi menggerakkan dan mendorong diri manusi untuk
melahirkan beberapa hal, diantaranya mendorong dan menggerakkan otak manusia
agar berpikir dan merenungkan apa-apa yang telah Allah ilhamkan berupa kebaikan
dan keburukan. Sehinnga dapat menemukan hikmah-hikmah dari kedunya, serta mendorong
dan menggerakkan qalbu yang ada dalam dada agar merasakan dua perasaan, yaitu
perasaan ketuhanan dan perasaan kemakhlukan, agar menerima ilham dan
penampakkan isyarat-isyarat ketuhanan yang abstrak dan tersembunyi[20].
Berdasarkan
hadis di atas, dapat disimpulkan bahwa nafs itu terbagi menjadi dua yaitu nafsu
jasmani yang berkaitan dengan kebutuhan tubuh kita
seperti makanan, minuman, dan kebutuhan biologis lainnya. Dalam konteks
kehidupan nafs ini bisa mendorong seseorang dalam mengeluarkan instruksi kepada
jasmani untuk berbuat durhaka atau takwa, kekuatan yang dituntut
pertanggungjawabannya atas perbuatan buruk dan baik. Salah satunya yaitu nafs
kalbiyah yang artinya jiwa anjing, yaitu sebagai perumpamaan orang yang
ingin memonopoli sendiri, sebagaimana kutipan hadis diatas yaitu “siapa yang kuberi karena
meminta-minta dan rakus, maka dia seperti orang yang makan yang tak pernah
kenyang”. Dalam dunia pendidikan,
sebagai pendidik kita bisa mengajarkan, mencontohkan serta membimbing peserta
didik agar membiasakan diri untuk mau berbagi dengan temannya ketika punya
makanan, atau ketika temannya ada yang tidak membawa alat tulis, agar mau untuk
meminjamkannya. Disini peserta didik dilatih untuk mau berbagi dan tidak
memiliki sifat rakus, atau ingin memonopoli semuanya sendiri.
Adapun nafsu yang bersifat
maknawi yaitu nafsu yang berkaitan dengan kebutuhan rohani, seperti nafsu ingin
diperhatikan orang lain, ingin dianggap sebagai orang yang paling penting, nafsu ingin disanjung dan
lain-lain. Oleh karenanya nafsu dapat menggerakkan dan mendorong diri manusia,
sehingga nafsu ini dapat melahirkan semangat untuk beraktivitas, bekerja,
belajar dan juga aktivitas lainnya. Dengan dorongan semangat tersebut maka
apapun yang dikerjakan oleh seseorang maka hasilnyapun pasti akan bagus,
misalnya ketika seorang guru berangkat ke sekolah dengan semangat yang tinggi
untuk mengajar, maka ilmu yang disampaikan kepada siswapun akan berbeda
hasilnya dengan ilmu yang disampaikan oleh guru yang kurang memiliki semangat
dalam mengajar. Begitupun dengan siswa, jika dari rumah dia berangkat ke
sekolah dengan keadaan kurang semangat, maka ilmu yang didapatnyapun akan
berbeda dengan siswa yang berangkat ke sekolah dengan keadaan semangat untuk
belajar.
BAB III
PENUTUP
A.
Simpulan
Dari penjelasan hadits di atas dapat disimpulkan bahwa
akal, qalbu dan nafs memiliki pengaruh besar terhadap
kelangsungan baik buruknya hidup seseorang. Dengan akal seseorang mampu
mendapatkan ilmu pengetahuan, menentukan kebenaran dan kesalahan, membedakan
kebaikan dan keburukan. Namun untuk menentukan tindakan benar dari yang salah,
baik dari yang buruk maka perlu adanya pertimbangan hati.
Hati ibarat pengemudi yang menentukan keselamatan atau
kesengsaraan penumpangnya. Sehingga jika hati baik, maka perilaku anggota
lahirpun akan baik. Jika hati buruk maka perilaku anggota lahirpun akan buruk.
Demikian juga nafsu kesenangan jika dilepaskan dari
petunjuk akal dan arahan hati, maka akan melahirkan perilaku tercela dan
merugikan. Manusia diberi nafsu makan, minum, seksual dan sebagainya agar
anggota badan sehat dan melangsungkan keturunan. Manusia tidak bisa lepas dari
nafsu, karena dengan nafsu manusia bisa bertahan hidup.
Begitupun dengan peserta didik, jika seseorang lebih
unggul di kecerdasan akalnya, sedangkan qalbu dan nafs nya
kurang, maka besar kemungkinan ia akan menjadi anak yang sombong, begitupun
sebaliknya, jika seorang anak memiliki kecerdasan akal yang kurang maka ia akan
tertinggal berada dibelakang, terlebih di zaman sekarang ini. Oleh karena itu
perlu adanya keseimbangan antara ketiga hal itu, yaitu selalu mengasah kecerdasan
menggunakan akal untuk mempertimbangkan semua hal yang akan kita lakukan,
termasuk tambahan ilmu agama dan pengetahuan. Selain itu juga mengasah
ketajaman perasaan dan kepekaan hati agar hati kita berfungsi dengan baik, agar
bisa mengendalikan pikiran dan nafsu dalam setiap tindakan.
B.
Saran
Dengan selesainya
makalah ini, bukan berarti seluruh pembahasan mengenai akal, qalbu dan nafs telah selesai
dibahas tuntas. Makalah ini hanya sebagian kecil
mengenai akal, qalbu dan nafs sebagai potensi manusia bukanlah
penyempurna dari berbagai literatur yang membahas tentang akal, qalbu dan
nafs sebagai potensi manusia.
Kepada
pembaca yang merasa tertarik untuk membahas materi tentang akal, qalbu dan nafs guna menindak lanjuti dan memperdalam materi ini lebih
lengkap lagi dengan senang hati kami mempersilahkannya.
DAFTAR
PUSTAKA
An-Najjar, Zaghlul, 2006, “Pembuktian
Sains dalam Sunnah”, Jakarta: Amzah
Hamdani Bakran Adz-Dzakiy. 2007. “Psikologi
Kenabian; Prophetic Psychology: Menghidupkan Potensi dan Kepribadian dalam
Diri”, Yogyakrta: Beranda Publishing
Hodri, 2013. “Penafsiran Akal
Dalam Al-Quran”, Mutawwir: Jurnal Keilmuan Tafsir Hadits, Volume 3, Nomor 1
https://agorsiloku.wordpress.com/2010/09/21/konsep-nafs-dalam-al-qur%E2%80%99an/
https://id.wikipedia.org/wiki/Akal
http://man3tangerang.blogspot.com/2016/11/kedudukan-akal-nafsu-dan-qalbu.html
https://muslim.or.id/6966-kaedah-penting-dalam-memahami-al-quran-dan-hadits.html
http://nurdinmubarok.blogspot.com/2015/02/pendidikan-qolbu.html
http://www.wartamadrasahku.com/2016/04/pendidikan-akal-menurut-konsep-islam.html
Humaini. 2008. “Konsep Tazkiyatun
Nafs dalam Al-Quran dan Implikasinya dalam Pengembangan Pendidikan Islam”. Malang:
Skripsi
Jamaludin, KOmarudin, A.,
& Khoerudin, K. (2015). Pembelajaran Perspektif ISlam. Bandung:
Remaja Rosdakarya.
Lidwa software
M. Solihin. 2002, “Kamus
Tasawuf”, Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Tafsir, Ahmad. 2014, “Ilmu Pendidikan Perspektif
Islam”, Bandung: Remaja Rosdakarya
Zainudin, dkk, 1991, Seluk Beluk Pendidikan dari
al-Ghozali, Jakarta: Bumi Aksara
[1] Zainudin, dkk, 1991, Seluk
Beluk Pendidikan dari al-Ghozali, Jakarta: Bumi Aksara, hlm. 66-67
[2] Tafsir, Ahmad. 2014, “Ilmu
Pendidikan Perspektif Islam”, Bandung: Remaja Rosdakarya, hlm. 24
[3] Muhaimin Abdul Mujib,
1993, “Pemikiran Pendidikan Islam (Kajian Filosofis dan Kerangka Dasar
Operasionalisasinya), Bandung: Trigenda Karya, hlm 80 dalam http://www.wartamadrasahku.com/2016/04/pendidikan-akal-menurut-konsep-islam.html
[4] https://id.wikipedia.org/wiki/Akal
[5] Hodri, 2013. “Penafsiran
Akal Dalam Al-Quran”, Mutawwir: Jurnal Keilmuan Tafsir Hadits, Volume 3,
Nomor 1, hlm. 5
[6] Ibid. hlm. 5
[7] http://www.wartamadrasahku.com/2016/04/pendidikan-akal-menurut-konsep-islam.html
[8] https://muslim.or.id/6966-kaedah-penting-dalam-memahami-al-quran-dan-hadits.html
[9] Imam Bawani, 1987, “Segi-segi
Pendidikan Islam” Surabaya: Al-Ikhlas, hlm 209 dalam http://www.wartamadrasahku.com/2016/04/pendidikan-akal-menurut-konsep-islam.html
[10] Imam Ghozali, Ihya Ulumuddin, Juz.
4, hlm. 102 dalam http://www.wartamadrasahku.com/2016/04/pendidikan-akal-menurut-konsep-islam.html
[11] An-Najjar, Zaghlul, 2006,
“Pembuktian Sains dalam Sunnah”, Jakarta: Amzah, hlm. 60
[12] Ibid, hlm. 60
[13] Ibid, hlm. 64
[14] http://nurdinmubarok.blogspot.com/2015/02/pendidikan-qolbu.html
[15] http://man3tangerang.blogspot.com/2016/11/kedudukan-akal-nafsu-dan-qalbu.html
[16] M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Berbagai Persoalan Umat, (Bandung: Mizan, 1996), 285-286.
[17] https://agorsiloku.wordpress.com/2010/09/21/konsep-nafs-dalam-al-qur%E2%80%99an/
[18] M. Solihin. 2002, “Kamus
Tasawuf”, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, hlm 153
[19] Hamdani Bakran
Adz-Dzakiy. 2007. “Psikologi Kenabian; Prophetic Psychology: Menghidupkan
Potensi dan Kepribadian dalam Diri”, Yogyakrta: Beranda Publishing, hlm.102
[20] Humaini. 2008. “Konsep
Tazkiyatun Nafs dalam Al-Quran dan Implikasinya dalam Pengembangan Pendidikan
Islam”. Malang: Skripsi