Sabtu, 29 September 2018

Pengertian Ontologi, Epistimologi dan Aksiologi Sains


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latarbelakang Masalah
Pengetahuan merupakan khasanah kekayaan mental yang secara langsung atau tak langsung turut memperkaya kehidupan kita. Pengetahuan juga dapat dikatakan sebagai jawaban dari berbagai pertanyaan yang muncul dalam kehidupan.[1] Begitupun dengan pengetahuan sain/Ilmiah/disiplin ilmu yang hingga saat ini sangat terasa dampaknya dalam kehidupan manusia
Pada dasarnya pengetahuan sain hadir untuk menjawab kebutuhan manusia yang semakin kompleks, sehingga para pemikir secara terus menerus berusaha untuk menjawab kebutuhan yang harus di penuhi tersebut, Namun ada kalanya pengetahuan sain ini justru memberikan dampak negatif bagi para penggunanya hal tersebut dikarenakan terjadinya perubahan nilai, penyalah gunaan hasil temuan sain atau bahkan karena ulah tangan manusia yang kurang bijak dalam mempergunakannya.
Sebetulnya bukan permasalahan atau dampak sain yang akan kami bahas dalam makalah ini, lebih tepatnya kami akan membahas mengenai apakah pengetahuan sain itu? (Ontologi sain), bagaimana pengetahuan sain? (epistemology sain), dan apa gunanya pengetahuan sain? ( aksiologi sain).

B.     Rumusan Masalah
            Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalahnya adalah sebagai berikut :
1.      Apa ontologi sain ?
2.      Bagaimana epistemology sain ?
3.      Apa aksiologi dari sain ?


C.    Tujuan penulisan
             Berdasarkan rumusan masalah yang diatas dapat kita ketahui tujuan penulisan sebagai berikut:
1.      Untuk mengetahui ontologi sain
2.      Untuk mengetahui epistemologi sain
3.      Untuk mengetahui aksiologi sain


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Ontologi Sain
Pada bagian ini akan di bahas mengenai pengertian pengetahuan ilmiah, pengertian sain, pengertian disiplin ilmu, hakikat pengetahuan sain, dan struktur sain.
a.      Pengertian Pengetahuan Ilmiah
Pengetahuan adalah sesuatu yang diketahui berkaitan dengan proses pembelajaran. Proses belajar ini dipengaruhi berbagai faktor dari dalam seperti motivasi dan faktor luar berupa sarana informasi yang tersedia serta keadaan sosial budaya.[2] Secara garis besar domain tingkat pengetahuan (kognitif) mempunyai enam tingkatan, meliputi: mengetahui, memahami, menggunakan, menguraikan, menyimpulkan dan mengevaluasi. Ciri pokok dalam taraf pengetahuan adalah ingatan tentang sesuatu yang diketahuinya baik melalui pengalaman, belajar, ataupun informasi yang diterima dari orang lain.[3] Pengetahuan juga di definisikan sebagai pengalaman yang dirasionalisir, sehingga terorganisir[4].
Berdasarkan uraian-uraian di atas, maka dapat kita definisikan bahwa; Pengetahuan merupakan Hasil dari proses mencari tahu, dari yang tadinya tidak tahu menjadi tahu, dari tidak dapat menjadi dapat. Dalam proses mencari tahu ini mencakup berbagai metode dan konsep-konsep, baik melalui proses pendidikan maupun melalui pengalaman.
Sedangkan pengetahuan ilmiah ialah segala sesuatu yang diketahui melalui proses pencarian berdasarkan metode ilmiah.
b.      Pengertian Sain
Kata sain berasal dari bahasa latin scientia yang berarti “pengetahuan” atau “mengetahui”. Dari kata ini dibentuk kata science. Sain dalam pengertian sebenarnya adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari berbagai fenomena alam sehingga rahasia yang dikandungnya dapat diungkap dan dipahami. Dalam usaha mengungkap rahasia alam tersebut, sain melakukannya dengan menggunakan metode ilmiah.[5]
c.       Pengertian Disiplin Ilmu
Disiplin ilmu adalah ilmu/pengetahuan yang kita dalami dan merupakan keahlian utama kita yang sifatnya lebih detail/spesifik bukan secara umum.  Misalnya: disiplin ilmu ekonomi mikro (bukan ilmu ekonomi).[6] Disiplin ilmu adalah mampu menggunakan ilmu yang kita miliki tepat pada tempatnya, pada waktunya dan pada sasarannya.[7]
d.      Hakikat Pengetahuan Sain
Pengetahuan sain adalah pengetahuan rasional empiris. Pertama, masalah rasional.
Saya berjalan-jalan di beberapa kampong. Banyak hal yang menarik perhatian saya di kampong-kampung itu, satu diantaranya ialah orang-orang di kampong yang satu sehat-sehat, sedang dikampung yang lain banyak yang sakit. Secara pukul-rata penduduk kampong yang satu lebih sehat dari pada kampong yang lain tadi. Ada apa ya? Demikian pertanyaan dalam hati saya.
Kebetulan saya mengetahui bahwa penduduk kampung yang satu itu memelihara ayam dan mereka memakan telurnya, sedangkan penduduk kampung yang lain tadi juga memelihara ayam tapi tidak memakan telurnya, mereka menjual telurnya. Berdasarkan kenyataan itu saya menduga, kampung yang satu itu penduduknya sehat-sehat karena banyak memakan telur, sedangkan penduduk kampung yang lain itu banyak yang sakit karena tidak makan telur. Berdasarkan ini saya menarik hipotesis semakin banyak makan telur akan semakin sehat, atau telur berpengaruh positif terhadap kesehatan.
Hipotesis harus berdasarkan rasio, dengan kata lain hipotesis harus rasional. Dalam hal hipotesis yang saya ajukan itu rasionalnya ialah: untuk sehat diperlukan gizi, telur banyak mengandung gizi, karena itu, logis bila semakin banyak makan telur akan semakin sehat.
Hipotesis saya itu belum diuji kebenarannya. Kebenaranya barulah dugaan. Tetapi hipotesis itu telah mencukupi telah mencukupi dari segi kerasionalannya. Dengan kata lain, hipotesis saya itu rasional. Kata “rasional” disini menunjukan adanya hubungan pengaruh atau hubungan sebab akibat.
Kedua, masalah empiris. Hipotesis saya itu saya uji (kebenarannya) mengikuti prosedur metode ilmiah. Untuk menguji hipotesis itu saya gunakan metode eksperimen dengan cara mengambil satu atau dua kampung yang disuruh makan telur secara teratur selama setahun sebagai kelompok eksperimen, dan mengambil satu atau dua kampung yang lain yang tidak boleh makan telur, juga selama setahun itu, sebagai kelompok control. Pada akhir tahun, kesehatan kedua kelompok itu saya amati. Hasilnya, kampung yang makan telur rata-rata lebih sehat.
Sekarang hipotesis saya semakin banyak makan telur akan semakin sehat atau telur berpengaruh positif terhadap kesehatan terbukti. Setelah terbukti-sebaiknya berkali-kali – maka hipotesis saya tadi berubah menjadi teori. Teori saya bahwa “semakin banyak makan telur akan semakin sehat” atau “telur bepengaruh positif terhadap kesehatan”, adalah teori rasional-empiris. Teori seperti inilah yang disebut teori ilmiah (scientific theory).
Cara kerja saya dalam memperoleh teori itu tadi adalah cara kerja  metode ilmiah. Rumus baku metode ilmiah adalah: logico-hypothetico-verificatif (buktikan bahwa itu logis, tarik hipotesis, ajukan bukti empiris).
Pada dasarnya cara kerja sain adalah cara kerja mencari hubungan sebab-akibat atau mencari pengaruh sesuatu terhadap yang lain. Asumsi dasar sain adalah tidak ada kejadian tanpa sebab. Asumsi ini benar bila sebab akibat itu memiliki hubungan rasional.[8]
Ilmu atau sain berisi teori. Teori itu pada dasarnya menerangkan hubungan sebab akibat. Sain tidak memberikan nilai baik atau buruk, halal atau haram, sopan atau tidak sopan, indah atau tidak indah; sain hanya memberikan nilai benar atau salah. Kenyataan inilah yang menyebabkan ada orang menyangka bahwa sain itu netral. Dalam konteks itu ya, tapi dalam konteks yang lain belum tentu ya.[9]
e.       Struktur Sain
Dalam garis besarnya sain dibagi dua, yaitu sain kealaman dan sain social. Contoh berikut ini hendak menjelaskan struktur sain dalam bentuk nama-nama ilmu. Namun ilmu banyak sekali, berikut beberapa diantarnya:
1)      Sain Kealaman:
·         Astronomi
·         Fisika: mekanika, bunyi, cahaya dan optic, fisika nuklir;
·         Kimia: kimia organik, kimia teknik;
·         Ilmu bumi: paleontology, ekologi, geofisika, geokimia, mineralogy, geografi.
·         Ilmu hayat: biofisika, botani, zoologi;
2)      Sain Sosial
·         Sosiologi: sosiologi komunikasi, sosiologi politik, sosiologi pendidikan;
·         Antropologi: antropologi budaya, antropologi ekonomi, antropologi politik;
·         Psikologi: psikologi pendidikan, psikologi anak, psikologi abnormal;
·         Ekonomi: ekonomi makro, ekonomi lingkungan, ekonomi pedesaan;
·         Politik: politik dalam negeri, politik hukum, politik internasional.
3)      Humaniora
·         Seni: seni abstrak, seni grafika, seni pahat, seni tari;
·         Hukum: hukum pidana, hukum tata usaha negara, hukum adat( mungkin dapat di masukan ke sain social);
·         Filsafat: logika, etika, estetika;
·         Bahasa: sastra;
·         Agama: Islam, Kristen, Confusius;
·         Sejarah: Sejarah Indonesia, Sejarah dunia (mungkin dapat di masukan ke sain social);[10]
B.     Epistemologi Sain
a.      Objek Pengetahuan Sain
Objek pengetahuan sain (yaitu objek-objek yang diteliti sain) ialah semua objek yang empiris. Objek kajian sain hanyalah objek yang berada dalam ruang lingkup pengalaman manusia. Yang dimaksud pengalaman disini ialah pengalaman indera.[11]
Objek kajian sain haruslah objek-objek yang empiris sebab bukti-bukti yang harus ia temukan adalah bukti-bukti yang empiris. Bukti yang empiris ini diperlukan untuk menguji bukti rasional yang telah dirumuskan dalam hepotesis.
Objek-objek yang dapat diteliti oleh sain banyak sekali: alam, tumbuhan, hewan, dan manusia, serta kejadian-kejadian di sekitar alam, tumbuhan, hewan dan manusia itu; semuanya dapat diteliti oleh sain. Dari penelitian itulah muncul teori-teori sain. Teori-teori itu berkelompok dan dikelompokkan dalam masing-masing cabang sain. Teori-teori yang berkelompok itulah yang disebut struktur sain, baik cabang-cabang sain maupun isi masing-masing cabang sain tersebut.
b.      Cara Memperoleh Pengetahuan Sain
1)      Humanisme, perkembangan sain didorong oleh paham Humanisme. Humanisme ialah paham filsafat yang mengajarkan bahwa manusia mampu mengatur dirinya dan alam. Humanism telah muncul pada zaman Yunani Kumo.
2)      Rasionalisme adalah madhab filsafat ilmu yang berpandangan bahwa rasio adalah sumber dari segala pengetahuan. Dengan demikian, kriteria kebenaran berbasis pada intelektualitas. Strategi pengembangan ilmu model rasionalisme, dengan demikian, adalah mengeksplorasi gagasan dengan kemampuan intelektual manusia.
Ahmad tafsir menjelaskan bahwa Rasionalisme adalah paham yang mengatakan bahwa akal itulah alat pencari dan pengukur pengetahuan. Pengetahuan dicari dengan akal, temuannya diukur dengan akal pula.
Sumbangan rasionalisme tampak nyata dalam membangun ilmu pengetahuan modern yang didasarkan pada kekuatan pikiran atau rasio manusia. Hasil-hasil teknologi era industri dan era informasi tidak dapat dilepaskan dari andil rasionalisme untuk mendorong manusia menggunakan akal pikiran dalam mengembangkan ilmu pengetahuan untuk kesejahteraan manusia.
3)      Empirisme adalah suatu doktrin filsafat yang menekankan peranan pengalaman dalam memperoleh pengetahuan dan mengecilkan peranan akal. Istilah empirisme di ambil dari bahasa Yunani empeiria yang berarti coba-coba atau pengalaman. Sebagai suatu doktrin empirisme adalah lawan dari rasionalisme. Empirisme berpendapat bahwa pengetahuan tentang kebenaran yang sempurna tidak diperoleh melalui akal, melainkan di peroleh atau bersumber dari panca indera manusia, yaitu mata, lidah, telinga, kulit dan hidung. Dengan kata lain, kebenaran adalah sesuatu yang sesuai dengan pengalaman manusia.
Bagi kaum filsup empiris, sumber pengetahuan satu-satunya adalah pengalaman dan pengamatan inderawi. Data dan fakta yang ditangkap oleh panca indera kita adalah sumber pengetahuan. Semua ide yang benar datang dari fakta ini. Sebab itu semua pengetahuan manusia bersifat empiris.
4)      Positivisme adalah doktrin filosofi dan ilmu pengetahuan sosial yang menempatkan peran sentral pengalaman dan bukti empiris sebagai basis dari ilmu pengetahuan dan penelitian. Terminologi positivisme dikenalkan oleh Auguste Comte untuk menolak doktrin nilai subyektif, digantikan oleh fakta yang bisa diamati serta penerapan metode ini untuk membangun ilmu pengetahuan yang diabdikan untuk memperbaiki kehidupan manusia.
5)      Metode Ilmiah. Positivisme sudah dapat disetujui untuk memulai upaya membuat aturan untuk mengatur manusia dan mengatur alam. Kata positivisme, ajukan logikanya, ajukan bukti empirisnya yang terukur. Tetapi bagaimana caranya? Kita masih memerlukan alat lain. Alat lain itu ialah Metode Ilmiah. Metode ilmiah mengatakan, untuk memperoleh pengetahuan yang benar lakukan langkah berikut: Logico-hypothetico-verificatif. Maksudnya, mula-mula buktikan bahwa itu logis, kemudian ajukan hipotesis (berdasarkan logika itu), kemudian lakukan pembuktian hipotesis itu secara empiris.
6)      Metode Riset. Metode ilmiah secara teknis dan rinci dijelaskan dalam stu bidang ilmu yang disebut Metode Riset. Metode riset menghasilkan model-model penelitian. Model-model penelitian inilah yang menjadi instansi terakhir-dan memang operasional-dalam membuat aturan ( untuk mengatur manusia dan alam).[12]
c.       Ukuran Kebenaran Pengetahuan Sain.
Ukuran kebenaran pengetahuan sain dapat dilakukan dengan dua cara yaitu:
1). Uji logika, sebuah hepotesis bisa lolos apabila teori itu logis.
2). Uji Empiris, yaitu adakan eksperimen, ukuran kebenaran sains adalah benar jika dapat ditemukan bukti empiris. Hipotesis yang terbukti maka menjadi teori kemudian didukung bukti empiris maka teori itu menjadi hukum dan disebut aksioma.
C. Aksiologi Sain
Pada bagian ini dibicarakan tiga hal saja, pertama kegunan sain, kedua, cara sain menyelesaikan masalah. Ketiga, netralitas sain. Sebenarnya, keduanya itu merupakan contoh aplikasi yang pertama.
a.      Kegunaan pengetahuan sain
Apa guna sain? Pertanyaan sama dengan apa guna pengetahuan ilmiah karena sain (ilmu) lainnya teori (ilmiah). Secara umum, teori artinya pendapat yang beralasan. Alasan itu dapat berupa argumen logis, ini teori filsafat; berupa argumen perasaan atau keyakinan dan kadang-kadang empiris, ini teori sain.
Sekurang-kurangnya ada tiga kegunaan teori sain: sebagai alat membuat eksplanasi, sebagai alat peramal, dan sebagai alat pengontrol.[13]

1)      Teori sebagai alat ekspalanasi
Berbagai sain yang ada sampai sekarang ini secara umum berfungsi sebagi alat untuk membuat ekspalanasi kenyataan. Menurut T. Jacob (manusisa, ilmu dan  dan teknologi, 1993: 7-8) sain merupakan suatu sistem ekspalanasi yang paling dapat diandalkan dengan sistem lainnya dalam memahami masa lampau, sekarang, serta mengubah masa depan. Bagaimana contohnya?
Ada orang tiga bersaudara, dua laki-laki dan satu perempuan. Merka nakal, sering mabuk, membuat keonaran, sering bolos sekolah, tidak naik kelas, pindah pindah sekolah. Mereka ditinggal oleh kedua orang tuanya, ayah dan ibunya masing-masing kawin lagi dan pindah ketempat barunya masing-masing. Biaya hidup tiga bersaudara itu bersama pembantu mereka, tidak kurang. Dapatkah anda membuat eksplanasi mengapa anak-anak itu nakal?
Anda akan dapat menjelaskan (mengeksplanasikan) jika anda menguasai teori yang mampu menjelaskan gejala (nakal) itu. Menurut teori sain pendidikan, anak-anak yang orang tuanya cerai (biasanya dibuat broken home), penyebabnya ialah karena anak-anak itu tidak mendapat pendidikan yang baik dari orangtuanya. Padahal pendidikan dari kedua orang tuan amat penting dalam pertumbuhan anak menuju dewasa.      
2)      Teori sebagai alat peramal
Tatkala membuat eksplanasi, biasanya ilmuan telah mengetahui juga faktor penyebab terjadinya gejala itu. Dengan mengutak-atik faktor penyabab itu, ilmuan dapat membuat ramalan. Dalam bahasa kaum ilmuan ramalan itu disebut prediksi, untuk membedakannya dari ramalan dukun. Tepat dan banyaknya ramalan yang dapat dibuat oleh ilmuan akan ditentukan oleh kekuatan teori yang ia guanakan, kepandaian dan kecerdasan ketersediaan data di sekitar gejala itu.  
3)      Teori sebagai alat pengontrol
Eksplansi merupakan bahan untuk membuat ramalan dan kontrol. Ilmuan, selain mampu membauat ramlan berdasarkan ekspalansi gejala, juga dapat membuat kontrol.
Perbedaan prediksi dan kontrol ialah prediksi ialah prediksi bersifat pasif; tatkala ada kondisi tertentu, maka kita dapat membuat prediksi, misalnya akan terjadi ini, itu, begini atau begitu. Sedangkan kontrol bersifat aktif; terhadap sesuatu keadaan, kita membuat tindakan atau tindakan tindakan agar terjadi ini, itu, begini atau begitu.   
b.      Cara sain menyelesaikan masalah
Ilmu atau sain yang isinya teori dibuat untuk memudahkan kehidupan. Bila menghadapi kesulitan (biasanya disebut masalah), kita menghadapi dan menyelesaikan masalah itu dengan menggunakan ilmu (sebenarnya menggunakan teori ilmu).
Pertama, mengidentifikasi masalah. Identifkasi biasanya dilakukan dengan cara mengadakan penelitian dengan menganalisisnya.
Kedua, mencari teori tentang penyebab masalah.
Ketiga, menetapkan tindakan penyelesaian
      Jangan hendaknya terlalu mengandalkan sains tatkala timbul masalah. Ada dua sebab.Pertama, belum tentu teori sain yang ada mampu menyelesaikan masalah yang dihadapi.
Kedua, belum tentu setiap masalah tersedia teori untuk menyelesaikannya.
Yang terbaik ialah setiap masalah diselesaikan secara bersama-sama oleh sain, filsafat dan mistik yang bekerja secara terpadu.[14]
c.    Bonus
1)      Netralitas sain
Pada tahun 1970-an terjadi polemik antara Mukti Alin (IAIN Yogyakarta) dengan Sadali (ITB). Mukti Ali menyatakan bahwa sain itu netral, sementara Sadali berpendapat sain tidak netral. Ternyata Mukti Ali hanya memancing, ia tidak sungguh-sungguh berpendapat begitu.
Netral biasanya diartikan tidak memihak. Dalam kata “sain netral” pengertian itu juga terpakai. Artinya: sain tidak memihak pada kebaikan dan tidak juga pada kejahatan. Itulah sebabnya istilah sain netral sering diganti dengan istilah sain bebas nilai. Nah, bebas nilai (value free) itulah yang disebut sain netral; sedangkan lawannya ialah sain terikat, yaitu terikat nilai (value bound).
Bila sain itu kita anggap netral, atau kita mengatakan bahwa sain sebaiknya netral keuntungannya ialah perkembangan sain akan cepat terjadi. Karena tidak ada yang menghambat atau menghalangi tatkala peneliti (1) memilih dan menetapkan objek yang hendak diteliti, (2) cara meneliti, dan (3) tatkala menggunakan produk penelitian. Orang yang menganggap sain tidak netral, akan dibatasi oleh nilai dalam (1) memilih objek penelitian, (2) cara meneliti, dan (3) menggunakan hasil penelitian.
Tatkala akan meneliti kerja jantung manusia, orang yang beraliran sain tidak netral akan mengambil – mungkin – jantung kelinci atau jantung hewan lainnya yang paling mirip dengan manusia. Orang yang beraliran sain netral – mungkin – akan mengambil orang gelandangan untuk diambil jantungnya. Orang yang beraliran sain value bound, dalam epistemologi akan meneliti jantung itu tidak dengan menyakiti kelinci itu, sementara orang yang menganut sain value free tidak akan mempedulikan apakah subjek penelitian menderita atau tidak. Orang yang beraliran sain netral akan menggunakan hasil penelitian itu secara bebas, sedang orang yang bermazhab sain terikat akan menggunakan produk itu hanya untuk kebaikan saja. Jadi, persoalan netralitas sain itu terdapat baik pada epistemologi, maupun aksiologi sain. Sebenarnya dalam ontologi pun demikian. Dalam contoh di atas objek dan metode penelitian adalah epistemologi, sedang penggunaan hasil penelitian adalah aksiologi. Ontologinya ialah teori yang ditemukan itu. Ontologi itu pun netral, ia tidak boleh melawan nilai yang diyakini kebenarannya oleh peneliti.
Apa kerugiannya bila kita ambil paham sain netral? Bila kita paham sain netral? Bila kita pilih paham sain netral maka kerugiannya ialah ia akan melawan keyakinan, misalnya keyakinan yang berasal dari agama. Percobaan pada manusia mungkin akan diartikan sebagai penyiksaan kepada manusia. Maka, penganut sain tidak netral akan memilih objek penelitian yang mirip dengan manusia. Untuk melihat proses reproduksi, tentu harus ada pertemuan antara sperma an ovum. Untuk itu peneliti dari kalangan penganut sain netral tidak akan keberatan mengambil sepasang lelaki-perempuan yang belum nikah untuk mengadakan hubungan kelamin yang dari situ diamati bertemunya sperma dan ovum. Peneliti yang menganut sain tidak netral akan melakukan itu terhadap pasangan yang telah menikah. Ini pada aspek epistemologi.
Yang paling merugikan kehidupan manusia ialah bila paham sain netral itu telah menerapkan pahamnya pada aspek aksiologi. Mereka dapat saja menggunakan hasil penelitian mereka untuk keperluan apapun tanpa pertimbangan nilai.
Paham sain netral sebenarnya telah melawan atau menyimpang dari maksud penciptaan sain. Tadinya sain dibuat untuk membantu manusia dalam menghadapi kesulitan hidupnya. Paham ini sebenarnya telah bermakna bahwa sain itu tidak netral, sain memihak pada kegunaan membantu manusia menyelesaikan kesulitan yang dihadapi oleh manusia. Sementara itu, paham sain netral justru akan memberikan tambahan kesulitan bagi manusia. Kata kunci terletak dalam aksiologi sain, yaitu ini: tatkala peneliti akan membuat teori, sebenarnya ia telah berniat akan membantu manusia menyelesaikan masalah dalam kehidupannya, mengapa justru temuannya menambah masalah bagi manusia? Karena ia menganut sain netral padahal seharusnya ia menganut sain tidak netral.
Berdasarkan uraian sederhana di atas dapatlah ditarik kesimpulan bahwa yang paling bijaksana ialah kita memihak atau memilih paham bahwa sain tidaklah netral. Sain itu bagian dari kehidupan, sementara kehidupan itu secara keseluruhan tidaklah netral.
Paham sain tidak netral adalah paham yang sesuai dengan ajaran semua agama dan sesuai pula dengan niat ilmuwan tatkala menciptakan teori sain. Jadi, sebenarnya tidak ada jalan bagi penganut sain netral.
Berikut dikutipkan sebagian dari tulisan Prof. Herman Soewardi, guru besar Filsafat Ilmu Universitas Padjadjaran Bandung. Kutipan ini dapat digunakan untuk menambah bahan pertimbangan dalam menentukan apakah sain sebaiknya netral atau tidak netral.
Menurut Herman Soewardi (Orasi Ilmiah pada Dies Natalis IAIN Sunan Gunung Djati Bandung ke-36 8 April 2004), dari sudut pandang epistemologi, sain terbagi dua, yaitu Sain Formal dan Sain Emperikal. Menurutnya, Sain Formal itu berada di pikiran kita yang berupa kontemplasi dengan menggunakan simbol-simbol, merupakan implikasi-implikasi logis yang tidak berkesudahan. Sain Formal itu netral karena ia berada di dalam kepala kita dan ia diatur oleh hukum-hukum logika.
Adapun Sain Emperikal, ia tidak netral. Sain Emperikal merupakan wujud konkret, yaitu jagad raya ini, isinya ialah jalinan-jalinan sebab akibat. Sain Emperikal itu tidak netral karena dibangun oleh pakar berdasarkan paradigma yang menjadi pijakannya, dan pijakannya itu merupakan hasil penginderaan terhadap jagad raya. Benar bahwa Sain Emperikal itu terdiri atas logika (jalinan sebab akibat), namun ia dimulai dari suatu pijakan yang bermacam-macam. Pijakan itu tentulah nilai. Maka sifatnya tidak netral. Tidak netral karena dipengaruhi oleh pijakannya itu.
Selanjutnya Herman Soewardi menambahkan uraian berikut. Barangkali kita menyangka bahwa kausalitas itu dimana-mana sama, biasanya dirumuskan dalam bentuk proposisi X menyebabkan Y (X → Y). Memang begitu. Namun, bila diamati lebih dalam, ternyata hal itu tidaklah sederhana itu. Baiklah kita periksa pandangan David Hume, Immanuel Kant dan Al-Ghazali.
David Hume mengatakan bahwa dalam alam pikiran Empiricisme tidak dapat dibenarkan adanya generalisasi sampai munculnya hukum X → Y. Dari suatu kejadian sampai menjadi hukum (teori) diperlukan adanya medium yang berupa reasoning jalinan sebab akibat yang banyak sekali. Dan reasoning itu tidak mungkin. Tidak mungkin karena rumitnya itu. Karena itu, hanyalah kebiasaan orang saja (tidak ada dasar logikanya) untuk menyimpulkan setiap X akan diikuti Y. Pendapat ini terkenal dengan istilah skeptisisme Hume. Jadi, menurut Hume, sebab akibat itu sebenarnya tidaklah diketahui.
Immanuel Kant membantah skeptisisme Hume itu dengan mengatakan bahwa ada pengetahuan bentuk ketiga, yaitu a priori sintetik. Ini menurut Herman Soewardi, adalah suatu jalinan sintetik yang sudah ada, yang keadaannya itu diterangkan oleh Kant secara transendental. Inilah medium yang dicari oleh Hume, yang bagi orang Islam jalinan sintetik itu adalah ciptaan Tuhan yang sudah ada sejak semula. Suatu kejadian X → Y sebenarnya terjadi di atas medium itu, kejadian X → Y itulah yang selanjutnya menjadi hukum yang general.
Tampak pada kita bahwa dengan mengikuti acara Emperisisme, siapapun tidak akan mampu menunjukkan medium itu. Sehubungan dengan ini Kant mengatakan bahwa Tuhan lah yang menciptakan medium tersebut.
Tentang kemahakuasaan Tuhan itu Al-Ghazali menyatakan lebih tandas lagi sehubungan dengan hukum X → Y. Kata Al-Ghazali, kekuatan X menghasilkan Y bukan pada atau milik X itu, melainkan pada atau milik Tuhan. Bila kapas diletakkan di atas api, kekuatan untuk terjadinya terbakar atau tidak terbakar kapas itu bukan pada api melainkan pada Tuhan. Terbakarnya kapas oleh api merupakan suatu regularitas atau kebiasaan atau adat, adat itu dari Tuhan, namun pada kejadian khusus seperti pada Nabi Ibrahim, api tidak membakar. Karena Tuhan pada waktu itu tidak memberikan kekuatan membakar pada api. Ini merupakan hukum kausalitas yang sangat fundamental, bahwa kekuatan pada penyebab (X) adalah kekuatan Tuhan. Sekarang, istilah yang mendunia untuk menyatakan kekuatan Tuhan itu ialah faktor Z.
Kekuatan dari atau pada Tuhan itu, baiklah kita sebut faktor Z, menghasilkan suatu pengertian bahwa kausalitas itu sifatnya berubah dari cukup (sufficient) menjadi tergantung (contingent) pada faktor lain (dalam hal ini Tuhan).
Dari kesimpulan itu akan muncul kesimpulan lain, yaitu kausalitas atau linkage menjadi bergeser dari tidak memperhitungkan kehendak Tuhan ke memperhitungkan kehendak Tuhan. Dari sini muncul beberapa pergeseran, yaitu:
• Dari deterministik (pasti) bergeser ke stokastik (mungkin);
• Dari sebab akibat terjadi pada waktu yang sama ke sebab akibat terjadi pada waktu yang berlainan;
• Dari cukup (sufficient) bergeser ke tergantung (contingent) pada faktor Z;
• Dari niscaya (necessary) bergeser ke berganti (sustitutable).
Sain Formal dikatakan netral karena hukum-hukumnya bukan dibuat oleh manusia. Hukum-hukumnya dibuat oleh Tuhan. Hukum-hukumnya itu ada di dalam kepala kita.
Adapun Sain Emperikal, ia tidak netral. Tidak netral karena ia dibangun berdasarkan pijakan seseorang pakar yang mungkin berada dengan pakar lain. Tentang ini Thomas Kuhn memberikan eksplanasi sebagai berikut.
Sain Emperikal disebut Kuhn Sain Normal (Normal Science). Sain Normal muncul dari paradigma, yaitu suatu pijakan, dari seseorang pakar. Dalam perkembangannya Sain Normal mengahadapi fenomena yang tidak dapat diterangkan oleh teori sain yang ada, ini disebut anomali. Selanjutnya anomali ini menimbulkan krisis (ketidakpercayaan para pakar terhadap teori itu) sehingga akan timbul paradigma baru atau pijakan baru. Inilah perkembangan sain, berubah dari paradigma yang satu ke paradigma yang lain. Karena itu Sain Normal itu tidak netral.
Masalah utama Sain Normal ialah masalah penginderaan. Padahal kita tahu bahwa metode andalan – bahkan metode satu-satunya bagi Sain Normal ialah observasi (dalam arti luas), sementara observasi itu sangat mengandalkan penginderaan. Tetapi pada penginderaan inilah kelemahan utama Sain Normal.
Menurut cara berpikir Empirisisme penginderaan adalah modal fundamental bagi manusia untuk mengetahui jagad raya. Tetapi, seperti dikatakan Kuhn, yang orang ketahui itu tidaklah bersifat tetap, melainkan sementara dan akan berubah setelah terjadi anomali.
.
2)      Krisis Sain Modern
Sain modern ialah sain empirikal, yaitu sain normal menurut Kuhn. Tulisan ini esensinya diambil dari buku Herman Soewardi Tiba Saatnya Islam Kembali Kaffah Kuat dn Berijtihad (Suatu Kognisi Baru tentang Islam), 1999, Bagian Tiga Bab 14 yang berjudul Tarnas The Cisis of Modern Science.
Pada tahun 1993, buku Tarnas yang berjudul The Passion of the Western Mind, terbit. Dalam buku itu ada sebuah bab yang berjudul The Crisis o Modern Science.
Menurut Tarnas, sedikitnya ada enam hal yang menarik perhatian tentang sain modern. Pertama, postulatat dasar sain modern ialah space, matter, causality, dan observation, ternyata semuanya dinyatakan tidak benar. Kedua, dianutnya pendapat Kant bahwa yang orang katakan jagad raya, bukanlah jagad raya yang sebenarnya, tetapi jagad raya sebagaimana diciptakan oleh pikiran manusia. Ketiga, determinisme Newton kehilangan dasar, orang pindah ke stochastic. Keempat, partikel-partikel sub-atomatik terbuka untuk interpretsi spiritual. Kelima, adanya uncertainty sebagaimana ditemukan oleh Heisenberg. Keenam, kerusakan ekologi dan atmosfir yang menyeluruh yang disebut Tarnas planetary ecological crisis.
Pertama, tentang space atau jagad raya. Pandangan sekarang yang berlaku ialah bahwa space itu terbatas (finite), tetapi lepas bentuknya lengkung (tidak linier) sehingga garis edar benda-benda angkasa berbentuk elips, bukan karena tertarik gravitasi ke arah matahari melainkan memang bentuknya lengkung. Kini, berlaku pandangan empat dimensi space-time, bukan hanya tiga seperti pada geometri Eucled.
Jagad raya yang kita ketahui bukanlah jagad raya yang sebenarnya, ia adalah jagad raya ciptaan manusia. Inilah pandangan Kant. Sekarang, terbukti penemuan-penemuan pada mekanika kuantum menyokong pandangan Kant itu. Maka, yang dikatakan jagad raya (space) itu hanyalah hubungan manusia dengan jagad raya, atau jagad raya sebagaimana tampak menurut apa yang dipertanyakan oleh manusia.
Kedua, tentang matter atau materi. Baik Democritus maupun Newton, memandang materi itu solid. Pandangan sekarang menyatakan materi itu kosong. Mekanika kuantum membuktikannya.
Ketiga, tentang kausalitas. Sain modern menganggap kausalitas itu sederhana. Kini ditemukan bahwa partikel-partikel saling mempengaruhi tanpa dapat dipahami bagaimana hubungan kausalitas di antara mereka; kausalitas itu kompleks.
Keempat, tentang uncetainty dari Heisenberg. Ternyata observasi tdh elektron hanya dapat dilakukan terhadap salah satu posisi atau kecepatannya, selain itu observer tidak dapat mengobservasinya tanpa merusaknya. Heisenberg menemukan bahwa gerakan atom tidak dapat keduanya ditetapkan sekaligus, posisi atau kecepatannya. Ini mempertanyakan tentang kelemahan observasi.
Kelima, tentang partikel sub-atomatik. Capra mendapati bahwa ada semacam kecerdasan elektron, sehingga kini fisika terbuka untuk menerima interpretasi spiritual.
Keenam, kerusakan ekologi menyeluruh. Ini adalah tanda-tanda konkret adanya dampak buruk sain, ia merupakan kebalikan dari yang diharapkan dari sain. Dampak itu antara lain berupa kontaminasi air, udara, tanah, efek buruk berganda pada kehidupan tetumbuhan dan hewan, kepunahan berbagai species, kerusakan hutan, erosi tanah, pengurasan air tanah, akumulasi ilmiah yang toksik, efek rumah kaca, bolongnya ozon, salah satu ujungnya ialah ekonomi dunia semakin runyam.
3)      Pengembangan Ilmu
Jika Anda membuka Ilmu Bumi, Anda akan melihat bahwa isinya ialah teori tentang bumi; buku Ilmu Hayat isinya adalah teori tentang makhluk hidup; buku Sejarah isinya teori tentang kejadian masa lalu; buku Filsafat isinya teori filsafat, dan begitulah selanjutnya. Jadi, isi ilmu adalah teori.
Secara umum teori ialah pendapat yang beralasan. Semakin banyak makan telor akan semakin sehat atau telor berpengaruh positif terhadap kesehatan, adalah teori dalam sain. Bila permintaan meningkat maka harga akan naik, juga adalah teori sain. Menurut Plato, penjaga negara (presiden dan menteri) haruslah filosof dan mereka tidak boleh berkeluarga, jika berkeluarga maka mereka tidak akan beres menjaga negara. Ini teori filsafat. Jika penduduk suatu negara beriman bertakwa maka Tuhan akan menurunkan berkah bagi mereka dari langit. Ini salah satu teori dalam agama Islam. Jin dapat disuruh melakukan sesuatu. Ini teori dalam pengetahuan mistik. Teori adalah pendapat (yang beralasan).
Karena isi ilmu adalah teori, maka mengembangkan ilmu adalah teorinya. Ada beberapa kemungkinan dalam mengembangkan teori. Pertama, menyusun teori baru. Dalam hal ini memang belum pernah dari teori yang muncul, lantas seseorang menemukan teori baru. Kedua, menemukan teori baru untuk mengganti teori lama. Dalam kasus ini, tadinya sudah ada teorinya tetapi karena teori ini sudah tidak mampu menyelesaikan masalah yang mestinya ia mampu menyelesaikannya, maka teori itu diganti dengan teori baru. Ketiga, merevisi teori lama. Dalam hal peneliti atau pengembang, tidak membatalkan teori lama, tidak juga menggantinya dengan teori baru, ia hanya merevisi, ia hanya menyempurnakan teori lama itu. Keempat, membatalkan teori lama. Ia hanya membatalkan, tidak menggantinya dengan teori baru. Ini aneh: ia mengurangi jumlah teori yang sudah ada, ia membatalkan teori dan tidak menggantinya dengan teori baru, tetapi tetap dikatakan ia mengembangkan ilmu.
Bagaimana prosedur serta langkah-langkah pengembangan ilmu akan amat ditentukan oleh jenis ilmunya. Itu memerlukan organisasi, ada managernya. Itu memerlukan biaya tinggi kadang-kadang memerlukan tenaga yang sedikit atau banyak; memerlukan waktu, ada yang sebentar dari yang lama, bahkan ada yang sangat lama.[15]



















BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari uraian materi sebelumnya dapat di simpulkan bahwa pengetahuan sain, pengetahuan ilmiah dan disiplin ilmu memiliki arti yang sama dalam segi ontologi, epistemologi dan aksiologi berarti kumpulan pengetahuan (teori)  yang bersifat rasional empiris telah melalui prosedur metode ilmiah serta dapat dimanfaatkan sebagai alat membuat eksplanasi, sebagai alat untuk memprediksi serta sebagai alat pengontrol.





















DAFTAR PUSTAKA
Erihadiana, Mohamad. (2014). Filsafat Umum. Bandung: CV. Insan Mandiri
Irawan. (2010). Pengantar Singkat Ilmu Filsafat.Bandung: Intelekia Pratama.
Rosnani, Hasim.(2005) Gagasan Islamisasi Ilmu Pengetahuan kontemporer ,  Majalah   Islami.
Sudarsono . (2004). Filsafat Islam.Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Suria Sumantri, Jujun S. (2009). Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sunar Harapan.
Tafsir, Ahmad. (2010) Filsafat Ilmu. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya.
Googleweblight.com/pengertian sain menurut ahli

https//ilahuderidwan.wordpress.com
http//yahooanswer.com









[2] Kamus Besar Bahasa Indonesia (2003)
[3] Notoatmodjo (2005)
[4] Irawan(2010) hlm.51
[5] Googleweblight.com/pengertian sain menurut ahli
[6] https//ilahuderidwan.wordpress.com
[7] http//yahooanswer.com
[8] Fred N.Kerlinger(1973) hlm, 378 dikutif oleh Ahmad Tafsir
[9] Ahmad Tafsir(2010). Hlm 21-25
[10] Ahmad Tafsir(2010) hlm.25-27 diambil dari ensiklopedi Indonesia
[11] Jujun Suria Sumantri(1994) dikutip oleh Ahmad Tafsir(2010) hlm.27
[12] Ahmad Tafsir (2010) hlm. 28-34
[13] Tafsir Ahmad, Filsafat Ilmu: Mengurai Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi
      Pengetahuan. Bandung: Pt Remaja Rosdakarya, 2009

[14] Hatta, Alam Pikiran Yunani, 1966
[15] Hasim Rosnani, Gagasan Islamisasi Ilmu Pengetahuan kontemporer, Majalah  
      Islami, 2005