BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latarbelakang
Masalah
Pengetahuan
merupakan khasanah kekayaan mental yang secara langsung atau tak langsung turut
memperkaya kehidupan kita. Pengetahuan juga dapat dikatakan sebagai jawaban
dari berbagai pertanyaan yang muncul dalam kehidupan.[1]
Begitupun dengan pengetahuan sain/Ilmiah/disiplin ilmu yang hingga saat ini
sangat terasa dampaknya dalam kehidupan manusia
Pada
dasarnya pengetahuan sain hadir untuk menjawab kebutuhan manusia yang semakin
kompleks, sehingga para pemikir secara terus menerus berusaha untuk menjawab
kebutuhan yang harus di penuhi tersebut, Namun ada kalanya pengetahuan sain ini
justru memberikan dampak negatif bagi para penggunanya hal tersebut dikarenakan
terjadinya perubahan nilai, penyalah gunaan hasil temuan sain atau bahkan
karena ulah tangan manusia yang kurang bijak dalam mempergunakannya.
Sebetulnya
bukan permasalahan atau dampak sain yang akan kami bahas dalam makalah ini,
lebih tepatnya kami akan membahas mengenai apakah pengetahuan sain itu?
(Ontologi sain), bagaimana pengetahuan sain? (epistemology sain), dan apa
gunanya pengetahuan sain? ( aksiologi sain).
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan
latar belakang di atas, maka rumusan masalahnya adalah sebagai berikut :
1.
Apa ontologi sain ?
2.
Bagaimana epistemology sain ?
3.
Apa aksiologi dari sain ?
C.
Tujuan
penulisan
Berdasarkan rumusan masalah yang diatas dapat
kita ketahui tujuan penulisan sebagai berikut:
1.
Untuk mengetahui ontologi sain
2.
Untuk mengetahui epistemologi sain
3.
Untuk mengetahui aksiologi sain
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Ontologi Sain
Pada
bagian ini akan di bahas mengenai pengertian pengetahuan ilmiah, pengertian sain,
pengertian disiplin ilmu, hakikat pengetahuan sain, dan struktur sain.
a.
Pengertian Pengetahuan Ilmiah
Pengetahuan adalah sesuatu yang diketahui berkaitan dengan
proses pembelajaran. Proses belajar ini dipengaruhi berbagai faktor dari dalam
seperti motivasi dan faktor luar berupa sarana informasi yang tersedia serta
keadaan sosial budaya.[2]
Secara garis besar domain tingkat pengetahuan (kognitif) mempunyai enam
tingkatan, meliputi: mengetahui, memahami, menggunakan, menguraikan,
menyimpulkan dan mengevaluasi. Ciri pokok dalam taraf pengetahuan adalah
ingatan tentang sesuatu yang diketahuinya baik melalui pengalaman, belajar,
ataupun informasi yang diterima dari orang lain.[3]
Pengetahuan juga di definisikan sebagai pengalaman yang dirasionalisir,
sehingga terorganisir[4].
Berdasarkan uraian-uraian di atas, maka dapat kita
definisikan bahwa; Pengetahuan merupakan Hasil dari proses mencari tahu,
dari yang tadinya tidak tahu menjadi tahu, dari tidak dapat menjadi dapat.
Dalam proses mencari tahu ini mencakup berbagai metode dan konsep-konsep, baik
melalui proses pendidikan maupun melalui pengalaman.
Sedangkan pengetahuan ilmiah ialah segala sesuatu yang
diketahui melalui proses pencarian berdasarkan metode ilmiah.
b. Pengertian
Sain
Kata sain berasal dari bahasa latin scientia
yang berarti “pengetahuan” atau “mengetahui”. Dari kata ini dibentuk kata science.
Sain dalam pengertian sebenarnya adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari
berbagai fenomena alam sehingga rahasia yang dikandungnya dapat diungkap dan
dipahami. Dalam usaha mengungkap rahasia alam tersebut, sain melakukannya
dengan menggunakan metode ilmiah.[5]
c. Pengertian
Disiplin Ilmu
Disiplin ilmu adalah
ilmu/pengetahuan yang kita dalami dan merupakan keahlian utama kita yang
sifatnya lebih detail/spesifik bukan secara umum. Misalnya: disiplin ilmu ekonomi mikro (bukan
ilmu ekonomi).[6]
Disiplin ilmu adalah mampu menggunakan ilmu yang kita miliki tepat pada
tempatnya, pada waktunya dan pada sasarannya.[7]
d. Hakikat
Pengetahuan Sain
Pengetahuan sain adalah pengetahuan
rasional empiris. Pertama, masalah rasional.
Saya berjalan-jalan di beberapa
kampong. Banyak hal yang menarik perhatian saya di kampong-kampung itu, satu
diantaranya ialah orang-orang di kampong yang satu sehat-sehat, sedang
dikampung yang lain banyak yang sakit. Secara pukul-rata penduduk kampong yang
satu lebih sehat dari pada kampong yang lain tadi. Ada apa ya? Demikian
pertanyaan dalam hati saya.
Kebetulan saya mengetahui bahwa
penduduk kampung yang satu itu memelihara ayam dan mereka memakan telurnya,
sedangkan penduduk kampung yang lain tadi juga memelihara ayam tapi tidak
memakan telurnya, mereka menjual telurnya. Berdasarkan kenyataan itu saya
menduga, kampung yang satu itu penduduknya sehat-sehat karena banyak memakan
telur, sedangkan penduduk kampung yang lain itu banyak yang sakit karena tidak
makan telur. Berdasarkan ini saya menarik hipotesis semakin banyak makan telur
akan semakin sehat, atau telur berpengaruh positif terhadap kesehatan.
Hipotesis harus berdasarkan rasio,
dengan kata lain hipotesis harus rasional. Dalam hal hipotesis yang saya ajukan
itu rasionalnya ialah: untuk sehat diperlukan gizi, telur banyak mengandung
gizi, karena itu, logis bila semakin banyak makan telur akan semakin sehat.
Hipotesis saya itu belum diuji
kebenarannya. Kebenaranya barulah dugaan. Tetapi hipotesis itu telah mencukupi
telah mencukupi dari segi kerasionalannya. Dengan kata lain, hipotesis saya itu
rasional. Kata “rasional” disini menunjukan adanya hubungan pengaruh atau
hubungan sebab akibat.
Kedua, masalah empiris. Hipotesis saya
itu saya uji (kebenarannya) mengikuti prosedur metode ilmiah. Untuk menguji
hipotesis itu saya gunakan metode eksperimen dengan cara mengambil satu atau
dua kampung yang disuruh makan telur secara teratur selama setahun sebagai
kelompok eksperimen, dan mengambil satu atau dua kampung yang lain yang tidak
boleh makan telur, juga selama setahun itu, sebagai kelompok control. Pada
akhir tahun, kesehatan kedua kelompok itu saya amati. Hasilnya, kampung yang
makan telur rata-rata lebih sehat.
Sekarang hipotesis saya semakin
banyak makan telur akan semakin sehat atau telur berpengaruh positif terhadap
kesehatan terbukti. Setelah terbukti-sebaiknya berkali-kali – maka hipotesis
saya tadi berubah menjadi teori. Teori saya bahwa “semakin banyak makan telur
akan semakin sehat” atau “telur bepengaruh positif terhadap kesehatan”, adalah
teori rasional-empiris. Teori seperti inilah yang disebut teori ilmiah (scientific
theory).
Cara kerja saya dalam memperoleh teori itu tadi adalah cara
kerja metode ilmiah. Rumus baku metode
ilmiah adalah: logico-hypothetico-verificatif (buktikan bahwa itu logis,
tarik hipotesis, ajukan bukti empiris).
Pada dasarnya cara kerja sain adalah cara kerja mencari
hubungan sebab-akibat atau mencari pengaruh sesuatu terhadap yang lain. Asumsi
dasar sain adalah tidak ada kejadian tanpa sebab. Asumsi ini benar bila sebab
akibat itu memiliki hubungan rasional.[8]
Ilmu atau sain berisi teori. Teori itu pada dasarnya
menerangkan hubungan sebab akibat. Sain tidak memberikan nilai baik atau buruk,
halal atau haram, sopan atau tidak sopan, indah atau tidak indah; sain hanya
memberikan nilai benar atau salah. Kenyataan inilah yang menyebabkan ada orang
menyangka bahwa sain itu netral. Dalam konteks itu ya, tapi dalam konteks yang
lain belum tentu ya.[9]
e. Struktur
Sain
Dalam garis besarnya sain dibagi
dua, yaitu sain kealaman dan sain social. Contoh berikut ini hendak menjelaskan
struktur sain dalam bentuk nama-nama ilmu. Namun ilmu banyak sekali, berikut
beberapa diantarnya:
1) Sain Kealaman:
·
Astronomi
·
Fisika:
mekanika, bunyi, cahaya dan optic, fisika nuklir;
·
Kimia:
kimia organik, kimia teknik;
·
Ilmu bumi: paleontology, ekologi, geofisika, geokimia, mineralogy,
geografi.
·
Ilmu hayat: biofisika, botani, zoologi;
2) Sain Sosial
·
Sosiologi: sosiologi komunikasi, sosiologi politik, sosiologi
pendidikan;
·
Antropologi: antropologi budaya, antropologi ekonomi, antropologi
politik;
·
Psikologi: psikologi pendidikan, psikologi anak, psikologi abnormal;
·
Ekonomi:
ekonomi makro, ekonomi lingkungan, ekonomi pedesaan;
·
Politik: politik dalam negeri, politik hukum, politik internasional.
3) Humaniora
·
Seni: seni
abstrak, seni grafika, seni pahat, seni tari;
·
Hukum:
hukum pidana, hukum tata usaha negara, hukum adat( mungkin dapat di masukan ke
sain social);
·
Filsafat: logika, etika, estetika;
·
Bahasa:
sastra;
·
Agama:
Islam, Kristen, Confusius;
·
Sejarah:
Sejarah Indonesia, Sejarah dunia (mungkin dapat di masukan ke sain social);[10]
B. Epistemologi
Sain
a. Objek
Pengetahuan Sain
Objek
pengetahuan sain (yaitu objek-objek yang diteliti sain) ialah semua objek yang
empiris. Objek kajian sain hanyalah objek yang berada dalam ruang lingkup
pengalaman manusia. Yang dimaksud pengalaman disini ialah pengalaman indera.[11]
Objek kajian
sain haruslah objek-objek yang empiris sebab bukti-bukti yang harus ia temukan
adalah bukti-bukti yang empiris. Bukti yang empiris ini diperlukan untuk
menguji bukti rasional yang telah dirumuskan dalam hepotesis.
Objek-objek
yang dapat diteliti oleh sain banyak sekali: alam, tumbuhan, hewan, dan
manusia, serta kejadian-kejadian di sekitar alam, tumbuhan, hewan dan manusia
itu; semuanya dapat diteliti oleh sain. Dari penelitian itulah muncul
teori-teori sain. Teori-teori itu berkelompok dan dikelompokkan dalam
masing-masing cabang sain. Teori-teori yang berkelompok itulah yang disebut
struktur sain, baik cabang-cabang sain maupun isi masing-masing cabang sain
tersebut.
b.
Cara Memperoleh Pengetahuan Sain
1)
Humanisme,
perkembangan sain didorong oleh paham Humanisme. Humanisme ialah paham filsafat
yang mengajarkan bahwa manusia mampu mengatur dirinya dan alam. Humanism telah
muncul pada zaman Yunani Kumo.
2)
Rasionalisme adalah madhab filsafat
ilmu yang berpandangan bahwa rasio adalah sumber dari segala pengetahuan.
Dengan demikian, kriteria kebenaran berbasis pada intelektualitas. Strategi
pengembangan ilmu model rasionalisme, dengan demikian, adalah mengeksplorasi
gagasan dengan kemampuan intelektual manusia.
Ahmad tafsir menjelaskan bahwa Rasionalisme adalah
paham yang mengatakan bahwa akal itulah alat pencari dan pengukur pengetahuan.
Pengetahuan dicari dengan akal, temuannya diukur dengan akal pula.
Sumbangan rasionalisme tampak nyata dalam membangun
ilmu pengetahuan modern yang didasarkan pada kekuatan pikiran atau rasio
manusia. Hasil-hasil teknologi era industri dan era informasi tidak dapat
dilepaskan dari andil rasionalisme untuk mendorong manusia menggunakan akal
pikiran dalam mengembangkan ilmu pengetahuan untuk kesejahteraan manusia.
3)
Empirisme adalah suatu doktrin
filsafat yang menekankan peranan pengalaman dalam memperoleh pengetahuan dan
mengecilkan peranan akal. Istilah empirisme di ambil dari bahasa Yunani
empeiria yang berarti coba-coba atau pengalaman. Sebagai suatu doktrin
empirisme adalah lawan dari rasionalisme. Empirisme berpendapat bahwa
pengetahuan tentang kebenaran yang sempurna tidak diperoleh melalui akal,
melainkan di peroleh atau bersumber dari panca indera manusia, yaitu mata,
lidah, telinga, kulit dan hidung. Dengan kata lain, kebenaran adalah sesuatu
yang sesuai dengan pengalaman manusia.
Bagi kaum filsup empiris, sumber pengetahuan
satu-satunya adalah pengalaman dan pengamatan inderawi. Data dan fakta yang
ditangkap oleh panca indera kita adalah sumber pengetahuan. Semua ide yang
benar datang dari fakta ini. Sebab itu semua pengetahuan manusia bersifat
empiris.
4)
Positivisme adalah doktrin filosofi
dan ilmu pengetahuan sosial yang menempatkan peran sentral pengalaman dan bukti
empiris sebagai basis dari ilmu pengetahuan dan penelitian. Terminologi
positivisme dikenalkan oleh Auguste Comte untuk menolak doktrin nilai
subyektif, digantikan oleh fakta yang bisa diamati serta penerapan metode ini
untuk membangun ilmu pengetahuan yang diabdikan untuk memperbaiki kehidupan
manusia.
5)
Metode Ilmiah. Positivisme sudah
dapat disetujui untuk memulai upaya membuat aturan untuk mengatur manusia dan
mengatur alam. Kata positivisme, ajukan logikanya, ajukan bukti empirisnya yang
terukur. Tetapi bagaimana caranya? Kita masih memerlukan alat lain. Alat lain
itu ialah Metode Ilmiah. Metode ilmiah mengatakan, untuk memperoleh pengetahuan
yang benar lakukan langkah berikut: Logico-hypothetico-verificatif.
Maksudnya, mula-mula buktikan bahwa itu logis, kemudian ajukan hipotesis
(berdasarkan logika itu), kemudian lakukan pembuktian hipotesis itu secara
empiris.
6)
Metode Riset. Metode ilmiah secara
teknis dan rinci dijelaskan dalam stu bidang ilmu yang disebut Metode Riset.
Metode riset menghasilkan model-model penelitian. Model-model penelitian inilah
yang menjadi instansi terakhir-dan memang operasional-dalam membuat aturan (
untuk mengatur manusia dan alam).[12]
c. Ukuran Kebenaran Pengetahuan Sain.
Ukuran
kebenaran pengetahuan sain dapat dilakukan dengan dua cara yaitu:
1). Uji logika, sebuah hepotesis bisa lolos
apabila teori itu logis.
2). Uji Empiris, yaitu adakan eksperimen, ukuran kebenaran sains
adalah benar jika dapat ditemukan bukti empiris. Hipotesis yang terbukti maka
menjadi teori kemudian didukung bukti empiris maka teori itu menjadi hukum dan
disebut aksioma.
C.
Aksiologi Sain
Pada
bagian ini dibicarakan tiga hal saja, pertama kegunan sain, kedua, cara sain
menyelesaikan masalah. Ketiga, netralitas sain. Sebenarnya, keduanya itu
merupakan contoh aplikasi yang pertama.
a.
Kegunaan pengetahuan sain
Apa
guna sain? Pertanyaan sama dengan apa guna pengetahuan ilmiah karena sain
(ilmu) lainnya teori (ilmiah). Secara umum, teori artinya pendapat yang
beralasan. Alasan itu dapat berupa argumen logis, ini teori filsafat; berupa
argumen perasaan atau keyakinan dan kadang-kadang empiris, ini teori sain.
Sekurang-kurangnya
ada tiga kegunaan teori sain: sebagai alat membuat eksplanasi, sebagai alat
peramal, dan sebagai alat pengontrol.[13]
1)
Teori
sebagai alat ekspalanasi
Berbagai
sain yang ada sampai sekarang ini secara umum berfungsi sebagi alat untuk
membuat ekspalanasi kenyataan. Menurut T. Jacob (manusisa, ilmu dan dan teknologi, 1993: 7-8) sain merupakan suatu
sistem ekspalanasi yang paling dapat diandalkan dengan sistem lainnya dalam
memahami masa lampau, sekarang, serta mengubah masa depan. Bagaimana contohnya?
Ada orang tiga
bersaudara, dua laki-laki dan satu perempuan. Merka nakal, sering mabuk, membuat
keonaran, sering bolos sekolah, tidak naik kelas, pindah pindah sekolah. Mereka
ditinggal oleh kedua orang tuanya, ayah dan ibunya masing-masing kawin lagi dan
pindah ketempat barunya masing-masing. Biaya hidup tiga bersaudara itu bersama
pembantu mereka, tidak kurang. Dapatkah anda membuat eksplanasi mengapa
anak-anak itu nakal?
Anda
akan dapat menjelaskan (mengeksplanasikan) jika anda menguasai teori yang mampu
menjelaskan gejala (nakal) itu. Menurut teori sain pendidikan, anak-anak yang
orang tuanya cerai (biasanya dibuat broken home), penyebabnya ialah karena
anak-anak itu tidak mendapat pendidikan yang baik dari orangtuanya. Padahal
pendidikan dari kedua orang tuan amat penting dalam pertumbuhan anak menuju
dewasa.
2)
Teori
sebagai alat peramal
Tatkala
membuat eksplanasi, biasanya ilmuan telah mengetahui juga faktor penyebab
terjadinya gejala itu. Dengan mengutak-atik faktor penyabab itu, ilmuan dapat
membuat ramalan. Dalam bahasa kaum ilmuan ramalan itu disebut prediksi, untuk
membedakannya dari ramalan dukun. Tepat dan banyaknya ramalan yang dapat dibuat
oleh ilmuan akan ditentukan oleh kekuatan teori yang ia guanakan, kepandaian
dan kecerdasan ketersediaan data di sekitar gejala itu.
3)
Teori
sebagai alat pengontrol
Eksplansi
merupakan bahan untuk membuat ramalan dan kontrol. Ilmuan, selain mampu
membauat ramlan berdasarkan ekspalansi gejala, juga dapat membuat kontrol.
Perbedaan
prediksi dan kontrol ialah prediksi ialah prediksi bersifat pasif; tatkala ada
kondisi tertentu, maka kita dapat membuat prediksi, misalnya akan terjadi ini,
itu, begini atau begitu. Sedangkan kontrol bersifat aktif; terhadap sesuatu
keadaan, kita membuat tindakan atau tindakan tindakan agar terjadi ini, itu,
begini atau begitu.
b.
Cara sain menyelesaikan masalah
Ilmu
atau sain yang isinya teori dibuat untuk memudahkan kehidupan. Bila menghadapi
kesulitan (biasanya disebut masalah), kita menghadapi dan menyelesaikan masalah
itu dengan menggunakan ilmu (sebenarnya menggunakan teori ilmu).
Pertama,
mengidentifikasi masalah. Identifkasi biasanya dilakukan dengan cara mengadakan
penelitian dengan menganalisisnya.
Kedua, mencari teori
tentang penyebab masalah.
Ketiga, menetapkan
tindakan penyelesaian
Jangan hendaknya terlalu mengandalkan
sains tatkala timbul masalah. Ada dua sebab.Pertama,
belum tentu teori sain yang ada mampu menyelesaikan masalah yang dihadapi.
Kedua, belum tentu
setiap masalah tersedia teori untuk menyelesaikannya.
Yang
terbaik ialah setiap masalah diselesaikan secara bersama-sama oleh sain,
filsafat dan mistik yang bekerja secara terpadu.[14]
c.
Bonus
1)
Netralitas sain
Pada
tahun 1970-an terjadi polemik antara Mukti Alin (IAIN Yogyakarta) dengan Sadali
(ITB). Mukti Ali menyatakan bahwa sain itu netral, sementara Sadali berpendapat
sain tidak netral. Ternyata Mukti Ali hanya memancing, ia tidak sungguh-sungguh
berpendapat begitu.
Netral
biasanya diartikan tidak memihak. Dalam kata “sain netral” pengertian itu juga
terpakai. Artinya: sain tidak memihak pada kebaikan dan tidak juga pada
kejahatan. Itulah sebabnya istilah sain netral sering diganti dengan istilah
sain bebas nilai. Nah, bebas nilai (value free) itulah yang disebut sain
netral; sedangkan lawannya ialah sain terikat, yaitu terikat nilai (value
bound).
Bila sain itu kita anggap netral, atau kita mengatakan
bahwa sain sebaiknya netral keuntungannya ialah perkembangan sain akan cepat
terjadi. Karena tidak ada yang menghambat atau menghalangi tatkala peneliti (1)
memilih dan menetapkan objek yang hendak diteliti, (2) cara meneliti, dan (3)
tatkala menggunakan produk penelitian. Orang yang menganggap sain tidak netral,
akan dibatasi oleh nilai dalam (1) memilih objek penelitian, (2) cara meneliti,
dan (3) menggunakan hasil penelitian.
Tatkala akan meneliti kerja jantung manusia, orang
yang beraliran sain tidak netral akan mengambil – mungkin – jantung kelinci
atau jantung hewan lainnya yang paling mirip dengan manusia. Orang yang
beraliran sain netral – mungkin – akan mengambil orang gelandangan untuk
diambil jantungnya. Orang yang beraliran sain value bound, dalam epistemologi
akan meneliti jantung itu tidak dengan menyakiti kelinci itu, sementara orang
yang menganut sain value free tidak akan mempedulikan apakah subjek penelitian
menderita atau tidak. Orang yang beraliran sain netral akan menggunakan hasil
penelitian itu secara bebas, sedang orang yang bermazhab sain terikat akan menggunakan
produk itu hanya untuk kebaikan saja. Jadi, persoalan netralitas sain itu
terdapat baik pada epistemologi, maupun aksiologi sain. Sebenarnya dalam
ontologi pun demikian. Dalam contoh di atas objek dan metode penelitian adalah
epistemologi, sedang penggunaan hasil penelitian adalah aksiologi. Ontologinya
ialah teori yang ditemukan itu. Ontologi itu pun netral, ia tidak boleh melawan
nilai yang diyakini kebenarannya oleh peneliti.
Apa kerugiannya bila kita ambil paham sain netral?
Bila kita paham sain netral? Bila kita pilih paham sain netral maka kerugiannya
ialah ia akan melawan keyakinan, misalnya keyakinan yang berasal dari agama.
Percobaan pada manusia mungkin akan diartikan sebagai penyiksaan kepada
manusia. Maka, penganut sain tidak netral akan memilih objek penelitian yang
mirip dengan manusia. Untuk melihat proses reproduksi, tentu harus ada
pertemuan antara sperma an ovum. Untuk itu peneliti dari kalangan penganut sain
netral tidak akan keberatan mengambil sepasang lelaki-perempuan yang belum
nikah untuk mengadakan hubungan kelamin yang dari situ diamati bertemunya
sperma dan ovum. Peneliti yang menganut sain tidak netral akan melakukan itu
terhadap pasangan yang telah menikah. Ini pada aspek epistemologi.
Yang paling merugikan kehidupan manusia ialah bila
paham sain netral itu telah menerapkan pahamnya pada aspek aksiologi. Mereka
dapat saja menggunakan hasil penelitian mereka untuk keperluan apapun tanpa
pertimbangan nilai.
Paham sain netral sebenarnya telah melawan atau
menyimpang dari maksud penciptaan sain. Tadinya sain dibuat untuk membantu
manusia dalam menghadapi kesulitan hidupnya. Paham ini sebenarnya telah
bermakna bahwa sain itu tidak netral, sain memihak pada kegunaan membantu
manusia menyelesaikan kesulitan yang dihadapi oleh manusia. Sementara itu,
paham sain netral justru akan memberikan tambahan kesulitan bagi manusia. Kata
kunci terletak dalam aksiologi sain, yaitu ini: tatkala peneliti akan membuat
teori, sebenarnya ia telah berniat akan membantu manusia menyelesaikan masalah
dalam kehidupannya, mengapa justru temuannya menambah masalah bagi manusia?
Karena ia menganut sain netral padahal seharusnya ia menganut sain tidak
netral.
Berdasarkan uraian sederhana di atas dapatlah ditarik
kesimpulan bahwa yang paling bijaksana ialah kita memihak atau memilih paham
bahwa sain tidaklah netral. Sain itu bagian dari kehidupan, sementara kehidupan
itu secara keseluruhan tidaklah netral.
Paham sain tidak netral adalah paham yang sesuai
dengan ajaran semua agama dan sesuai pula dengan niat ilmuwan tatkala
menciptakan teori sain. Jadi, sebenarnya tidak ada jalan bagi penganut sain
netral.
Berikut dikutipkan sebagian dari tulisan Prof. Herman
Soewardi, guru besar Filsafat Ilmu Universitas Padjadjaran Bandung. Kutipan ini
dapat digunakan untuk menambah bahan pertimbangan dalam menentukan apakah sain
sebaiknya netral atau tidak netral.
Menurut
Herman Soewardi (Orasi Ilmiah pada Dies Natalis IAIN Sunan Gunung Djati Bandung
ke-36 8 April 2004), dari sudut pandang epistemologi, sain terbagi dua, yaitu
Sain Formal dan Sain Emperikal. Menurutnya, Sain Formal itu berada di pikiran
kita yang berupa kontemplasi dengan menggunakan simbol-simbol, merupakan
implikasi-implikasi logis yang tidak berkesudahan. Sain Formal itu netral
karena ia berada di dalam kepala kita dan ia diatur oleh hukum-hukum logika.
Adapun
Sain Emperikal, ia tidak netral. Sain Emperikal merupakan wujud konkret, yaitu
jagad raya ini, isinya ialah jalinan-jalinan sebab akibat. Sain Emperikal itu
tidak netral karena dibangun oleh pakar berdasarkan paradigma yang menjadi
pijakannya, dan pijakannya itu merupakan hasil penginderaan terhadap jagad
raya. Benar bahwa Sain Emperikal itu terdiri atas logika (jalinan sebab
akibat), namun ia dimulai dari suatu pijakan yang bermacam-macam. Pijakan itu
tentulah nilai. Maka sifatnya tidak netral. Tidak netral karena dipengaruhi
oleh pijakannya itu.
Selanjutnya
Herman Soewardi menambahkan uraian berikut. Barangkali kita menyangka bahwa
kausalitas itu dimana-mana sama, biasanya dirumuskan dalam bentuk proposisi X
menyebabkan Y (X → Y). Memang begitu. Namun, bila diamati lebih dalam, ternyata
hal itu tidaklah sederhana itu. Baiklah kita periksa pandangan David Hume,
Immanuel Kant dan Al-Ghazali.
David
Hume mengatakan bahwa dalam alam pikiran Empiricisme tidak dapat dibenarkan
adanya generalisasi sampai munculnya hukum X → Y. Dari suatu kejadian sampai
menjadi hukum (teori) diperlukan adanya medium yang berupa reasoning jalinan
sebab akibat yang banyak sekali. Dan reasoning itu tidak mungkin. Tidak mungkin
karena rumitnya itu. Karena itu, hanyalah kebiasaan orang saja (tidak ada dasar
logikanya) untuk menyimpulkan setiap X akan diikuti Y. Pendapat ini terkenal
dengan istilah skeptisisme Hume. Jadi, menurut Hume, sebab akibat itu
sebenarnya tidaklah diketahui.
Immanuel
Kant membantah skeptisisme Hume itu dengan mengatakan bahwa ada pengetahuan
bentuk ketiga, yaitu a priori sintetik. Ini menurut Herman Soewardi, adalah
suatu jalinan sintetik yang sudah ada, yang keadaannya itu diterangkan oleh
Kant secara transendental. Inilah medium yang dicari oleh Hume, yang bagi orang
Islam jalinan sintetik itu adalah ciptaan Tuhan yang sudah ada sejak semula.
Suatu kejadian X → Y sebenarnya terjadi di atas medium itu, kejadian X → Y
itulah yang selanjutnya menjadi hukum yang general.
Tampak
pada kita bahwa dengan mengikuti acara Emperisisme, siapapun tidak akan mampu
menunjukkan medium itu. Sehubungan dengan ini Kant mengatakan bahwa Tuhan lah
yang menciptakan medium tersebut.
Tentang
kemahakuasaan Tuhan itu Al-Ghazali menyatakan lebih tandas lagi sehubungan
dengan hukum X → Y. Kata Al-Ghazali, kekuatan X menghasilkan Y bukan pada atau
milik X itu, melainkan pada atau milik Tuhan. Bila kapas diletakkan di atas
api, kekuatan untuk terjadinya terbakar atau tidak terbakar kapas itu bukan
pada api melainkan pada Tuhan. Terbakarnya kapas oleh api merupakan suatu
regularitas atau kebiasaan atau adat, adat itu dari Tuhan, namun pada kejadian
khusus seperti pada Nabi Ibrahim, api tidak membakar. Karena Tuhan pada waktu
itu tidak memberikan kekuatan membakar pada api. Ini merupakan hukum kausalitas
yang sangat fundamental, bahwa kekuatan pada penyebab (X) adalah kekuatan
Tuhan. Sekarang, istilah yang mendunia untuk menyatakan kekuatan Tuhan itu
ialah faktor Z.
Kekuatan
dari atau pada Tuhan itu, baiklah kita sebut faktor Z, menghasilkan suatu
pengertian bahwa kausalitas itu sifatnya berubah dari cukup (sufficient)
menjadi tergantung (contingent) pada faktor lain (dalam hal ini Tuhan).
Dari
kesimpulan itu akan muncul kesimpulan lain, yaitu kausalitas atau linkage
menjadi bergeser dari tidak memperhitungkan kehendak Tuhan ke memperhitungkan
kehendak Tuhan. Dari sini muncul beberapa pergeseran, yaitu:
• Dari
deterministik (pasti) bergeser ke stokastik (mungkin);
• Dari
sebab akibat terjadi pada waktu yang sama ke sebab akibat terjadi pada waktu
yang berlainan;
• Dari
cukup (sufficient) bergeser ke tergantung (contingent) pada faktor Z;
• Dari
niscaya (necessary) bergeser ke berganti (sustitutable).
Sain
Formal dikatakan netral karena hukum-hukumnya bukan dibuat oleh manusia.
Hukum-hukumnya dibuat oleh Tuhan. Hukum-hukumnya itu ada di dalam kepala kita.
Adapun
Sain Emperikal, ia tidak netral. Tidak netral karena ia dibangun berdasarkan
pijakan seseorang pakar yang mungkin berada dengan pakar lain. Tentang ini
Thomas Kuhn memberikan eksplanasi sebagai berikut.
Sain
Emperikal disebut Kuhn Sain Normal (Normal Science). Sain Normal muncul dari
paradigma, yaitu suatu pijakan, dari seseorang pakar. Dalam perkembangannya
Sain Normal mengahadapi fenomena yang tidak dapat diterangkan oleh teori sain
yang ada, ini disebut anomali. Selanjutnya anomali ini menimbulkan krisis
(ketidakpercayaan para pakar terhadap teori itu) sehingga akan timbul paradigma
baru atau pijakan baru. Inilah perkembangan sain, berubah dari paradigma yang
satu ke paradigma yang lain. Karena itu Sain Normal itu tidak netral.
Masalah
utama Sain Normal ialah masalah penginderaan. Padahal kita tahu bahwa metode
andalan – bahkan metode satu-satunya bagi Sain Normal ialah observasi (dalam
arti luas), sementara observasi itu sangat mengandalkan penginderaan. Tetapi
pada penginderaan inilah kelemahan utama Sain Normal.
Menurut
cara berpikir Empirisisme penginderaan adalah modal fundamental bagi manusia
untuk mengetahui jagad raya. Tetapi, seperti dikatakan Kuhn, yang orang ketahui
itu tidaklah bersifat tetap, melainkan sementara dan akan berubah setelah
terjadi anomali.
.
2) Krisis Sain Modern
Sain
modern ialah sain empirikal, yaitu sain normal menurut Kuhn. Tulisan ini
esensinya diambil dari buku Herman Soewardi Tiba Saatnya Islam Kembali Kaffah
Kuat dn Berijtihad (Suatu Kognisi Baru tentang Islam), 1999, Bagian Tiga Bab 14
yang berjudul Tarnas The Cisis of Modern Science.
Pada
tahun 1993, buku Tarnas yang berjudul The Passion of the Western Mind, terbit.
Dalam buku itu ada sebuah bab yang berjudul The Crisis o Modern Science.
Menurut
Tarnas, sedikitnya ada enam hal yang menarik perhatian tentang sain modern.
Pertama, postulatat dasar sain modern ialah space, matter, causality, dan
observation, ternyata semuanya dinyatakan tidak benar. Kedua, dianutnya
pendapat Kant bahwa yang orang katakan jagad raya, bukanlah jagad raya yang
sebenarnya, tetapi jagad raya sebagaimana diciptakan oleh pikiran manusia.
Ketiga, determinisme Newton kehilangan dasar, orang pindah ke stochastic.
Keempat, partikel-partikel sub-atomatik terbuka untuk interpretsi spiritual.
Kelima, adanya uncertainty sebagaimana ditemukan oleh Heisenberg. Keenam,
kerusakan ekologi dan atmosfir yang menyeluruh yang disebut Tarnas planetary
ecological crisis.
Pertama,
tentang space atau jagad raya. Pandangan sekarang yang berlaku ialah bahwa
space itu terbatas (finite), tetapi lepas bentuknya lengkung (tidak linier)
sehingga garis edar benda-benda angkasa berbentuk elips, bukan karena tertarik
gravitasi ke arah matahari melainkan memang bentuknya lengkung. Kini, berlaku
pandangan empat dimensi space-time, bukan hanya tiga seperti pada geometri
Eucled.
Jagad
raya yang kita ketahui bukanlah jagad raya yang sebenarnya, ia adalah jagad
raya ciptaan manusia. Inilah pandangan Kant. Sekarang, terbukti
penemuan-penemuan pada mekanika kuantum menyokong pandangan Kant itu. Maka,
yang dikatakan jagad raya (space) itu hanyalah hubungan manusia dengan jagad
raya, atau jagad raya sebagaimana tampak menurut apa yang dipertanyakan oleh
manusia.
Kedua,
tentang matter atau materi. Baik Democritus maupun Newton, memandang materi itu
solid. Pandangan sekarang menyatakan materi itu kosong. Mekanika kuantum
membuktikannya.
Ketiga,
tentang kausalitas. Sain modern menganggap kausalitas itu sederhana. Kini
ditemukan bahwa partikel-partikel saling mempengaruhi tanpa dapat dipahami
bagaimana hubungan kausalitas di antara mereka; kausalitas itu kompleks.
Keempat,
tentang uncetainty dari Heisenberg. Ternyata observasi tdh elektron hanya dapat
dilakukan terhadap salah satu posisi atau kecepatannya, selain itu observer
tidak dapat mengobservasinya tanpa merusaknya. Heisenberg menemukan bahwa
gerakan atom tidak dapat keduanya ditetapkan sekaligus, posisi atau
kecepatannya. Ini mempertanyakan tentang kelemahan observasi.
Kelima,
tentang partikel sub-atomatik. Capra mendapati bahwa ada semacam kecerdasan
elektron, sehingga kini fisika terbuka untuk menerima interpretasi spiritual.
Keenam,
kerusakan ekologi menyeluruh. Ini adalah tanda-tanda konkret adanya dampak
buruk sain, ia merupakan kebalikan dari yang diharapkan dari sain. Dampak itu
antara lain berupa kontaminasi air, udara, tanah, efek buruk berganda pada
kehidupan tetumbuhan dan hewan, kepunahan berbagai species, kerusakan hutan,
erosi tanah, pengurasan air tanah, akumulasi ilmiah yang toksik, efek rumah
kaca, bolongnya ozon, salah satu ujungnya ialah ekonomi dunia semakin runyam.
3) Pengembangan Ilmu
Jika
Anda membuka Ilmu Bumi, Anda akan melihat bahwa isinya ialah teori tentang
bumi; buku Ilmu Hayat isinya adalah teori tentang makhluk hidup; buku Sejarah
isinya teori tentang kejadian masa lalu; buku Filsafat isinya teori filsafat,
dan begitulah selanjutnya. Jadi, isi ilmu adalah teori.
Secara
umum teori ialah pendapat yang beralasan. Semakin banyak makan telor akan
semakin sehat atau telor berpengaruh positif terhadap kesehatan, adalah teori
dalam sain. Bila permintaan meningkat maka harga akan naik, juga adalah teori
sain. Menurut Plato, penjaga negara (presiden dan menteri) haruslah filosof dan
mereka tidak boleh berkeluarga, jika berkeluarga maka mereka tidak akan beres
menjaga negara. Ini teori filsafat. Jika penduduk suatu negara beriman bertakwa
maka Tuhan akan menurunkan berkah bagi mereka dari langit. Ini salah satu teori
dalam agama Islam. Jin dapat disuruh melakukan sesuatu. Ini teori dalam
pengetahuan mistik. Teori adalah pendapat (yang beralasan).
Karena
isi ilmu adalah teori, maka mengembangkan ilmu adalah teorinya. Ada beberapa
kemungkinan dalam mengembangkan teori. Pertama, menyusun teori baru. Dalam hal
ini memang belum pernah dari teori yang muncul, lantas seseorang menemukan
teori baru. Kedua, menemukan teori baru untuk mengganti teori lama. Dalam kasus
ini, tadinya sudah ada teorinya tetapi karena teori ini sudah tidak mampu
menyelesaikan masalah yang mestinya ia mampu menyelesaikannya, maka teori itu
diganti dengan teori baru. Ketiga, merevisi teori lama. Dalam hal peneliti atau
pengembang, tidak membatalkan teori lama, tidak juga menggantinya dengan teori
baru, ia hanya merevisi, ia hanya menyempurnakan teori lama itu. Keempat,
membatalkan teori lama. Ia hanya membatalkan, tidak menggantinya dengan teori
baru. Ini aneh: ia mengurangi jumlah teori yang sudah ada, ia membatalkan teori
dan tidak menggantinya dengan teori baru, tetapi tetap dikatakan ia mengembangkan
ilmu.
Bagaimana
prosedur serta langkah-langkah pengembangan ilmu akan amat ditentukan oleh
jenis ilmunya. Itu memerlukan organisasi, ada managernya. Itu memerlukan biaya
tinggi kadang-kadang memerlukan tenaga yang sedikit atau banyak; memerlukan
waktu, ada yang sebentar dari yang lama, bahkan ada yang sangat lama.[15]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari uraian materi sebelumnya dapat
di simpulkan bahwa pengetahuan sain, pengetahuan ilmiah dan disiplin ilmu
memiliki arti yang sama dalam segi ontologi, epistemologi dan aksiologi berarti
kumpulan pengetahuan (teori) yang
bersifat rasional empiris telah melalui prosedur metode ilmiah serta dapat
dimanfaatkan sebagai alat membuat eksplanasi, sebagai alat untuk memprediksi
serta sebagai alat pengontrol.
DAFTAR PUSTAKA
Erihadiana, Mohamad. (2014). Filsafat Umum. Bandung: CV.
Insan Mandiri
Irawan. (2010). Pengantar Singkat Ilmu Filsafat.Bandung: Intelekia
Pratama.
Rosnani,
Hasim.(2005) Gagasan Islamisasi Ilmu Pengetahuan kontemporer , Majalah Islami.
Sudarsono . (2004). Filsafat Islam.Jakarta: PT. Rineka
Cipta.
Suria Sumantri, Jujun S. (2009). Filsafat
Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sunar Harapan.
Tafsir, Ahmad. (2010) Filsafat Ilmu. Bandung:
PT. Remaja Rosda Karya.
Googleweblight.com/pengertian sain menurut ahli
https//ilahuderidwan.wordpress.com
http//yahooanswer.com
[2] Kamus
Besar Bahasa Indonesia (2003)
[3] Notoatmodjo
(2005)
[4] Irawan(2010) hlm.51
[5] Googleweblight.com/pengertian
sain menurut ahli
[6] https//ilahuderidwan.wordpress.com
[7] http//yahooanswer.com
[8] Fred
N.Kerlinger(1973) hlm, 378 dikutif oleh Ahmad Tafsir
[9] Ahmad
Tafsir(2010). Hlm 21-25
[10] Ahmad
Tafsir(2010) hlm.25-27 diambil dari ensiklopedi Indonesia
[11] Jujun Suria
Sumantri(1994) dikutip oleh Ahmad Tafsir(2010) hlm.27
[12] Ahmad Tafsir
(2010) hlm. 28-34
[13] Tafsir Ahmad,
Filsafat Ilmu: Mengurai Ontologi,
Epistemologi dan Aksiologi
Pengetahuan. Bandung: Pt
Remaja Rosdakarya, 2009
[14] Hatta, Alam
Pikiran Yunani, 1966