BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Seperti yang
kita ketahui bahwa Indonesia adalah Negara yang menganut konsep demokrasi, sebagaimana
tertuang dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi: “Kedaulatan berada di
tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.”
Pemilihan Umum
(PEMILU) ataupun PILKADA merupakan wujud dari pesta demokrasi, dimana pada saat
itu rakyat terlibat langsung dalam kehidupan demokrasi di Indonesia. Namun
penerapan demokrasi itu sendiri seringkali dinodai dengan penyimpangan-penyimpangan
pada proses demokrasi (Pemilihan Umum) antara lain adanya praktik Money
Politics (Politik Uang). Salah satu usaha yang dilakukan oleh para kandidat
maupun partai politik dalam pemilihan umum (mulai dari pemilihan Kepala Desa,
Pemilihan Kepala Daerah, Pemilihan Anggota DPRD, Pemilihan Anggota DPR bahkan
hingga pemilihan Presiden) agar memenangkan perolehan suara di pemilihan dengan
menggunakan cara yang kotor.
Adapun yang
terlibat dalam money politik tersebut diantaranya yaitu masyarakat, hal ini
terdapat beberapa factor yang mengakibatkan rakyat mau terlibat dalam money politik,
diantaranya yaitu: (1) Terdesaknya kebutuhan ekonomi. Sebagaimana kita ketahui,
angka kemiskinan di Indonesia cukup tinggi. Kondisi miskin tersebut seperti memaksa dan
menekan sebagian masyarakat untuk segera mendapat uang. (2) Rendahnya
pengetahuan masyarakat tentang politik. Tidak semua orang tahu apa itu politik,
bagaimana bentuknya, serta apa yang ditimbulkan dari politik. Itu semua bias
disebabkan karena tidak ada pembelajaran tentang politik di sekolah-sekolah
atau masyarakatnya sendiri yang memang acuh terhadap politik di Indonesia. (3) Kebudayaan.
Saling memberi dan jika mendapat rejeki, tidak boleh ditolak. Begitulah
ungkapan yang nampaknya telah melekat dalam diri bangsa Indonesia. Uang dan
segala bentuk politik uang dari peserta pemilu dianggap sebagai rejeki bagi
masyarakat yang tidak boleh ditolak.
Lantas bagaimana pandangan Islam terhadap kasus semacam itu, bagaimana
hukum money politik, orang yang memberi dan orang yang diberi tersebut. Maka
dari itu penulis dalam makalah ini akan membahas tentang hukum memberi dan
menerima dana money politik.
1.2.
Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang diatas, adapun masalah yang ingin digali dalam pembuatan makalah
ini, seperti terangkum dalam pertanyaan dibawah ini:
1.
Apa yang dimaksud dengan money
politik ?
2.
Bagaimana hukum money politik
tersebut ?
1.3.
Tujuan
Berdasarkan
rumusan masalah diatas, maka tujuan dari pembuatan makalah ini yaitu:
1.
Untuk mengetahui apa yang dimaksud
dengan money politik ?
2.
Untuk mengetahui hukum money
politik ?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1.
Pengertian Money Politik
Money politik atau politik uang adalah suatu bentuk
pemberian atau janji menyuap seseorang baik supaya orang itu tidak menjalankan
haknya untuk memilih maupun supaya ia menjalankan haknya dengan cara tertentu
pada saat pemilihan umum. Pembelian bisa dilakukan menggunakan uang atau
barang. Politik uang adalah sebuah bentuk pelanggaran kampanye[1].
Politik uang umumnya dilakukan simpatisan, kader atau bahkan
pengurus partai
politik menjelang hari H pemilihan
umum. Praktik politik uang dilakukan dengan cara pemberian
berbentuk uang, sembako antara lain beras, minyak dan gula kepada masyarakat
dengan tujuan untuk menarik simpati masyarakat agar mereka memberikan suaranya
untuk partai yang bersangkutan.
Sedangkan dalam
bahasa arab kata suap secara umum sering disebut dengan al-risywah yang
mana secara bahasa memiliki arti suatu sarana untuk mencapai hajat dengan
menggunakan tempat penampungan air.
Sedangkan
secara istilah dapat di artikan sebagai berikut :
1.
Sesuatu yang diterima,
bukan sebagai upah kerja dan tercela menerimanya.
2.
Semua pembayaran untuk
membantu kelancaran jual beli.
3.
Sesuatu yang diberikan
sesudah dicarinya (dimintanya), sedang hadiah adalah sesuatu yang diberikan
sebagai permulaannya.
4.
Menurut Al-Jurjani, adalah
sesuatu yang diberikan untuk membatalkan sesuatu yang haq (benar/legal) dan
menjadikan haq (membenarkan/ melegalisasikan) yang batal.
Dan ada
pendapat lain yang mengatakan bahwa al-risywah adalah :
الرشوة
مـا يعطى لابطال حقّ , أو لاحـقاق الباطل
“Sesuatu
yang diberikan guna membatalkan yang benar atau membenarkan yang salah”
Disebutkan
dalam Al Mu’jam Al-Wasith:
ما
يعطى لقضاء مصلحة أو ما يعطى لإحقاق باطل أو إبطال حق
Artinya: “Sesuatu
yang diberikan agar tujuannya terpenuhi atau sesuatu yang diberikan untuk
membenarkan yang batil atau membatilkan yang Haq”. (Al Mu’jam Al Wasith, 1/348.
Dar Ad Da’wah).
Dalam
Tuhfah al-ahwadzi (4:471) dan Fath al-Bari (6:148) yang dikutip oleh ash-shadiq
abdurrahman al-gharyani dalam buku fatwa-fatwa muamalah kontemporer, adapun
orang yang menyuap dinamakan ar-Rasyi, Sedangkan orang yang menerima suap
dinamakan al-Murtasyi dan perantara suap dinamakan ar-Ra-isy
Jadi dapat disimpulkan bahwa yang disebut dengan al-risywah atau
suap secara umum adalah sesuatu yang diberikan atau diterima yang mana pemberian
tadi bukanlah hasil kerja, namun pemberian tersebut diberikan untuk melancarkan
sesuatu. Sedangkan money politik dalam pilkada/pemilu adalah memberikan sesuatu
kepada orang lain/rakyat agar memilihnya, atau dikatakan dengan pembelian
suara.
2.2.
Hukum Money Politik
A. Hukum Far’un
Hukum money politik adalah haram, baik itu pelakunya, perantara maupun
yang menerimanya. Orang yang melakukan money politik dianggap sebagai orang
yang fasik. Sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-Maidah ayat 42
Artinya: “ mereka itu
adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong, banyak memakan yang
haram”(QS. Al-Maidah: 42)[2]
Selain itu terdapat
juga firman Allah di dalam QS. An-Nisa ayat 29, yang berbunyi:
Artinya; “Hai orang-orang
yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang
batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di
antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu; Sesungguhnya Allah adalah Maha
Penyayang kepadamu”. (QS. An-Nisa: 29)[3]
Dalam sebuah Hadits juga disebutkan:
كل
لحم أنبته السحت فالنار اولي به, قيل: يارسول الله, وما السحت ؟ الرشوة في الحكم
Artinya: “
Setiap daging dalam tubuh manusia yang tumbuh dari barang haram (as-Suht) maka
api neraka adalah utama baginya. Kemudian beliau ditanya:” Wahai
Rasulullah, apa yang dimaksud dengan harta haram itu (as-Suht).” Beliau
bersabda:” Ia adalah uang suap untuk meraih jabatan.”
Dalam Hadits yang diriwayatkan Ibnu Umar, ia berkata :
لعن
رسول الله صلي الله عليه وسلم الراشي والمرتشي, وفي رواية: والراشي بينهما
Artinya: ”Rasulullah SAW melaknat
orang yang memberikan uang suap (ar-Rasyi) dan yang menerima uang suap
(al-Murtasyi), Dalam riwayat lain disebutkan:” Dan orang yang menjadi perantara
(antara ar-Rasyi dan al-Murtasyi). (HR.at-Turmudzi)[4].
B. Hukum Asal
1.
QS. An-Nisa ayat 29
a.
Mantuq, Allah SWT dengan jelas
melarang memakan harta yang bukan milik kita, kecuali hasil dari perniagaan
yang atas dasar suka sama suka (kesepakatan)
b.
Mafhum, fuqaha mengkategorikan
politik uang sebagai perbuatan yang batil, maka hukumnya haram, sama halnya
dengan keterangan QS. An-Nisa ayat 29 diatas, yang mengharamkan memakan harta
yang diperoleh dengan cara yang tidak benar[5].
2.
Hadits Nabi tentang harta yang
haram
a.
Mantuq, setiap tubuh yang didalamnya
tumbuh dari harta yang haram, maka
nerakalah tempanya kembali
b.
Mafhum, segala harta yang didapat
dengan jalan yang bathil, maka haram hukumnya, maka menyuap/menyogok sesuatu
untuk mendapatkan sesuatu, harta sekecil apapun itu yang ia dapatkan, akan dimintai pertanggungjawabannya, dan akan
mendapatkan balasan yang sesuai
3.
Hadits yang diriwatkan Ibnu Umar
(HR. at-Turmudzi )
a.
Mantuq, Rasulullah saw melaknat
orang yang memberi suap, menerima dan yang menjadi perantaranya
b.
Mafhum, dari hadits tersebut
terdapat hukum yang melarang untuk menyuap/menyogok atau yang dikenal dalam
politik dengan istilah money politik,
baik yang menyuap, menerima suap maupun perantara terjadinya suap menyuap maka
hukumnya haram, bahkan Rasul pun melaknatnya.
C. Illat
Money politik termasuk dalam pemberian bersyarat baik tertulis ataupun
tidak, yang mana hasil dari money politik tersebut akan memberikan dampak yang buruk dan juga merugikan,
diantaranya:
a.
Orang yang menyuap berarti
membantu orang yang menerima suap, memudahkan baginya memakan harta orang lain
dengan jalan batil, menyuburkan perangai jahat, memberikan peluang orang
berbuat tidak adil dan berarti dia menganggap baik tempat atau sarana kejahatan[6].
b.
Adapun orang yang menerima suap
berarti dia mengambil hak milik orang lain dan menghalangi orang lain memiliki
hak nya sendiri, sehingga ia mengambil suap daripadanya[7]
c.
Money politik akan mengarahkan
kondisi kepemimpinan sebagai sesuatu yang dicari dan mengarahkan masyarakat
untuk bersikap pragmatis dan mengantarkan mereka untuk melanggar kandungan
hadits :
“Barang siapa yang menjadikan seseorang laki-laki
dari suatu kelompok dan diantara kelompok tersebut ada yang lebih diridhoi
Allah dari orang tersebut maka sungguh ia telah mengkhianati Allah dan RasulNya
dan orang-orang beriman”. (HR. Al Hakim, no.7523).
d.
Money politik berakibat secara
luas yaitu mendorong para pemimpin untuk mengeksploitir kelemahan rakyat
setelah mendapatkan kekuasaan, artinya
money politik sebagai pendidikan yang buruk bagi dunia perpolitikan dan
mendukung bangunan sosial pragmatis, sehingga bisa di pahami bahwa menerima dan
memberikan uang untuk transaksi suara merupakan Ta’awun (tolong menolong) dalam
itsm ( dosa ) dan ‘udwan (permusuhan). Dalam kaidah sadd dzaroi’ dipahami bahwa
semua hal yang mengarahkan kepada keburukan harus ditutup. Dari sisi lain money
politik bisa dianalogikan kepada larangan menerima hadiah sebagai balas budi
terhadap rekomendasi, sebagaimana sabda Rasulullah saw:
“Dari abi
umamah Radliallahu ‘Anhu dari Nabi saw beliau bersabda : barang siapa yang
memberikan satu rekomendasi untuk seorang lantas ia memberikan hadiah atas
rekomendasi tersebut lalu ia terima hadiah tadi, berarti ia telah mendatangi
pintu riba yang besar.”(HR. Ahmad, 5/261)
Dari hadits ini jelaslah, bahwa yang menerima diharamkan karena masuk
dalam kandungan hadits ini, sementara yang memberi juga tidak diperbolehkan
karena merupakan penyebab jatuhnya seseorang dalam larangan Allah, dan termasuk
dalam kaidah fiqih :”Sesuatu yang diharamkan untuk diambil, maka diharamkan
pula untuk diberikan”.
BAB III
PENUTUP
3.1.
Simpulan
Berdasarkan
penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa hukum risywah adalah haram baik itu
pelaku, perantara maupun penerimanya. Dalam dunia politik terutama pada pemilu,
sering kita jumpai adanya money politik dan itu termasuk risywah maka hukumnya
sudah dapat dipastikan yaitu haram.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Quran dan terjemahnya, Bandung,
CV Penerbit Diponegoro
Ash-Shadiq abdurrahman al-gharyani, 2004. “Fatwa-fatwa Mu’amalah
Kontemporer”. Surabaya: Pustaka Progressif
Mahjuddin, 2014. “Masail
al-Fiqh”. Jakarta; Kalam Mulia
Sulaiman, Noor, 2010, “Hadits-Hadits Pilihan Kajian Tekstual dan
Kontekstual”, Jakarta: Gaung Persada Press
[2]
Al-Quran dan terjemahnya, (Bandung, CV Penerbit Diponegoro). Hlm. 115
[3]
Al-Quran dan terjemahnya, (Bandung, CV Penerbit Diponegoro). Hlm. 83
[4] Ash-Shadiq
abdurrahman al-gharyani, “Fatwa-fatwa Mu’amalah Kontemporer”, (Surabaya: Pustaka Progressif, 2004), Hlm: 124
[5]
Mahjuddin, “Masail al-Fiqh”, (Jakarta; Kalam Mulia, 2014), hlm. 327
[6]
Sulaiman, Noor, “Hadits-Hadits Pilihan Kajian Tekstual dan Kontekstual”, (Jakarta:
Gaung Persada Press, 2010), hlm. 131
[7]
Ibid, hlm. 132
Tidak ada komentar:
Posting Komentar