Sabtu, 29 September 2018

Pengertian dan Hukum Money Politik


BAB I
PENDAHULUAN
1.1.       Latar Belakang
Seperti yang kita ketahui bahwa Indonesia adalah Negara yang menganut konsep demokrasi, sebagaimana tertuang dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi: “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.”
Pemilihan Umum (PEMILU) ataupun PILKADA merupakan wujud dari pesta demokrasi, dimana pada saat itu rakyat terlibat langsung dalam kehidupan demokrasi di Indonesia. Namun penerapan demokrasi itu sendiri seringkali dinodai dengan penyimpangan-penyimpangan pada proses demokrasi (Pemilihan Umum) antara lain adanya praktik Money Politics (Politik Uang). Salah satu usaha yang dilakukan oleh para kandidat maupun partai politik dalam pemilihan umum (mulai dari pemilihan Kepala Desa, Pemilihan Kepala Daerah, Pemilihan Anggota DPRD, Pemilihan Anggota DPR bahkan hingga pemilihan Presiden) agar memenangkan perolehan suara di pemilihan dengan menggunakan cara yang kotor.  
Adapun yang terlibat dalam money politik tersebut diantaranya yaitu masyarakat, hal ini terdapat beberapa factor yang mengakibatkan rakyat mau terlibat dalam money politik, diantaranya yaitu: (1) Terdesaknya kebutuhan ekonomi. Sebagaimana kita ketahui, angka kemiskinan di Indonesia cukup tinggi.  Kondisi miskin tersebut seperti memaksa dan menekan sebagian masyarakat untuk segera mendapat uang. (2) Rendahnya pengetahuan masyarakat tentang politik. Tidak semua orang tahu apa itu politik, bagaimana bentuknya, serta apa yang ditimbulkan dari politik. Itu semua bias disebabkan karena tidak ada pembelajaran tentang politik di sekolah-sekolah atau masyarakatnya sendiri yang memang acuh terhadap politik di Indonesia. (3) Kebudayaan. Saling memberi dan jika mendapat rejeki, tidak boleh ditolak. Begitulah ungkapan yang nampaknya telah melekat dalam diri bangsa Indonesia. Uang dan segala bentuk politik uang dari peserta pemilu dianggap sebagai rejeki bagi masyarakat yang tidak boleh ditolak.
Lantas bagaimana pandangan Islam terhadap kasus semacam itu, bagaimana hukum money politik, orang yang memberi dan orang yang diberi tersebut. Maka dari itu penulis dalam makalah ini akan membahas tentang hukum memberi dan menerima dana money politik.
1.2.       Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, adapun masalah yang ingin digali dalam pembuatan makalah ini, seperti terangkum dalam pertanyaan dibawah ini:
1.    Apa yang dimaksud dengan money politik ?
2.    Bagaimana hukum money politik tersebut ?
1.3.       Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan dari pembuatan makalah ini yaitu:
1.      Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan money politik ?
2.      Untuk mengetahui hukum money politik ?



BAB II
PEMBAHASAN
2.1.       Pengertian Money Politik
Money politik atau politik uang  adalah suatu bentuk pemberian atau janji menyuap seseorang baik supaya orang itu tidak menjalankan haknya untuk memilih maupun supaya ia menjalankan haknya dengan cara tertentu pada saat pemilihan umum. Pembelian bisa dilakukan menggunakan uang atau barang. Politik uang adalah sebuah bentuk pelanggaran kampanye[1].
Politik uang umumnya dilakukan simpatisan, kader atau bahkan pengurus partai politik menjelang hari H pemilihan umum. Praktik politik uang dilakukan dengan cara pemberian berbentuk uang, sembako antara lain beras, minyak dan gula kepada masyarakat dengan tujuan untuk menarik simpati masyarakat agar mereka memberikan suaranya untuk partai yang bersangkutan.
Sedangkan dalam bahasa arab kata suap secara umum sering disebut dengan al-risywah yang mana secara bahasa memiliki arti suatu sarana untuk mencapai hajat dengan menggunakan tempat penampungan air.
Sedangkan secara istilah dapat di artikan sebagai berikut :
1.    Sesuatu yang diterima, bukan sebagai upah kerja dan tercela menerimanya.
2.    Semua pembayaran untuk membantu kelancaran jual beli.
3.    Sesuatu yang diberikan sesudah dicarinya (dimintanya), sedang hadiah adalah sesuatu yang diberikan sebagai permulaannya.
4.    Menurut Al-Jurjani, adalah sesuatu yang diberikan untuk membatalkan sesuatu yang haq (benar/legal) dan menjadikan haq (membenarkan/ melegalisasikan) yang batal.
Dan ada pendapat lain yang mengatakan bahwa al-risywah adalah :
الرشوة مـا يعطى لابطال حقّ , أو لاحـقاق الباطل
“Sesuatu yang diberikan guna membatalkan yang benar atau membenarkan yang salah”
Disebutkan dalam Al Mu’jam Al-Wasith:                                                                        
ما يعطى لقضاء مصلحة أو ما يعطى لإحقاق باطل أو إبطال حق
Artinya: “Sesuatu yang diberikan agar tujuannya terpenuhi atau sesuatu yang diberikan untuk membenarkan yang batil atau membatilkan yang Haq”. (Al Mu’jam Al Wasith, 1/348. Dar Ad Da’wah).
Dalam Tuhfah al-ahwadzi (4:471) dan Fath al-Bari (6:148) yang dikutip oleh ash-shadiq abdurrahman al-gharyani dalam buku fatwa-fatwa muamalah kontemporer, adapun orang yang menyuap dinamakan ar-Rasyi, Sedangkan orang yang menerima suap dinamakan al-Murtasyi dan perantara suap dinamakan ar-Ra-isy
Jadi dapat disimpulkan bahwa yang disebut dengan al-risywah atau suap secara umum adalah sesuatu yang diberikan atau diterima yang mana pemberian tadi bukanlah hasil kerja, namun pemberian tersebut diberikan untuk melancarkan sesuatu. Sedangkan money politik dalam pilkada/pemilu adalah memberikan sesuatu kepada orang lain/rakyat agar memilihnya, atau dikatakan dengan pembelian suara.
2.2.       Hukum Money Politik
A.  Hukum Far’un
Hukum money politik adalah haram, baik itu pelakunya, perantara maupun yang menerimanya. Orang yang melakukan money politik dianggap sebagai orang yang fasik. Sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-Maidah ayat 42
  
Artinya: “ mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong, banyak memakan yang haram”(QS. Al-Maidah: 42)[2]
Selain itu terdapat juga firman Allah di dalam QS. An-Nisa ayat 29, yang berbunyi:

Artinya; “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu; Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu”. (QS. An-Nisa: 29)[3]
Dalam sebuah Hadits juga disebutkan:
كل لحم أنبته السحت فالنار اولي به, قيل: يارسول الله, وما السحت ؟ الرشوة في الحكم
Artinya: “ Setiap daging dalam tubuh manusia yang tumbuh dari barang haram (as-Suht) maka api neraka adalah utama baginya. Kemudian beliau ditanya:” Wahai Rasulullah, apa yang dimaksud dengan harta haram itu (as-Suht).” Beliau bersabda:” Ia adalah uang suap untuk meraih jabatan.”
Dalam Hadits yang diriwayatkan Ibnu Umar, ia berkata :
لعن رسول الله صلي الله عليه وسلم الراشي والمرتشي, وفي رواية: والراشي بينهما
Artinya: ”Rasulullah SAW melaknat orang yang memberikan uang suap (ar-Rasyi) dan yang menerima uang suap (al-Murtasyi), Dalam riwayat lain disebutkan:” Dan orang yang menjadi perantara (antara ar-Rasyi dan al-Murtasyi). (HR.at-Turmudzi)[4].
B.  Hukum Asal
1.    QS. An-Nisa ayat 29
a.    Mantuq, Allah SWT dengan jelas melarang memakan harta yang bukan milik kita, kecuali hasil dari perniagaan yang atas dasar suka sama suka (kesepakatan)
b.    Mafhum, fuqaha mengkategorikan politik uang sebagai perbuatan yang batil, maka hukumnya haram, sama halnya dengan keterangan QS. An-Nisa ayat 29 diatas, yang mengharamkan memakan harta yang diperoleh dengan cara yang tidak benar[5].
2.    Hadits Nabi tentang harta yang haram
a.    Mantuq, setiap tubuh yang didalamnya tumbuh dari harta yang haram, maka  nerakalah tempanya kembali
b.    Mafhum, segala harta yang didapat dengan jalan yang bathil, maka haram hukumnya, maka menyuap/menyogok sesuatu untuk mendapatkan sesuatu, harta sekecil apapun itu yang ia dapatkan,  akan dimintai pertanggungjawabannya, dan akan mendapatkan balasan yang sesuai
3.    Hadits yang diriwatkan Ibnu Umar (HR. at-Turmudzi )
a.    Mantuq, Rasulullah saw melaknat orang yang memberi suap, menerima dan yang menjadi perantaranya
b.    Mafhum, dari hadits tersebut terdapat hukum yang melarang untuk menyuap/menyogok atau yang dikenal dalam politik dengan istilah  money politik, baik yang menyuap, menerima suap maupun perantara terjadinya suap menyuap maka hukumnya haram, bahkan Rasul pun melaknatnya.
C.  Illat
Money politik termasuk dalam pemberian bersyarat baik tertulis ataupun tidak, yang mana hasil dari money politik tersebut akan memberikan  dampak yang buruk dan juga merugikan, diantaranya:
a.    Orang yang menyuap berarti membantu orang yang menerima suap, memudahkan baginya memakan harta orang lain dengan jalan batil, menyuburkan perangai jahat, memberikan peluang orang berbuat tidak adil dan berarti dia menganggap baik tempat atau sarana kejahatan[6].
b.    Adapun orang yang menerima suap berarti dia mengambil hak milik orang lain dan menghalangi orang lain memiliki hak nya sendiri, sehingga ia mengambil suap daripadanya[7]
c.    Money politik akan mengarahkan kondisi kepemimpinan sebagai sesuatu yang dicari dan mengarahkan masyarakat untuk bersikap pragmatis dan mengantarkan mereka untuk melanggar kandungan hadits :
“Barang siapa yang menjadikan seseorang laki-laki dari suatu kelompok dan diantara kelompok tersebut ada yang lebih diridhoi Allah dari orang tersebut maka sungguh ia telah mengkhianati Allah dan RasulNya dan orang-orang beriman”. (HR. Al Hakim, no.7523).
d.      Money politik berakibat secara luas yaitu mendorong para pemimpin untuk mengeksploitir kelemahan rakyat setelah   mendapatkan kekuasaan, artinya money politik sebagai pendidikan yang buruk bagi dunia perpolitikan dan mendukung bangunan sosial pragmatis, sehingga bisa di pahami bahwa menerima dan memberikan uang untuk transaksi suara merupakan Ta’awun (tolong menolong) dalam itsm ( dosa ) dan ‘udwan (permusuhan). Dalam kaidah sadd dzaroi’ dipahami bahwa semua hal yang mengarahkan kepada keburukan harus ditutup. Dari sisi lain money politik bisa dianalogikan kepada larangan menerima hadiah sebagai balas budi terhadap rekomendasi, sebagaimana sabda Rasulullah saw:
“Dari abi umamah Radliallahu ‘Anhu dari Nabi saw beliau bersabda : barang siapa yang memberikan satu rekomendasi untuk seorang lantas ia memberikan hadiah atas rekomendasi tersebut lalu ia terima hadiah tadi, berarti ia telah mendatangi pintu riba yang besar.”(HR. Ahmad, 5/261)
Dari hadits ini jelaslah, bahwa yang menerima diharamkan karena masuk dalam kandungan hadits ini, sementara yang memberi juga tidak diperbolehkan karena merupakan penyebab jatuhnya seseorang dalam larangan Allah, dan termasuk dalam kaidah fiqih :”Sesuatu yang diharamkan untuk diambil, maka diharamkan pula untuk diberikan”.




BAB III
PENUTUP
3.1.       Simpulan
Berdasarkan penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa hukum risywah adalah haram baik itu pelaku, perantara maupun penerimanya. Dalam dunia politik terutama pada pemilu, sering kita jumpai adanya money politik dan itu termasuk risywah maka hukumnya sudah dapat dipastikan yaitu haram.



DAFTAR PUSTAKA

Al-Quran dan terjemahnya, Bandung, CV Penerbit Diponegoro
Ash-Shadiq abdurrahman al-gharyani, 2004. “Fatwa-fatwa Mu’amalah Kontemporer”. Surabaya: Pustaka Progressif
Mahjuddin, 2014. “Masail al-Fiqh”. Jakarta; Kalam Mulia
Sulaiman, Noor, 2010, “Hadits-Hadits Pilihan Kajian Tekstual dan Kontekstual”, Jakarta: Gaung Persada Press











[2] Al-Quran dan terjemahnya, (Bandung, CV Penerbit Diponegoro). Hlm. 115
[3] Al-Quran dan terjemahnya, (Bandung, CV Penerbit Diponegoro). Hlm. 83
[4] Ash-Shadiq abdurrahman al-gharyani, “Fatwa-fatwa Mu’amalah Kontemporer”,  (Surabaya: Pustaka Progressif, 2004), Hlm: 124
[5] Mahjuddin, “Masail al-Fiqh”, (Jakarta; Kalam Mulia, 2014), hlm. 327
[6] Sulaiman, Noor, “Hadits-Hadits Pilihan Kajian Tekstual dan Kontekstual”, (Jakarta: Gaung Persada Press, 2010), hlm. 131
[7] Ibid, hlm. 132

Tidak ada komentar:

Posting Komentar