Senin, 18 April 2016

Pendidikan Gratis dalam Perspektif Filsafat Pendidikan Islam

Pendidikan Gratis dalam Perspektif Filsafat Pendidikan Islam

Pendidikan gratis adalah sebuah kebijakan pemerintah yang dimana siswa tidak lagi dibebankan dengan bermacam-macam biaya mulai dari uang pangkal, uang sekolah, uang komite, dan buku penunjang utama. Sementara itu, untuk biaya-biaya lain, tidak ditanggung oleh pemda, misalnya, biaya transportasi, pakaian seragam, dan biaya-biaya lain (penambahan materi, darmawisata, dan sebagainya). Dengan kata lain, komponen biaya untuk memenuhi kebijakan ‘pendidikan gratis’ adalah berupa subsidi. Subsidi ini pun masih disertai sejumlah persyaratan, yaitu jika besaran dana bantuan yang diberikan pemerintah pusat dan pemerintah provinsi lebih kecil dari biaya operasional sekolah, pemerintah kota dan siswa harus menutupi kekurangan dana tersebut
Mengapa biaya pendidikan harus gratis ? maka kita lihat kembali ke tahun 1945 ketika kita memproklamirkan diri sebagai bangsa Indonesia yang merdeka yang bercita-cita untuk mencerdaskan kehidupan bangsanya. Bagaimana mungkin kita akan dapat mencerdaskan bangsa ini jika untuk mendapatkan pendidikan dasar saja warga negaranya kesulitan karena pendidikan yang dikelola oleh pemerintah mahal harganya.
Prioritas utama pemerintahan kita adalah peningkatan kualitas SDM!”, “Tuntutlah ilmu sampai ke negeri Cina”, “Menuntut Ilmu adalah kewajiban sejak dalam buaian sampai liang kubur”, karena ilmu merupakan kunci dunia dan akhirat. Dengan ilmu, dunia dan akhirat bisa dikuasai. Menyadari kebutuhan manusia akan ilmu, bahkan ketika masa Rasulullah saw, para sahabat pun terus-menerus belajar tanpa mengenal usia.
Al-Bukhari meriwayatkan, bahwa para sahabat Rasulullah SAW terus-menerus belajar, meski di usia mereka yang sudah senja (al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Juz I/26). Demikian pula bagi para sahabat yang masih belia, mereka juga tidak mau ketinggalan. Ali bin Abi Thalib, yang disebut oleh Nabi sebagai pintu kota ilmu (babu al-Madinah), dan Ibn Abbas yang disebut sebagai penafsir Alquran (turjuman al-Qur'an) sama-sama telah belajar sejak usia 7 atau 8 tahun. Sayyidina 'Ali menuturkan,"Belajar di waktu kecil seperti memahat di atas batu." (al-Kattani, at-Taratib al-Idariyyah, Juz II/162).
Sejalan dengan itu dalam Islam pembiayaan pendidikan untuk seluruh tingkatan sepenuhnya merupakan tanggung jawab negara. Seluruh pembiayaan pendidikan, baik menyangkut gaji para guru/dosen maupun infrastruktur serta sarana dan prasarana pendidikan, sepenuhnya menjadi kewajiban negara. Ringkasnya, dalam Islam pendidikan disediakan secara gratis oleh negara (Usus at-Ta‘lîm al-Manhaji, hlm. 12).
Mengapa demikian? Sebab, negara berkewajiban menjamin tiga kebutuhan pokok masyarakat: pendidikan, kesehatan, dan keamanan. Berbeda dengan kebutuhan pokok individu (sandang, pangan, dan papan) yang dijamin secara tak langsung oleh negara, pendidikan, kesehatan dan keamanan dijamin secara langsung oleh negara. Maksudnya, tiga kebutuhan ini diperoleh secara cuma-cuma sebagai hak rakyat atas negara[1]. Nabi saw. bersabda:
الإِمَامُ رَاعٍ وَهُوَ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
“Imam bagaikan penggembala dan dialah yang bertanggung jawab atas gembalaannya itu” (HR Muslim).
Dengan filosofi, "Imam (kepala negara) adalah penggembala, dan dialah satu-satunya yang bertanggung jawab terhadap gembalaan (rakyat)-nya." (HR al-Bukhari), kewajiban untuk memberikan layanan kelas satu di bidang pendidikan ini benar-benar dipikul oleh negara. Jika kas negara tidak mencukupi, maka negara berhak mengambil pajak secukupnya dari kaum Muslim untuk membiayai kebutuhan ini (al-'Allamah Syaikh Taqiyuddn an-Nabhani, Muqaddimatu ad-Dustur, hal. 364-370).
Ijma’ Sahabat juga telah terwujud dalam hal wajibnya negara menjamin pembiayaan pendidikan. Khalifah Umar dan Utsman memberikan gaji kepada para guru, muazin, dan imam shalat jamaah. Khalifah Umar memberikan gaji tersebut dari pendapatan negara (Baitul Mal) yang berasal dari jizyah, kharaj (pajak tanah), dan usyur (pungutan atas harta non-Muslim yang melintasi tapal batas negara) (Rahman, 1995; Azmi, 2002; Muhammad, 2002).
Sistem pendidikan formal yang diselenggarakan Negara Khilafah memperoleh sumber pembiayaan sepenuhnya dari Negara (Baitul Mal). Dalam sejarah, pada masa Khalifah Umar bin al-Khaththab, sumber pembiayaan untuk kemaslahatan umum (termasuk pendidikan) berasal darijizyah, kharaj, dan usyur  (Muhammad, 2002).
Terdapat 2 (dua) sumber pendapatan Baitul Mal yang dapat digunakan membiayai pendidikan, yaitu: (1) pos fai’ dan kharaj yang merupakan kepemilikan Negara seperti ghanîmah, khumuûs (seperlima harta rampasan perang), jizyah, dan dharîbah (pajak); (2) pos kepemilikan umum seperti tambang minyak dan gas, hutan, laut, dan hima (milik umum yang penggunaannya telah dikhususkan). Adapun pendapatan dari pos zakat tidak dapat digunakan untuk pembiayaan pendidikan, karena zakat mempunyai peruntukannya sendiri, yaitu delapan golongan mustahik zakat (QS 9 : 60). (Zallum, 1983; an-Nabhani, 1990).
Jika dua sumber pendapatan itu ternyata tidak mencukupi, dan dikhawatirkan akan timbul efek negatif (dharar) jika terjadi penundaan pembiayaannya, maka Negara wajib mencukupinya dengan segera dengan cara berhutang (qardh). Utang ini kemudian dilunasi oleh Negara dengan dana dari dharîbah (pajak) yang dipungut dari kaum Muslim (Al-Maliki,1963).
Biaya pendidikan dari Baitul Mal itu secara garis besar dibelanjakan untuk 2 (dua) kepentingan. Pertama: untuk membayar gaji segala pihak yang terkait dengan pelayanan pendidikan seperti guru, dosen, karyawan, dan lain-lain. Kedua: untuk membiayai segala macam sarana dan prasana pendidikan, seperti bangunan sekolah, asrama, perpustakaan, buku-buku pegangan, dan sebagainya. (An-Nabhani, 1990).
Dari uraian diatas, jelas bahwa pada masa Rasulullah saw pun pendidikan sudah gratis, dan siapapun berhak mendapatkan pendidikan. Seperti yang tertuang dalam UUD 1945 hasil Amandemen yang tercantum pada pasal 31 ayat 2, menyatakan bahwa : “setiap warga Negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya”. Sejalan dengan itu UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab IV Pasal 6 ayat 1 yang menyatakan bahwa ”setiap warga Negara yang berusia tujuh sampai lima belas tahun wajib mengikuti pendidikan dasar”[2]. Dan Bab VIII Pasal 34 ayat 2 menyebutkan bahwa ”pemerintah dan pemerintah daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya”, sedangkan dalam ayat 3 menyebutkan bahwa ”wajib belajar merupakan tanggung jawab Negara yang diselenggarakan oleh lembaga pendidikan, Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan masyarakat”[3]. Pesan dari amanat undang-undang tersebut adalah Pemerintah dan Pemerintah daerah wajib memberikan layanan pendidikan bagi seluruh peserta didik pada tingkat pendidikan dasar (SD dan SMP) dan pendidikan lain yang sederajat.
Berdasarkan undang-undang tersebut seharusnya pemerintah mempunyai komitmen yang tinggi untuk melaksanakannya. Karena selain tuntutan dari undang-undang, pendidikan juga dapat meningkatkan kesejahteraan warganya, bahkan Rasulullah saw pun bersabda bahwa “Imam bagaikan penggembala dan dialah yang bertanggung jawab atas gembalaannya itu” (HR Muslim)
Pada intinya, peraturan di atas menyatakan bahwa Negara (melalui pemerintah) mempunyai kebijakan untuk membebaskan biaya pendidikan yang bertujuan untuk mensukseskan program wajib belajar sembilan tahun yang bermutu agar semua anak usia wajib belajar dapat memperoleh akses belajar. Akses pendidikan tidak boleh memandang latar belakang sosial, ekonomi, budaya, dan semua latar belakang lainnya. Semua anak usia 6 sampai dengan 15 tahun harus dapat memperoleh pendidikan dasar yang bermutu.
Namun, perlu dicatat, meski pembiayaan pendidikan adalah tanggung jawab negara, Islam tidak melarang inisiatif rakyatnya, khususnya mereka yang kaya, untuk berperan serta dalam pendidikan. Melalui wakaf yang disyariatkan, sejarah mencatat banyak orang kaya yang membangun sekolah dan universitas. Hampir di setiap kota besar seperti Damaskus, Baghdad, Kairo, Asfahan, dan lain-lain terdapat lembaga pendidikan dan perpustakaan yang berasal dari wakaf (Qahaf, 2005).
Di antara wakaf ini ada yang bersifat khusus, yakni untuk kegiatan tertentu atau orang tertentu; seperti wakaf untuk ilmuwan hadis, wakaf khusus untuk dokter, wakaf khusus untuk riset obat-obatan, wakaf khusus untuk guru anak-anak, wakaf khusus untuk pendalaman fikih dan ilmu-ilmu al-Quran. Bahkan sejarah mencatat ada wakaf khusus untuk Syaikh Al-Azhar atau fasilitas kendaraannya. Selain itu, wakaf juga diberikan dalam bentuk asrama pelajar dan mahasiswa, alat-alat tulis, buku pegangan, termasuk beasiswa dan biaya pendidikan (Qahaf, 2005).
Dengan Islam rakyat akan memperoleh pendidikan formal yang gratis dari negara. Adapun melalui inisiatif wakaf dari anggota masyarakat yang kaya, rakyat akan memperoleh pendidikan non formal yang juga gratis atau murah bagi rakyat.
Dampak Pendidikan Gratis
a.      Dampak Positif
Kebijakan sekolah gratis mampu memberikan dampak yang positif demi tercapainya cita-cita nasional, yang mana kebijakan tersebut dapat memberikan sedikit titik terang bagi dunia pendidikan yang selama ini sangat kurang sekali perhatiannya oleh pemerintah. Adapun dampak yang mampu ditimbulkan dari sekolah gratis ini, diantaranya :
1.    Mampu memberikan peluang dan kesempatan bagi anak-anak yang kurang mampu untuk dapat mengenyam bangku pendidikan yang selama ini hanya ada dalam bayangan dan angan-angan mereka saja
2.    Mampu meningkatkan mutu pendidikan kedepannya
3.    Mampu mengurangi tingkat kebodohan, pengangguran, dan kemiskinan
4.    Mampu menghasilkan SDM yang berkualitas
5.    Mampu mewujudkan cita-cita nasional bangsa Indonesia yaitu ikut mencerdaskan anak bangsa.
b.      Dampak Negatif
Dari sebuah keputusan yang besar seperti “Kebijakan Sekolah Gratis” tersebut selain mampu memberikan manfaat bagi seluruh rakyat Indonesia, juga dapat memberikan dampak negatif dari adanya penetapan kebijakan tersebut , diantaranya :
1.    Dengan program sekolah gratis rakyat yang masih awam akan berfikiran bahwa mereka hanya cukup dengan menyekolahkan anak-anak mereka sampai tingkat SD atau SMP saja
2.    Biaya yang digratiskan hanyalah biaya administrasinya saja, sehingga menimbulkan peluang untuk terjadinya penyalahgunaan dari pihak-pihak sekolah yang tidak bertanggung jawab, misalnya mau tidak mau siswa dipaksa untuk membeli buku-buku pelajaran , LKS, dan biaya Bimbel yang akhirnya tetap tidak gratis juga
3.    Menimbulkan sebagian Peserta didik berlaku seenaknya dalam hal belajar ataupun pembiayaan.
4.    Apabila sekolah membutuhkan dana untuk keperluan pengadaan peralatan yang mendadak akan keteteran.




[1] Al-Maliki, Abdurrahman,  ”As-Siyâsah al-Iqtishâdiyah Al-Mutsla”. (Hizbut Tahrir: t.p. 1963)
[2] Peraturan Pemerintah Republik Indonesia (Jakarta: Dharma Bahkti, 2005), hlm. 96
[3] Ibid, hlm. 108

Tidak ada komentar:

Posting Komentar