Pendidikan Gratis dalam Perspektif Filsafat Pendidikan Islam
Pendidikan gratis adalah sebuah kebijakan pemerintah
yang dimana siswa tidak lagi dibebankan dengan bermacam-macam biaya mulai dari
uang pangkal, uang sekolah, uang komite, dan buku penunjang utama. Sementara
itu, untuk biaya-biaya lain, tidak ditanggung oleh pemda, misalnya, biaya
transportasi, pakaian seragam, dan biaya-biaya lain (penambahan materi,
darmawisata, dan sebagainya). Dengan kata lain, komponen biaya untuk memenuhi
kebijakan ‘pendidikan gratis’ adalah berupa subsidi. Subsidi ini pun masih
disertai sejumlah persyaratan, yaitu jika besaran dana bantuan yang diberikan
pemerintah pusat dan pemerintah provinsi lebih kecil dari biaya operasional
sekolah, pemerintah kota dan siswa harus menutupi kekurangan dana tersebut
Mengapa biaya pendidikan
harus gratis ? maka kita lihat kembali ke tahun 1945 ketika kita memproklamirkan
diri sebagai bangsa Indonesia yang merdeka yang bercita-cita untuk mencerdaskan
kehidupan bangsanya. Bagaimana mungkin kita akan dapat mencerdaskan bangsa ini
jika untuk mendapatkan pendidikan dasar saja warga negaranya kesulitan karena
pendidikan yang dikelola oleh pemerintah mahal harganya.
Prioritas utama pemerintahan
kita adalah peningkatan kualitas SDM!”, “Tuntutlah ilmu sampai ke negeri Cina”,
“Menuntut Ilmu adalah kewajiban sejak dalam buaian sampai liang kubur”, karena ilmu
merupakan kunci dunia dan akhirat. Dengan ilmu, dunia dan akhirat bisa
dikuasai. Menyadari kebutuhan manusia akan ilmu, bahkan ketika masa Rasulullah
saw, para sahabat pun terus-menerus belajar tanpa mengenal usia.
Al-Bukhari
meriwayatkan, bahwa para sahabat Rasulullah SAW terus-menerus belajar, meski di
usia mereka yang sudah senja (al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Juz I/26). Demikian pula bagi para sahabat
yang masih belia, mereka juga tidak mau ketinggalan. Ali bin Abi Thalib, yang
disebut oleh Nabi sebagai pintu kota ilmu (babu al-Madinah),
dan Ibn Abbas yang disebut sebagai penafsir Alquran (turjuman al-Qur'an) sama-sama telah belajar sejak usia
7 atau 8 tahun. Sayyidina 'Ali menuturkan,"Belajar di waktu kecil
seperti memahat di atas batu." (al-Kattani, at-Taratib al-Idariyyah,
Juz II/162).
Sejalan dengan itu dalam Islam pembiayaan pendidikan untuk seluruh
tingkatan sepenuhnya merupakan tanggung jawab negara. Seluruh pembiayaan
pendidikan, baik menyangkut gaji para guru/dosen maupun infrastruktur serta
sarana dan prasarana pendidikan, sepenuhnya menjadi kewajiban negara.
Ringkasnya, dalam Islam pendidikan disediakan secara gratis oleh negara (Usus
at-Ta‘lîm al-Manhaji, hlm. 12).
Mengapa demikian? Sebab, negara berkewajiban menjamin tiga
kebutuhan pokok masyarakat: pendidikan, kesehatan, dan keamanan. Berbeda dengan
kebutuhan pokok individu (sandang, pangan, dan papan) yang dijamin secara tak
langsung oleh negara, pendidikan, kesehatan dan keamanan dijamin secara
langsung oleh negara. Maksudnya, tiga kebutuhan ini diperoleh secara cuma-cuma
sebagai hak rakyat atas negara[1].
Nabi saw. bersabda:
الإِمَامُ
رَاعٍ وَهُوَ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
“Imam bagaikan penggembala dan
dialah yang bertanggung jawab atas gembalaannya itu” (HR Muslim).
Dengan
filosofi, "Imam (kepala negara) adalah penggembala, dan dialah
satu-satunya yang bertanggung jawab terhadap gembalaan (rakyat)-nya." (HR
al-Bukhari), kewajiban untuk memberikan layanan kelas satu di bidang pendidikan
ini benar-benar dipikul oleh negara. Jika kas negara tidak mencukupi, maka
negara berhak mengambil pajak secukupnya dari kaum Muslim untuk membiayai
kebutuhan ini (al-'Allamah Syaikh Taqiyuddn an-Nabhani, Muqaddimatu ad-Dustur,
hal. 364-370).
Ijma’ Sahabat juga telah terwujud dalam hal wajibnya negara
menjamin pembiayaan pendidikan. Khalifah Umar dan Utsman memberikan gaji kepada
para guru, muazin, dan imam shalat jamaah. Khalifah Umar memberikan gaji
tersebut dari pendapatan negara (Baitul Mal) yang berasal dari jizyah, kharaj (pajak tanah), dan usyur (pungutan atas harta non-Muslim yang
melintasi tapal batas negara) (Rahman, 1995; Azmi, 2002; Muhammad, 2002).
Sistem pendidikan formal yang diselenggarakan Negara Khilafah
memperoleh sumber pembiayaan sepenuhnya dari Negara (Baitul Mal). Dalam
sejarah, pada masa Khalifah Umar bin al-Khaththab, sumber pembiayaan untuk
kemaslahatan umum (termasuk pendidikan) berasal darijizyah, kharaj, dan usyur (Muhammad, 2002).
Terdapat 2 (dua) sumber pendapatan Baitul Mal yang dapat digunakan
membiayai pendidikan, yaitu: (1) pos fai’ dan kharaj
yang merupakan kepemilikan Negara seperti ghanîmah,
khumuûs (seperlima harta
rampasan perang), jizyah, dan dharîbah (pajak); (2) pos kepemilikan
umum seperti tambang minyak dan gas, hutan, laut, dan hima (milik umum yang penggunaannya
telah dikhususkan). Adapun pendapatan dari pos zakat tidak dapat digunakan
untuk pembiayaan pendidikan, karena zakat mempunyai peruntukannya sendiri,
yaitu delapan golongan mustahik zakat (QS 9 : 60). (Zallum, 1983; an-Nabhani,
1990).
Jika dua sumber pendapatan itu ternyata tidak mencukupi, dan
dikhawatirkan akan timbul efek negatif (dharar) jika terjadi penundaan
pembiayaannya, maka Negara wajib mencukupinya dengan segera dengan cara
berhutang (qardh). Utang ini kemudian dilunasi oleh Negara dengan dana
dari dharîbah (pajak) yang dipungut dari kaum Muslim
(Al-Maliki,1963).
Biaya pendidikan dari Baitul Mal itu secara garis besar
dibelanjakan untuk 2 (dua) kepentingan. Pertama:
untuk membayar gaji segala pihak yang terkait dengan pelayanan pendidikan
seperti guru, dosen, karyawan, dan lain-lain. Kedua: untuk membiayai
segala macam sarana dan prasana pendidikan, seperti bangunan sekolah, asrama,
perpustakaan, buku-buku pegangan, dan sebagainya. (An-Nabhani, 1990).
Dari uraian diatas, jelas bahwa pada masa Rasulullah saw pun
pendidikan sudah gratis, dan siapapun berhak mendapatkan pendidikan. Seperti
yang tertuang dalam UUD 1945 hasil Amandemen yang tercantum pada pasal
31 ayat 2, menyatakan bahwa : “setiap warga Negara wajib mengikuti pendidikan
dasar dan pemerintah wajib membiayainya”. Sejalan dengan itu UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
Bab IV Pasal 6 ayat 1 yang menyatakan bahwa ”setiap warga Negara yang berusia
tujuh sampai lima belas tahun wajib mengikuti pendidikan dasar”[2].
Dan Bab VIII Pasal 34 ayat 2 menyebutkan bahwa ”pemerintah dan pemerintah
daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan
dasar tanpa memungut biaya”, sedangkan dalam ayat 3 menyebutkan bahwa ”wajib
belajar merupakan tanggung jawab Negara yang diselenggarakan oleh lembaga
pendidikan, Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan masyarakat”[3].
Pesan dari amanat undang-undang tersebut adalah Pemerintah dan Pemerintah
daerah wajib memberikan layanan pendidikan bagi seluruh peserta didik pada
tingkat pendidikan dasar (SD dan SMP) dan pendidikan lain yang sederajat.
Berdasarkan undang-undang
tersebut seharusnya pemerintah mempunyai komitmen yang tinggi untuk
melaksanakannya. Karena selain tuntutan dari undang-undang, pendidikan juga
dapat meningkatkan kesejahteraan warganya, bahkan Rasulullah saw pun bersabda
bahwa “Imam bagaikan penggembala dan dialah yang bertanggung jawab atas
gembalaannya itu” (HR Muslim)
Pada
intinya, peraturan di atas menyatakan bahwa Negara (melalui pemerintah)
mempunyai kebijakan untuk membebaskan biaya pendidikan yang bertujuan untuk
mensukseskan program wajib belajar sembilan tahun yang bermutu agar semua anak
usia wajib belajar dapat memperoleh akses belajar. Akses
pendidikan tidak boleh memandang latar belakang sosial, ekonomi, budaya, dan
semua latar belakang lainnya. Semua anak usia 6 sampai dengan 15 tahun harus
dapat memperoleh pendidikan dasar yang bermutu.
Namun, perlu dicatat, meski pembiayaan pendidikan adalah tanggung
jawab negara, Islam tidak melarang inisiatif rakyatnya, khususnya mereka yang
kaya, untuk berperan serta dalam pendidikan. Melalui wakaf yang disyariatkan,
sejarah mencatat banyak orang kaya yang membangun sekolah dan universitas.
Hampir di setiap kota besar
seperti Damaskus, Baghdad, Kairo, Asfahan, dan lain-lain terdapat lembaga
pendidikan dan perpustakaan yang berasal dari wakaf (Qahaf, 2005).
Di antara wakaf ini ada yang bersifat khusus, yakni untuk kegiatan
tertentu atau orang tertentu; seperti wakaf untuk ilmuwan hadis, wakaf khusus
untuk dokter, wakaf khusus untuk riset obat-obatan, wakaf khusus untuk guru
anak-anak, wakaf khusus untuk pendalaman fikih dan ilmu-ilmu al-Quran. Bahkan
sejarah mencatat ada wakaf khusus untuk Syaikh Al-Azhar atau fasilitas
kendaraannya. Selain itu, wakaf juga diberikan dalam bentuk asrama pelajar dan
mahasiswa, alat-alat tulis, buku pegangan, termasuk beasiswa dan biaya pendidikan
(Qahaf, 2005).
Dengan Islam rakyat akan
memperoleh pendidikan formal yang gratis dari negara. Adapun melalui inisiatif
wakaf dari anggota masyarakat yang kaya, rakyat akan memperoleh pendidikan non formal
yang juga gratis atau murah bagi rakyat.
Dampak Pendidikan Gratis
a.
Dampak Positif
Kebijakan sekolah gratis mampu
memberikan dampak yang positif demi tercapainya cita-cita nasional, yang mana
kebijakan tersebut dapat memberikan sedikit titik terang bagi dunia pendidikan
yang selama ini sangat kurang sekali perhatiannya oleh pemerintah. Adapun
dampak yang mampu ditimbulkan dari sekolah gratis ini, diantaranya :
1. Mampu memberikan peluang dan kesempatan bagi anak-anak yang
kurang mampu untuk dapat mengenyam bangku pendidikan yang selama ini hanya ada
dalam bayangan dan angan-angan mereka saja
2. Mampu meningkatkan mutu pendidikan kedepannya
3. Mampu mengurangi tingkat kebodohan, pengangguran, dan kemiskinan
4. Mampu menghasilkan SDM yang berkualitas
5. Mampu mewujudkan cita-cita nasional bangsa Indonesia yaitu ikut
mencerdaskan anak bangsa.
b. Dampak
Negatif
Dari sebuah
keputusan yang besar seperti “Kebijakan Sekolah Gratis” tersebut selain mampu
memberikan manfaat bagi seluruh rakyat Indonesia, juga dapat memberikan dampak
negatif dari adanya penetapan kebijakan tersebut , diantaranya :
1.
Dengan program sekolah gratis rakyat yang masih awam akan
berfikiran bahwa mereka hanya cukup dengan menyekolahkan anak-anak mereka
sampai tingkat SD atau SMP saja
2.
Biaya yang digratiskan hanyalah biaya administrasinya saja,
sehingga menimbulkan peluang untuk terjadinya penyalahgunaan dari pihak-pihak
sekolah yang tidak bertanggung jawab, misalnya mau tidak mau siswa dipaksa
untuk membeli buku-buku pelajaran , LKS, dan biaya Bimbel yang akhirnya tetap
tidak gratis juga
3.
Menimbulkan sebagian Peserta didik berlaku seenaknya dalam
hal belajar ataupun pembiayaan.
4.
Apabila sekolah membutuhkan dana untuk keperluan pengadaan
peralatan yang mendadak akan keteteran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar