Senin, 11 April 2016

Pengaruh Otonomi Daerah Terhadap Praktek Pendidikan Di Indonesia

BAB I
PENDAHULUAN
1.1.       Latar Belakang
Pendidikan dalam sejarah peradaban manusia merupakan salah satu komponen kehidupan yang paling urgen. Aktivitas ini telah dan akan terus berjalan semenjak manusia pertama ada di dunia sampai berakhirnya kehidupan di muka bumi ini. Bahkan kalau ditarik mundur lebih jauh lagi, kita akan dapatkan bahwa pendidikan telah mulai berproses sejak Allah SWT menciptakan manusia pertama, yaitu Adam di surga dan telah mengajarkan kepadanya semua nama yang belum dikenal sama sekali oleh malaikat[1].
Membahas pendidikan, kita tidak bisa hanya berbicara seputar sekolah, karena sekolah hanya merupakan salah satu bagian integral dari proses pendidikan. Pendidikan juga terjadi dalam lingkungan keluarga dan masyarakat. Kedua lembaga inilah yang merupakan input dari proses pendidikan yang dilaksanakan di sekolah[2].
Di sisi lain, pendidikan yang diartikan sebagai usaha yang dijalankan oleh seseorang atau kelompok orang lain agar menjadi dewasa atau mencapai tingkat hidup atau penghidupan yang lebih tinggi dalam arti fisik dan mental[3] serta sebagai media pembentuk generasi penerus bangsa yang tangguh kini menjadi barang mahal dan tidak dapat dikonsumsi oleh semua lapisan masyarakat khususnya masyarakat pedesaan. Pendidikan Wajib Belajar 9 Tahun yang dikampanyekan pemerintah, untuk sebagian orang hanya menjadi “angin lalu” karena kebutuhan pokok keluarga menjadi perhatian utama yang menggeser pentingnya pendidikan.
Otonomi Daerah sebagai  media bagi pemerintah desa untuk mengembangkan desanya di berbagai aspek kehidupan dirasa belum berdampak banyak khususnya di bidang pendidikan. Masih banyak daerah-daerah tertinggal yang tidak semua masyarakat desanya dapat mengenyam bangku sekolah. Kurangnya biaya merupakan alasan utama mengapa mereka tidak menyekolahkan anaknya. Selain itu, sarana dan prasarana pendidikan pun di beberapa daerah cenderung masih kurang.
Persoalan mengenai pengaruh Otonomi Daerah terhadap kebijakan pendidikan hingga sekarang masih menjadi “isu” yang mengundang rasa keingintahuan penulis dan mungkin masyarakat lainnya. Otonomi Daerah yang merupakan program pemerintah dalam memberikan wewenang kepada pemerintah desa untuk memajukan desanya dirasa belum optimal dalam memberikan perubahan di bidang pendidikan khususnya di daerah-daerah tertinggal. Oleh sebab itu, tulisan ini dibuat untuk melihat seberapa jauhkah peran pemerintah desa terhadap kebijakan pendidikan untuk masyarakatnya.
1.2.       Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, Adapun masalah-masalah yang ingin di gali dalam pembuatan makalah ini yaitu:
1.      Apa makna Otonomi Daerah ?
2.      Seberapa besar wewenang pemerintah daerah terhadap kehidupan desa berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 ?
3.      Bagaimana pengaruh Otonomi Daerah terhadap praktek pendidikan di Indonesia
1.3.       Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan yang diharapkan dalam pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut:
1.      Mengetahui makna Otonomi Daerah
2.      Mengetahui berapa besar wewenang pemerintah daerah terhadap kehidupan desa berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999
3.      Mengetahui pengaruh Otonomi Daerah terhadap praktek pendidikan di Indonesia
BAB II
PEMBAHASAN
2.1.       Makna Otonomi Daerah
Otonomi daerah berasal dari kata otonomi dan daerah. Otonomi berasal bahasa Yunani yaitu "autos" dan "namos". Autos yang berarti sendiri dan namos yang berarti aturan atau undang-undang. Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 otonomi daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan[4]. Sedangkan daerah ialah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah tertentu. 
Otonomi daerah merupakan pembagian kekuasaan yang diberikan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk mengurus dan mengatur daerahnya. Kekuasaan ini diberikan oleh pemerintah pusat agar pemerintah setiap daerah dapat dikontrol dengan mudah oleh pemerintah pusat. Pemerintah daerah memiliki kewajiban untuk bertanggung jawab kepada pemerintah pusat terhadap daerah yang diurus dan diaturnya. Ketentuan mengenai tanggung jawab pemerintah daerah kepada pemerintah pusat ini diatur di dalam UU.
Adapun pengertian otonomi daerah menurut para ahli antara lain sebagai berikut:
  1. Syarif Saleh : Otonomi daerah ialah hak mengatur dan memerintah daerah sendiri yang mana hak tersebut merupakan hak yang diberikan oleh pemerintah pusat.
  2. F. Sugeng Istianto : Otonomi daerah adalah hak dan wewenang dalam mengatur dan mengurus rumah tangga suatu daerah.
  3. Ateng Syarifuddin : Otonomi mempunyai makna kebebasan atau kemandirian, namun bukanlah kemerdekaan tetapi kebebasan yang terbatas dan terwujud pada pemberian kesempatan yang harus bisa dipertanggungjawabkan.
  4. Benyamin Hoesein : Otonomi daerah adalah pemerintahan oleh rakyat dan untuk rakyat di bagian wilayah nasional suatu negara dan secara informal berada di luar pemerintah pusat.
  5. Philip Mahwood : Otonomi daerah ialah suatu pemerintah daerah yang memiliki kewenangan sendiri dimana keberadaannya terpisah dengan otoritas yang diserahkan pemerintah guna untuk mengalokasikan sumber material yang sifatnya substansi berkenaan dengan fungsi yang berbeda.
  6. Mariun : Otonomi daerah adalah kebebasan yang dimiliki pemerintah daerah yang memungkinkan untuk membuat inisiatif sendiri dalam rangka mengelola dan mengoptimalkan sumber daya yang dimiliki oleh daerahnya sendiri dalam suatu negara. Otonomi daerah diartikan juga sebagai kebebasan yang diberikan untuk bisa berbuat apapun sesuai dengan kebutuhan masyarakat di lingkungan setempat.
  7. Vincent Lemius : Otonomi daerah merupakan kebebasan dalam mengambil ataupun membuat suatu keputusan politik atau lainnya yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Didalam otonomi daerah tedapat kewenangan atau kebebasan yang dimiliki oleh setiap pemerintah daerah untuk menentukan apa yang akan menjadi kebutuhan daerah namun tetap senantiasa harus disesuaikan dengan kepentingan nasional sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
  8. Sunarsip : adalah kewenangan dari daerah untuk mengurus dan mengatur kepentingan masyarakat yang ada di daerah tersebut menurut prakarsa sendiri yang didasarkan pada aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan
  9. Kansil : adalah hak yang diberikan kepada daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri dalam ikatan NKRI, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Daerah dibentuk berdasarkan asas desentralisasi
2.2.       Wewenang pemerintah daerah terhadap kehidupan desa berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999
Secara historis suatu daerah atau yang selanjutnya kita sebut desa, merupakan cikal bakal terbentuknya masyarakat politik dan pemerintahan di Indonesia jauh sebelum negara-bangsa ini terbentuk. Struktur sosial sejenis desa, masyarakat adat dan lain sebagainya telah menjadi institusi sosial yang mempunyai posisi yang sangat penting. Desa merupakan institusi yang otonom dengan tradisi, adat istiadat dan hukumnya sendiri serta relatif mandiri. Hal ini antara lain ditunjukkan dengan tingkat keragaman yang tinggi membuat desa mungkin merupakan wujud bangsa yang paling konkret[5].
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 menegaskan bahwa desa tidak lagi merupakan wilayah administratif, bahkan tidak lagi menjadi bawahan atau unsur pelaksana daerah, tetapi menjadi daerah yang istimewa dan bersifat mandiri yang berada dalam wilayah kabupaten sehingga setiap warga desa berhak berbicara atas kepentingan sendiri sesuai kondisi sosial budaya yang hidup di lingkungan masyarakatnya[6]. 
Pengesahan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 mengindikasikan bahwa kini pemerintah desa berhak dan berwenang untuk mengatur daerahnya. Adapun wewenang Pemerintah Daerah mencakup beberapa aspek, seperti tercantum pada Pasal 7 Ayat 1 UU No. 22 Tahun 1999 “kewenangan Daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan bidang lain” dan Pasal 8 Ayat 1 “kewenangan Pemerintahan yang diserahkan kepada Daerah dalam rangka desentralisasi harus disertai dengan penyerahan dan pengalihan pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia sesuai dengan kewenangan yang diserahkan tersebut.”
Daerah yang otonom memberi ruang gerak yang luas pada perencanaan pembangunan yang merupakan kebutuhan nyata masyarakat dan tidak banyak terbebani oleh program-program kerja dari berbagai instansi dan pemerintahan.
Untuk melakukan otonomi daerah, maka segenap potensi desa baik berupa kelembagaan, sumber daya alam dan sumber daya manusia harus dapat dioptimalkan. Untuk itu, pemerintah daerah harus mengoptimalkan segala potensi daerah dan menetapkan pengaturan administratif dengan bijak agar tercipta kesejahteraan bagi semua masyarakat daerah, termasuk mengedepankan pendidikan, yang mana pendidikan itu menurut UU Nomor 2 Tahun 1989, bahwa Pendidikan adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan atau latihan bagi peranannya di masa yang akan datang[7].
Setiap kegiatan apa pun bentuk dan jenisnya, sadar atau tidak sadar, selalu diharapkan kepada tujuan yang ingin dicapai. Adapun tujuan pendidikan ini tertuang dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989, secara jelas disebutkan Tujuan Pendidikan Nasional, yaitu “Mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusai yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan”[8]
Sebagai implementasi GBHN 1993, minimal ada tiga hal yang perlu dijadikan pedoman:
1.      Pendidikan harus diarahkan untuk kesejahteraan bangsa;
2.      Pendidikan berfungsi untuk mempersiapkan tenaga kerja bagi industrialisasi           mendatang;
3.      Pendidikan bertujuan untuk penguasaan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK)[9].
Berdasarkan penjelasan diatas, jelas bahwa pendidikan adalah salah satu komponen terpenting untuk keberlajutan bukan hanya keluarga tapi juga negara. Harus disadari bahwa pendidikan merupakan titik awal untuk membentuk generasi penerus bangsa yang kompeten dan dapat meningkatkan kesejahteraan bangsa. Dengan pendidikan, masyarakat dipersiapkan untuk menghadapi masa depan yang lebih terencana dan lebih matang.
2.3.       Pengaruh Otonomi Daerah Terhadap Praktek Pendidikan di Indonesia
Ketentuan otonomi daerah yang dilandasi oleh Undang-Undang Nomor 22 dan Nomor 25 Tahun 1999, telah membawa perubahan dalam berbagai bidang kehidupan, termasuk penyelenggaraan pendidikan. bila sebelumnya manajemen pendidikan merupakan wewenang pusat, dengan berlakunya undang-undang tersebut, kewenangan tersebut dialihkan ke pemerintahan kota dan kabupaten[10].
Implikasi otonomi daerah bagi desentralisasi pendidikan sangat bergantung pada pembagian kewenangan di bidang pendidikan yang akan ditangani pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota. Pelaksanaan otonomi daerah merupakan momentum yang sangat tepat untuk mereformasi penyelenggaraan pendidikan dari aspek birokrasi, pendanaan dan manajemen pendidikan. desentralisasi pendidikan yang efektif tidak hanya melibatkan proses pemberian kewenangan dan pendanaan yang lebih besar dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah, tetapi desentralisasi juga harus menyentuh pemberian kewenangan yang lebih besar ke sekolah-sekolah dalam menentukan kebijakan organisasi dan proses belajar mengajar, manajemen guru, struktur dan perencanaan di tingkat sekolah, dan sumber-sumber pendanaan sekolah[11]
2.3.1. Pendidikan di Era Otonomi Daerah dan Implementasi dalam Pendidikan
Pada hakikatnya pendidikan merupakan tanggung jawab semua pihak. Oleh karena itu partisipasi masyarakat sangat menentukan keberhasilan pendidikan, kenyataan selama ini partisipasi masyarakat terhadap pendidikan semakin berkurang, apalagi ada kata-kata sumbang yang sering dilontarkan bahwa pendidikan gratis mulai dari sekolah dasar sampai ke perguruan tinggi.
Pendidikan Islam yang merupakan salah satu unsur dalam system pendidikan dalam masyarakat, yang berhubungan secara timbal balik dan saling bergantung dengan unsur-unsur lainnya. Dengan demikian pendidikan Islam diharapkan agar mampu mengembangkan potensi yang sudah ada dan menggali potensi masyarakat yang belum ada[12].
Pelaksanaan undang-undang otonomi daerah memerlukan suatu perubahan sikap dari para pelakunya serta kemampuan kelembagaan agar pelaksanaan otonomi dapat berjalan dengan sebaik-baiknya. Pendidikan yang benar adalah pendidikan yang hidup dari dan untuk masyarakat. Pendidikan yang berdasarkan masyarakat (community-based education) merupakan bentuk pendidikan yang seharusnya.
Antara pemda kabupaten dengan masyarakat didalam penyelenggaraan pendidikan dan kebudayaan terdapat hubungan akuntabilitas horizontal, artinya masyarakat dan pemda dua-duanya bertanggungjawab terhadap “the stake holder” (masyarakat) yang memiliki pendidikannya. Pemda berkewajiban untuk membantu masyarakat agar penyelenggaraan pendidikannya efisien dan bermutu.
Dalam undang-undang No. 22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah, kabupaten mempunyai otonomi yang seluas-luasnya, provinsi mempunyai wewenang koordinatif, dan pemerintah pusat memiliki wewenang didalam menentukan kebijakan-kebijakan umum. Pemda provinsi yang mempunyai tugas koordinatif dapat melaksanakan tugasnya untuk mengkoordinasikan kegiatan-kegiatan pendidikan dan kebudayaan antar pemda-pemda setempat. Perlunya suatu perubahan wawasan didalam menyeleggarakan pendidikan. Masyarakat bersama-sama dengan pemda bertanggungajawab terhadap mutu pendidikan didaerahnya. Dengan demikian pelaksanaan otonomi daerah didalam bidang kebudayaan dan pendidikan akan lebih cepat dan lebih bermutu[13].
2.3.2. Problem dan Peluang Pendidikan dalam Otonomi Daerah
Dalam kaitannya dengan dunia pendidikan, maka tantangan yang mendasar dan internal, yakni system pendidika Islam berjalan semakin jauh dari cita-cita semula yaitu mengembangkan sifat pendidikan nasional dan demokratis. Kurikulum yang terpusat kurang bisa menjawab problema masyarakat desa dan kota. Keseragaman kurikulum secara nasional selain bersifat kaku dan kurang mendidik, juga kurangnya memanusiakan siswa sesuai dengan lingkungan sosial ekonomi serta lingkungan sosial budaya disuatu daerah.
Dalam dunia pendidikan terdapat berbagai masalah di daerah yang terjadi dan hal itu diisukan adanya kecemburuan antara pusat dan daerah. Bagi umat Islam pendidikan Islam berakar dari tradisi Islam sendiri, sehingga tidak mungkin ditangani secara sekuler. Tetapi pemerintahan juga memahami bahwa umat Islam menuntut hak dan status yang lebih baik bagi pendidikan Islam sebagai bagian dari system pendidikan nasional sehingga kedudukan dan orientasinya sama.
Adanya kurikulum yang memperhatikan kondisi daerah merupakan langkah awal dalam menata ulang system pendidikan yang sudah berlaku untuk kemajuan suatu lembaga pendidikan yang akan datang. Dengan realitas tersebut maka kebijakan pemerintah dalam rangka menumbuhkan pembangunan termasuk dalam bidang pendidikan, dikeluarkan UU No 22/1999 tentang otonomi daerah (OTDA). Dalam upaya untuk meningkatkan pembangunan di segala bidang termasuk pendidikan yang tak menentu, Indonesia menerapkan OTDA dalam segala aspek kehidupan.
Demikian pula dengan berlakunya UU No 25/1999 tentang perimbangan keuangan pusat dan daerah, maka daerah punya wewenang untuk mengelola dan memanfaatkan sumber alam, sehingga daerah diharapkan mengalami perubahan pembangunan pendidikan dengan cepat dan terbuka. Namun dalam kenyataan masih banyak kendala yang menghambat peningkatan kualitas pendidikan Islam. Hal itu dikarenakan pemerintah pusat masih setengah-setengah memberikan wewenang untuk mengurusi rumah tangga pendidikan di daerah. Dalam kondisi demikian maka sekolah swasta (termasuk mayoritas madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam) yang lebih merakyat dan lebih murah daripada sekolah negeri, akan lebih berdampak semakin rendah kualitasnya karena lebih sedikit dana, sarana, dan perhatian pemerintah yang kurang memusatkan pada lembaga pendidikan tersebut. Dan gambaran itu akan timbul kesan bahwa pendidikan semata-mata milik pemerintah, bukan milik masyarakat.
Berlakunya system pendidikan nasional yang ada dalam lembaga pendidikan orientasinya condong kepada kepentingan daerah dan tidak memikirkan kebutuhan masyarakat di suatu daerah. UU tersebut dalam realitanya terkesan tidak sejalan dengan tujuan agar efisiensi pengelolaan sumber daya, keputusan anggaran belanja dibuat daerah dan lebih tanggap terhadap masyarakat local, sehingga berorientasi pada pembangunan daerah. Namun pendidikan Islam masih terkesan begitu lemah, hal itu dikarenakan penentu kebijakan daerah masih belum memahami otda dan otonomi pendidikan. banyak wakil rakyat kurang memperhatikan kondisi pendidikan masyarakat daerah, namun justru terfokus memperkaya dirinya sendiri dan mengenyampingkan kemanfaatan umat mereka sebagai pembuat kebijakan membuat cambuk asal jalan kurang didasari tanggungjawab terhadap rakyat.
Dengan berlakunya otonomi daerah, semua wewenang untuk mengatur maupun mendistribusikan kekayaan daerah dilakukan oleh pemerintah daerah setempat. Dengan peningkatan pendidikan berarti menekankan keharusan adanya peran besar pemerintah daerah untuk menghapuskan pesimisme yang menghantui prospek perkembangan pendidikan daerah.
Disamping permasalahan diatas juga tidak adanya keseimbangan dalam sector kurikulum inti dan kurikulum local. Dimana kebijakan daerah justru berorientasi pada sector kurikulum inti. Padahal dalam realitanya bahwa pendidikan memegang peranan penting dalam proses pengembangan potensi yang dimiliki oleh masyarakat, curriculum is to be a useful prescription for social and cultural realities of the times.
Pada dasarnya otonomi daerah memberikan peluang kepada pengelola pendidikan untuk mengembangkan lembaga pendidikan. Pertama, pengelola pendidikan memiliki peluang untuk merumuskan tujuan institusi masing-masing mengacu pada tujuan nasional. Kedua, pengelola pendidikan memiliki otonomi untuk merumuskan dan mengembangkan kurikulum sesuai dengan tujuan dan kebutuhan masyarakat suatu daerah. Ketiga, pengelola pendidikan memiliki peluang untuk menciptakan situasi belajar dan mengajar yang mendukung pelaksanaan dan pengembangan kurikulum yang telah ditetapkan. Keempat, pendidikan memiliki otonomi untuk mengembangkan system evaluasi yang dipandang tepat dan akurat, baik terhadap prestasi belajar siswa maupun terhadap keseluruhan penyelenggaraan pendidikan. Adapun strategi pengembangan kurikulum mengacu pada filosofi daerah setempat dan memperhatikan asas masyarakat, ilmu pengetahuan dan psikologi[14]


BAB III
PENUTUP
3.1.       Kesimpulan
Otonomi daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Otonomi daerah yang dilaksanakan dalam Negara Republik Indonesiatelah diatur kerangka landasannya dalam UUD 1945, kemudian telah melalui tahapan beberapa proses.
Ketentuan otonomi daerah yang dilandasi oleh Undang-Undang Nomor 22 dan Nomor 25 Tahun 1999, telah membawa perubahan dalam berbagai bidang kehidupan, termasuk penyelenggaraan pendidikan, meskipun dirasa belum banyak berpengaruh terhadap kebijakan pendidikan di beberapa desa/daerah. Masih banyak kekurangan dalam pengiplementasian kebijakan pendidikan di desa/daerah. Masalah ini memaksa pemerintah pusat untuk kembali mengevaluasi program kerja yang telah diberlakukan. Pemerintah pun harus berlaku tegas terhadap bentuk-bentuk pelanggaran dan penyelewengan yang dilakukan pemerintah daerah. Di sisi lain, pemerintah daerah harus aktif dan bijak dalam menetapkan kebijakan pendidikan dan menggunakan kewenangan yang diberikan sebaik-baiknya guna meningkatkan kualitas pendidikan masyarakat di desa/daerahnya




DAFTAR PUSTAKA

Basri, Hasan, 2012, “Kapita Selekta Pendidikan”, Bandung; CV Pustaka Setia
Busroh, Abu, 1994,  “Capita Selekta Hukum Tata Negara”, Jakarta: Rineka Cipta
C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil, 2000. “Hukum Tata Negara Republik Indonesia”, Jakarta; Penerbit PT Rineka Cipta
Hasbullah, 2006, Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan”, Jakarta; PT. Raja Grafindo Persada
UU Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional (pasal 1 ayat 1)
Widjaja, HAW, 2005,  “Otonomi Desa Merupakan Otonomi yang Asli, Bulat dan Utuh”, Jakarta; PT Raja Grafindo Persada
Yahya, Murip, 2010, ”Pengantar Pendidikan”, Bandung; SoloBandung





[1] Lihat Q.S. Al-Baqarah (2) :31-33, yang dikutip langsung oleh Hasan Basri, “Kapita Selekta Pendidikan” (Bandung: Pustaka Setia, 2012) hlm 61
[2] Ibid, hlm 62
[3] Sudirman N.,dkk., “Ilmu Pendidikan” (Bandung: Remaja Rosda Karya, 1992) hlm 4
[4] Abu Daud Busroh, “Capita Selekta Hukum Tata Negara” (Jakarta: Rineka Cipta, 1994) hlm 271
[5] Widjaja, HAW, “Otonomi Desa Merupakan Otonomi yang Asli, Bulat dan Utuh” (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005) hlm. 4.
[6] Ibid, hlm. 17
[7] UU Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional (pasal 1 ayat 1)
[8] Hasbullah, Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan” (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006) hlm. 11
[9] Ibid, hlm. 136
[10] Murip Yahya, “Pengantar Pendidikan”, (Bandung: SoloBandung, 2010) hlm. 70
[11] Hasan Basri, “Kapita Selekta Pendidikan”, (Bandung: Pustaka Setia, 2012) hlm. 73
[12] Murip Yahya, op, cit, hlm. 71
[13] Murip Yahya, op, cit, hlm. 74
[14] Murip Yahya, op, cit, hlm. 78-80

Tidak ada komentar:

Posting Komentar