Senin, 18 April 2016

Hakikat Pengembangan Pendidikan Islam

BAB II
PEMBAHASAN
1.1.      Hakikat Pengembangan Pendidikan Islam
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2002 Pengembangan adalah kegiatan ilmu pengetahuan dan teknologi yang bertujuan memanfaatkan kaidah dan teori ilmu pengetahuan yang telah terbukti kebenarannya untuk meningkatkan fungsi, manfaat, dan aplikasi ilmu pengetahuan dan teknologi yang telah ada, atau menghasilkan teknologi baru. Pengembangan secara umum berarti pola pertumbuhan, perubahan secara perlahan (evolution) dan perubahan secara bertahap.
Menurut Seels & Richey (Alim Sumarno, 2012) pengembangan berarti proses menterjemahkan atau menjabarkan spesifikasi rancangan kedalam bentuk fitur fisik. Pengembangan secara khusus berarti proses menghasilkan bahan-bahan pembelajaran. Sedangkan menurut Tessmer dan Richey (Alim Sumarno, 2012) pengembangan memusatkan perhatiannya tidak hanya pada analisis kebutuhan, tetapi juga isu-isu luas tentang analisis awal-akhir, seperti analisi kontekstual. Pengembangan bertujuan untuk menghasilkan produk berdasarkan temuan-temuan uji lapangan.
Pada hakikatnya pengembangan adalah upaya pendidikan baik formal maupun non formal yang dilaksanakan secara sadar, berencana, terarah, teratur dan bertanggung jawab dalam rangka memperkenalkan, menumbuhkan, membimbing, mengembangkan suatu dasar kepribadian yang seimbang, utuh, selaras, pengetahuan, keterampilan sesuai dengan bakat, keinginan serta kemampuan-kemampuan, sebagai bekal atas prakarsa sendiri untuk menambah, meningkatkan, mengembangkan diri ke arah tercapainya martabat, mutu dan kemampuan manusiawi yang optimal serta pribadi mandiri (Iskandar Wiryokusumo, 2011). Dari pendapat para ahli di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa pengembangan merupakan suatu usaha yang dilakukan secara sadar, terencana, terarah untuk membuat atau memperbaiki, sehingga menjadi produk yang semakin bermanfaat untuk meningkatkan kualitas sebagai upaya untuk menciptakan mutu yang lebih baik.
Masalah pengembangan aktivitas pendidikan islam di indonesia pada dasarnya sudah perlangsung sejak sebelum indonesia merdeka sehingga sekarang hingga yang akan datang, bahkan sudah dilakukan oleh orang-orang Islam sejak awal kelahiran Islam. Hal ini dapat dilihat dari fenomena tumbuh kembangnya program dan praktik pendidikan islam yang di laksanakan di nusantara. Buchori (1989) mematahkan struktur internal pendidikan islam di indonesia, jika di tilik dari aspek program dan praktik pendidikannya ke dalam 4 jenis yaitu:
1.    Pendidikan pondok pesantren
2.    Pendidikan madrasah
3.    Pendidikan umum yang bernafaskan islam dan,
4.    Pelajaran agama islam yang di selenggarakan di lembaga-lembaga pendidikan umum sebagai suatu mata pelajaran atau mata kuliah saja.
2.1.1. Perlunya Pengembangan Ilmu Pendidikan Islam
Dalam bukunya, Azyumardi Azra menyatakan kekecewaannya yang mendalam tentang kurangnya perhatian terhadap kajian ilmu pendidikan Islam. Ia mengatakan, kajian kependidikan Islami tampaknya merupakan bidang yang belum tergarap secara serius, bahkan kajian islami dalam konteks Indonesia lebih ketinggalan[1].
Sebenarnya, sejak adanya fakultas Tarbiyah di IAIN, Pendidikan Islam telah dijadikan salah satu bahan kajian, “Pendidikan Islami” telah muncul sebagai salah satu mata kuliah. Usaha itu secara serius barulah dimulai sekitar akhir tahun 1993.
Usaha itu didorong antara lain oleh kenyataan banyaknya sekolah Islami yang kurang baik mutunya. Mutu yang kurang baik itu diduga disebabkan oleh belum digunakannya teori-teori pendidikan (islami) yang sesuai dengan tuntutan zaman.
Berdasarkan penelitian Ahmad Tafsir (1985), menemukan bahwa  lebih banyak sekolah Katolik yang baik dibandingkan dengan sekolah Islami. Hal ini disebabkan bukan karena sekolah Islami kekurangan dana, melainkan karena pengurus-pengurus sekolah Islami itu belum menerapkan paham profesionalisme dalam pengelolaan sekolah. Hal ini berdasarkan fakta bahwa banyak kepala sekolah Islami yang dipimpin oleh kepala sekolah yang tidak dididik  untuk itu, banyak guru yang mengajarkan mata pelajaran yang tidak disiapkan untuk tugas itu, banyak juga sekolah yang dibangun tidak melalui perencanaan yang memadai, dan banyak juga lembaga pendidikan yang kacau administrasinya. Padahal hadis Nabi menjelaskan bahwa menerapkan profesionalisme itu merupakan keharusan bagi orang muslim[2].
Sesuai dengan kelemahan yang ada, maka perbaikan dilakukan dalam dua hal, pertama perbaikan dari segi pandangan atau sikap, dan kedua perbaikan dari segi pencerahan teori-teori pendidikan yang islami. Para ahli pendidikan Islam harus memberikan penjelasan bagaimana pandangan dan sikap orang muslim itu seharusnya, terhadap kekayaannya, terhadap kewajibannya, terhadap tanggung jawab sosialnya. Kelemahan segi penguasaan teori pendidikan diperbaiki dengan cara menyediakan bagi mereka teori-teori pendidikan yang sesuai dengan tuntutan zaman.
Salah satu rekomendasi musyawarah Nasional di Ciawi yaitu agar Departemen Agama dibentuk Konsorsium Ilmu Pendidikan Islam. Zakiyah Darajat menekankan pentingnya ada konsorsium Ilmu Pendidikan Islam, yang mana konsorsium itu kelaknya diharapkan dapat memperhatikan pengembangan Ilmu Pendidikan Islam, akan tetapi usul ini belum mendapat tanggapan serius dari Departemen Agama. Karena itu Ahmad Tafsir dkk, mendirikan Asosiasi Sarjana Pendidikan Islam (ASPI) pada tahun 1995, salah satu usahanya yaitu mengorganisasikan seminar-seminar nasional Ilmu Pendidikan Islami yang deselenggarakan oleh Fakultas IAIN seluruh Indonesia.
Adapun hasil dari ASPI ialah telah timbulnya kesadaran dan keberanian dikalangan sarjana pendidikan Islam untuk mengembangkan ilmu pendidikan Islam[3].
Jadi pemikiran tentang pengembangan pendidikan Islam itu berarti mengajak seseorang untuk berpikir analitis-kritis, kreatif dan inovatif dan universal dalam menghadapi berbagai praktik dan isu aktual di bidang pendidikan untuk dikaji dan ditelaah dari dimensi fondasionalnya agar tidak kehilangan roh atau spirit Islam dan/atau kerapuhan fondasi filosofis; serta menghadapi trend  pemikiran dan teori-teori pendidikan yang dibangun oleh para pendahulunya, untuk selanjutnya dapat: (1) memperkaya nuansa pemikiran dan teori yang ada; atau (2) merevisisi dan menyempurnakan pemikiran dan teori yang sudah ada; atau (3) mengganti pemikiran dan teori lama dengan pemikiran dan teori baru; dan/atau (4) menciptakan pemikiran dan teori yang belum ada sebelumnya. Dengan demikian, pendidikan Islam akan mengalami perubahan (change), pembaharuan atau perbaikan (reform), yang diikuti dengan pertumbuhan (growth), dan ditingkatkan secara berkelanjutan (continous improvement) untuk dibawa ke arah yang lebih ideal.
Bertolak dari pemikiran tersebut, maka pemikiran tentang pengembangan Pendidikan Islam dapat mengandung berbagai makna, yaitu:
1.    Bagaimana mengembangkan Pendidikan Islam sehingga memiliki kontribusi yang signifikan bagi pembangunan masyarakat dan pengembangan ipteks;
2.    Bagaimana mengembangkan model-model Pendidikan Islam yang lebih kreatif dan inovatif, dengan tetap komitmen terhadap dimensi-dimensi fondasionalnya sebagai landasan pijak bagi pengembangan Pendidikan Islam;
3.    Bagaimana menggali masalah-masalah operasional dan aktual Pendidikan Islam untuk dibidik dari dimensi-dimensi fondasional dan strukturalnya; dan
4.    Bagaimana mengembangkan pemikiran Pendidikan Islam sebagaimana tertuang dan terkandung dala literatur-literatur pendidikan Islam.
2.1.2. Paradigma Pengembangan Pendidikan Islam
Dalam realitas kehidupan sehari-hari sering timbul pertanyaan: apa saja aspek-aspek kehidupan itu? Apakah agama merupakan bagian dari aspek kehidupan, sehingga hidup beragama berarti menjalankan salah satu aspek dari berbagai aspek kehidupan, ataukah agama merupakan sumber nilai-nilai dan operasional kehidupan, sehingga agama akan mewarnai segala aspek kehidupan itu sendiri?. Dalam konteks inilah para pemikir dan pengembang pendidikan pada umumnya mempunyai pandangan yang berbeda-beda. Perbedaan tersebut pada gilirannya melahirkan beberapa paradigma pengembangan pendidikan Islam sebagai berikut:
1.    Paradigma Formisme/ Dikotomis
Dikotomi adalah pembagian dua bagian, Secara terminologis, dikotomi dipahami sebagai pemisahan antara ilmu dan agama yang kemudian berkembang menjadi fenomena dikotomik-dikotomik lainnya. Bagi al-Faruqi, dikotomi adalah dualisme religius dan kultural.
Adanya dikotomi ilmu pengetahuan ini berimplikasi terhadap dikotomi model pendidikan. Disatu pihak ada pendidikan yang memperdalam ilmu pengetahuan modern yang kering dari nilai-nilai keagamaan, dan sisi lain ada pendidikan yang hanya memperdalam masalah agama yang terpisahkan dari perkembangan ilmu pengetahuan. Secara teoritis makna dikotomi adalah pemisahan secara teliti dan jelas dari satu jenis menjadi dua yang terpisah satu sama lain dimana yang satu sama sekali tidak dapat dimasukan kedalam yang satunya lagi dan sebaliknya[4].
Paradigma formisme mempunyai implikasi terhadap pengembangan pendidikan Islam yang lebih berorientasi pada keakhiratan, sedangkan masalah dunia dianggap tidak penting, serta menekankan pada pendalaman al-ulum al-diniyah (ilmu-ilmu keagamaan) yang merupakan jalan pintas untuk menuju kebahagiaan akhirat. Sementara sains (ilmu pengetahuan) dianggap terpisah dari agama. Demikian pula pendekatan yang dipergunakan lebih bersifat keagamaan yang normatif, doktriner dan absolutis. Peserta didik diarahkan untuk menjadi pelaku (actor) yang loyal, memiliki sikap commitment (keberpihakan), dan dedikasi (pengabdian) yang tinggi terhadap agama yang dipelajari. Sementara itu, kajian-kajian keilmuan yang bersifat empiris, rasional, analitis-kritis, dianggap dapat menggoyahkan iman, sehingga perlu ditindih oleh pendekatan yang normatif dan doktriner tersebut[5]
Pendikotomian ilmu yang pada awalnya memang merupakan tradisi islam lebih dari seribu tahun silam, tidak menimbulkan terlalu banyak problem dalam system pendidikan islam, hingga system pendidikan sekuler Barat diperkenalkan ke dunia Islam melalui imprealisme. Hal ini terjadi karena, sekalipun dikotomi antara ilmu-ilmu agama dan non agama itu telah dikenal dalam karya-karya klasik, seperti yang ditulis Al-Ghazali dan Ibnu Khaldun, ia tidak mengingkari, tetapi mengakui validitas dan status ilmiah masing-masing kelompok keilmuan tersebut. Berbeda dengan dikotomi yang dikenal di dunia Islam, sains modern Barat sering menganggap rendah status keilmuan ilmu-ilmu keagamaan. Ketika berbicara hal-hal yang ghaib, ilmu agama tidak bisa dipandang ilmiah karena sebuah ilmu baru bisa dikatakan ilmiah apabila objek-objeknya bersifat empiris. Padahal, ilmu-ilmu agama tentu tidak bisa menghindar dari membicarakan hal-hal yang gaib, seperti Tuhan, Malikat dan sebagainya sebagai pembicaraan pokok mereka[6].
2.    Paradigma Mekanisme
Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Depdikbud,1988), secara etimologis mechanism berarti: hal kerja mesin, cara kerja suatu organisasi, atau hal saling bekerja seperti mesin, kalau yang satu bergerak, maka yang lain turut bergerak. Paradigma mechanism memandang kehidupan terdiri atas berbagai aspek, dan pendidikan dipandang sebagai penanaman dan pengembangan seperangkat nilai kehidupan, yang masing-masing bergerak dan berjalan menurut fungsinya, bagaikan sebuah mesin yang terdiri atas beberapa komponen atau elemen-elemen, yang masing-masing menjalankan fungsinya sendiri-sendiri, dan antara satu dengan lainnya bisa saling berkonsultasi atau tidak.
Aspek-aspek atau nilai-nilai kehidupan itu sendiri terdiri atas: nilai agama, nilai individu, nilai sosial, nilai politik, nilai ekonomi, nilai rasional, nilai aestetik, nilai biofisik, dan lain-lain. Dengan demikian, aspek atau nilai agama merupakan salah satu aspek atau nilai kehidupan dari aspek-aspek atau nilai-nilai kehidupan lainnya. Hubungan antara nilai agama dengan nilai-nilai lainnya dapat bersifat horizontal-lateral (independent) atau lateral-sekuensial, atau vertikal linier[7].
Relasi yang bersifat horizontal-lateral (independent), mengandung arti bahwa beberapa mata pelajaran (mata kuliah) yang ada dan pendidikan agama mempunyai hubungan sederajat yang independen, dan tidak saling berkonsultasi. Relasi yang bersifat lateral-sekuensial, berarti di antara masing-masing mata pelajaran (mata kuliah) tersebut mempunyai relasi sederajat yang bisa saling berkonsultasi. Sedangkan relasi vertikal-linier berarti mendudukkan pendidikan agama sebagai sumber nilai atau sumber konsultasi, sementara seperangkat mata pelajaran (mata kuliah) yang lain adalah termasuk pengembangan nilai-nilai insani yang mempunyai relasi vertikal-linier dengan agama.
Umat Islam dididik dengan seperangkat ilmu pengetahuan atau mata pelajaran, salah satunya adalah mata pelajaran pendidikan agama yang mempunyai fungsi tersendiri, yaitu sebagai: pertama, pengembangan dan peningkatan keimanan dan ketakwaan; kedua, penyaluran bakat dan minat dalam mendalami agama; ketiga, perbaikan kesalahan, kekurangan dan kesalahan dalam keyakinan, pemahaman dan pengamalan ajaran agama; keempat, pencegahan hal-hal negatif dan lingkungannya atau budaya asing yang berbahaya; kelima, sumber nilai atau pedoman hidup utuk mencapai kebahagiaan dunia-akhirat; dan keenam, pengajaran atau penyampaian pengetahuan keagam[8].
Jadi, pendidikan agama lebih menonjolkan fungsi moral dan spiritual atau dimensi afektif daripada kognitif dan psikomotor dalam arti dimensi kognitif dan psikomotor diarahkan untuk pembinaan afektif (moral dan spiritual) yang berbeda dengan mata pelajaran lainnya.
Paradigma tersebut tampak dikembangkan pada sekolah atau Perguruan Tinggi (PT) yang bukan berciri khas agama islam. Di dalamnya diberikan seperangkat mata pelajaran atau ilmu pengetahuan (mata kuliah), salah satunya adalah mata pelajaran atau mata kuliah pendidikan agama yang hanya diberikan dua jam pelajaran per minggu atau di perguruan tinggi tiga sks, dan didudukkan sebagai mata kuliah dasar umum, yakni sebagai upaya pembentukan kepribadian yang religius.
Sebagai implikasinya, pengembangan pendidikan agama Islam tergantung pada kemauan, kemampuan, atau political-will dan para pembinanya dan sekaligus pimpinan dan lembaga pendidikan tersebut, terutama dalam membangun hubungan kerja sama dengan mata pelajaran (kuliah) lainnya. Fenomena pengembangan pendidikan agama Islam di Sekolah atau perguruan tinggi umum tampaknya sangat bervariasi. Dalam arti ada yang cukup puas dengan pola horizontal-lateral (independent), ada yang mengembangkan pola relasi lateralsekuensial, dan ada pula yang berobsesi untuk mengembangkan pola relasi vertikal-linier. Semuanya itu lagi-lagi banyak ditentukan oleh kemauan, kemampuan, dan political-will dan pimpinan dan lembaga pendidikan tersebut. Kebijakan tentang pembinaan pendidikan agama Islam secara terpadu di sekolah umum misalnya, antara lain menghendaki agar pendidikan agama dan sekaligus para guru/dosen agamanya mampu memadukan antara mata pelajaran agama dengan pelajaran umum. Kebijakan ini akan sulit diimplementasikan pada sekolah atau perguruan tinggi umum yang cukup puas hanya mengembangkan pola relasi horizontallateral (independent). Barangkali kebijakan tersebut relatif mudah diimplementasikan pada lembaga pendidikan yang mengembangkan pola lateral-sekuensial. Hanya saja implikasi dan kebijakan tersebut adalah para guru/dosen agama harus menguasai ilmu agarna dan memahami substansi ilmu-ilmu umum, sebaliknya guru/dosen umum dituntut untuk menguasai ilmu umum (bidang keahliannya) dan memahami dasar-dasar ajaran dan nilai-nilai agama[9].
3.    Paradigma  Organisme
Istilah “organisme” dapat berarti: benda hidup (plants, animals, and bacterial are organism), dan dapat berarti kesatuan yang terdiri atas bagian-bagian yang rumit (Salim, P, 1996). Dalam pengertian kedua tersebut, paradigm organisme bartolak dari pandangan bahwa pendidikan Islam adalah kesatuan atau sebagai system (yang terdiri atas komponen-komponen yang rumit) yang berusaha mengembangkan pandangan/semangat hidup (weltanschauung) Islam, yang dimanifestasikan dalam sikap hidup dan keterampilan hidup yang Islami.
Pandangan semacam itu menggarisbawahi pentingnya kerangka pemikiran yang dibangun dan fundamental doctrines dan fundamental values yang tertuang dan terkandung dalarn Al-Qur’an dan al-sunnah ash-shahihah sebagai sumber pokok. Ajaran dan nilai-nilai Ilahi/agama/wahyu didudukkan sebagai sumber konsultasi yang bijak, sementara aspek-aspek kehidupan Iainnya didudukkan sebagai nilai-nilai insani yang mempunyai hubungan vertical linier dengan nilai Ilahi/agama.
Melalui upaya semacam itu, maka sistem pendidikan Islam diharapkan dapat mengintegrasikan nilai-nilai ilmu pengetahuan, nilai-nilai agama dan etik, serta mampu melahirkan manusia-manusia yang menguasai dan menerapkan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni, memiliki kematangan profesional, dan sekaligus hidup di dalam nilainilai agama.
Paradigma tersebut tampaknya mulai dirintis dan dikembangkan dalam sistem pendidikan di madrasah, yang dideklarasikan sebagai sekolah umum yang berciri khas agama Islam, atau sekolah-sekolah (swasta) Islam unggulan. Kebijakan pengembangan madrasah berusaha mengakomodasikan tiga kepentingan utama, yaitu: pertama, sebagai wahaha untuk membina ruh atau praktik hidup keislaman; kedua, memperjelas dan memperkokoh keberadaan madrasah sederajat dengan sistem sekolah, sebagai wahana pembinaan warga negara yang cerdas, berpengetahuan, berkepribadian, serta produktif; dan ketiga, mampu merespons tuntutan-tuntutan masa depan, dalam arti sanggup melahirkan manusia yang memiliki kesiapan memasuki era globalisasi, industrialisasi maupun era informasi[10]
2.1.3. Arah Pengembangan Pendidikan Islam
Didalam al-Quran dinyatakan bahwa “tujuan Tuhan menciptakan jin dan manusia adalah agar mereka menyembah kepada-Nya”. Ibadah itu mencakup segala sesuatu yang dilakukan oleh manusia, baik berupa amal perbuatan, pemikiran ataupun perasaan yang senantiasa ditujukan kepada Allah swt. Tujuan Tuhan menciptakan manusia ini kemudian dijadikan sebagai tujuan akhir dari kegiatan pendidikan Islam.
Dalam khazanah pemikiran pendidikan Islam, pada umumnya para ulama berpendapat bahwa tujuan akhir pendidikan Islam adalah “untuk beribadah kepada Allah swt”.
Di dalam Undang-Undang No. 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional dinyatakan, bahwa tujuan pendidikan nasional adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.
Maka dalam konteks pendidikan Islam, justru harus berusaha lebih dari itu. Dalam arti, pendidikan Islam bukan sekedar diarahkan untuk mengembangkan manusia yang beriman dan bertakwa, tetapi justru berusaha mengembangkan manusia untuk menjadi imam/pemimpin bagi orang beriman dan bertakwa.
Di dalam sebuah hadis juga dinyatakan “Kullukum raa’in wakullukum mas’ulun ‘an raiyyatihi” yakni masing-masing kamu adalah pemimpin (minimal pemimpin bagi dirimu sendiri), dan masing-masing kamu akan dimintai pertanggung jawaban atas kepemimpinannya[11].
Jadi dapat disimpulkan bahwa arah pengembangan pendidikan Islam itu ialah menjadi manusia yang seutuhnya, sesuai dengan fitrahnya sebagai manusia, yaitu sebagai Abdullah (hamba Allah) dan khalifatullah fil ard
2.1.4. Strategi Pengembangan Pendidikan Islam di Indonesia
Untuk mengembangkan ilmu pendidikan Islam, maka kita harus mengembangkan teori-teori ilmu pendidikan Islam tersebut. Mengembangkan ilmu berarti mengembangkan teorinya, karena isi ilmu adalah teori-teori. Selanjutnya mengembangkan teori sekurang-kurangnya yaitu:
a.    Merevisi teori yang sudah ada. Disini teori lama tidak dibuang seluruhnya, melainkan hanya disempurnakan
b.    Mengganti teori lama dengan teori baru. Disini teori lama tersebut dibuang semuanya dan diganti dengan teori baru
c.    Membuat teori, disini kita membuat teori, karena memang belum ada sebelumnya.
Dalam pengembangan teori seperti itu, apakah merevisi, mengganti, ataupun membuat teori, diperlukan metode yang menjelaskan cara kerja yang terpertanggungjawabkan. Jika kita merevisi teori atau hendak mengganti teori, itu berarti teori lama sudah ada. Teori lama yang ada dan banyak ialah teori pendidikan dari Barat.
Ada dua arus yang muncul tentang cara pengembangan ilmu pendidikan Islam.
1)   Cara Induksi-Konsultasi, yaitu kita mulai dengan memeriksa teori Barat tersebut, lantas kita konsultasikan ke Islam (al-Quran atau Hadits), boleh jadi teori itu kita terima, kita revisi, atau kita tolak. Inilah islamisasi Ilmu Pendidikan dalam rangka mengembangkan Ilmu Pendidikan Islam. Jika cara ini kita tempuh, maka kita dikatakan menggunakan metode induksi-konsultasi
2)   Cara deduksi, yaitu kita mulai dari teks wahyu atau sabda Rasul, lantas ditafsirkan, dari sini muncul teori pendidikan pada tingkat filsafat. Teori itu dieksperimenkan, dari sini akan muncul teori pendidikan pada tingkat ilmu (sains). Selanjutnya diurai lebih operasional sehingga langsung dapat dijadikan petunjuk teknis (manual)[12]
Adapun untuk  mengembangkan pendidikan Islam itu sendiri  diperlukan landasan-landasan yang kokoh dengan memerhatikan berbagai perspektif, yaitu:
1.    Normatif-Teologis atau religius, yakni ajaran dan nilai-nilai Islam diyakini sebagai kebenaran dan kebaikan, sehingga harus dijadikan pegangan secara kokoh, dan dilestarikan, diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya, serta dikembangkan melalui sistem pendidikan Islam
2.    Filosofis, yakni ada sesuatu dalam pendidikan Islam yang harus dipikirkan dan direnungkan secara rasional, sistematis, radikal, dan universal, sehingga melahirkan keputusan yang bijaksana dalam penyelenggaraan sistem pendidikan Islam;
3.    Psikologis, kejiwaan yang berbeda-beda
4.    Historis, yakni pendidikan adalah masalah hidup dan kehidupan yang berada dalam proses sejarah, ruang dan waktu yang penuh dengan peristiwa dan tantangan yang selalu berjalan dan berubah selaras dengan perkembangan zaman, sehingga proses sejarah pada ruang dan waktu tertentu harus diangkat ibrahnya dan dijadikan pertimbangan untuk menjawab tantangan pendidikan masa kini dan mengantisipasi masa depan
5.    Sosiologis, yakni setiap individu memiliki ketergantungan dengan individu lainnya, kelompoknya, masyarakatnya, sehingga terjadinya simbiosis mutualisme, saling memengaruhi, isi mengisi dan melengkapi
6.    Politik,yakni kehidupan seseorang berada dalam sistem pemerintahan dan kekuasaan tertentu, demikian pula pendidikan, sehingga sistem dan corak politik ikut mewarnai sistem pendidikan
7.    Ekonomi, yakni pendidikan dipandang sebagai salah satu sarana untuk menyiapkan manusia atau tenaga kerja yang produktif dan siap dipakai (jasanya) oleh masyarakat (user).




[1] Ahmad Tafsir, “Filsafat Pendidikan Islam” (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2010) hlm. 281-282
[2] Ibid, hlm. 283-284
[3] Ibid, hlm 284-286
[4] Samsul Nizar, “Sejarah Pendidikan Islam; Menelusuri Jejak Sejarah Pendidikan Era Rasulullah Sampai Indonesia” (Jakarta: Kencana, 2008) hlm. 230
[5] Muhaimin, “Paradigma Pendidikan Islam” (Bandung: Remaja Rosdakarya,2012)  hlm 41
[6] Mulya Kartanegara, “Integrasi Ilmu: Sebuah Rekontruksi Holistik”, (Bandung: Arasy Mizan, 2005) hlm. 19-20
[7] Muhaimin, loc.cit, hlm.43
[8] Ibid, hlm. 43
[9] Ibid, hlm. 44-45
[10] Ibid, hlm. 45-46
[11] Ibid, hlm 48-50
[12] Ahmad Tafsir, op.cit. hlm 325-327

Tidak ada komentar:

Posting Komentar