BAB II
PEMBAHASAN
1.1. Hakikat
Pengembangan Pendidikan Islam
Menurut
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2002 Pengembangan adalah kegiatan ilmu pengetahuan dan
teknologi yang bertujuan
memanfaatkan kaidah dan teori ilmu pengetahuan yang telah terbukti kebenarannya untuk
meningkatkan fungsi, manfaat, dan aplikasi ilmu pengetahuan dan teknologi yang telah ada, atau
menghasilkan teknologi baru.
Pengembangan secara umum berarti pola pertumbuhan, perubahan secara perlahan (evolution)
dan perubahan secara bertahap.
Menurut
Seels & Richey (Alim Sumarno, 2012) pengembangan berarti proses menterjemahkan
atau menjabarkan spesifikasi rancangan kedalam bentuk fitur fisik. Pengembangan secara khusus
berarti proses menghasilkan
bahan-bahan pembelajaran. Sedangkan menurut Tessmer dan Richey (Alim Sumarno, 2012)
pengembangan memusatkan perhatiannya tidak hanya pada analisis kebutuhan, tetapi juga isu-isu luas tentang
analisis awal-akhir, seperti
analisi kontekstual. Pengembangan bertujuan untuk menghasilkan produk berdasarkan
temuan-temuan uji lapangan.
Pada
hakikatnya pengembangan adalah upaya pendidikan baik formal maupun non formal
yang dilaksanakan secara sadar, berencana, terarah, teratur dan bertanggung jawab
dalam rangka memperkenalkan, menumbuhkan, membimbing, mengembangkan suatu dasar kepribadian
yang seimbang, utuh, selaras,
pengetahuan, keterampilan sesuai dengan bakat, keinginan serta kemampuan-kemampuan,
sebagai bekal atas prakarsa sendiri untuk menambah, meningkatkan, mengembangkan diri ke arah tercapainya
martabat, mutu dan kemampuan
manusiawi yang optimal serta pribadi mandiri (Iskandar Wiryokusumo, 2011). Dari pendapat para ahli di atas dapat ditarik
kesimpulan bahwa pengembangan
merupakan suatu usaha yang dilakukan secara sadar, terencana, terarah untuk membuat
atau memperbaiki, sehingga menjadi produk yang semakin bermanfaat untuk meningkatkan kualitas
sebagai upaya untuk menciptakan
mutu yang lebih baik.
Masalah pengembangan
aktivitas pendidikan islam di indonesia pada dasarnya sudah perlangsung sejak
sebelum indonesia merdeka sehingga sekarang hingga yang akan datang, bahkan
sudah dilakukan oleh orang-orang Islam sejak awal kelahiran Islam. Hal ini
dapat dilihat dari fenomena tumbuh kembangnya program dan praktik pendidikan
islam yang di laksanakan di nusantara. Buchori (1989) mematahkan struktur
internal pendidikan islam di indonesia, jika di tilik dari aspek program dan
praktik pendidikannya ke dalam 4 jenis yaitu:
1.
Pendidikan pondok pesantren
2.
Pendidikan madrasah
3.
Pendidikan umum yang bernafaskan islam dan,
4. Pelajaran
agama islam yang di selenggarakan di lembaga-lembaga pendidikan umum sebagai
suatu mata pelajaran atau mata kuliah saja.
2.1.1. Perlunya
Pengembangan Ilmu Pendidikan Islam
Dalam
bukunya, Azyumardi Azra menyatakan kekecewaannya yang mendalam tentang
kurangnya perhatian terhadap kajian ilmu pendidikan Islam. Ia mengatakan,
kajian kependidikan Islami tampaknya merupakan bidang yang belum tergarap
secara serius, bahkan kajian islami dalam konteks Indonesia lebih ketinggalan[1].
Sebenarnya,
sejak adanya fakultas Tarbiyah di IAIN, Pendidikan Islam telah dijadikan salah
satu bahan kajian, “Pendidikan Islami” telah muncul sebagai salah satu mata
kuliah. Usaha itu secara serius barulah dimulai sekitar akhir tahun 1993.
Usaha
itu didorong antara lain oleh kenyataan banyaknya sekolah Islami yang kurang
baik mutunya. Mutu yang kurang baik itu diduga disebabkan oleh belum
digunakannya teori-teori pendidikan (islami) yang sesuai dengan tuntutan zaman.
Berdasarkan
penelitian Ahmad Tafsir (1985), menemukan bahwa
lebih banyak sekolah Katolik yang baik dibandingkan dengan sekolah
Islami. Hal ini disebabkan bukan karena sekolah Islami kekurangan dana,
melainkan karena pengurus-pengurus sekolah Islami itu belum menerapkan paham
profesionalisme dalam pengelolaan sekolah. Hal ini berdasarkan fakta bahwa banyak
kepala sekolah Islami yang dipimpin oleh kepala sekolah yang tidak dididik untuk itu, banyak guru yang mengajarkan mata
pelajaran yang tidak disiapkan untuk tugas itu, banyak juga sekolah yang
dibangun tidak melalui perencanaan yang memadai, dan banyak juga lembaga
pendidikan yang kacau administrasinya. Padahal hadis Nabi menjelaskan bahwa
menerapkan profesionalisme itu merupakan keharusan bagi orang muslim[2].
Sesuai
dengan kelemahan yang ada, maka perbaikan dilakukan dalam dua hal, pertama perbaikan
dari segi pandangan atau sikap, dan kedua perbaikan dari segi pencerahan
teori-teori pendidikan yang islami. Para ahli pendidikan Islam harus memberikan
penjelasan bagaimana pandangan dan sikap orang muslim itu seharusnya, terhadap
kekayaannya, terhadap kewajibannya, terhadap tanggung jawab sosialnya.
Kelemahan segi penguasaan teori pendidikan diperbaiki dengan cara menyediakan
bagi mereka teori-teori pendidikan yang sesuai dengan tuntutan zaman.
Salah
satu rekomendasi musyawarah Nasional di Ciawi yaitu agar Departemen Agama
dibentuk Konsorsium Ilmu Pendidikan Islam. Zakiyah Darajat menekankan
pentingnya ada konsorsium Ilmu Pendidikan Islam, yang mana konsorsium itu
kelaknya diharapkan dapat memperhatikan pengembangan Ilmu Pendidikan Islam,
akan tetapi usul ini belum mendapat tanggapan serius dari Departemen Agama.
Karena itu Ahmad Tafsir dkk, mendirikan Asosiasi Sarjana Pendidikan Islam
(ASPI) pada tahun 1995, salah satu usahanya yaitu mengorganisasikan
seminar-seminar nasional Ilmu Pendidikan Islami yang deselenggarakan oleh
Fakultas IAIN seluruh Indonesia.
Adapun
hasil dari ASPI ialah telah timbulnya kesadaran dan keberanian dikalangan
sarjana pendidikan Islam untuk mengembangkan ilmu pendidikan Islam[3].
Jadi pemikiran tentang pengembangan pendidikan Islam itu berarti mengajak
seseorang untuk berpikir analitis-kritis, kreatif dan inovatif dan universal dalam
menghadapi berbagai praktik dan isu aktual di bidang pendidikan untuk dikaji
dan ditelaah dari dimensi fondasionalnya agar tidak kehilangan roh atau spirit
Islam dan/atau kerapuhan fondasi filosofis; serta menghadapi trend pemikiran dan teori-teori pendidikan yang
dibangun oleh para pendahulunya, untuk selanjutnya dapat: (1) memperkaya nuansa
pemikiran dan teori yang ada; atau (2) merevisisi dan menyempurnakan pemikiran
dan teori yang sudah ada; atau (3) mengganti pemikiran dan teori lama dengan
pemikiran dan teori baru; dan/atau (4) menciptakan pemikiran dan teori yang
belum ada sebelumnya. Dengan demikian, pendidikan Islam akan mengalami
perubahan (change), pembaharuan atau perbaikan (reform), yang
diikuti dengan pertumbuhan (growth), dan ditingkatkan secara
berkelanjutan (continous improvement) untuk dibawa ke arah yang lebih
ideal.
Bertolak dari pemikiran tersebut, maka pemikiran tentang pengembangan
Pendidikan Islam dapat mengandung berbagai makna, yaitu:
1.
Bagaimana mengembangkan
Pendidikan Islam sehingga memiliki kontribusi yang signifikan bagi pembangunan
masyarakat dan pengembangan ipteks;
2.
Bagaimana mengembangkan
model-model Pendidikan Islam yang lebih kreatif dan inovatif, dengan tetap
komitmen terhadap dimensi-dimensi fondasionalnya sebagai landasan pijak bagi
pengembangan Pendidikan Islam;
3.
Bagaimana menggali
masalah-masalah operasional dan aktual Pendidikan Islam untuk dibidik dari
dimensi-dimensi fondasional dan strukturalnya; dan
4. Bagaimana mengembangkan pemikiran Pendidikan Islam sebagaimana
tertuang dan terkandung dala literatur-literatur pendidikan Islam.
2.1.2. Paradigma
Pengembangan Pendidikan Islam
Dalam realitas kehidupan
sehari-hari sering timbul pertanyaan: apa saja aspek-aspek kehidupan itu?
Apakah agama merupakan bagian dari aspek kehidupan, sehingga hidup beragama
berarti menjalankan salah satu aspek dari berbagai aspek kehidupan, ataukah
agama merupakan sumber nilai-nilai dan operasional kehidupan, sehingga agama
akan mewarnai segala aspek kehidupan itu sendiri?. Dalam konteks inilah para
pemikir dan pengembang pendidikan pada umumnya mempunyai pandangan yang
berbeda-beda. Perbedaan tersebut pada gilirannya melahirkan beberapa paradigma
pengembangan pendidikan Islam sebagai berikut:
1. Paradigma
Formisme/ Dikotomis
Dikotomi adalah
pembagian dua bagian, Secara terminologis, dikotomi dipahami sebagai pemisahan
antara ilmu dan agama yang kemudian berkembang menjadi fenomena
dikotomik-dikotomik lainnya. Bagi al-Faruqi, dikotomi adalah dualisme religius
dan kultural.
Adanya dikotomi
ilmu pengetahuan ini berimplikasi terhadap dikotomi model pendidikan. Disatu
pihak ada pendidikan yang memperdalam ilmu pengetahuan modern yang kering dari
nilai-nilai keagamaan, dan sisi lain ada pendidikan yang hanya memperdalam
masalah agama yang terpisahkan dari perkembangan ilmu pengetahuan. Secara
teoritis makna dikotomi adalah pemisahan secara teliti dan jelas dari satu
jenis menjadi dua yang terpisah satu sama lain dimana yang satu sama sekali
tidak dapat dimasukan kedalam yang satunya lagi dan sebaliknya[4].
Paradigma
formisme mempunyai implikasi terhadap pengembangan pendidikan Islam yang lebih
berorientasi pada keakhiratan, sedangkan masalah dunia dianggap tidak penting,
serta menekankan pada pendalaman al-ulum al-diniyah (ilmu-ilmu
keagamaan) yang merupakan jalan pintas untuk menuju kebahagiaan akhirat.
Sementara sains (ilmu pengetahuan) dianggap terpisah dari agama. Demikian pula
pendekatan yang dipergunakan lebih bersifat keagamaan yang normatif, doktriner
dan absolutis. Peserta didik diarahkan untuk menjadi pelaku (actor) yang
loyal, memiliki sikap commitment (keberpihakan), dan dedikasi
(pengabdian) yang tinggi terhadap agama yang dipelajari. Sementara itu, kajian-kajian
keilmuan yang bersifat empiris, rasional, analitis-kritis, dianggap dapat
menggoyahkan iman, sehingga perlu ditindih oleh pendekatan yang normatif dan
doktriner tersebut[5]
Pendikotomian ilmu yang pada awalnya memang merupakan
tradisi islam lebih dari seribu tahun silam, tidak menimbulkan terlalu
banyak problem dalam system pendidikan islam, hingga system pendidikan sekuler
Barat diperkenalkan ke dunia Islam melalui imprealisme. Hal ini terjadi karena,
sekalipun dikotomi antara ilmu-ilmu agama dan non agama itu telah dikenal dalam
karya-karya klasik, seperti yang ditulis Al-Ghazali dan Ibnu Khaldun, ia tidak
mengingkari, tetapi mengakui validitas dan status ilmiah masing-masing kelompok
keilmuan tersebut. Berbeda dengan dikotomi yang dikenal di dunia Islam, sains
modern Barat sering menganggap rendah status keilmuan ilmu-ilmu keagamaan.
Ketika berbicara hal-hal yang ghaib, ilmu agama tidak bisa dipandang ilmiah
karena sebuah ilmu baru bisa dikatakan ilmiah apabila objek-objeknya bersifat
empiris. Padahal, ilmu-ilmu agama tentu tidak bisa menghindar dari membicarakan
hal-hal yang gaib, seperti Tuhan, Malikat dan sebagainya sebagai pembicaraan
pokok mereka[6].
2. Paradigma Mekanisme
Di dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia (Depdikbud,1988), secara etimologis mechanism berarti: hal
kerja mesin, cara kerja suatu organisasi, atau hal saling bekerja seperti
mesin, kalau yang satu bergerak, maka yang lain turut bergerak. Paradigma mechanism
memandang kehidupan terdiri atas berbagai aspek, dan pendidikan dipandang
sebagai penanaman dan pengembangan seperangkat nilai kehidupan, yang
masing-masing bergerak dan berjalan menurut fungsinya, bagaikan sebuah mesin
yang terdiri atas beberapa komponen atau elemen-elemen, yang masing-masing
menjalankan fungsinya sendiri-sendiri, dan antara satu dengan lainnya bisa
saling berkonsultasi atau tidak.
Aspek-aspek atau
nilai-nilai kehidupan itu sendiri terdiri atas: nilai agama, nilai individu,
nilai sosial, nilai politik, nilai ekonomi, nilai rasional, nilai aestetik,
nilai biofisik, dan lain-lain. Dengan demikian, aspek atau nilai agama
merupakan salah satu aspek atau nilai kehidupan dari aspek-aspek atau nilai-nilai
kehidupan lainnya. Hubungan antara nilai agama dengan nilai-nilai lainnya dapat
bersifat horizontal-lateral (independent) atau lateral-sekuensial,
atau vertikal linier[7].
Relasi yang bersifat horizontal-lateral
(independent), mengandung arti bahwa beberapa mata pelajaran (mata kuliah)
yang ada dan pendidikan agama mempunyai hubungan sederajat yang independen, dan
tidak saling berkonsultasi. Relasi yang bersifat lateral-sekuensial, berarti
di antara masing-masing mata pelajaran (mata kuliah) tersebut mempunyai relasi
sederajat yang bisa saling berkonsultasi. Sedangkan relasi vertikal-linier
berarti mendudukkan pendidikan agama sebagai sumber nilai atau sumber
konsultasi, sementara seperangkat mata pelajaran (mata kuliah) yang lain adalah
termasuk pengembangan nilai-nilai insani yang mempunyai relasi vertikal-linier
dengan agama.
Umat Islam dididik dengan
seperangkat ilmu pengetahuan atau mata pelajaran, salah satunya adalah mata pelajaran
pendidikan agama yang mempunyai fungsi tersendiri, yaitu sebagai: pertama, pengembangan
dan peningkatan keimanan dan ketakwaan; kedua, penyaluran bakat dan
minat dalam mendalami agama; ketiga, perbaikan kesalahan, kekurangan dan
kesalahan dalam keyakinan, pemahaman dan pengamalan ajaran agama; keempat,
pencegahan hal-hal negatif dan lingkungannya atau budaya asing yang berbahaya; kelima,
sumber nilai atau pedoman hidup utuk mencapai kebahagiaan dunia-akhirat;
dan keenam, pengajaran atau penyampaian pengetahuan keagam[8].
Jadi, pendidikan agama
lebih menonjolkan fungsi moral dan spiritual atau dimensi afektif daripada
kognitif dan psikomotor dalam arti dimensi kognitif dan psikomotor diarahkan
untuk pembinaan afektif (moral dan spiritual) yang berbeda dengan mata
pelajaran lainnya.
Paradigma tersebut tampak
dikembangkan pada sekolah atau Perguruan Tinggi (PT) yang bukan berciri khas
agama islam. Di dalamnya diberikan seperangkat mata pelajaran atau ilmu
pengetahuan (mata kuliah), salah satunya adalah mata pelajaran atau mata kuliah
pendidikan agama yang hanya diberikan dua jam pelajaran per minggu atau di
perguruan tinggi tiga sks, dan didudukkan sebagai mata kuliah dasar umum, yakni
sebagai upaya pembentukan kepribadian yang religius.
Sebagai implikasinya, pengembangan pendidikan agama
Islam tergantung pada kemauan, kemampuan, atau political-will dan para
pembinanya dan sekaligus pimpinan dan lembaga pendidikan tersebut, terutama
dalam membangun hubungan kerja sama dengan mata pelajaran (kuliah) lainnya. Fenomena
pengembangan pendidikan agama Islam di Sekolah atau perguruan tinggi umum
tampaknya sangat bervariasi. Dalam arti ada yang cukup puas dengan pola horizontal-lateral
(independent), ada yang mengembangkan pola relasi lateralsekuensial, dan
ada pula yang berobsesi untuk mengembangkan pola relasi vertikal-linier. Semuanya
itu lagi-lagi banyak ditentukan oleh kemauan, kemampuan, dan political-will dan
pimpinan dan lembaga pendidikan tersebut. Kebijakan tentang pembinaan pendidikan
agama Islam secara terpadu di sekolah umum misalnya, antara lain menghendaki agar
pendidikan agama dan sekaligus para guru/dosen agamanya mampu memadukan antara
mata pelajaran agama dengan pelajaran umum. Kebijakan ini akan sulit diimplementasikan
pada sekolah atau perguruan tinggi umum yang cukup puas hanya mengembangkan
pola relasi horizontallateral (independent). Barangkali kebijakan
tersebut relatif mudah diimplementasikan pada lembaga pendidikan yang mengembangkan
pola lateral-sekuensial. Hanya saja implikasi dan kebijakan tersebut adalah
para guru/dosen agama harus menguasai ilmu agarna dan memahami substansi
ilmu-ilmu umum, sebaliknya guru/dosen umum dituntut untuk menguasai ilmu umum
(bidang keahliannya) dan memahami dasar-dasar ajaran dan nilai-nilai agama[9].
3.
Paradigma Organisme
Istilah “organisme” dapat
berarti: benda hidup (plants, animals, and bacterial are organism), dan
dapat berarti kesatuan yang terdiri atas bagian-bagian yang rumit (Salim, P,
1996). Dalam pengertian kedua tersebut, paradigm organisme bartolak dari
pandangan bahwa pendidikan Islam adalah kesatuan atau sebagai system (yang
terdiri atas komponen-komponen yang rumit) yang berusaha mengembangkan
pandangan/semangat hidup (weltanschauung) Islam, yang dimanifestasikan
dalam sikap hidup dan keterampilan hidup yang Islami.
Pandangan semacam itu
menggarisbawahi pentingnya kerangka pemikiran yang dibangun dan fundamental
doctrines dan fundamental values yang tertuang dan terkandung dalarn
Al-Qur’an dan al-sunnah ash-shahihah sebagai sumber pokok. Ajaran dan
nilai-nilai Ilahi/agama/wahyu didudukkan sebagai sumber konsultasi yang bijak,
sementara aspek-aspek kehidupan Iainnya didudukkan sebagai nilai-nilai insani
yang mempunyai hubungan vertical linier dengan nilai Ilahi/agama.
Melalui upaya semacam
itu, maka sistem pendidikan Islam diharapkan dapat mengintegrasikan nilai-nilai
ilmu pengetahuan, nilai-nilai agama dan etik, serta mampu melahirkan
manusia-manusia yang menguasai dan menerapkan ilmu pengetahuan, teknologi dan
seni, memiliki kematangan profesional, dan sekaligus hidup di dalam nilainilai agama.
Paradigma tersebut tampaknya mulai dirintis dan dikembangkan
dalam sistem pendidikan di madrasah, yang dideklarasikan sebagai sekolah umum
yang berciri khas agama Islam, atau sekolah-sekolah (swasta) Islam unggulan.
Kebijakan pengembangan madrasah berusaha mengakomodasikan tiga kepentingan
utama, yaitu: pertama, sebagai wahaha untuk membina ruh atau praktik
hidup keislaman; kedua, memperjelas dan memperkokoh keberadaan madrasah
sederajat dengan sistem sekolah, sebagai wahana pembinaan warga negara yang cerdas,
berpengetahuan, berkepribadian, serta produktif; dan ketiga, mampu
merespons tuntutan-tuntutan masa depan, dalam arti sanggup melahirkan manusia
yang memiliki kesiapan memasuki era globalisasi, industrialisasi maupun era
informasi[10]
2.1.3.
Arah Pengembangan
Pendidikan Islam
Didalam al-Quran
dinyatakan bahwa “tujuan Tuhan menciptakan jin dan manusia adalah agar mereka
menyembah kepada-Nya”. Ibadah itu mencakup segala sesuatu yang dilakukan oleh
manusia, baik berupa amal perbuatan, pemikiran ataupun perasaan yang senantiasa
ditujukan kepada Allah swt. Tujuan Tuhan menciptakan manusia ini kemudian
dijadikan sebagai tujuan akhir dari kegiatan pendidikan Islam.
Dalam khazanah pemikiran
pendidikan Islam, pada umumnya para ulama berpendapat bahwa tujuan akhir
pendidikan Islam adalah “untuk beribadah kepada Allah swt”.
Di dalam Undang-Undang
No. 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional dinyatakan, bahwa tujuan pendidikan
nasional adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia
seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa
dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan
jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung
jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.
Maka dalam konteks
pendidikan Islam, justru harus berusaha lebih dari itu. Dalam arti, pendidikan
Islam bukan sekedar diarahkan untuk mengembangkan manusia yang beriman dan
bertakwa, tetapi justru berusaha mengembangkan manusia untuk menjadi
imam/pemimpin bagi orang beriman dan bertakwa.
Di dalam sebuah hadis
juga dinyatakan “Kullukum raa’in wakullukum mas’ulun ‘an raiyyatihi” yakni
masing-masing kamu adalah pemimpin (minimal pemimpin bagi dirimu sendiri), dan
masing-masing kamu akan dimintai pertanggung jawaban atas kepemimpinannya[11].
Jadi dapat disimpulkan bahwa arah pengembangan
pendidikan Islam itu ialah menjadi manusia yang seutuhnya, sesuai dengan fitrahnya
sebagai manusia, yaitu sebagai Abdullah (hamba Allah) dan khalifatullah
fil ard
2.1.4. Strategi Pengembangan Pendidikan Islam di Indonesia
Untuk mengembangkan ilmu
pendidikan Islam, maka kita harus mengembangkan teori-teori ilmu pendidikan
Islam tersebut. Mengembangkan ilmu berarti mengembangkan teorinya, karena isi
ilmu adalah teori-teori. Selanjutnya mengembangkan teori sekurang-kurangnya
yaitu:
a.
Merevisi teori yang sudah
ada. Disini teori lama tidak dibuang seluruhnya, melainkan hanya disempurnakan
b.
Mengganti teori lama dengan
teori baru. Disini teori lama tersebut dibuang semuanya dan diganti dengan
teori baru
c.
Membuat teori, disini kita
membuat teori, karena memang belum ada sebelumnya.
Dalam pengembangan teori
seperti itu, apakah merevisi, mengganti, ataupun membuat teori, diperlukan
metode yang menjelaskan cara kerja yang terpertanggungjawabkan. Jika kita
merevisi teori atau hendak mengganti teori, itu berarti teori lama sudah ada.
Teori lama yang ada dan banyak ialah teori pendidikan dari Barat.
Ada dua arus yang muncul
tentang cara pengembangan ilmu pendidikan Islam.
1)
Cara Induksi-Konsultasi,
yaitu kita mulai dengan memeriksa teori Barat tersebut, lantas kita
konsultasikan ke Islam (al-Quran atau Hadits), boleh jadi teori itu kita
terima, kita revisi, atau kita tolak. Inilah islamisasi Ilmu Pendidikan dalam
rangka mengembangkan Ilmu Pendidikan Islam. Jika cara ini kita tempuh, maka
kita dikatakan menggunakan metode induksi-konsultasi
2) Cara deduksi, yaitu kita mulai dari teks wahyu atau sabda Rasul,
lantas ditafsirkan, dari sini muncul teori pendidikan pada tingkat filsafat.
Teori itu dieksperimenkan, dari sini akan muncul teori pendidikan pada tingkat
ilmu (sains). Selanjutnya diurai lebih operasional sehingga langsung dapat
dijadikan petunjuk teknis (manual)[12]
Adapun untuk mengembangkan
pendidikan Islam itu sendiri diperlukan
landasan-landasan yang kokoh dengan memerhatikan berbagai perspektif, yaitu:
1.
Normatif-Teologis atau
religius, yakni ajaran dan nilai-nilai Islam diyakini sebagai kebenaran dan
kebaikan, sehingga harus dijadikan pegangan secara kokoh, dan dilestarikan,
diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya, serta dikembangkan melalui
sistem pendidikan Islam
2.
Filosofis, yakni ada
sesuatu dalam pendidikan Islam yang harus dipikirkan dan direnungkan secara
rasional, sistematis, radikal, dan universal, sehingga melahirkan keputusan
yang bijaksana dalam penyelenggaraan sistem pendidikan Islam;
3.
Psikologis, kejiwaan yang
berbeda-beda
4.
Historis, yakni pendidikan
adalah masalah hidup dan kehidupan yang berada dalam proses sejarah, ruang dan
waktu yang penuh dengan peristiwa dan tantangan yang selalu berjalan dan
berubah selaras dengan perkembangan zaman, sehingga proses sejarah pada ruang
dan waktu tertentu harus diangkat ibrahnya dan dijadikan pertimbangan untuk
menjawab tantangan pendidikan masa kini dan mengantisipasi masa depan
5.
Sosiologis, yakni setiap
individu memiliki ketergantungan dengan individu lainnya, kelompoknya,
masyarakatnya, sehingga terjadinya simbiosis mutualisme, saling memengaruhi, isi
mengisi dan melengkapi
6.
Politik,yakni kehidupan
seseorang berada dalam sistem pemerintahan dan kekuasaan tertentu, demikian
pula pendidikan, sehingga sistem dan corak politik ikut mewarnai sistem
pendidikan
7. Ekonomi, yakni pendidikan dipandang sebagai salah satu sarana
untuk menyiapkan manusia atau tenaga kerja yang produktif dan siap dipakai
(jasanya) oleh masyarakat (user).
[1]
Ahmad Tafsir, “Filsafat Pendidikan Islam” (Bandung: Remaja Rosdakarya,
2010) hlm. 281-282
[2] Ibid,
hlm. 283-284
[3]
Ibid, hlm 284-286
[4] Samsul
Nizar, “Sejarah Pendidikan Islam; Menelusuri Jejak Sejarah Pendidikan Era
Rasulullah Sampai Indonesia” (Jakarta: Kencana, 2008) hlm. 230
[5]
Muhaimin, “Paradigma Pendidikan Islam” (Bandung: Remaja Rosdakarya,2012)
hlm 41
[6] Mulya
Kartanegara, “Integrasi Ilmu: Sebuah Rekontruksi Holistik”, (Bandung:
Arasy Mizan, 2005) hlm. 19-20
[7]
Muhaimin, loc.cit, hlm.43
[8]
Ibid, hlm. 43
[9]
Ibid, hlm. 44-45
[10]
Ibid, hlm. 45-46
[11]
Ibid, hlm 48-50
[12]
Ahmad Tafsir, op.cit. hlm 325-327
Tidak ada komentar:
Posting Komentar