BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Masalah
Pendidikan islam merupakan suatu
proses pengembangan potensi-potensi serta kreatifitas peserta didik, yang
bertujuan mencetak atau mewujudkan manusia yang cerdas, terampil, memiliki etos
kerja yang tinggi, berbudi pekerti luhur, mandiri, dan bertanggung jawab
terhadap dirinya, bangsa dan Negara serta agama. Dan yang paling terpenting
tujuan awal pendidikan islam itu sendiri ialah terciptanya manusia yang
sempurna yaitu beriman dan bertaqwa kepada Allah.
Sejalan dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi, pendidikan memiliki nuansa berbeda antara satu
daerah dengan daerah lain, sehingga banyak bermunculan pemikiran-pemikiran yang
dianggap sebagai penyesuaian proses pendidikan dengan kebutuhan yang
diperlukan. Karenanya banyak teori yang dikemukakan pada pemikir yang bermuara
pada munculnya berbagai aliran pendidikan. Telah kita ketahui bahwa usaha
pendidikan Islam sama tujuannya dengan Islam itu sendiri, dan pendidikan Islam
tidak terlepas dari sejarah Islam pada umumnya. Karena itulah, menurut M. Qomar (2005), Pendidikan Barat yang
diadaptasi oleh pendidikan Islam, meskipun mencapai kemajuan, tetap tidak layak
dijadikan sebuah model untuk memajukan peradaban Islam yang damai, anggun dan
ramah terhadap kehidupan manusia, pendidikan Barat itu hanya maju secara
lahiriyah, tetapi tidak membuahkan ketenangan rohani lantaran pendidikan
tersebut hanya berorientasi pada pengembangan yang bersifat kuantitatif.
Ukuran-ukuran hasil pendidikan lebih dilihat dari sudut, seberapa jauh
pengetahuan yang diserap oleh peserta didik untuk bertindak sesuai dengan
pengetahuan yang dikuasainya.
Padahal didalam Islam sendiri
telah muncul para ahli filsafat dan pendidikan yang betul-betul menguasai
bidangnya dan menguasai pendapat, pemahaman, metode dan teori-teori yang mendahului
paham, pemahaman dan teori-teori ahli pendidikan eropa. Malahan paham dan
pendapat akademisi atau cendekiawan muslimlah yang semula menjadi panutan dan
pegangan para ahli barat itu.
Oleh karena itu, dengan mengetahui dan
memahami filsafat pendidika islam yang murni itulah, penulis mencoba memaparkan
filsafat pendidikan islam dan filsafat pendidikan yang umumnya dianut oleh
barat, sehingga dapat dijadikan study comparative tentang filsafat pendidikan
Islam yang sesuai dengan fitrah islam.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa saja
aliran dalam filsafat pendidikan modern?
2.
Apa saja
aliran dalam filsafat pendidikan Islam?
C.
Tujuan
Penulisan
1.
Untuk
mengetahui aliran-aliran filsafat pendidikan modern
2.
Untuk
mengetahui aliran-aliran filsafat Islam.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
ALIRAN FILSAFAT PENDIDIKAN MODERN
Apabila
melihat pada proses perkembangannya, filsafat tumbuh dan berkembang sebagai
hasil pemikiran para ahli filsafat sepanjang masa dengan objek kajian segala
permasalahan hidup di dunia, telah menghasikan berbagai pandangan.
Pandangan-pandangan ahli filsafat itu ada kalanya satu dengan yang lain hanya
bersifat saling menguatkan , tetapi tidak jarang pula yang berbeda atau
berlawanan. Hal ini disebabkan terutama oleh pendekatan yang dipakai oleh mereka
berbeda, walaupun untuk objek permasalahannya sama. Karena perbedaan dalam
sistem pendekatan itu, maka kesimpulan-kesimpulan yang dihasilkan menjadi
berbeda pula. Bahkan tidak sedikit yang berlawanan. Selain itu faktor zaman dan
tempat dimana mereka bermukim juga ikut mewarnai pemikiran mereka.[1]
Beberapa
aliran dalam filsafat pendidikan modern, diantaranya:
1.
Aliran Progresivisme
Progresivisme
adalah suatu gerakan dan perkumpulan yang didirikan pada tahun 1918. Aliran ini
sangat berpngaruh diseluruh dunia, terutama di Amerika serikat (Zuhairini dkk,
2012: 20). Aliran ini berpendapat bahwa pengetahuan yang benar pada masa kini
mungkin tidak benar di masa mendatang. Pendidikan harus berpusat pada anak
bukannya memfokuskan pada guru atau bidang muatan.
Progresivisme
mempunyai konsep yang didasari oleh pengetahuan dan kepercayaan bahwa manusia
itu mempunyai kemampuan-kemampuan yang wajar dan dapat menghadapi dan mengatasi
masalah-masalah yang bersifat menekan mengancam adanya manusia itu sendiri (
Barnadib, 1994:28 ). Oleh karena kemajuan atau progres ini menjadi suatu
statemen progresivisme, maka menurut Dewey
(Zuhairini dkk, 2012: 24) tujuan umum pendidikan ialah warga masyarakat
yang demokratis, isi pendidikannya lebih mengutamakan bidang-bidang studi,
seperti IPA, sejarah, keterampilan serta hal-hal yang berguna atau langsung
dirasakan oleh masyarakat.
Progresivisme
berpendapat tidak ada teori realita yang umum. Pengalaman menurut progresivisme
bersifat dinamis dan temporal;menyala. Tidak pernah sampai pada yang paling
eksterm, serta pluralistis. Menurut progresivisme, nilai berkembang terus
karena adanya pengalaman-pengalaman baru antara individu dengan nilai yang
telah disimpan dalam kebudayaan. Belajar berfungsi untuk mempertinggi taraf
kehidupan sosial yang sangat kompleks. Kurikulum yang baik adalah kurikulum
yang eksperimental, yaitu kurikulum yang setiap waktu dapat disesuaikan dengan
kebutuhan.
Progresivisme
merupkan pendidikan yang berpusat pada siswa dan memberi penekanan lebih besar
pada kreativitas, aktivitas, belajar “naturalistik”, hasil belajar “dunia
nyata”, dan juga pengalaman teman sebaya.
Tokoh-tokoh
Aliran Progresivisme[2] , diantaranya:
1.
William James ( 1842-1910 )
James
berkeyakinan bahwa otak atau pikiran, seperti juga aspek dari eksistensi
organik, harus mempunyai fungsi biologis dan nilai kelanjutan hidup. Dan dia
menegaskan agar fungsi otak atau fikiran itu dipelajari sebagai bagian dari
mata pelajaran pokok dari ilmu pengetahuan alam. Jadi James menolong untuk
membebaskan ilmu jiwa prakonsepsi teologis, dan menempatkannya da atas dasar
ilmu prilaku.
2.
John Dewey ( 1859-1952 )
Teori
Dewey tentang sekolah adalah progresivisme yang lebih menekankan kepada anak
didik dan minatnya dari pada mata pelajarannya sendiri. Maka muncullah “Cild Centered
Curiculum”, dan “Cild Centered School”. Progresivisme mempersiapkan anak masa
kini dibanding masa depan yang belum jelas.
3.
Hans Vaihinger ( 1852-1933 )
Hans
Vaihinger menurutnya tahu itu hanya mempunyai arti praktis. Persesuaian dengan
objeknya mungkin dibuktikan, satu-satunya ukuran bagi berpikir ialah gunanya
untuk mempengaruhi kejadian-kejadian didunia.
Adapun
pandangan progresivisme dan penerapannya di bidang pendidikan, ialah Anak didik
diberikan kebebasan secara fisik maupun cara berpikir, guna mengembangkan bakat
dan kemampuan yang terpendam dalam dirinya. Tanpa terhambat oleh rintangan yang
dibuat oleh orang lain. Oleh karena itu aliran filsafat progresivisme tidak
menyetujui pendidikan yang otoriter. Sebab, pendidikan otoriter akan mematikan
tunas-tunas para pelajar untuk hidup sebagai pribadi-pribadi yang gembira
menghadapi pelajaran. Dan sekaligus mematikan daya kreasi baik secara fisik
maupun psikis anak didik.
Filsafat
progresivisme menghendaki jenis kurikulum yang bersifat luwes (fleksibel) dan
terbuka. Jadi kurikulum itu bisa diubah dan dibentuk sesuai dengan zamannya.
Sifat kurikulumnya adalah kurikulum yang dapat direvisi dan jenisnya yang
memadai, yaitu yang bersifat eksperimental atau tipe Core Curriculum. Kurikulum
Dipusatkan
pada pengalaman atau kurikulum eksperimental didasarkan atas manusia dalam
hidupnya selalu berinteraksi didalam lingkungan yang komplek. Progresivisme
tidak menghendaki adanya mata pelajaran yang diberikan terpisah, melainkan
harus terintegrasi dalam unit. Dengan adanya mata pelajaran yang terintegrasi
dalam unit, diharapkan anak dapat berkembang secara fisik mauopun psikis dan
dapat menjangkau aspek kognitif, afektif, maupun psikomotor.
2.
Aliran Esensialisme
Esensialisme adalah filsafat pendidikan yang
didasarkan pada nilai-nilai kebudayaan yang telah ada sejak awak peradaban umat
manusia. Menurut Joe Park, esensialisme
memandang bahwa pendidikan harus berpijak pada nilai-nilai yang memiliki
kejelasan dan tahan lama yang memberikan kestabilan dan nilai-nilai terpilih
yang mempunyai tata yang jelas.[3]
prinsp-prinsip
Esensialisme, diantaranya:
a.
Esensialisme berakar pada ungkapan realisme objektif dan idealisme
objektif yang modern, yaitu alam semesta
diatur oleh hukum alam sehingga tugas manusia memahami hukum alam adalah dalam
rangka penyesuaian diri dan pengelolaannya.
b.
Sasaran pendidikan adalah mengenalkan siswa pada karakter alam dan
warisan budaya. Pendidikan harus dibangun atas nilai-nilai yang kukuh, tetap
dan stabil.
c.
Nilai kebenaran bersifat korespondensi, berhubungan antara gagasan
fakta secara objektif.
d.
Bersifat konservatif (pelestarian budaya) dengan merfleksikan
humanisme klasik yang berkembang pada zaman renaissance.
Dalam
mempertahankan pahamnya itu, khususnya dari persaingan dengan paham
progresivisme, tokoh-tokoh esensialisme mendirikan suatu organisasi yang
bernama Essentialist Committee for the Advancement of Education pada
tahun 1930, untuk mengembangkan pandangannya didunia pendidikan yang diwarnai
sedikit banyaknya oleh konsep idealisme dan realisme.
3. Aliran Perenialisme
Perenialisme
diambil dari kata perennial, yang dalam oxford Learner’s dictionary of Current
English diartikan sebagai Lasting for a very long time –abadi atau kekal-. Di
zaman kehidupan modern ini banyak menimbulkan krisis diberbagai bidang
kehidupan manusia, terutama dalam bidang pendidikan. Untuk mengembalikan
keadaan krisis ini, maka perenialisme memberikan jalan keluar yaitu berupa
kembali kepada kebudayaan masa lampau yang dianggap cukup ideal dan teruji
ketangguhannya. Untuk itulah pendidikan harus lebih banyak mengarahkan pusat
perhatiannya kepada kebudayaan ideal yang telah teruji dan tangguh. [4]
Jelaslah
bila dikatakan bahwa pendidikan yang ada sekarang ini perlu kembali kepada masa
lampau, karena dengan mengembalikan keadaan masa lampau ini,kebudayaan yang
dianggap krisis ini dapat teratasi melalui perenialisme karena ia dapat
mengarahkan pusat perhatiannya pada pendidikan zaman dahulu dengan sekarang.
Perenialisme memandang pendidikan sebagai jalan kembali atau proses
mengembalikan keadaan sekarang. Perenialisme memberikan sumbangan yang
berpengaruh baik teori maupun peraktek bagi kebudayaan dan pendidikan zaman
sekarang.(Noor syam,1986: 296)
Dari
pendapat ini sangatlah tepat jika dikatakan bahwa perenialisme memandang
pendidikan itu sebagai jalan kembali yaitu sebagai suatu proses mengembalikan
kebudayaan sekarang ( zaman modern ) ini terutama pendidikan zaman sekarang ini
perlu dikembalikan ke masa lampau .
Perenialisme
merupakan aliran filsafat yang susunannya mempunyai kesatuan, dimana susunannya
itu merupakan hasil pikiran yang memberikan kemungkinan bagi seseorang untuk
bersikap tegas dan lurus. Karena itulah perenialisme berpendapat bahwa mencari
dan menemukan arah tujuan yang jelas merupakan tugas yang utama dari filsafat
khususnya filsafat pendidikan .
Setelah
perenialisme menjadi terdesak karena perkembangan politik industri yang cukup
berat timbullah usaha untuk bangkit kembali, dan perenialisme berharap agar
manusia kini dapat memahami ide dan cita filsafatnya yang menganggap filsafat
sebagai suatu azas yang komprehensif perenialisme dalam makna filsafat sebagai
satu pandangan hidup yang berdasarkan pada sumber kebudayaan dan
hasil-hasilnya. [5]
Tokoh-Tokoh
Aliran Pereanialisme, diantaranya ialah
Aristoteles. Ia merupakan Pendiri utama dari aliran filsafat ini,
kemudian didukung dan dilanjutkan St. Thomas Aquinas sebagai pemburu dan
reformer utama dalam abad ke-13.
Perenialisme
memandang bahwa kepercayaan-kepercayaan aksiomatis zaman kuno dan abad
pertengahan perlu dijadikan dasar penyusunan konsep filsafat dan pendidikan
zaman sekarang. Sikap ini bukanlah nostalgia ( rindu akan hal-hal yang sudah
lampau semata-mata ) tetapi telah berdasarkan keyakinan bahwa
kepercayaan-kepercayaan tersebut berguna bagi abad sekarang.
Anak
didik yang diharapkan menurut perenialisme adalah mampu mengenal dan
mengembangkan karya-karya yang menjadi landasan pengembangan disiplin mental.
Karya-karya ini merupakan buah pikiran tokoh-tokoh besar dimasa lampau.
Berbagai buah pikiran mereka yang oleh zaman telah dicatat menonjol dalam
bidang-bidang seperti bahasa dan sastra, sejarah, filsafat, politik, ekonomi,
matematika, ilmu pengetahuan alam dan lain-lainnya, telah banyak yang mampu
memberikan ilmunisasi zaman yang sudah lampau.
Dengan
mengetahui tulisan yang berupa pikiran dari para ahli yang terkenal tersebut,
yang sesuai dengan bidangnya maka anak didik akan mempunyai dua keuntungan
yakni :
1.
Anak akan mengetahui apa yang terjadi pada masa lampau yang telah
dipikirkan oleh orang-orang besar.
2.
Mereka telah memikirkan peristiwa-peristiwa dan karya-karya tokoh
tersebut untuk diri sendiri dan sebagai bahan pertimbangan ( reverensi ) zaman
sekarang.
Jelaslah
bahwa dengan mengetahui dan mengembangkan karya-karya buah pikiran para ahli
tersebut pada masa lampau, maka anak-anak didik dapat mengetahui bagaimana
pemikiran para ahli tersebut pada masa lampau, maka anak-anak didik dapat
mengetahui bagaimana peristiwa pada masa lampau tersebut sehingga dapat berguna
bagi mereka sendiri, dan sebagai bahan pertimbangan pemikiran mereka pada zaman
sekarang ini. Hal inilah yang sesuai dengan aliran filsafat perenialisme
tersebut.
Tugas
utama pendidikan adalah mempersiapkan anak didik kearah kemasakan. Masak dalam
arti hidup akalnya. Jadi akal inilah yang perlu mendapat tuntunan ke arah kemasakan
tersebut. Sekolah rendah memberiakn pendidikan dan pengetahuan serba dasar.
Dengan pengetahuan yang tradisional seperti membaca, menulis dan berhitung anak
didik memperoleh dasar penting bagi pengetahuan-pengetahuan yang lain.
Sekolah sebagai
tempat utama dalam pendidikan yang mempersiapkan anak didik ke arah kemasakan
melalui akalnya dengan memberikan pengetahuan. Sedangkan sebagai tugas utama
dalam pendidikan adalah guru-guru, di mana tugas pendidikanlah yang memberikan
pendidikan dan pengajaran ( pengetahuan ) kepada anak didik. Faktor
keberhasilan anak dalam akalnya sangat tergantung kepada guru, dalam arti orang
yang telah mendidik dan mengajarkan.
4. Aliran Rekonstruksionalisme
Kata rekonstruksionisme dalam bahasa Inggris
reconstruct yang berarti menyusun kembali. Dalam konteks filsafat pendidikan ,
aliran rekonstruksionisme adalah suatu aliran yang berusaha merombak tata
susunan lama dan membangun tata susunan hidup kebudayaan yang bercorak modern.
Aliran rekonstruksionisme, pada prinsipnya, sepaham dengan aliran perenialisme,
yaitu hendak menyatakan krisis kebudayaan modern. Kedua aliran tersebut,
memandang bahwa keadaan sekarang merupakan zaman yang mempunyai kebudayaan yang
terganggu oleh kehancuran, kebingungan dan kesimpangsiuran.
Walaupun
demikian, prinsip yang dimiliki oleh aliran rekonstruksionisme tidaklah sama
dengan prinsip yang dipegang oleh aliran perenialisme. Keduanya memepunyai visi
dan cara yang berbeda dalam pemecahan yang akan ditempuh untuk mengembalikan
kebudayaan yang serasi dalam kehidupan. Aliran perenialisme memilih cara
tersendari, yakni dengan kembali ke alam kebudayaan lama atau di kenal dangan
regressive road culture yang mereka anggap paling ideal. Sedangkan itu aliran
rekonsruksinisme menempuhnya dengan jalan berupaya membina suatu konsensus yang
paling luas dan mengenai tujuan pokok dan tertinggi dalam kehidupan umat
manusia.
Untuk
mencapai tujuan tersebut, rekonstruksionisme berupaya mencari kesepakatan antar
sesama manusia, yakni agar dapat mengatur tata kehidupan manusia dalam suatu
tatanan dan seluruh lingkungannya. Maka, proses dan lembaga pendidikan dalam
pandangan rekonstruksionisme perlu merombak tata susunan lama dan membangun
tata susunan hidup kebudayaan yang baru, untuk mencapai tujuan utama tersebut
memerlukan kerjasama antar umat manusia.[6]
Rekonstruksionisme
dipelopori oleh George Count dan Harold Rugg pada tahun 1930, ingin membangun
masyarakat baru, masyarakat yang pantas dan adil. Beberapa tokoh lain dalam
aliran ini Caroline Pratt, Geaoge Count,
Harold Rugg.
Rekonstruksionisme
merupakan kelanjutan dari gerakan progresivisme. Gerakan ini lahir didasarkan
atas suatu anggapan bahwa kaum progresif hanya memikirkan dan melibatkan diri
dengan masalah-masalah masyarakat yang ada sekarang.
5. Aliran Eksistensialisme
Eksistensialisme
biasa dialamatkan sebagai salah satu reaksi dari sebagian terbesar reaksi
terhadap peradaban manusia yang hampir punah akibat perang dunia II. Dengan
demikian eksistensialisme pada hakikatnya adalah merupakan aliran filsafat yang
bertujuan mengembalikan keberadaan umat manusia sesuai dengan keadaan hidup
asasi yang dimiliki dan dihadapinya.
Pandangannya
tentang pendidikan, disimpulkan oleh van cleve morris dalam existensialism and
education, bahwa eksitensialisme tidak menghendaki adanya aturan-aturan
pendidikan dalam segala bentuk. Oleh sebab itu eksistensisalisme dalam hal ini
menolak bentuk-bentuk pendidikan sebagaimana yang ada sekarang. Namun bagaimana
konsep pendidikan eksistensialisme yang diajukan oleh morris sebagai “existensialism’s
concept of freedom in education”, menurut Bruce F. Baker, tidak memberikan
kejelasan. Barangkali Ivan Illich dengan deschooling society, yang banyak
mengundang banyak reaksi dikalangan ahli pendidikan, merupakan salah satu model
pendidikan yang dikehendaki aliran eksistensialisme. Disini agaknya mengapa
aliran eksistensialisme tidak banyak dibicarakan dalam filsafat pendidikan.[7]
B.
ALIRAN FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM
1. Aliran religius konserfatif (al-muhafidz)
Tokoh-tokoh
dalam aliran ini adalah Imam al Ghazali, Ibnu Hajar al Haitami, Ibnu Sahnun dan
Nasirudin at Thusi. Aliran ini cenderung murni keagamaan dan aliran ini
memaknai ilmu dengan makna yang sempit. Menurut at Thusi ilmu adalah yang
berguna di hari ini dan akan membawa manfaat di akhirat kelak.[8] Bila kita mau mengamalkan apa yang kita dapatkan dan terapkan
maka inilah makna ilmu yang sebenarnya. Dimana ilmu dapat menjadi sarana agar
menjadi orang yang lebih baik dan mau menjadikan orang lain untuk lebih baik,
inilah ilmu yang sebenarnya.
Al-Gazali
termasuk filosof pendidikan Islam berpaham empiris, yang menekankan pentingnya
pendidikan terhadap pertumbuhan perkembangan anak didik. Menurutnya, seorang
anak tergantung kepada kedua orang tuanya yag mendidiknya.
Tujuan
pendidikan (jangka pendek) menurut al-Ghazali ialah diraihnya profesi manusia
sesuai dengan bakat dan kemampuannya. (al-Ibrashi, 1990) syarat untuk mencapai
tujuan ini, manusia harus memanfaatkan dan mengembangkan ilmu pengetahuan
sesuai dengan bakatnya.
Al-Ghazali berpendapat bahwa di dalam proses pendekatan
pembelajaran, ada 2 macam yakni ta’lim insani dan ta’lim rabbani.[9] Ta’lim insani adalah belajar dengan bimbingan manusia.
Pendekatan ini adalah cara umum yang biasanya dilakukan orang dan biasanya
dilakukan dengan menggunakan alat-alat peraga inderawi yang diakui oleh
orang-orang berakal.
Ta’lim
insani dibagi menjadi 2:
a)
Proses eksternal melalui proses belajar mengajar
Dalam proses belajar
sebenarnya terjadi proses eksplorasi pengetahuan sehingga menghasilkan
perubahan-perubahan perilaku. Seorang guru menyampaikan ilmu yang mereka miliki
dan murid berusaha untuk menggali dan menggali dan mengerti apa yang ingin
diketahui.
b)
Proses internal melalui proses tafakkur
Tafakkur diartikan dengan
membaca realitas dalam dimensi wawasan spiritual dan penguasaan pengetahuan
hikmah. Proses tafakkur dilakukan dengan pembersihan jiwa terlebih dahulu dari
segala sifat yang mengotori hati.
Al-Ghazali menegaskan
bahwa ilmu-ilmu keagamaan hanya dapat diperoleh dengan kesempurnaan rasio dan
kejernihan akal budi. Karena, hanya dengan rasiolah manusia mampu menerima
amanat dari Allah dan mendekatkan diri kepada-Nya. Pemikiran al-Ghazali
ini sejalan dengan aliran Mu’tazilah yang berpendapat bahwa rasio mampu
menetapkan baik buruknya sesuatu. Rumusan tujuan pendidikan aliran ini
didasarkan pada firman Allah swt, tentang tujuan penciptaan manusia yaitu Q.S.
al-dzariat: 56.
Implikasi aliran ini
terhadap pendidikan, mengenai proses pembelajaran harus ada integrasi antara
materi, metode dan media pendidikan. Seluruh komponen harus bisa dimaksimalkan
pemakaiannya dalam pendidikan. Materi pengajaran yang diberikan harus sesuai
dengan tingkat perkembangan anak, baik dalam hal usia, integrasi, maupun minat
dan bakatnya. Jangan sampai anak diberi materi pengajaran yang justru merusak
akidah dan akhlaknya.
Adapun metode pendidikan
yang diklasifikasikan oleh al-Ghazali menjadi dua bagian:
Pertama, metode
khusus pendidikan agama, metode ini memiliki orientasi kepada pengetahuan
aqidah karena pendidikan agama pada realitasnya lebih sukar dibandingkan dengan
pendidikan umum lainnya.
Kedua, metode khusus
pendidikan akhlaq, al-Ghazali (1991) mengungkapkan:
“Sebagaimana dokter,
jikalau memberikan pasiennya dengan satu macam obat saja, niscaya akan membunuh
kebanyakan orang sakit, begitupun guru, jikalau menunjukkkan hanya satu jalan
kepada murid, niscaya membinasakan hati mereka.
Adapun ilmu yang paling
baik diberikan pada taraf pertama ialah agama dan syari’at, terutama al-Qur’an.
Begitu pula metode/media yang diterapkan juga harus mendukung; baik secara
psikologis, sosiologis, maupun pragmatis, bagi keberhasilan proses pengajaran.
Pendidikan benar-benar ditujukan untuk mendekatkan diri kepada Allah, dunia
bukanlah tujuan utama.
2. Aliran Religius Rasional ( Ad-Diny al ‘Aqlany)
Tokoh-tokoh aliran ini
adalah Ikhwan al-Shafa, al-Farabi, Ibnu Sina, dan Ibnu Miskawaih. Aliran ini dijuluki
“pemburu” hikmah Yunani di belahan dunia Timur, dikarenakan pergumulan
intensifnya dengan rasionalitas Yunani.
Menurut Ikhwan al-Shafa,
yang dimaksud dengan ilmu adalah gambaran tentang sesuatu yang diketahui pada
benak (jiwa) orang yang mengetahui. Proses pengajaran adalah usaha
transformatif terhadap kesiapan ajar agar benar-benar menjadi riil, atau dengan
kata lain, upaya transformatif terhadap jiwa pelajar yang semula berilmu
(mengetahui) secara potensial, agar menjadi berilmu (mengetahui) secara
riil-aktual. Dengan demikian, inti proses pendidikan adalah pada kiat
transformasi potensi-potensi manusia agar menjadi kemampuan “psikomotorik”.[10]
Menurut Ikhwan al Safa,
hakikat manusia terletak pada jiwanya. Sementara jasad merupakan penjara bagi
jiwa. Oleh karena itu, ruang lingkup jasad hendaknya dipersempit, sedangkan
ruang lingkup jiwa diperluas. Manusia hendaknya hidup zuhud agar jiwanya lebih
luasa atas tubuhnya. Kehidupan yang demikian akan mensucikan jiwanya dalam
mengaharap cinta Allah.[11]
Teologi meliputi keyakinan
atau akidah Ikhwan al-Shafa, persahabatan, keimanan, hukum Allah, kenabian,
dakwah, ruhani, tatanegara, struktur alam, dan magis. Tujuan pendidikan menurut
Ikhwan al-Shafa adalah untuk peningkatan harkat manusia kepada tingkatan yang tertinggi
(malaikat yang suci), agar dapat meraih ridha Allah SWT.
Sedikit berbeda antara
Ikhwan al Safa dan Ibnu Miskawaih, apabila Ikhwan al Shafa lebih terfokus
kepada anak didik, Ibnu Miskawaih terkonsentrasi dengan suatu kedudukan ilmu
dan budi pekerti. Menurut Busyairi Majidi (1997) Ibnu Miskawaih Miskawaih
menempatkan ilmu ke dalam suatu kedudukan berdasarkan objek ilmu itu. Ilmu yang
paling mulia menurutnya adalah ilmu pendidikan, karena objek kajiannya terletak
pada budi pekerti manusia, menyangkut subtansi manusia.[12] Dan segala ilmu yang mengembangkan quwwatu
al-nathiqoh adalah ilmu yang paling mulia.
Konsep pendidikan Ibnu
Miskawaih, sebagaimana yang tercermin dalam awal kitabnya Tahdzib
al-Akhlaqialah terwujudnya pribadi susila. Khuluq adalah alamiah, namun bisa
berubah cepat atau lambat. Pemikiran Miskawaih ini, menolak sebagain pemikiran
Yunani bahwa karakter tidak bisa berubah karena ia berasal dari watak dan
pembawaan. Miskawaih memberikan ilustrasi; bahwa anak yang dididik dengan suatu
cara tertentu berbeda secara mencolok dalam menerima nilai-nilai akhlaq yang
luhur.
Materi pendidikan, menurut
Ibnu Miskawaih adalah hal-hal yang wajib bagi kebutuhan jasmani untuk membentuk
akhlaq yang mulia yaitu materi yang berhubungan dengan ibadah fisik, seperti:
sholat, puasa dan zakat. Dan hal-hal yang berhubungan dengan jiwa yaitu aqidah
yang benar. Dan hal yang berhubungan dengan sesama manusia. Seperti; ilmu
mu’amalat, pertanian dan perkawinan.
Sesungguhnya materi
pendidikan yang dianut oleh Ibnu Miskawaih dipengaruhi faham ontologism.[13] Ibnu Miskawaih mengisyaratkan tiga metode pendidikan
secara umum, yaitu keteladanan, latihan (riyadhah) dan tarqhib dan tarhib.
Tarqhib artinya janji disertai bujukan dan rayuan untuk memotivasi beramal
shaleh. Dan tarhib artinya ancaman melalui hukuman yang disebabkan perbuatan
dosa, kesalahan atuapun perbuatan yang melanggar syari’at. (al-Nahlawi, 1987).
Sedangkan latihan barangkali dipengaruhi oleh pemikiran sufistik.
Implikasi aliran ini
terhadap pendidikan adalah ilmu pengetahuan tidak hanya sebagai sarana
mendekatkan diri kepada Allah, tetapi juga sebagai saran untuk meningkatkan
derajat manusia pada tingkatan yang tinggi, baik dalam lingkungan sosial maupun
dalam pandangan agama. Pembentukan akhlaq dengan berlandaskan al-Qur’an dan
al-Hadist.
Intisari daripada aliran
religius rasional adalah tidak hanya mengedepankan agama, tetapi juga ilmu yang
lainnya dianggap penting juga. Karena kita hidup di dunia dan akhirat.
3.
Aliran Pregmatis Instrumental
Menurut Ibnu Khaldun, ilmu pengetahuan dan ilmu pembelajaran
adalah pembawaan manusia karena adanya kesanggupan berfikir. Dalam proses
belajar manusia harus sungguh-sungguh dan memiliki bakat. Dalam mencapai
pengetahuan yang beraneka ragam, seseorang tidak hanya membutuhkan ketekunan,
tapi juga bakat. Seseorang perlu mengembangkan keahliannya dibidang tertentu.
Ibnu Khaldun mengatakan bahwa: al-Ilm wa al-Ta’lim
Thabi’iyyun fi al’Umran al-Basyari. (Khaldun, 1979). Pengetahuan dan
pendidikan merupakan tuntutan alami dari peradaban (al-‘Umran) manusia. Hal itu
dimungkinkan karena manusia dibekali dengan akal, yang dengan akal itu manusia
berpikir dan memiliki motivasi untuk mengetahui sesuatu. Dengan berpikir
berarti bersosialisasi dengan realitas di sekitarnya.
Ide tentang adanya hubungan antara ilmu dan peradaban
memunculkan sesuatu ide yang lain yang merupakan konsekuensi logisnya yaitu: al-‘Ulum
innama Takastsrat Haisu yaksuru al’Umran wa Ta’adzaa al-hadarah. Pengetahuan
akan berkembang sesuai dengan perkembangan peradaban.
Ibnu
Khaldun membagi ilmu pengetahuan menjadi tiga kelompok:
1)
Ilmu lisan (bahasa), tata bahasa dan sastra,
2)
Ilmu naqli, ilmu yang diambil dari al-Qur’an dan Hadits, berupa
ilmu tafsir, sanad, serta istinbat tentang
kaidah-kaidah fiqh.
3)
Ilmu naqli, ilmu yang diambil dari al-Qur’an dan Hadits, berupa
ilmu tafsir, sanad, serta istinbat tentang kaidah-kaidah fiqh.
Menurutnya ada tiga tingkatan tujuan yang hendak
dicapai dalam proses pendidikan, yaitu:
a.
Pengembangan kemahiran (al-malakah atau skill)
dalam bidang tertentu.
b.
Penguasaan ketrampilan professional
sesuai dengan tuntutan zaman (lingkungan dan materi).
c.
Pembinaan pemikiran yang baik.
Implikasi aliran ini terhadap pendidikan adalah dalam pembelajaran, Ibnu Khaldun lebih
memilih metode secara gradual sedikit demi sedikit, pertama, disampaikan permasalahan pokok tiap bab, lalu dijelaskan secara global
dengan mempertimbangkan tingkat kecerdasan dan kesiapan anak didik, hingga
selesai materi per-bab.
Kedua, memilah-milah
antara ilmu-ilmu yang mempunyai nilai instrinsik, semisal ilmu-ilmu keagamaan,
kealaman, dan ketuhanan, dengan ilmu-ilmu yang instrumental, semisal ilmu-ilmu
kebahasa-Araban, dan ilmu hitung yang dibutuhkan oleh ilmu keagamaan, serta
logika yang dibutuhkan oleh filsafat. Pendidikan diupayakan agar peserta didik
benar-benar menguasai suatu bidang ilmu pengetahuan yang memang telah menjadi
bakatnya, yang nantinya dapat meningkatkan kehidupan sosialnya di masyarakat.
Menurut Ibnu Khaldun, orang yang mendapat keahlian dalam bidang
tertentu jarang sekali ahli pada bidang lainnya, misalnya tukang jahit. Hal ini
lantaran sekali seseorang menjadi ahli hingga keahliannya itu tertanam berurat
akar di dalam jiwanya. Alasannya karena keahlian merupakan sifat atau corak
jiwa yang tidak dapat tumbuh serempak. (Abuddin Nata, 1997).
Selain aliran-aliran yang telah disebutkan diatas ada beberapa
aliran filsafat pendidikan Islan yang ditinjau dari tipologi yaitu, aliran
Perenial-Esensial Salafi, aliran Perenial Madzhabi, aliran Modernis, aliran
Perenial-Esensialis Konstektual Falsikatif dan aliran Rekonstruksi Sosial.
Masing-masing mempunyai dan ciri-ciri pemikiran, yang berimplikasi pada fungsi
pendidikan itu sendiri.
Perenial-Esensial Salafi aliran yang bersumber dari al Qur’an dan as- Sunah
bersikap regresif dan konservatif dalam mempertahankan nilai-nilai era salaf,
serta berwawasan kependidikan Islam yang beriorentasi pada masa silam (era
salafi). Ciri-ciri pemikirannya adalah ia menjawab persoalan pendidikan dalam
konsteks wacana salafi, memahami nash secara tekstual-lughawi, penafsiran ayat
dengan ayat lain, ayat dengan hadis maupun hadis dengan hadis sehingga kurang
adanya perkembangan dan elaborasi. Fungsi pendidikan Islam baginya adalah
melestarikan budaya masyarakat salaf yang dianggap ideal serta mengembangkan
potensi dan interaksinya dengan nilai dan budaya masyarakat era salaf.
Perenial-esensialis mazhabi aliran yang bersumber dari al Qur’an dan as-Sunah dan bersikap
regresif dan konservatif dalam mempertahankan nilai-nilai dan pemikiran para
pendahulunya, mengikuti aliran, pemahaman dan pemikiran terdahulu yang dianggap
mapan, serta berwawasan kependidikan Islam yang tradisional dan beriorentasi
pada masa silam. Ciri-ciri pemikirannya menekankan pada pemberiah syarh dan hasyiyah terhadap
pemikiran pendahulunya, dan kurang adanya keberanian untuk mengkritik dan
mengubah subtansi materi pendidikan pendahulunya. Fungsi pendidikan Islam
adalah melestarikan dan mempertahankan nilai, budaya, dan tradisi dari satu
generasi ke generasi, serta pengembangan potensi dan interaksinya dengan nilai
dan budaya masyarakat yang terdahulu.
Modernis aliran
yang bersumber dari al Qur’an dan as-Sunah, menekankan perlunya berfikir bebas
dan terbuka dengan tetap terikat oleh nilai-nilai kebenaran universal
sebagaimana yang terkandung dalam wahyu Illahi; progressif dan dinamis dalam
menghadapi dan merespon tuntutan kebutuhan lingkungan atau zaman; serta
berwawasan kependidiksn Islam kontemporer. Ciri-ciri pemikirannya adalah tidak
berkepentingan untu mempertahankan dan melestarikan pemikiran dan sistem
pendidikan para pendahulunya, lapang dada dan menerima pemikiran dari manapun
dan siapapun dan selalu menyesuaikan perkembangan sosial dan iptek. Tugas
pendidikan Islam adalah untuk mengembangkan kemampuan peserta didik secara
optimal, aliran ini hampir sama dengan aliran religius rasional yang
diprakarsai oleh Ikhwan al Shafa. Sedangkan fungsi daripada
pendidikan Islam adala sebagai:
1)
Upaya pengembangan potensi peserta didik secara optimal, baik
potensi jasmani, akal maupun hati,
2)
Upaya interaksi potensi dengan tuntutan dan kebutuhan
lingkungannya,
3)
Rekonstruksi pengalaman yang terus-menerus agar dapat berbuat
sesuatu secara intelegen yang dilandasi dengan iman dan taqwa kepada
Allah Swt.
Perenial-esensialis konstektual–falsikatif aliran yang bersumber dari al Qur’an dan as-Sunah, menekankan
perlunya sikap konserfatif dan regresif terutama dalam konteks pendidikan
agama, yang lebih mengambil jalan tengah antara kembali ke masa lalu
dengan jalan melakukan kontekstualisasi serta uji falsifikasi dan mengembangkan
wawasan-wawasan kependidikan Islam masa sekarang yang selaras dengan tuntutan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta perubahan yang ada, wawasan
kependidikan Islam yang concern terhadap kesinambungan pemikiran pendidikan
Islam dalam merespon tuntutan perkembangan iptek dan perubahan sosial yang ada.
Ciri-ciri
aliran ini:
a)
Menghargai pemikiran pendidikan Islam yang berkembang pada era
salaf, klasik dan pertengahan.
b)
Mendudukan pemikiran pendidikan Islam era salaf dan klasik serta
pertengahan dalam konteks ruang dan zamannya untuk difalsifikasi.
c)
Rekonstruksi pemikiran pendidikan Islam terdahulu yang di anggap
kurang relevan dengan tuntutan dan kebutuhan era kontemporer.
Fungsi pendidikan Islam
menurut aliran ini adalah sebagai berikut:
a)
Upaya pengembangan potensi secara optimal serta interaksinya
dengan tuntutan dan kebutuhan lingkungan tanpa mengabaikan tradisi
yang sudah mengakar.
b)
Menumbuhkan nilai-nilai Ilahiyah dan insaniyah dalam konteks
perkembangan Iptek dan perubahan sosial yang ada.
Rekonstruksi sosial aliran
yang bersumber dari al Qur’an dan as-Sunah, di samping menekankan sikap
progressif dan dinamis, juga sikap proaktif dan antisipasif dalam menghadapi
menghadapi perkembangan Iptek, tuntutan perubahan, dan beriorentasi pada masa
depan dan menuntut kreatifitas. Tugas pendidikan Islam terutama membantu agar
manusia menjadi makhluk yang cakap dan selanjutnya manusia mampu bertanggung
jawab terhadap pengembangan masyarakat yang dilandasi iman dan taqwa kepada
Allah. Karena hakikatnya manusia adalah khalifah Allh fil ardhi yang mampu
untuk memecahkan permasalahan yang ada dengan potensi jismiah dan
nafsiah yang mengandung dimensi al-nafsu, al ‘aql dan al-qalb (temuan
Baharuddin, 2001), sehingga ia siap mengaktualisasikan potensinya dalam konteks
hubungan horisontal (habl min al-nas), yang diwujudkan dalam
bentuk rekonstruksi sosial secara berkelanjutan untuk mencapai
ridhoNya.
Fungsi
pendidikan Islam adalah sebagai:
1)
Upaya menumbuh kembangkan kreativitas secara berkelanjutan.
2)
Upaya memperkaya khazanah budaya manusia, dengan memperkaya isi
nilai-nilai insani dan Ilahi
3)
Upaya menyiapkan tenaga kerja yang produktif yang berjiwa spirit
Islam.
Kelima aliran ini dikonseptualisasikan dari hasil kajian
terhadap aliran-aliran filsafat pendidikan pada umumnya, serta mencermati
pola-pola pemikiran Islam yang berkembang dalam menjawab tantangan dan
perubahan zaman serta era modernitas, dan kajian kritis terhadap corak
pemikiran pendidikan Islam yang berkembang pada umumnya sebagaimana terkandung
dalam karya para ulama dan cendekiawan muslim dalam bidang pendidikan Islam.
Sebagai calon pendidik bukankah kewajiban kita untuk memahami
dan mengamalkan aliran mana yang sesuai dengan pendidikan saat ini? Atau kita
dapat memadukan antara satu aliran dengan aliran yang lainnya tanpa harus
mengurangi nilai karena satu dengan yang lainnya saling melengkapi.
Contohnya saja, Filsafat Pendidikan Islam yang ada pada negara
kita. Kecenderungan pola kajian pemikiran pendidikan Islam Indonesia,
sebagaimana diamati oleh Azra, berbagai kecenderungan tersebut terkait dengan
latar belakang mereka, baik latar belakang pendidikan maupun aktifitas mereka
dalam kegiatan kemasyarakatan.
Terbatasnya literatur filsafat pendidikan Islam di Indonesia
yang notabene sangat dibutuhkan oleh masyarakat akademis, juga mendorong
penulisannya yang cenderung bersifat pragmatis, yang berimplikasi pada
kesenjangan antara idealitas pemikiran mereka dengan realitas simbol-simbol
pemikirannya sebagaimana tertuang dalam karya-karya mereka.
Menurut Muhaimin, yang perlu dikembangkan di Indonesia adalah
rekonstruksi sosial yang teosentris, dengan landasan pemikiran bahwa:
1)
Bangsa Indonesia mengakui Pancasila sebagai dasar Negara, sila
pertama adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam konstek ajaran Islam, sila
tersebut dimaknai dengan konsep tauhid, yang mencangkup konsep-konsep tauhid
uluhiyah, ububiyah, mulkiyah dan rahmaniyah
2)
Bangsa Indonesia hidup dalam pluralisme yang
sangat rentan terhadap konflik-konflik, namun tetap bertekad ber-Bhineka
Tunggal Ika. Pengembangan Pendidikan Islam berusaha untuk menciptakan ukhuwah
Islamiyah dalam arti luas.
3)
Perlunya pendidikan Islam untuk menyiapkan keunggulan manusia
dalam Iptek, yang produktif, kompetitif, dengan tetap memiliki kesadaran akan
hak dan kewajiban dalam kehidupan bersama dalam alam demokratis.
BAB III
PENUTUP
Simpulan
Dari dulu sampai sekarang ini pendidikan merupakan hal yang paling
penting untuk membawa manusia kepada kehidupan yang lebih baik, dan masalah
sukses tidaknya pendidikan tidak lepas dari faktor pembawaan dan lingkungan.
Pembawaan dan lingkungan merupakan hal yang tidak mudah untuk di jelaskan
sehingga memerlukan penjelasan dan uraian yang tidak sedikit telah
bertahun-tahun lamanya para ahli didik, ahli biologi, ahli psikologi,dan
lain-lain memikirkan dan berusaha mencari jawaban, tentang perkembangan manusia
itu sebenarnya bergantung kepada pembawaan ataukah lingkungan.
Dari aliran-aliran di atas dapat disimpulkan pula bahwa pada
masing-masing aliran terdapat persamaan dan perbedaan yang dapat kita lihat
dengan gamblang, terutama dengan filsafat pendidikan yang berkembang di barat.
Diantara persamaan antar aliran filsafat pendidikan islam yakni persamaannya
sama-sama bersumber dari al-Quran dan as sunnah, kemudian perbedaannya terletak
pada ciri-ciri dan fungsi aliran-aliran tersebut dalam filsafat pendidikan
Islam.
Manfaat dengan kita mempelajari atau mengetahui aliran-aliran di
atas juga dapat dipakai sebagai alat untuk memahami model-model pemikiran
melalui telaah terhadap karya-karya ilmiah atau buku-buku, sehingga dapat
dijelaskan aliran manakah yang lebih dominan dan menonjol dalam pembahasan
aliran-aliran filsafat pendidikan islam. Sehingga kita juga dapat menentukan
arah yang tepat dalam berpinjak dalam dunia pendidikan khususnya
pendidikan islam dan perbedaan aliran-aliran yang ada sebaiknya disikapi dengan
cara yang bijaksana dan positif, agar tercapai hakikat dan tujuan yang
diharapkan.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad
Tafsir, Filsafat Pendidikan Islami, 2012, Bandung: PT Remaja RosdaKarya
Ahmad
Syar’I, Filsafat Pendidikan Islam, 2005, Jakarta: Pustaka Firdaus
Baharuddin dan Esa Nur Wahyuni, Teori Belajar dan
Pembelajaran, 2010, Yogyakarta:
Ar-Ruzz Media
Jalaludin dan Abdullah Idi, Filsafat pendidikan, 1997, Jakarta: Gaya
media Pratama
Zuhairini dkk, Filsafat Pendidikan Islam, 2012, Jakarta: Bumi Aksara hal.29-30
Website:
Filsafat Pendidikan
Islam/Silabus/aliran-utama-filsafat-pendidikan. html. 523
[1]
Zuhairini dkk, Filsafat Pendidikan Islam,
2012, Jakarta: Bumi Aksara hal.19
[2]
Jalaludin
dan abdullah Idi, 1997:70
[3] Zuhairini dkk, Filsafat Pendidikan Islam, 2012, Jakarta: Bumi Aksara hal.25
[4] Zuhairini dkk, Filsafat Pendidikan Islam, 2012, Jakarta: Bumi Aksara hal.29-30
[5] Jalaludin dan Abdullah Idi, Filsafat
pendidikan, 1997 hal.89
[6]
Jalaludin dan Abdullah Idi, Filsafat pendidikan, 1997 hal.97
[7] Zuhairini dkk, Filsafat Pendidikan Islam,
2012, Jakarta: Bumi Aksara hal.30-31
[8][8] Filsafat Pendidikan
Islam/Silabus/aliran-utama-filsafat-pendidikan. html. 523
[9] Baharuddin dan Esa Nur
Wahyuni, Teori Belajar dan Pembelajaran, (Yogyakarta: Ar-Ruzz
Media, 2010)
[10]
Jawwad Ridla, Tiga Aliran Utama Teori
Pendidikan Islam,78
[11] Yunasril Ali, Perkembangan Pemikiran Falsafi, h. 24
[12] H. Ahamad Syar’I M. Pd, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta:
Pustaka Firdaus, 2005)
[13]
Ibid, hlm. 93-94
Tidak ada komentar:
Posting Komentar