Sabtu, 29 September 2018

Aliran-Aliran dalam Filsafat Pendidikan Islam



BAB I
PENDAHULUAN
       A.     Latar Belakang Masalah
Pendidikan islam merupakan suatu proses pengembangan potensi-potensi serta kreatifitas peserta didik, yang bertujuan mencetak atau mewujudkan manusia yang cerdas, terampil, memiliki etos kerja yang tinggi, berbudi pekerti luhur, mandiri, dan bertanggung jawab terhadap dirinya, bangsa dan Negara serta agama. Dan yang paling terpenting tujuan awal pendidikan islam itu sendiri ialah terciptanya manusia yang sempurna yaitu beriman dan bertaqwa kepada Allah.
Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, pendidikan memiliki nuansa berbeda antara satu daerah dengan daerah lain, sehingga banyak bermunculan pemikiran-pemikiran yang dianggap sebagai penyesuaian proses pendidikan dengan kebutuhan yang diperlukan. Karenanya banyak teori yang dikemukakan pada pemikir yang bermuara pada munculnya berbagai aliran pendidikan.  Telah kita ketahui bahwa usaha pendidikan Islam sama tujuannya dengan Islam itu sendiri, dan pendidikan Islam tidak terlepas dari sejarah Islam pada umumnya. Karena itulah, menurut  M. Qomar (2005), Pendidikan Barat yang diadaptasi oleh pendidikan Islam, meskipun mencapai kemajuan, tetap tidak layak dijadikan sebuah model untuk memajukan peradaban Islam yang damai, anggun dan ramah terhadap kehidupan manusia, pendidikan Barat itu hanya maju secara lahiriyah, tetapi tidak membuahkan ketenangan rohani lantaran pendidikan tersebut hanya berorientasi pada pengembangan yang bersifat kuantitatif. Ukuran-ukuran hasil pendidikan lebih dilihat dari sudut, seberapa jauh pengetahuan yang diserap oleh peserta didik untuk bertindak sesuai dengan pengetahuan yang dikuasainya.
Padahal didalam Islam sendiri telah muncul para ahli filsafat dan pendidikan yang betul-betul menguasai bidangnya dan menguasai pendapat, pemahaman, metode dan teori-teori yang mendahului paham, pemahaman dan teori-teori ahli pendidikan eropa. Malahan paham dan pendapat akademisi atau cendekiawan muslimlah yang semula menjadi panutan dan pegangan para ahli barat itu.
 Oleh karena itu, dengan mengetahui dan memahami filsafat pendidika islam yang murni itulah, penulis mencoba memaparkan filsafat pendidikan islam dan filsafat pendidikan yang umumnya dianut oleh barat, sehingga dapat dijadikan study comparative tentang filsafat pendidikan Islam yang sesuai dengan fitrah islam.
     B.     Rumusan Masalah
1.      Apa saja aliran dalam filsafat pendidikan modern?
2.      Apa saja aliran dalam filsafat pendidikan Islam?

     C.    Tujuan Penulisan
1.      Untuk mengetahui aliran-aliran filsafat pendidikan modern
2.      Untuk mengetahui aliran-aliran filsafat Islam.





BAB II
PEMBAHASAN
A.    ALIRAN FILSAFAT PENDIDIKAN MODERN
Apabila melihat pada proses perkembangannya, filsafat tumbuh dan berkembang sebagai hasil pemikiran para ahli filsafat sepanjang masa dengan objek kajian segala permasalahan hidup di dunia, telah menghasikan berbagai pandangan. Pandangan-pandangan ahli filsafat itu ada kalanya satu dengan yang lain hanya bersifat saling menguatkan , tetapi tidak jarang pula yang berbeda atau berlawanan. Hal ini disebabkan terutama oleh pendekatan yang dipakai oleh mereka berbeda, walaupun untuk objek permasalahannya sama. Karena perbedaan dalam sistem pendekatan itu, maka kesimpulan-kesimpulan yang dihasilkan menjadi berbeda pula. Bahkan tidak sedikit yang berlawanan. Selain itu faktor zaman dan tempat dimana mereka bermukim juga ikut mewarnai pemikiran mereka.[1]
Beberapa aliran dalam filsafat pendidikan modern, diantaranya:
1.      Aliran Progresivisme
 Progresivisme adalah suatu gerakan dan perkumpulan yang didirikan pada tahun 1918. Aliran ini sangat berpngaruh diseluruh dunia, terutama di Amerika serikat (Zuhairini dkk, 2012: 20). Aliran ini berpendapat bahwa pengetahuan yang benar pada masa kini mungkin tidak benar di masa mendatang. Pendidikan harus berpusat pada anak bukannya memfokuskan pada guru atau bidang muatan.
Progresivisme mempunyai konsep yang didasari oleh pengetahuan dan kepercayaan bahwa manusia itu mempunyai kemampuan-kemampuan yang wajar dan dapat menghadapi dan mengatasi masalah-masalah yang bersifat menekan mengancam adanya manusia itu sendiri ( Barnadib, 1994:28 ). Oleh karena kemajuan atau progres ini menjadi suatu statemen progresivisme, maka menurut Dewey  (Zuhairini dkk, 2012: 24) tujuan umum pendidikan ialah warga masyarakat yang demokratis, isi pendidikannya lebih mengutamakan bidang-bidang studi, seperti IPA, sejarah, keterampilan serta hal-hal yang berguna atau langsung dirasakan oleh masyarakat.
Progresivisme berpendapat tidak ada teori realita yang umum. Pengalaman menurut progresivisme bersifat dinamis dan temporal;menyala. Tidak pernah sampai pada yang paling eksterm, serta pluralistis. Menurut progresivisme, nilai berkembang terus karena adanya pengalaman-pengalaman baru antara individu dengan nilai yang telah disimpan dalam kebudayaan. Belajar berfungsi untuk mempertinggi taraf kehidupan sosial yang sangat kompleks. Kurikulum yang baik adalah kurikulum yang eksperimental, yaitu kurikulum yang setiap waktu dapat disesuaikan dengan kebutuhan.
Progresivisme merupkan pendidikan yang berpusat pada siswa dan memberi penekanan lebih besar pada kreativitas, aktivitas, belajar “naturalistik”, hasil belajar “dunia nyata”, dan juga pengalaman teman sebaya.
Tokoh-tokoh Aliran Progresivisme[2] , diantaranya:
1.      William James ( 1842-1910 )
James berkeyakinan bahwa otak atau pikiran, seperti juga aspek dari eksistensi organik, harus mempunyai fungsi biologis dan nilai kelanjutan hidup. Dan dia menegaskan agar fungsi otak atau fikiran itu dipelajari sebagai bagian dari mata pelajaran pokok dari ilmu pengetahuan alam. Jadi James menolong untuk membebaskan ilmu jiwa prakonsepsi teologis, dan menempatkannya da atas dasar ilmu prilaku.
2.      John Dewey ( 1859-1952 )
Teori Dewey tentang sekolah adalah progresivisme yang lebih menekankan kepada anak didik dan minatnya dari pada mata pelajarannya sendiri. Maka muncullah “Cild Centered Curiculum”, dan “Cild Centered School”. Progresivisme mempersiapkan anak masa kini dibanding masa depan yang belum jelas.
3.      Hans Vaihinger ( 1852-1933 )
Hans Vaihinger menurutnya tahu itu hanya mempunyai arti praktis. Persesuaian dengan objeknya mungkin dibuktikan, satu-satunya ukuran bagi berpikir ialah gunanya untuk mempengaruhi kejadian-kejadian didunia.
Adapun pandangan progresivisme dan penerapannya di bidang pendidikan, ialah Anak didik diberikan kebebasan secara fisik maupun cara berpikir, guna mengembangkan bakat dan kemampuan yang terpendam dalam dirinya. Tanpa terhambat oleh rintangan yang dibuat oleh orang lain. Oleh karena itu aliran filsafat progresivisme tidak menyetujui pendidikan yang otoriter. Sebab, pendidikan otoriter akan mematikan tunas-tunas para pelajar untuk hidup sebagai pribadi-pribadi yang gembira menghadapi pelajaran. Dan sekaligus mematikan daya kreasi baik secara fisik maupun psikis anak didik.
Filsafat progresivisme menghendaki jenis kurikulum yang bersifat luwes (fleksibel) dan terbuka. Jadi kurikulum itu bisa diubah dan dibentuk sesuai dengan zamannya. Sifat kurikulumnya adalah kurikulum yang dapat direvisi dan jenisnya yang memadai, yaitu yang bersifat eksperimental atau tipe Core Curriculum. Kurikulum
Dipusatkan pada pengalaman atau kurikulum eksperimental didasarkan atas manusia dalam hidupnya selalu berinteraksi didalam lingkungan yang komplek. Progresivisme tidak menghendaki adanya mata pelajaran yang diberikan terpisah, melainkan harus terintegrasi dalam unit. Dengan adanya mata pelajaran yang terintegrasi dalam unit, diharapkan anak dapat berkembang secara fisik mauopun psikis dan dapat menjangkau aspek kognitif, afektif, maupun psikomotor.

2.      Aliran Esensialisme
 Esensialisme adalah filsafat pendidikan yang didasarkan pada nilai-nilai kebudayaan yang telah ada sejak awak peradaban umat manusia. Menurut  Joe Park, esensialisme memandang bahwa pendidikan harus berpijak pada nilai-nilai yang memiliki kejelasan dan tahan lama yang memberikan kestabilan dan nilai-nilai terpilih yang mempunyai tata yang jelas.[3]
prinsp-prinsip Esensialisme, diantaranya:
a.    Esensialisme berakar pada ungkapan realisme objektif dan idealisme objektif  yang modern, yaitu alam semesta diatur oleh hukum alam sehingga tugas manusia memahami hukum alam adalah dalam rangka penyesuaian diri dan pengelolaannya.
b.    Sasaran pendidikan adalah mengenalkan siswa pada karakter alam dan warisan budaya. Pendidikan harus dibangun atas nilai-nilai yang kukuh, tetap dan stabil.
c.    Nilai kebenaran bersifat korespondensi, berhubungan antara gagasan fakta secara objektif.
d.   Bersifat konservatif (pelestarian budaya) dengan merfleksikan humanisme klasik yang berkembang pada zaman renaissance.
Dalam mempertahankan pahamnya itu, khususnya dari persaingan dengan paham progresivisme, tokoh-tokoh esensialisme mendirikan suatu organisasi yang bernama Essentialist Committee for the Advancement of Education pada tahun 1930, untuk mengembangkan pandangannya didunia pendidikan yang diwarnai sedikit banyaknya oleh konsep idealisme dan realisme.
3.  Aliran Perenialisme
Perenialisme diambil dari kata perennial, yang dalam oxford Learner’s dictionary of Current English diartikan sebagai Lasting for a very long time –abadi atau kekal-. Di zaman kehidupan modern ini banyak menimbulkan krisis diberbagai bidang kehidupan manusia, terutama dalam bidang pendidikan. Untuk mengembalikan keadaan krisis ini, maka perenialisme memberikan jalan keluar yaitu berupa kembali kepada kebudayaan masa lampau yang dianggap cukup ideal dan teruji ketangguhannya. Untuk itulah pendidikan harus lebih banyak mengarahkan pusat perhatiannya kepada kebudayaan ideal yang telah teruji dan tangguh. [4]
Jelaslah bila dikatakan bahwa pendidikan yang ada sekarang ini perlu kembali kepada masa lampau, karena dengan mengembalikan keadaan masa lampau ini,kebudayaan yang dianggap krisis ini dapat teratasi melalui perenialisme karena ia dapat mengarahkan pusat perhatiannya pada pendidikan zaman dahulu dengan sekarang. Perenialisme memandang pendidikan sebagai jalan kembali atau proses mengembalikan keadaan sekarang. Perenialisme memberikan sumbangan yang berpengaruh baik teori maupun peraktek bagi kebudayaan dan pendidikan zaman sekarang.(Noor syam,1986: 296)
Dari pendapat ini sangatlah tepat jika dikatakan bahwa perenialisme memandang pendidikan itu sebagai jalan kembali yaitu sebagai suatu proses mengembalikan kebudayaan sekarang ( zaman modern ) ini terutama pendidikan zaman sekarang ini perlu dikembalikan ke masa lampau .
Perenialisme merupakan aliran filsafat yang susunannya mempunyai kesatuan, dimana susunannya itu merupakan hasil pikiran yang memberikan kemungkinan bagi seseorang untuk bersikap tegas dan lurus. Karena itulah perenialisme berpendapat bahwa mencari dan menemukan arah tujuan yang jelas merupakan tugas yang utama dari filsafat khususnya filsafat pendidikan .
Setelah perenialisme menjadi terdesak karena perkembangan politik industri yang cukup berat timbullah usaha untuk bangkit kembali, dan perenialisme berharap agar manusia kini dapat memahami ide dan cita filsafatnya yang menganggap filsafat sebagai suatu azas yang komprehensif perenialisme dalam makna filsafat sebagai satu pandangan hidup yang berdasarkan pada sumber kebudayaan dan hasil-hasilnya. [5]
Tokoh-Tokoh Aliran Pereanialisme, diantaranya ialah  Aristoteles. Ia merupakan Pendiri utama dari aliran filsafat ini, kemudian didukung dan dilanjutkan St. Thomas Aquinas sebagai pemburu dan reformer utama dalam abad ke-13.
Perenialisme memandang bahwa kepercayaan-kepercayaan aksiomatis zaman kuno dan abad pertengahan perlu dijadikan dasar penyusunan konsep filsafat dan pendidikan zaman sekarang. Sikap ini bukanlah nostalgia ( rindu akan hal-hal yang sudah lampau semata-mata ) tetapi telah berdasarkan keyakinan bahwa kepercayaan-kepercayaan tersebut berguna bagi abad sekarang.
Anak didik yang diharapkan menurut perenialisme adalah mampu mengenal dan mengembangkan karya-karya yang menjadi landasan pengembangan disiplin mental. Karya-karya ini merupakan buah pikiran tokoh-tokoh besar dimasa lampau. Berbagai buah pikiran mereka yang oleh zaman telah dicatat menonjol dalam bidang-bidang seperti bahasa dan sastra, sejarah, filsafat, politik, ekonomi, matematika, ilmu pengetahuan alam dan lain-lainnya, telah banyak yang mampu memberikan ilmunisasi zaman yang sudah lampau.
Dengan mengetahui tulisan yang berupa pikiran dari para ahli yang terkenal tersebut, yang sesuai dengan bidangnya maka anak didik akan mempunyai dua keuntungan yakni :
1.      Anak akan mengetahui apa yang terjadi pada masa lampau yang telah dipikirkan oleh orang-orang besar.
2.      Mereka telah memikirkan peristiwa-peristiwa dan karya-karya tokoh tersebut untuk diri sendiri dan sebagai bahan pertimbangan ( reverensi ) zaman sekarang.
Jelaslah bahwa dengan mengetahui dan mengembangkan karya-karya buah pikiran para ahli tersebut pada masa lampau, maka anak-anak didik dapat mengetahui bagaimana pemikiran para ahli tersebut pada masa lampau, maka anak-anak didik dapat mengetahui bagaimana peristiwa pada masa lampau tersebut sehingga dapat berguna bagi mereka sendiri, dan sebagai bahan pertimbangan pemikiran mereka pada zaman sekarang ini. Hal inilah yang sesuai dengan aliran filsafat perenialisme tersebut.
Tugas utama pendidikan adalah mempersiapkan anak didik kearah kemasakan. Masak dalam arti hidup akalnya. Jadi akal inilah yang perlu mendapat tuntunan ke arah kemasakan tersebut. Sekolah rendah memberiakn pendidikan dan pengetahuan serba dasar. Dengan pengetahuan yang tradisional seperti membaca, menulis dan berhitung anak didik memperoleh dasar penting bagi pengetahuan-pengetahuan yang lain.
Sekolah sebagai tempat utama dalam pendidikan yang mempersiapkan anak didik ke arah kemasakan melalui akalnya dengan memberikan pengetahuan. Sedangkan sebagai tugas utama dalam pendidikan adalah guru-guru, di mana tugas pendidikanlah yang memberikan pendidikan dan pengajaran ( pengetahuan ) kepada anak didik. Faktor keberhasilan anak dalam akalnya sangat tergantung kepada guru, dalam arti orang yang telah mendidik dan mengajarkan.
4. Aliran Rekonstruksionalisme
  Kata rekonstruksionisme dalam bahasa Inggris reconstruct yang berarti menyusun kembali. Dalam konteks filsafat pendidikan , aliran rekonstruksionisme adalah suatu aliran yang berusaha merombak tata susunan lama dan membangun tata susunan hidup kebudayaan yang bercorak modern. Aliran rekonstruksionisme, pada prinsipnya, sepaham dengan aliran perenialisme, yaitu hendak menyatakan krisis kebudayaan modern. Kedua aliran tersebut, memandang bahwa keadaan sekarang merupakan zaman yang mempunyai kebudayaan yang terganggu oleh kehancuran, kebingungan dan kesimpangsiuran.
Walaupun demikian, prinsip yang dimiliki oleh aliran rekonstruksionisme tidaklah sama dengan prinsip yang dipegang oleh aliran perenialisme. Keduanya memepunyai visi dan cara yang berbeda dalam pemecahan yang akan ditempuh untuk mengembalikan kebudayaan yang serasi dalam kehidupan. Aliran perenialisme memilih cara tersendari, yakni dengan kembali ke alam kebudayaan lama atau di kenal dangan regressive road culture yang mereka anggap paling ideal. Sedangkan itu aliran rekonsruksinisme menempuhnya dengan jalan berupaya membina suatu konsensus yang paling luas dan mengenai tujuan pokok dan tertinggi dalam kehidupan umat manusia.
Untuk mencapai tujuan tersebut, rekonstruksionisme berupaya mencari kesepakatan antar sesama manusia, yakni agar dapat mengatur tata kehidupan manusia dalam suatu tatanan dan seluruh lingkungannya. Maka, proses dan lembaga pendidikan dalam pandangan rekonstruksionisme perlu merombak tata susunan lama dan membangun tata susunan hidup kebudayaan yang baru, untuk mencapai tujuan utama tersebut memerlukan kerjasama antar umat manusia.[6]
Rekonstruksionisme dipelopori oleh George Count dan Harold Rugg pada tahun 1930, ingin membangun masyarakat baru, masyarakat yang pantas dan adil. Beberapa tokoh lain dalam aliran ini  Caroline Pratt, Geaoge Count, Harold Rugg.
Rekonstruksionisme merupakan kelanjutan dari gerakan progresivisme. Gerakan ini lahir didasarkan atas suatu anggapan bahwa kaum progresif hanya memikirkan dan melibatkan diri dengan masalah-masalah masyarakat yang ada sekarang.
5. Aliran Eksistensialisme
Eksistensialisme biasa dialamatkan sebagai salah satu reaksi dari sebagian terbesar reaksi terhadap peradaban manusia yang hampir punah akibat perang dunia II. Dengan demikian eksistensialisme pada hakikatnya adalah merupakan aliran filsafat yang bertujuan mengembalikan keberadaan umat manusia sesuai dengan keadaan hidup asasi yang dimiliki dan dihadapinya.
Pandangannya tentang pendidikan, disimpulkan oleh van cleve morris dalam existensialism and education, bahwa eksitensialisme tidak menghendaki adanya aturan-aturan pendidikan dalam segala bentuk. Oleh sebab itu eksistensisalisme dalam hal ini menolak bentuk-bentuk pendidikan sebagaimana yang ada sekarang. Namun bagaimana konsep pendidikan eksistensialisme yang diajukan oleh morris sebagai “existensialism’s concept of freedom in education”, menurut Bruce F. Baker, tidak memberikan kejelasan. Barangkali Ivan Illich dengan deschooling society, yang banyak mengundang banyak reaksi dikalangan ahli pendidikan, merupakan salah satu model pendidikan yang dikehendaki aliran eksistensialisme. Disini agaknya mengapa aliran eksistensialisme tidak banyak dibicarakan dalam filsafat pendidikan.[7]


B.     ALIRAN FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM
1. Aliran religius konserfatif (al-muhafidz)
Tokoh-tokoh dalam aliran ini adalah Imam al Ghazali, Ibnu Hajar al Haitami, Ibnu Sahnun dan Nasirudin at Thusi. Aliran ini cenderung murni keagamaan dan aliran ini memaknai ilmu dengan makna yang sempit. Menurut at Thusi ilmu adalah yang berguna di hari ini dan akan membawa manfaat di akhirat kelak.[8] Bila kita mau mengamalkan apa yang kita dapatkan dan terapkan maka inilah makna ilmu yang sebenarnya. Dimana ilmu dapat menjadi sarana agar menjadi orang yang lebih baik dan mau menjadikan orang lain untuk lebih baik, inilah ilmu yang sebenarnya.
Al-Gazali termasuk filosof pendidikan Islam berpaham empiris, yang menekankan pentingnya pendidikan terhadap pertumbuhan perkembangan anak didik. Menurutnya, seorang anak tergantung kepada kedua orang tuanya yag mendidiknya.
Tujuan pendidikan (jangka pendek) menurut al-Ghazali ialah diraihnya profesi manusia sesuai dengan bakat dan kemampuannya. (al-Ibrashi, 1990) syarat untuk mencapai tujuan ini, manusia harus memanfaatkan dan mengembangkan ilmu pengetahuan sesuai dengan bakatnya.
Al-Ghazali berpendapat bahwa di dalam proses pendekatan pembelajaran, ada 2 macam yakni ta’lim insani dan ta’lim rabbani.[9] Ta’lim insani adalah belajar dengan bimbingan manusia. Pendekatan ini adalah cara umum yang biasanya dilakukan orang dan biasanya dilakukan dengan menggunakan alat-alat peraga inderawi yang diakui oleh orang-orang berakal.
Ta’lim insani dibagi menjadi 2:
a)       Proses eksternal melalui proses belajar mengajar
Dalam proses belajar sebenarnya terjadi proses eksplorasi pengetahuan sehingga menghasilkan perubahan-perubahan perilaku. Seorang guru menyampaikan ilmu yang mereka miliki dan murid berusaha untuk menggali dan menggali dan mengerti apa yang ingin diketahui.
b)      Proses internal melalui proses tafakkur
Tafakkur diartikan dengan membaca realitas dalam dimensi wawasan spiritual dan penguasaan pengetahuan hikmah. Proses tafakkur dilakukan dengan pembersihan jiwa terlebih dahulu dari segala sifat yang mengotori hati.
Al-Ghazali menegaskan bahwa ilmu-ilmu keagamaan hanya dapat diperoleh dengan kesempurnaan rasio dan kejernihan akal budi. Karena, hanya dengan rasiolah manusia mampu menerima amanat dari Allah dan mendekatkan diri kepada-Nya. Pemikiran al-Ghazali ini sejalan dengan aliran Mu’tazilah yang berpendapat bahwa rasio mampu menetapkan baik buruknya sesuatu. Rumusan tujuan pendidikan aliran ini didasarkan pada firman Allah swt, tentang tujuan penciptaan manusia yaitu Q.S. al-dzariat: 56.
Implikasi aliran ini terhadap pendidikan, mengenai proses pembelajaran harus ada integrasi antara materi, metode dan media pendidikan. Seluruh komponen harus bisa dimaksimalkan pemakaiannya dalam pendidikan. Materi pengajaran yang diberikan harus sesuai dengan tingkat perkembangan anak, baik dalam hal usia, integrasi, maupun minat dan bakatnya. Jangan sampai anak diberi materi pengajaran yang justru merusak akidah dan akhlaknya.
Adapun metode pendidikan yang diklasifikasikan oleh al-Ghazali menjadi dua bagian:
Pertama, metode khusus pendidikan agama, metode ini memiliki orientasi kepada pengetahuan aqidah karena pendidikan agama pada realitasnya lebih sukar dibandingkan dengan pendidikan umum lainnya.
Kedua, metode khusus pendidikan akhlaq, al-Ghazali (1991) mengungkapkan:
“Sebagaimana dokter, jikalau memberikan pasiennya dengan satu macam obat saja, niscaya akan membunuh kebanyakan orang sakit, begitupun guru, jikalau menunjukkkan hanya satu jalan kepada murid, niscaya membinasakan hati mereka.
Adapun ilmu yang paling baik diberikan pada taraf pertama ialah agama dan syari’at, terutama al-Qur’an. Begitu pula metode/media yang diterapkan juga harus mendukung; baik secara psikologis, sosiologis, maupun pragmatis, bagi keberhasilan proses pengajaran. Pendidikan benar-benar ditujukan untuk mendekatkan diri kepada Allah, dunia bukanlah tujuan utama.

2. Aliran Religius Rasional ( Ad-Diny al ‘Aqlany)
Tokoh-tokoh aliran ini adalah Ikhwan al-Shafa, al-Farabi, Ibnu Sina, dan Ibnu Miskawaih. Aliran ini dijuluki “pemburu” hikmah Yunani di belahan dunia Timur, dikarenakan pergumulan intensifnya dengan rasionalitas Yunani.
Menurut Ikhwan al-Shafa, yang dimaksud dengan ilmu adalah gambaran tentang sesuatu yang diketahui pada benak (jiwa) orang yang mengetahui. Proses pengajaran adalah usaha transformatif terhadap kesiapan ajar agar benar-benar menjadi riil, atau dengan kata lain, upaya transformatif terhadap jiwa pelajar yang semula berilmu (mengetahui) secara potensial, agar menjadi berilmu (mengetahui) secara riil-aktual. Dengan demikian, inti proses pendidikan adalah pada kiat transformasi potensi-potensi manusia agar menjadi kemampuan “psikomotorik”.[10]
Menurut Ikhwan al Safa, hakikat manusia terletak pada jiwanya. Sementara jasad merupakan penjara bagi jiwa. Oleh karena itu, ruang lingkup jasad hendaknya dipersempit, sedangkan ruang lingkup jiwa diperluas. Manusia hendaknya hidup zuhud agar jiwanya lebih luasa atas tubuhnya. Kehidupan yang demikian akan mensucikan jiwanya dalam mengaharap cinta Allah.[11]
Teologi meliputi keyakinan atau akidah Ikhwan al-Shafa, persahabatan, keimanan, hukum Allah, kenabian, dakwah, ruhani, tatanegara, struktur alam, dan magis. Tujuan pendidikan menurut Ikhwan al-Shafa adalah untuk peningkatan harkat manusia kepada tingkatan yang tertinggi (malaikat yang suci), agar dapat meraih ridha Allah SWT.
Sedikit berbeda antara Ikhwan al Safa dan Ibnu Miskawaih, apabila Ikhwan al Shafa lebih terfokus kepada anak didik, Ibnu Miskawaih terkonsentrasi dengan suatu kedudukan ilmu dan budi pekerti. Menurut Busyairi Majidi (1997) Ibnu Miskawaih Miskawaih menempatkan ilmu ke dalam suatu kedudukan berdasarkan objek ilmu itu. Ilmu yang paling mulia menurutnya adalah ilmu pendidikan, karena objek kajiannya terletak pada budi pekerti manusia, menyangkut subtansi manusia.[12] Dan segala ilmu yang mengembangkan quwwatu al-nathiqoh adalah ilmu yang paling mulia.
Konsep pendidikan Ibnu Miskawaih, sebagaimana yang tercermin dalam awal kitabnya Tahdzib al-Akhlaqialah terwujudnya pribadi susila. Khuluq adalah alamiah, namun bisa berubah cepat atau lambat. Pemikiran Miskawaih ini, menolak sebagain pemikiran Yunani bahwa karakter tidak bisa berubah karena ia berasal dari watak dan pembawaan. Miskawaih memberikan ilustrasi; bahwa anak yang dididik dengan suatu cara tertentu berbeda secara mencolok dalam menerima nilai-nilai akhlaq yang luhur.
Materi pendidikan, menurut Ibnu Miskawaih adalah hal-hal yang wajib bagi kebutuhan jasmani untuk membentuk akhlaq yang mulia yaitu materi yang berhubungan dengan ibadah fisik, seperti: sholat, puasa dan zakat. Dan hal-hal yang berhubungan dengan jiwa yaitu aqidah yang benar. Dan hal yang berhubungan dengan sesama manusia. Seperti; ilmu mu’amalat, pertanian dan perkawinan.
Sesungguhnya materi pendidikan yang dianut oleh Ibnu Miskawaih dipengaruhi faham ontologism.[13] Ibnu Miskawaih mengisyaratkan tiga metode pendidikan secara umum, yaitu keteladanan, latihan (riyadhah) dan tarqhib dan tarhib. Tarqhib artinya janji disertai bujukan dan rayuan untuk memotivasi beramal shaleh. Dan tarhib artinya ancaman melalui hukuman yang disebabkan perbuatan dosa, kesalahan atuapun perbuatan yang melanggar syari’at. (al-Nahlawi, 1987). Sedangkan latihan barangkali dipengaruhi oleh pemikiran sufistik.
Implikasi aliran ini terhadap pendidikan adalah ilmu pengetahuan tidak hanya sebagai sarana mendekatkan diri kepada Allah, tetapi juga sebagai saran untuk meningkatkan derajat manusia pada tingkatan yang tinggi, baik dalam lingkungan sosial maupun dalam pandangan agama. Pembentukan akhlaq dengan berlandaskan al-Qur’an dan al-Hadist.
Intisari daripada aliran religius rasional adalah tidak hanya mengedepankan agama, tetapi juga ilmu yang lainnya dianggap penting juga. Karena kita hidup di dunia dan akhirat.

3. Aliran Pregmatis Instrumental
Menurut Ibnu Khaldun, ilmu pengetahuan dan ilmu pembelajaran adalah pembawaan manusia karena adanya kesanggupan berfikir. Dalam proses belajar manusia harus sungguh-sungguh dan memiliki bakat. Dalam mencapai pengetahuan yang beraneka ragam, seseorang tidak hanya membutuhkan ketekunan, tapi juga bakat. Seseorang perlu mengembangkan keahliannya dibidang tertentu.
Ibnu Khaldun mengatakan bahwa: al-Ilm wa al-Ta’lim Thabi’iyyun fi al’Umran al-Basyari. (Khaldun, 1979). Pengetahuan dan pendidikan merupakan tuntutan alami dari peradaban (al-‘Umran) manusia. Hal itu dimungkinkan karena manusia dibekali dengan akal, yang dengan akal itu manusia berpikir dan memiliki motivasi untuk mengetahui sesuatu. Dengan berpikir berarti bersosialisasi dengan realitas di sekitarnya.
Ide tentang adanya hubungan antara ilmu dan peradaban memunculkan sesuatu ide yang lain yang merupakan konsekuensi logisnya yaitu: al-‘Ulum innama Takastsrat Haisu yaksuru al’Umran wa Ta’adzaa al-hadarah. Pengetahuan akan berkembang sesuai dengan perkembangan peradaban.
Ibnu Khaldun membagi ilmu pengetahuan menjadi tiga kelompok:
1)      Ilmu lisan (bahasa), tata bahasa dan sastra,
2)      Ilmu naqli, ilmu yang diambil dari al-Qur’an dan Hadits, berupa ilmu tafsir,     sanad, serta istinbat tentang kaidah-kaidah fiqh.
3)      Ilmu naqli, ilmu yang diambil dari al-Qur’an dan Hadits, berupa ilmu tafsir, sanad, serta istinbat tentang kaidah-kaidah fiqh.
Menurutnya ada tiga tingkatan tujuan yang hendak dicapai dalam proses pendidikan, yaitu:
a.       Pengembangan kemahiran (al-malakah atau skill) dalam bidang tertentu.
b.      Penguasaan ketrampilan professional sesuai dengan tuntutan zaman (lingkungan dan materi).
c.       Pembinaan pemikiran yang baik.
Implikasi aliran ini terhadap pendidikan adalah dalam pembelajaran, Ibnu Khaldun lebih memilih metode secara gradual sedikit demi sedikit, pertama, disampaikan permasalahan pokok tiap bab, lalu dijelaskan secara global dengan mempertimbangkan tingkat kecerdasan dan kesiapan anak didik, hingga selesai materi per-bab.
Kedua, memilah-milah antara ilmu-ilmu yang mempunyai nilai instrinsik, semisal ilmu-ilmu keagamaan, kealaman, dan ketuhanan, dengan ilmu-ilmu yang instrumental, semisal ilmu-ilmu kebahasa-Araban, dan ilmu hitung yang dibutuhkan oleh ilmu keagamaan, serta logika yang dibutuhkan oleh filsafat. Pendidikan diupayakan agar peserta didik benar-benar menguasai suatu bidang ilmu pengetahuan yang memang telah menjadi bakatnya, yang nantinya dapat meningkatkan kehidupan sosialnya di masyarakat.
Menurut Ibnu Khaldun, orang yang mendapat keahlian dalam bidang tertentu jarang sekali ahli pada bidang lainnya, misalnya tukang jahit. Hal ini lantaran sekali seseorang menjadi ahli hingga keahliannya itu tertanam berurat akar di dalam jiwanya. Alasannya karena keahlian merupakan sifat atau corak jiwa yang tidak dapat tumbuh serempak. (Abuddin Nata, 1997).
Selain aliran-aliran yang telah disebutkan diatas ada beberapa aliran filsafat pendidikan Islan yang ditinjau dari tipologi yaitu, aliran Perenial-Esensial Salafi, aliran Perenial Madzhabi, aliran Modernis, aliran Perenial-Esensialis Konstektual Falsikatif dan aliran Rekonstruksi Sosial. Masing-masing mempunyai dan ciri-ciri pemikiran, yang berimplikasi pada fungsi pendidikan itu sendiri.
Perenial-Esensial Salafi aliran yang bersumber dari al Qur’an dan as- Sunah bersikap regresif dan konservatif dalam mempertahankan nilai-nilai era salaf, serta berwawasan kependidikan Islam yang beriorentasi pada masa silam (era salafi). Ciri-ciri pemikirannya adalah ia menjawab persoalan pendidikan dalam konsteks wacana salafi, memahami nash secara tekstual-lughawi, penafsiran ayat dengan ayat lain, ayat dengan hadis maupun hadis dengan hadis sehingga kurang adanya perkembangan dan elaborasi. Fungsi pendidikan Islam baginya adalah melestarikan budaya masyarakat salaf yang dianggap ideal serta mengembangkan potensi dan interaksinya dengan nilai dan budaya masyarakat era salaf.
Perenial-esensialis mazhabi aliran yang bersumber dari al Qur’an dan as-Sunah dan bersikap regresif dan konservatif dalam mempertahankan nilai-nilai dan pemikiran para pendahulunya, mengikuti aliran, pemahaman dan pemikiran terdahulu yang dianggap mapan, serta berwawasan kependidikan Islam yang tradisional dan beriorentasi pada masa silam. Ciri-ciri pemikirannya menekankan pada pemberiah syarh dan hasyiyah terhadap pemikiran pendahulunya, dan kurang adanya keberanian untuk mengkritik dan mengubah subtansi materi pendidikan pendahulunya. Fungsi pendidikan Islam adalah melestarikan dan mempertahankan nilai, budaya, dan tradisi dari satu generasi ke generasi, serta pengembangan potensi dan interaksinya dengan nilai dan budaya masyarakat yang terdahulu.
Modernis aliran yang bersumber dari al Qur’an dan as-Sunah, menekankan perlunya berfikir bebas dan terbuka dengan tetap terikat oleh nilai-nilai kebenaran universal sebagaimana yang terkandung dalam wahyu Illahi; progressif dan dinamis dalam menghadapi dan merespon tuntutan kebutuhan lingkungan atau zaman; serta berwawasan kependidiksn Islam kontemporer. Ciri-ciri pemikirannya adalah tidak berkepentingan untu mempertahankan dan melestarikan pemikiran dan sistem pendidikan para pendahulunya, lapang dada dan menerima pemikiran dari manapun dan siapapun dan selalu menyesuaikan perkembangan sosial dan iptek. Tugas pendidikan Islam adalah untuk mengembangkan kemampuan peserta didik secara optimal, aliran ini hampir sama dengan aliran religius rasional yang diprakarsai oleh Ikhwan al Shafa. Sedangkan fungsi daripada pendidikan Islam adala sebagai:
1)      Upaya pengembangan potensi peserta didik secara optimal, baik potensi jasmani, akal maupun hati,
2)      Upaya interaksi potensi dengan tuntutan dan kebutuhan lingkungannya,
3)      Rekonstruksi pengalaman yang terus-menerus agar dapat berbuat sesuatu secara intelegen  yang dilandasi dengan iman dan taqwa kepada Allah Swt.
Perenial-esensialis konstektual–falsikatif aliran yang bersumber dari al Qur’an dan as-Sunah, menekankan perlunya sikap konserfatif dan regresif terutama dalam konteks pendidikan agama, yang lebih mengambil jalan tengah antara kembali ke masa lalu dengan jalan melakukan kontekstualisasi serta uji falsifikasi dan mengembangkan wawasan-wawasan kependidikan Islam masa sekarang yang selaras dengan tuntutan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta perubahan yang ada, wawasan kependidikan Islam yang concern terhadap kesinambungan pemikiran pendidikan Islam dalam merespon tuntutan perkembangan iptek dan perubahan sosial yang ada.
Ciri-ciri aliran ini:
a)      Menghargai pemikiran pendidikan Islam yang berkembang pada era salaf, klasik dan pertengahan.
b)      Mendudukan pemikiran pendidikan Islam era salaf dan klasik serta pertengahan dalam konteks ruang dan zamannya untuk difalsifikasi.
c)      Rekonstruksi pemikiran pendidikan Islam terdahulu yang di anggap kurang relevan dengan tuntutan dan kebutuhan era kontemporer.
Fungsi pendidikan Islam menurut aliran ini adalah sebagai berikut:
a)      Upaya pengembangan potensi secara optimal serta interaksinya dengan tuntutan dan kebutuhan lingkungan  tanpa mengabaikan tradisi yang sudah mengakar.
b)      Menumbuhkan nilai-nilai Ilahiyah dan insaniyah dalam konteks perkembangan Iptek dan perubahan sosial yang ada.
Rekonstruksi sosial aliran yang bersumber dari al Qur’an dan as-Sunah, di samping menekankan sikap progressif dan dinamis, juga sikap proaktif dan antisipasif dalam menghadapi menghadapi perkembangan Iptek, tuntutan perubahan, dan beriorentasi pada masa depan dan menuntut kreatifitas. Tugas pendidikan Islam terutama membantu agar manusia menjadi makhluk yang cakap dan selanjutnya manusia mampu bertanggung jawab terhadap pengembangan masyarakat yang dilandasi iman dan taqwa kepada Allah. Karena hakikatnya manusia adalah khalifah Allh fil ardhi yang mampu untuk memecahkan permasalahan yang ada dengan potensi jismiah dan nafsiah yang mengandung dimensi al-nafsu, al ‘aql dan al-qalb (temuan Baharuddin, 2001), sehingga ia siap mengaktualisasikan potensinya dalam konteks hubungan horisontal (habl min al-nas), yang diwujudkan dalam bentuk rekonstruksi sosial  secara berkelanjutan untuk mencapai ridhoNya.
Fungsi pendidikan Islam adalah sebagai:
1)      Upaya menumbuh kembangkan kreativitas secara berkelanjutan.
2)      Upaya memperkaya khazanah budaya manusia, dengan memperkaya isi nilai-nilai insani dan Ilahi
3)      Upaya menyiapkan tenaga kerja yang produktif yang berjiwa spirit Islam.
Kelima aliran ini dikonseptualisasikan dari hasil kajian terhadap aliran-aliran filsafat pendidikan pada umumnya, serta mencermati pola-pola pemikiran Islam yang berkembang dalam menjawab tantangan dan perubahan zaman serta era modernitas, dan kajian kritis terhadap corak pemikiran pendidikan Islam yang berkembang pada umumnya sebagaimana terkandung dalam karya para ulama dan cendekiawan muslim dalam bidang pendidikan Islam.
Sebagai calon pendidik bukankah kewajiban kita untuk memahami dan mengamalkan aliran mana yang sesuai dengan pendidikan saat ini? Atau kita dapat memadukan antara satu aliran dengan aliran yang lainnya tanpa harus mengurangi nilai karena satu dengan yang lainnya saling melengkapi.
Contohnya saja, Filsafat Pendidikan Islam yang ada pada negara kita. Kecenderungan pola kajian pemikiran pendidikan Islam Indonesia, sebagaimana diamati oleh Azra, berbagai kecenderungan tersebut terkait dengan latar belakang mereka, baik latar belakang pendidikan maupun aktifitas mereka dalam kegiatan kemasyarakatan.
Terbatasnya literatur filsafat pendidikan Islam di Indonesia yang notabene sangat dibutuhkan oleh masyarakat akademis, juga mendorong penulisannya yang cenderung bersifat pragmatis, yang berimplikasi pada kesenjangan antara idealitas pemikiran mereka dengan realitas simbol-simbol pemikirannya sebagaimana tertuang dalam karya-karya mereka.
Menurut Muhaimin, yang perlu dikembangkan di Indonesia adalah rekonstruksi sosial yang teosentris, dengan landasan pemikiran bahwa:
1)        Bangsa Indonesia mengakui Pancasila sebagai dasar Negara, sila pertama adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam konstek ajaran Islam, sila tersebut dimaknai dengan konsep tauhid, yang mencangkup konsep-konsep tauhid uluhiyah, ububiyah, mulkiyah dan rahmaniyah
2)        Bangsa Indonesia hidup dalam pluralisme yang sangat rentan terhadap konflik-konflik, namun tetap bertekad ber-Bhineka Tunggal Ika. Pengembangan Pendidikan Islam berusaha untuk menciptakan ukhuwah Islamiyah dalam arti luas.
3)        Perlunya pendidikan Islam untuk menyiapkan keunggulan manusia dalam Iptek, yang produktif, kompetitif, dengan tetap memiliki kesadaran akan hak dan kewajiban dalam kehidupan bersama dalam alam demokratis.







BAB III
PENUTUP
Simpulan
Dari dulu sampai sekarang ini pendidikan merupakan hal yang paling penting untuk membawa manusia kepada kehidupan yang lebih baik, dan masalah sukses tidaknya pendidikan tidak lepas dari faktor pembawaan dan lingkungan. Pembawaan dan lingkungan merupakan hal yang tidak mudah untuk di jelaskan sehingga memerlukan penjelasan dan uraian yang tidak sedikit telah bertahun-tahun lamanya para ahli didik, ahli biologi, ahli psikologi,dan lain-lain memikirkan dan berusaha mencari jawaban, tentang perkembangan manusia itu sebenarnya bergantung kepada pembawaan ataukah lingkungan.
Dari aliran-aliran di atas dapat disimpulkan pula bahwa pada masing-masing aliran terdapat persamaan dan perbedaan yang dapat kita lihat dengan gamblang, terutama dengan filsafat pendidikan yang berkembang di barat. Diantara persamaan antar aliran filsafat pendidikan islam yakni persamaannya sama-sama bersumber dari al-Quran dan as sunnah, kemudian perbedaannya terletak pada ciri-ciri dan fungsi aliran-aliran tersebut dalam filsafat pendidikan Islam.
Manfaat dengan kita mempelajari atau mengetahui aliran-aliran di atas juga dapat dipakai sebagai alat untuk memahami model-model pemikiran melalui telaah terhadap karya-karya ilmiah atau buku-buku, sehingga dapat dijelaskan aliran manakah yang lebih dominan dan menonjol dalam pembahasan aliran-aliran filsafat pendidikan islam. Sehingga kita juga dapat menentukan arah yang tepat dalam berpinjak dalam dunia pendidikan khususnya  pendidikan islam dan perbedaan aliran-aliran yang ada sebaiknya disikapi dengan cara yang bijaksana dan positif, agar tercapai hakikat dan tujuan yang diharapkan.



DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Tafsir, Filsafat Pendidikan Islami, 2012, Bandung: PT Remaja RosdaKarya
Ahmad Syar’I, Filsafat Pendidikan Islam, 2005, Jakarta: Pustaka Firdaus
Baharuddin dan Esa Nur Wahyuni, Teori Belajar dan Pembelajaran, 2010, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media
Jalaludin dan Abdullah Idi, Filsafat pendidikan, 1997, Jakarta: Gaya media Pratama
Zuhairini dkk, Filsafat Pendidikan Islam, 2012, Jakarta: Bumi Aksara hal.29-30

Website:
Filsafat Pendidikan Islam/Silabus/aliran-utama-filsafat-pendidikan. html. 523





[1] Zuhairini dkk, Filsafat Pendidikan Islam, 2012, Jakarta: Bumi Aksara hal.19
[2] Jalaludin dan abdullah Idi, 1997:70
[3] Zuhairini dkk, Filsafat Pendidikan Islam, 2012, Jakarta: Bumi Aksara hal.25
[4] Zuhairini dkk, Filsafat Pendidikan Islam, 2012, Jakarta: Bumi Aksara hal.29-30
[5] Jalaludin dan Abdullah Idi, Filsafat pendidikan, 1997 hal.89
[6] Jalaludin dan Abdullah Idi, Filsafat pendidikan, 1997  hal.97
[7] Zuhairini dkk, Filsafat Pendidikan Islam, 2012, Jakarta: Bumi Aksara hal.30-31
[8][8] Filsafat Pendidikan Islam/Silabus/aliran-utama-filsafat-pendidikan. html. 523
[9] Baharuddin dan Esa Nur Wahyuni, Teori Belajar dan Pembelajaran, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2010)
[10] Jawwad Ridla, Tiga Aliran Utama Teori Pendidikan Islam,78
[11] Yunasril Ali, Perkembangan Pemikiran Falsafi, h. 24
[12] H. Ahamad Syar’I M. Pd, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2005)
[13] Ibid, hlm. 93-94

Tidak ada komentar:

Posting Komentar