Sabtu, 29 September 2018

Hakikat Pendidik dan Peserta Didik


BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Proses pendidikan dalam kehidupan manusia tidak terlepas dari peran pendidik dan peserta didik itu sendiri. Berhasil atau gagalnya pendidikan diantaranya ditentukan oleh kedua komponen tersebut.Mulai dari kemapanan ilmu pengetahuan pendidik, sampai kemampuan pendidik dalam menguasai objek pendidikan, berbagai syarat yang harus dipenuhi oleh seorang pendidik, motivasi belajar peserta didik, kepribadian anak didik dan tentu saja pengetahuan awal yang dikuasai oleh peserta didik. Agar hasil yang direncanakan tercapai semaksimal mungkin. Disinilah pentingnya pengetahuan tentang subjek pendidikan.
Al-Quran sebagai pedoman hidup manusia di dalamnya menyimpan berbagai mutiara yang mahal harganya yang jika dianalisis secara mendalam sangat bermanfaat bagi kehidupan manusia. Diantara mutiara tersebut adalah beberapa konsep pendidikan yang terkandung dalam Al-Quran, diantara konsep tersebut adalah konsep awal pendidikan, kewajiban belajar, tujuan pendidikan dan subjek pendidikan.
Keluasan Al-Quran dalam konsep pendidikan tersebut telah mendorong penulis untuk menggali salah satu dari konsep tersebut, untuk itu dalam makalah ini penulis akan mencoba memaparkan sedikit tentang salah satu konsep tersebut, yaitu yang berhubungan dengan subjek pendidikan dengan harapan dapat lebih memahami bagaimana subjek pendidikan menurut Al-Quran
1.2. Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas dapat diambil rumusan masalah,sebagai berikut :
1.      Apa hakikat pendidik ?
2.      Apa hakikat peserta didik ?
1.3. Tujuan Masalah
1.      Mengetahui haikat pendidik
2.      Mengetahui hakiat peserta didik

BAB II
PEMBAHASAN
1.1. Hakikat Pendidik
A.    Pengertian Pendidik
Secara etimologi pendidik adalah orang yang memberikan bimbingan. Secara terminologi terdapat beberapa pendapat pakar pendidikan tentang pengertian pendidik, antara lain:
1.      Ahmad D. Marimba mengartikan pendidik sebagai orang yang memikul tanggung jawab untuk mendidik.
2.      Ahmad Tafsir menyatakan bahwa pendidik dalam Islam sama dengan teori di barat yaitu siapa saja yang bertanggung jawab terhadap peserta didik.
Sementara itu bila kita merujuk kepada hasil konferensi internasional Islam I di Mekah tahun 1977, pengertian pendidikan mencakup tiga pengertian sekali gus yakni tarbiyah, ta’lim, ta’dib. Dapat kita ambil pemahaman, pengertian pendidik dalam islam adalah Murabbi, Mu’allim dan Mu’addib.[1]
Pengertian mu’allim mengandung arti konsekuensi bahwa pendidik harus mu’allimun yakni menguasai ilmu, memiliki kreatifitas dan komitmen yang tinggi dalam mengembangkan ilmu.Sedangkan konsep ta’dib mencakup pengertian integrasi antara ilmu dengan amal sekaligus, karena apabila dimensi amal hilang dalam kehidupan seorang pendidik, maka citra dan esensi pendidikan Islam itu akan hilang.
Pendidik, disebut juga dengan guru. Guru adalah figur manusia yang diharapkan kehadiran dan perannya dalam pendidikan, sebagai sumber yang menempati posisi dan memegang peranan penting dalam pendidikan.
Guru merupakan jabatan profesi yang memerlukan keahlian khusus sebagai guru. Dalam undang-undang RI No 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan BAB XI pasal 39 ayat 2 disebutkan bahwa pendidik merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan bimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian masyarakat, terutama bagi pendidik perguruan tinggi.[2]
Menjadi guru berdasarkan tuntutan pekerjaan adalah perbuatan yang mudah, tetapi menjadi guru berdasarkan panggilan jiwa atau tuntutan hati nurani adalah tidak mudah karena lebih menuntut pengabdian kepada anak didik daripada tuntutan pekerjaan atau material-oriented. Guru yang mendasarkan pengabdiannya karena panggilan jiwa, merasakan jiwanya lebih dekat dengan anak didiknya. Ketiadaan anak didiknya menjadi pemikirannya, mengapa anak didiknya tidak hadir di kelas, apa yang menyebabkannya, dan berbagai pertanyaan yang mungkin guru ajukan ketika itu. (Syaiful Bahri Djamarah, 2005: 2).[3]
Sedangkan Pendidik dalam perspektif pendidikan Islam adalah orang-orang yang bertanggung jawab terhadap perkembangan seluruh potensi peserta didik , baik petensi afektif, kognitif, maupun psikomotorik sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam.
Beberapa kata di atas secara keseluruhan terhimpun dalam kata pendidik, karena keseluruhan kata tersebut mengacu kepada seorang yang memberikan pengetahuan, keterampilan atau pengalaman kepada orang lain. Kata-kata yang bervariasi tersebut menunjukan adanya perbedaan ruang gerak dan lingkungan di mana pengetahuan dan keterampilan diberikan.
Uraian singkat di atas tampak bahwa ketika menjelaskan pengertian pendidik selalu dikaitkan dengan bidang tugas atau pekerjaan. Jika dikaitakan dengan pekerjaan maka variabel yang melekat adalah lembaga pendidikan, walau secara luas pengertian pendidik tidak terikat dengan lembaga pendidikan. Ini menunjukan bahwa pada akhirnya pendidik merupakan profesi atau keahlian tertentu yang melekat pada seseorang yang tugasnya berkaitan dengan pendidikan. Didalam pendidikan ada proses belajar mengajar dengan kata lain adalah pengajaran.
Dalam Islam, orang yang paling bertanggung-jawab terhadap pendidikan adalah orangtua (ayah dan ibu) anak didik. Tanggung jawab itu disebabkan oleh dua hal yaitu pertama, karena kodrat yaitu karena orangtua ditakdirkan menjadi orangtua anaknya, dan karena itu ia ditakdirkan pula bertanggung-jawab mendidik anaknya. Kedua, karena kepentingan kedua orangtua yaitu orangtua berkepentingan terhadap kemajuan perkembangan anaknya.
Selain itu sukses tidaknya anak mereka juga sangat tergantung pada pola pengasuhan dan pendidikan yang diberikan di lingkungan rumah tangga. Inilah yang tercermin dalam QS. At-Tahrim : 6 yang berbunyi: “Wahai orang-orang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka”.
Kemudian pendidik berikutnya dalam pandangan Islam adalah guru/dosen. Sederhananya guru bisa disebut sebagai pengajar dan pendidik sekaligus. Dalam pendidikan formal tingkat dasar dan menengah disebut pendidik, sedangkan pada perguruan tinggi disebut dengan dosen.
Menurut Ramayulis, pendidik dalam pendidikan Islam setidaknya ada empat macam. Pertama, Allah SWT sebagai pendidik bagi hamba-hamba dan sekalian makhluk-Nya. Kedua, Nabi Muhammad SAW sebagai utusan-Nya telah menerima wahyu dari Allah kemudian bertugas untuk menyampaikan petunjuk-petunjuk yang ada di dalamnya kepada seluruh manusia. Ketiga, orang tua sebagai pendidik dalam lingkungan keluarga bagi anak-anaknya. Keempat, guru sebagai pendidik di lingkungan pendidikan formal, seperti di sekolah atau madrasah. Namun pendidik yang lebih banyak dibicarakan dalam pembahasan ini adalah pendidik dalam bentuk yang keempat.
Salah satu hal yang menarik pada ajaran Islam ialah penghargaan Islam yang sangat tinggi terhadap guru / pendidik. Begitu tingginya penghargaan itu sehingga menempatkan kedudukan guru setingkat di bawah kedudukan nabi dan rasul. Mengapa demikian? Karena pendidik selalu terkait dengan ilmu (pengetahuan), sedangkan Islam sangat menghargai pengetahuan.
Sebenarnya tingginya kedudukan pendidik dalam Islam merupakan realisasi ajaran Islam itu sendiri. Islam memuliakan pengetahuan, pengetahuan itu didapat dari belajar dan mengajar, yang belajar adalah calon pendidik, dan yang mengajar adalah pendidik. Islam pasti memuliakan pendidik. Tak terbayangkan terjadinya perkembangan pengetahuan tanpa adanya orang yang belajar dan mengajar, tidak terbayangkan adanya belajar dan mengajar tanpa adanya pendidik. Karena Islam adalah agama, maka pandangan tentang pendidik, kedudukan pendidik, tidak terlepas dari nilai-nilai kelangitan.
B.     Peran Pendidik dalam Pengajaran
Pendidik dalam rangka pengajaran dituntut untuk melakukan kegiatan yang bersifat edukatif dan ilmiah. Oleh karena itu peran pendidik tidak hanya sebagai pengajar tetapi sekaligus sebagai pembimbing yaitu sebagai wali yang membantu anak didik mengatasi kesulitan dalam studinya dan pemecahan bagi permasalahan lainya. Di lain pihak pendidik juga berperan sebagai pemimpin (khusus diruang kuliah/kelas), sebagai komunikator dengan masyarakat, sebagai pengembangan ilmu dan penjabaran luasan ilmu (innovator), bahkan juga berperan sebagai pelaksana administrasi. Peranan pendidik dapat ditinjau dalam arti luas dan dalam arti sempit. Dalam arti luas pendidik mengemban peranan–peranan sebagai ukuran kognitif, sebagai agen moral, sebagai inovator dan kooperatif.
Pendidik sebagai ukuran kognitif. Tugas pendidik umumnya adalah mewariskan pengetahuan berbagai keterampilan kepada generasi muda. Hal-hal yang akan diwariskan itu sudah tentu harus sesuai ukuran yang telah ditentukan masyarakat dan merupakan gambaran tentang keadaan sosial, ekonomi, dan politik. Karena itu pendidik harus mampu memenuhi ukuran kemampuan tersebut.
Pendidik sebagai agen moral dan politik. Pendidik bertindak sebagai agen moral masyarakat, karena fungsinya mendidik warga masyarakat agar melek huruf, pandai berhitung dan berbagai keterampilan kognitif lainnya. Keterampilan-keterampilan itu dipandang sebagai bagian dari proses moral, karena masyarakat yang telah pandai membaca dan pengetahuan, akan berusaha menghindari dari tindakan-tindakan kriminal dan menyimpang dari aturan masyarakat.
Pendidik sebagai inovator. Berkat kamajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka masyarakat senantiasa berubah dan berkembang dalam semua aspek. Perubahan dan perkembangan itu menuntut terjadinya inovasi pendidikan. Tanggung jawab melaksanakan inovasi itu diantaranya terletak pada penyelenggaraan pendidikan.
Peranan kooperatif dalam melaksanakan tugasnya pendidik tidak mungkin bekerjasama sendiri dan mengandalkan kemampuan diri sendiri. Karena itu para pendidik perlu bekerja sama antara sesama pendidik dan dengan pekerja-pekerja sosial, lembaga-lembaga kemasyarakatan, dan dengan persatuan orang tua murid.
C.    Tujuan Pendidik
Pendidik adalah orang yang mempunyai rasa tanggung jawab untuk memberi bimbingan atau bantuan kepada anak didik dalam perkembangan jasmani dan rohaninya demi mencapai kedewasaannya, mampu melaksanakan tugasnya sebagai makhluk tuhan, makhluk sosial dan sebagai individu yang sanggup berdiri sendiri.
Orang yang pertama yang bertanggung jawab terhadap perkembangan anak atau pendidikan anak adalah orang tuanya, karena adanya pertalian darah secara langsung sehingga ia mempunyai rasa tanggung jawab terhadap masa depan anaknya.
Orang tua disebut juga sebagai pendidik kodrat. Namun karena mereka tidak mempunyai kemampuan, waktu dan sebagainya, maka mereka menyerahkan sebagian tanggung jawabnya kepada orang lain yang dikira mampu atau berkompeten untuk melaksanakan tugas mendidik.
D.    Syarat-syarat dan Sifat-sifat yang harus dimiliki oleh Seorang Pendidik
Syarat-syarat umum bagi seorang pendidik adalah : Sehat Jasmani dan Sehat Rohani. Menurut H. Mubangit, syarat untuk menjadi seorang pendidik yaitu :
1.      Harus beragama.
2.      Mampu bertanggung jawab atas kesejahteraan agama.
3.      Tidak kalah dengan guru-guru umum lainnya dalam membentuk Negara yang demokratis.
4.      Harus memiliki perasaan panggilan murni.
Sedangkan sifat-sifat yang harus dimiliki seorang pendidik adalah :
1.      Integritas peribadi, pribadi yang segala aspeknya berkembang secara harmonis.
2.      Integritas sosial, yaitu pribadi yang merupakan satuan dengan masyarakat.
3.      Integritas susila, yaitu pribadi yang telah menyatukan diri dengan norma-norma susila yang dipilihnya.
E.     Tugas dan Tanggung Jawab Pendidik
Secara umum tugas pendidik Islam adalah membimbing dan mengarahkan pertumbuhan dan perkembangan peserta didik dari tahap ke tahap kehidupanya sampai mencapai titik kemampuan yang optimal. Mengenai tugas pendidik, ahli-ahli pendidikan Islam juga ahli pendidikan Barat telah sepakat bahwa tugas pendidik ialah mendidik. Mendidik adalah tugas yang amat luas. Mendidik itu sebagian dilakukan dalam bentuk mengajar, sebagian dalam bentuk memberikan dorongan, memuji, menghukum, memberi contoh, membiasakan, dan lain-lain.
Dalam Al-Qur’an juga dijelaskan tentang tugas seorang pendidik atau ustad.Al-Qur’an telah mengisyaratkan peran para nabi dan pengikutnya dalam pendidikan dan fungsi fundamental mereka dalam pengkajian ilmu-ilmu Ilahi serta aplikasinya.Isyarat tersebut, salah satunya terdapat dalam firman-Nya berikut ini :Tidak wajar bagi seseorang manusia yang Allah berikan kepadanya Al Kitab, hikmah dan kenabian, lalu dia berkata kepada manusia: “Hendaklah kamu menjadi penyembah-penyembahku bukan penyembah Allah.” Akan tetapi (dia berkata): “Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, karena kamu selalu mengajarkan Al Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya.” (QS. Ali Imran : 79)
Pendidik, jika ingin berhasil dalam dalam kegiatannya mendidik anak, harus mematuhi 8 adab atau etika yang bisa dimaknai juga sebagai tugas kewajiban selaku pendidik yang telah diatur pedomannya berlandaskan nilai-nilai luhur Islam. Al-Ghazali sebagaimana dikutip Al-Abrasy menjelaskan tugas dan kewajiban pendidik sebagai berikut :
Pertama, sayang kepada murid sebagaimana sayangnya kepada anaknya sendiri dan berusah memberi pelajaran yang dapat membebaskannya dari api neraka. Oleh karena itu, tugas pendidik adalah lebih mulia daripada tugas kedua orang tua. Pendidik adalah sebab bagi kebahagiaan dunia dan akhirat, sedang orang tua hanyalah sebab bagi kelahiran anak ke dalam dunia fana.
Kedua, mengikuti akhlak dan keteladanan Nabi Muhamad SAW. Oleh karena itu, seorang pendidik tidak boleh mengharapkan gaji, upah atau ucapan terima kasih. Ia mengajar harus dengan niat beribadat dan mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Ketiga, membimbing murid secara penuh, baik dalam cara belajar maupun dalam menentukan urutan pelajaran. Ia harus memulai pelajaran dari yang mudah dan berangsur meningkat kepada yang sukar. Ia harus menjelaskan juga pada murid bahwa menuntut ilmu itu tidak boleh bercampur dengan niat lain kecuali karena Allah semata-mata.
Keempat, menasehati murid agar senantiasa berakhlak baik. Ia harus memualai nasehat itu dari hanya sekedar sindiran serta dengan penuh kasih sayang, tidak dengan cara dengan terang-terangan, apalagi dengan kasar dan mengejek, yang malah akan membuat murid menjadi kebal atau keras kepala sehingga nasehat itu akan menjadi seumpama air dalam dalam keranjang menetes ke dalam pasir.
Kelima, menghindarkan diri dari sikap merendahkan ilmu-ilmu lain di hadapan anak, misalnya pendidik bahasa mengatakan ilmu fikih tidak penting, pendidik fikih mengatakan  ilmu tafsir tidak perlu dan sebagainya.
Keenam, menjaga agar materi yang diajarkanya sesuai dengan tingkat kematangan dan daya tangkap muridnya. Ia tidak boleh memberikan pelajaran yang belum terjangkau oleh potensi inteljensi anak didiknya. Pelajaran yang tidak disesuaikan malah akan membuat anak benci, merasa terpaksa dan akhirnya malah meninggalkan pelajaran tersebut.
Ketujuh, memilihkan mata pelajaran yang sesuai untuk  anak-anak  yang kurang pandai atau bodoh. Ia tidak boleh menyebut-menyebut bahwa di belakang dari ilmu yang sedang diajarkanya masih banyak rahasia yang hanya ia sendiri mengetahuinya. Kadang-kadang pendidik, dengan sikap menyembunyikan semacam itu, ingin memperlihatkan dirinya sebagai seorang yang sangat dalam ilmunya sehingga orang banyak harus berpendidik kepadanya .
Kedelapan, mengamalkan ilmunya, serta perkataannya tidak boleh berlawanan dengan realitas zhahir perbuatannya. Sebab, jika demikian halnya maka murid-murid tidak akan hormat kepadanya.
Tanggung jawab pendidik sebagai tenaga profesional antara lain;
1.       Tanggung jawab moral; Tenaga profesional berkewajiban menghayati dan mengamalkan pancasila dan mewariskan moral Pancasila kemahasiswa dan generasi muda.
2.       Tanggung jawab dalam bidang pendidikan; Tenaga profesional bertanggung jawab mengelola proses pendidikan dalam pengajaran, bimbingan, dan lain sebaginya.
3.       Tanggung jawab kemasyarakatan; pendidik tidak boleh melepaskan diri dari kehidupan masyarakat
4.       Tanggung jawab di bidang keilmuan; pendidik bertanggung jawab memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi, terutama bidang keahlianya.
Dalam melengkapi keahlian sebagai seorang pendidik tentunya tidak terlepas juga dari keahlihan dia dalam memahami metode, yang selanjutnya untuk mewujudkan tujuan pendidikan. Maka sangatlah penting untuk memahami hakekat metode dalam pendidikan.
Disamping itu menurut pemakalah adalah perlunya adanya lembaga yang selanjutnya akan mengevaluasi kompetensi seorang pendidik, baik secara mentalitas maupun kapabilitasnya. Disamping evaluasi perlu juga adanya lembaga yang konsen dibidang peningkatan mutu seorang pendidik, dalam hal ini mungkin diterjemahkan dalam bentuk program pelatihan, pengawasan, pembimbingan dan penjaminan. Kehadiran lembaga pengontrol mutu di lembaga-lembaga pendidikan sangat membantu dalam menciptakan profil pendidik yang ideal.
Dari pembahasan tersebut maka secara khusus tugas-tugas dari seorang pendidik adalah sebagai berikut :
1.      Membimbing peserta didik, dalam artian mencari pengenalan terhadap anak didik mengenai kebutuhan, kesanggupan, bakat, minat dan sebagainya.
2.      Menciptakan situasi untuk pendidikan, yaitu ; suatu keadaan dimana tindakan-tindakan pendidik dapat berlangsung dengan baik dan hasil yang memuaskan.
3.      Seorang penddidik harus memiliki pengetahuan yang diperlukan, seperti pengetahuan keagamaan, dan lain sebagainya.
Seperti yang dikemukakan oleh Imam al-Ghazali, bahwa tugas pendidik adalah menyempurnakan, membersihkan, menyempurnakan serta membaha hati manusia untuk Taqarrub kepada Allah SWT.
Sedangkan tanggung jawab dari seorang pendidik adalah :
1.      Bertanggung moral.
2.      Bertanggung jawab dalam bidang pedidikan.
3.      Tanggung jawab kemasyarakatan.
4.      Bertanggung jawab dalam bidang keilmuan.

1.2. Hakikat Peserta didik
A.    Pengertian Peserta Didik
Peserta didik adalah makhluk yang berada dalam proses perkembangan dan pertumbuhan menurut fitrahnya masing-masing, mereka memrlukan bimbingan dan pengarahan yang konsisten menuju kearah yang titik optimal kemampuan fitrahnya.
Didalam pandangan yang lebih modern anak didik tidak hanya dianggap sebagai objek atau sasaran pendidikan, melainkan juga mereka harus diperlukan sebagai subjek pendidikan, diantaranya adalah dengan cara melibatkan peserta didik dalam memecahkan masalah dalam proses belajar mengajar. Berdasarkan pengertian ini, maka anak didik dapat dicirikan sebagai orang yang tengah memerlukan pengetahuan atau ilmu, bimbingan dan pengarahan.

B.     Dasar-dasar Kebutuhan Anak Untuk Memperoleh Pendidikan
Secara kodrati anak memerlukan pendidikan atau bimbingan dari orang dewasa. Dasar kodrati ini dapat dimengerti dari kebutuhan-kebutuhan dasar yang dimiliki oleh setiap anak yang hidup di dunia ini.  Sabda Rasulullah Saw :
“Tiadalah seorang yang dilahirkan melainkan menurut fitrahnya maka kedua orang tuanyalah yang me-Yahudikannya atau me-Nasrani kannya dan me – Majusikannya.”
Allah Berfirman : Qs. An-Nahl : 78  Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun …”
Dari hadits dan ayat tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa untuk menentukkan status manusia sebagaimana mestinya adalah melalui pendidikan. Dalam hal ini, keharusan mendapatkan pendidikan itu jika diamati lebih jauh sebenarnya mengandung aspek-aspek kepentingan yang antara lain dapat dikemukakan sebagai berikut :
1.      Aspek Paedagogis
Dalam aspek ini para ahli didik memandang manusia sebagai animal educandum : makhluk yang memerlukan pendidikan. Dalam kenyataannya manusia dapat dikategorikan, sebagai animal , artinya binatang yang dapat di didik . sedangkan binatang pada umumnya tidak dapat di didik, melainkan hanya dilatih secara dresser, artinya latihan untuk mengerjakan sesuatu yang sifatnya statis, tidak berubah. Adapun manusia dnegan potensi yang dimilikinya dapat di didik dan di kembangkan kea rah yang diciptakan, setaraf dengan kemampuan yang dimilikinya.
Rasulullah Saw bersabda : “Kewajiban orang tua kepada anaknya adalah memberi nama yang baik, mendidik sopan santun dan mengajari tulis menulis, renang, memanah, memberi makan dengan makanan yang baik dan hal lainnya serta mengawinkkannya apabila ia telah mencapai dewasa“ (HR. Hakim)
Islam mengajarkan bahwa anak itu membawa berbagai potensi. Apabila potensi terebut dididik dan dikembangkan ia akan menjadi manusia yang memadai secara fisik, psikis dan mental.

2.      Aspek Sosiologis dan Kultural
Menurut ahli sosiologi, pada prinsipnya manusia adalahmoscius, yaitu makhluk yang berwatak dan berkemampuan dasar atau yang memiliki garizah (insting) untuk hidup bermasyarakat. Sebagai makhluk sosial manusia harus memiliki rasa tanggung jawab sosial yang diperlukan dalam mengembangkan hubungan timbal balik (interelasi) dan saling pengaruh dan mempengaruhi antara sesame anggota masyarakat dalam kesatuan hidup mereka. Allah Berfirman: “Mereka diliputi kehinaan di mana saja mereka berada, kecuali jika mereka berpegang kepada tali agama Allah dan tali (perjanjian) dengan manusia … “ (QS. Ali Imran : 112)
Apabila manusia sebagai makhluk sosial itu berkembang, maka berarti merupakan makhluk yang berkebudayaa, baik moral maupun material. Diantara satu insting manusia adalah adanya kecendrungannya. Dan transmisi (pemindahan dan penyaluran serta pengoperan) kebudayaan kepada generasi yang akan menggantikan di masa mendatang.
3.      Aspek Tauhid
Aspek tauhid ini ialah aspek pandangan yang mengakui bahwa manusia adalah makhluk yang berketuhanan, yang menurut istilah ahli disebut homodivinous (makhluk yang percaya adanya tuhan)  ata disebut juga homoreligius artinya makhluk yang beragama. Adapun kemampuan dasar yang menyebabkan manusia menjadi makhluk yang berketuhanan atau beragamma adalah di dalam jiwa manusia terdapat isnting yang disebut insting religious atau garizah diniyah (insting percaya kepada Agama). Itulah sebabnya , tanpa melalui proses pendidikan insting religious atau garizah diniyah tersebut tidak akan mungkin dapat berkembang secara wajar. Dengan demikian, pendidikan keagamaan mutlak diperlukan untuk mengembangkan insting religious atau garizah diniyah tersebut.
Apabila pendidikan tidak ada, maka kemungkinan besar anak-anak akan berkembang kearah yang tidak baik atau buruk, seperti tidak mengakui Tuhan, budi pekertinya rendah bodoh dan malas bekerja.
Anak adalah makhluk yang masih membawa kemungkinan untuk berkembang, baik jasmani maupun rohani. Ia memiliki jasmani yang belum mencapai taraf kematangan, baik bentuk, kekuatan maupun perimbangan bagian-bagiannya. Dalam segi rohaniah, anak mempunyai bakat-bakat yang harus dikembangkan ia juga mempunyai kehendak, perasaan dan pikiran yang belum matang. Disamping itu, ia mempunyai berbagai kebutuhan seperti kebutuhan akan pemeliharaan jamani, yaitu makan , minum dan pakaian, kebutuhan akan kesempatan berkembang, bermain-main, berolahraga, dan sebagainya.
Selain itu, anak juga mempunyai kebutuhan rohaniah seperti kebutuhan akan ilmu pengetahuan dunia dan keagamaan. Kebutuhan atau pengertian nilai-nilai kemasyarakatan, kesusilaan, kebutuhan akan kasih sayang dan lain-lain. Pendidikan islam harus membimbing, menuntun , serta memenuhi kebutuha-kebutuhan anak didik dalam berbagai bidang di atas.
Menurut Al-Ghazali, anak adalah amanah Allah dan harus di jaga dan dididik untuk mencapai keutamaan dalam hidup dan mendekatkan diri kepada Allah. Semua bayi yang dilahirkan di dunia ini, bagaikan sebuah mutiara yang belum di ukur dan belum berbentuk, tetapi amat bernilai tinggi. Maka kedua orangtuanyalah mengukir dan membentuknya menjadi mutiara yang berkualitas tinggi dan disenangi semua orang. Maka ketergantungan anak kepada pendidiknya termasuk kepada kedua orang tuanya, tampak sekali. Ketergantungan ini hendaknya dikurangi secara bertahap sampai akil baligh.
C.    Pertumbuhan Anak ( Manusia )
Menurut pendapat para ahli, periodisasi pertumbuhan anak itu bermacam-macam, tetapi dapat digolongkan menjadi 3 macam , yaitu :
a.       Periodisasi pertumbuhan berdasarkan biologis
b.      Periodisasi pertumbuhan berdasarkan psikologis
c.       Periodisasi pertumbuhan berdasarkan didaktis.

1.      Pertumbuhan berdasarkan biologis
Allah berfirman dalam QS. Al-Mukmin ayat 67 yang artinya sebagai berikut: “dialah yang menciptakan kamu dari tanah kemudian dari setets air mani, sesudah itu dari segumpal darah, kemudian dilahirkannya kamu sebagai seorang anak, kemudian (kamu diberikan hidup) supaya kamu sampai kepada masa (dewasa), kemudian (dibiarkan kamu hidup lagi) sampai tua, diantara kamu ada yang diwafatkan sebelum itu, (kami perbuat demikian) supaya kamu sampai kepada ajal yang ditentukan dan supaya kamu memahami (Nya). “ (QS.Al-Mukmin :67)
Dari ayat ini dapat diambil kesimpulan bahwa anak itu tumbuh dan pertumbuhan ini melalui fase-fase sebagai berikut :
1)      Masa embrio (dalam perut ibu)
2)      Masa kanak-kanak
3)      Masa kuat (kuat jasmani dan rohani atau pikirannya)
4)      Masa tua
5)      Meninggal dunia

2.      Pertumbuhan berdasarkan psiologis
Diantara ahli didik islam yang mempunyai perhatan pendidikan terhadap anak-anak berdasarkan psikologis ialah Ali Fikri menurut beliau, pertumbuhan anak itu melalui sebelas fase sebagai berikut :
1)      Masa kanak-kanak
2)      Masa berbicara
3)      Masa akil baligh dari umur 15 – 21 tahun
4)      Masa syabibah (adolesen) dari umur 22 – 26 tahun
5)      Masa rujulah (pemuda pertama  atau dewasa ) dari umur 29 sampai 42 tahun
6)      Masa kuhulah dari 43 – 49 tahun
7)      Masa umur menurun dari 50 - 56 tahun
8)      Masa kakek kakek atau nenek-nenek pertama dari 56 – 63 tahun
9)      Masa kakek-kakek atau nenek-nenek kedua dari 64 – 75 tahun
10)  Masa harom (pikun) dari 75-91 tahun
11)  Masa meninggal.

3.      Pertumbuhan berdasarkan didaktis
Pertumbuhan yang didasarkan segi-segi didaktis atau paedagogis ini terutama berasal dari sabda Rasul yang artinya sebagai berikut :
berkata Anas : bersabda. Nabi Muhammad Saw. “ anka itu pada hari ke tujuh dari lahirnya disembelihkan qiqah dan diberi nama serta di cukur rambutnya, kemudian setelah umur enam tahun dididik beradab, setelah Sembilan tahun di pisah tempat tidurnya, bila telah berumur tiga belas tahun dipukul karena meninggalkan solat, setelah umur enam belas tahun di kawinkan oleh orang tuanya (ayahnya) kemudian ayahnya berjabatan tangan mengatakan , “ saya telah mendidik kamu, mengajar dan mengawinkan kamu. Saya mohon kepada Tuhan agar di jauhkan dari fitnah mu di dunia dan siksamu di akhirat …”
Hadits tersebut memberi pengertian bahwa fase-fase pertumbuhan anak berdasarkan didaktis atau paedagogis adalah sebagai berikut :
a)      Periode pendidikan pertama : sejak lahir sampai umur enam tahun, anak di jaga dari segala yang mengotorkan jasmani dan rohani (yakni antara lain dengan cara disembelihkan aqiqah dan diberi nama yang baik). Periode ini adalah masa pendidikan secara dresser (pembiasan) dalam hal-hal yang baik-baik.
b)      Periode pendidikan kedua : yakni anak didik tentang adab kesusilaan. Pendidikan ini dimuali enam tahun.
c)      Periode pendidikan ketiga : anak didik seksualnya dengan cara memisahkan tempat tidurnya dari orang tuanya. Sebab hbungan seksual ayah dan ibu bila sampai di lihat oleh anaknya, akan membahayakan jiwa anak tersebut. Karena anak mempunyai watak suka meniru perbuatan orang lain terutama orang tuanya. Anak dalam periode ini menginjak umur Sembilan tahun.
d)     Periode pendidikan ke empat : yakni bagi anak yang berumur tiga belas tahun diharuskan menjalankan solat untuk menenangkan jiwanya. Karena masa ini akan mulai memasuki alam pubertas (strun and drang) dan akan mengalami kegoncangan-kegoncangan jiwa yang sangat membutuhkan pimpinan yang teguh.
e)      Periode pendidikan ke lima  : yakni bagi anak umur enam belas tahun. Pada masa ini anak telah mengalami masa kedewasaan nafsu birahinya (seksnya) yang banyak memerlukan penjagaan dari orang tuanyaagar tidak terjadi ekses-ekses seksual yang merugikan. Maka pada saat itu, ayah diizinkan mengawinkan anaknya. Sebab menurut pandangan islam kawin merupakan jalan sebaik-baiknya bagi pencegahan ekses-ekses seksual tersebut.
f)       Periode pendidikan ke enam : yakni bagi umur dewasa (16- umur 21 tahun). Pada waktu ini, anak telah dilepaskan oleh orang tua dan bertanggung jawab atas dirinya sendiri tidak bergantung lagi pada orang tuanya. Anak pada masa ini harus mendidik dirinya sendiri. harus self standing.
Disamping itu dalam islam terdapai pula periodesasi pertumbuhan yang dinamakan  masa hadanah atau masa pendidikan anak-anak. Masa ini bagi anak umur 0-7 tahun. Sedangkan masa selanjutnya disebut masa dhom yakni bagi anak yang berumur tjuh tahun sampai dewasa. Untuk masa hadanah yang berhak menjadi pendidiknya ialah pihak ibu, karena ibu adalah lebih memiliki kaish sayang terhadap anak daripada ayahnya. Sedangkan pada asa dhom tanggung jawab pendidikan diletakkan pada ayahnya. Bila laki-laki dilatih dengan pekerjaan yang berhubungan dengan tugas kaum pria. Bagia anak perempuan masa dhom ini tetap terletak pada ibunya sampai ia menikah karena ibunya lah yang dapat mendidik anaknya dalam hal pekerjaan wanita.
Dari uraian tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa para ahli didik islam umunya mempunyai perhatian terhadap pertumbuhan anak. Pendidikan islam semestinya mengetahui usia-usia perkembangan tersebut beserta ciri masing-masing usia perkembangan itu, karena perkembangan seseorang dengan yangb lain kemungkinan besar tidak sama. Dengan mengetahui usia, perkembangan beserta dengan ciri-ciri mereka maka pendidik akan dapat melayani kebutuhan anak didiknya.
D.    Tugas dan Kewajiban Peserta Didik
Agar pelaksanaan proses pendidikan Islam dapat mencapai tujuan yang diinginkan maka setiap peserta didik hendanya senantiasa menyadari tugas dan kewajibannya. Menurut Asma Hasan Fahmi tugas dan kewajiban yang harus dipenuhi peserta didik diantaranya adalah[4]
1.      Peserta didik hendaknya senantiasa membersihkan hatinya sebelum menuntut ilmu
2.      Tujuan belajar hendaknya ditujukan untuk menghiasi ruh dengan berbagai sifat keimanan
3.      Setiap peserta didik wajib menghormati pendidiknya
4.      Peserta didik hendaknya belajar secara bersungguh-sungguh dan tabah dalam belajar
Adapun kewajiban peserta didik diantaranya adalah:
1.      Sebelum belajar hendaknya terlebih dahulu membersihkan hatinya dari segala sifat buruk
2.      Niat belajar hendaknya ditujukan untuk mengisi jiwa dengan berbagai fadillah
3.      Wajib bersungguh-sungguh dalam belajar
4.      Wajib saling mengasihi dan menyayangi diantara sesame, dan
5.      Bergaul baik dengan guru-gurunya.
E.     Sifat-sifat Ideal Peserta Didik
Dalam upaya mencapai tujuan pendidikan Islam, peserta didik hendaknya memilikidan menanamkan sifat-sifat yang baik dalam diri dan kepribadiannya. Diantara sifat-sifat ideal yang perlu dimiliki peserta didik misalnya ; berkemauan keras atau pantng menyerah, memiliki motivasi yang tinggi, sabar, dan tabah, tidak mudah putus asa dan sebagainya.
Berkenaan dengan sifat ideal diatas, Imam Ghazali, sebagaimana diutip Fatahiyah Hasan Sulaiman,merumusan sifat-sifat ideal yang patut dimiliki peserta didik yaitu[5]
1.      Belajar dengan niat ibadah dalam rangka taqarub ilaallah
2.      Mempunyai akhlak yang baik dan meninggalkan yang buruk
3.      Mengurangi kecenderungan pada kehidupan duniawi disbanding ukhrawi dan sebaliknya
4.      Bersikap tawadhu’ ( rendah hati )
5.      Menjaga pikiran dari berbagai pertentangan dan aliran
6.      Mempelajari ilmu-ilmu yang terpuji baik ilmu umum dan agama
7.      Belajar secara bertahap atau berjenjang dengan melalui pelajaran yang mudah menuju pelajaran yang lebih sulit
8.      Mempelajari ilmu sampai tuntas untuk kemudian beralih kepada ilmu yang lainnya
9.      Memahami nilai-nilai ilmiah atas ilmu pengetahuan yang dipelajari
10.  Memprioritaskan ilmu diniyah sebelum memasuki ilmu duniawi.



F.     Batas-batas Pendidikan Islam
1.       Batas awal pendidikan Islam
Dr. Asma Hasan Fahmi mengemukakan bahwa dikalangan ahli didik islam berbeda pendapat tentang kapan anak mulai dapat dididik. Sebagian diantara mereka mengatakansetelah anak berusia empat tahun.
Prof. M. Athyah Al-Abrasy menceritakan di dalam bukunya dasar-dasar pokok pendidikan islam” sebagai berikut :
Pada suatu ketika , Mufadal bin Zaid melihat anak seorang wanita islam dari desa maka beliau terpesona melihat wajahnya dan kesempurnaan bentuk badannya. Zaid bertanya kepada ibunya mengena anak tersebut, dan di jawab , “ketika ia berumur lima tahun saya telah menyerahkannya kepada seorang juru didik ia belajar menghafal Al-quran, kemudian mempelajari syarir, dan sesudah itu diberikan kepadanya sejarah nenek moyang dan kaumnya dan membaca jasa-jasa dan kemegahan mereka hingga ia dewasa kemudian ia dilatih mengendarai kuda dan mempergunakan senjata. Setelah mahir dalam memakai senjata , dia disuruh berjalan dari rumah ke rumah dan ketika ia mendengar suara minta tolong, dengan cepat ia membantu dan menolong.
Dari jawaban ibu tersebut, dapat disimpulkan bahwa anak di didik setelah berumur lima tahun, urutan-urutan ilmu yang diberikan adalah : membaca al-quran, mempelajari syair, mempelajari nenk moyang dan kaumnya, mengendarai kuda, dan mneggunakan senjata.
Menurut al-Abdari, anak mulai di didik dalam arti sesungguhnya setelah berusia tujuh tahun. Karena itu, beliau mengeritik orang tua yang menyekolahkan anaknya pada usia yang masih terlalu muda, yaitu sebelum usia tujuh tahun.
Dari uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa belum ada kesepakatan para ahli didik islam tentang mulai kapan anak mulai di didik. Namun, jika diterapkan dalam praktek pendidikan, maka dapat dijelaskan sebagai berikut yaitu : untuk memasuki pendidikan prasekolah sebaiknya setelah anak berumur lima tahun, sedangkan untuk memasuki pendidikan dasar, maka  sebaiknya setelah anak berusia tujuh tahun.
Manusia adalah makhluk Allah yang paling unik dibandingkan dengan makhluk-makhluk lainnya. Keunikannya terletak pada manusia seabagai makhluk Allah yang paling mulia, sebagai khalifah di muka bumi yang kelak diakhirat akan dimintai pertanggungjawabannya.
Sabda rasul :“belajarlah sejak engkau dalam buaian sampai keliang lahat”
belajar di waktu kecil bagaikan mengukir di atas batu, belajar setelah dewasa bagai mengukir di atas air”
Maksudnya semua yang dipelajari anak di waktu kecil mempunyai kesan atau oengaruh yang dalam baginya dan sulit dihilangkan. Kalaupun ia ingin menghilangkannya ia harus melewati proses yang lama. Kesan yang dterima di waktu keil telah merasuk ke dalam jantung hatinya sehingga telah mendarah daging bagi dirinya. Karena itu kepada orang tua dianjiurkan untuk membimbing anaknya sedini mungkin dengan penuh kesungguhan.
2.      Batas Akhir Pendidikan islam
Tujuan pendidikan islam yaitu membentuk kepribadian muslim untuk mewujudkan kepribadian muslim itu sangat sulit. Sesudah terwujudnya kepribadian muslim diperlukan pemeliharaan kestabilan kepribadian muslim tersebut oleh Karena itu, sebagaimana sabda Rasulullah itu, maka batas akhir pendidikan Islam yaitu sampai akhir hayat.
Begitu besar perhatian Islam terhadap pentingnya pendidikan ini, sampai-sampai rasulullah memerintahkan kepada umatnya yang sednag menunggui orang yang akan sakaratul maut supaya menuntunnya membaca kalimat “laa ilaa ha illallah” . Rasulullah saw bersabda yang artinya “ Ajarilah orang yang akan meninggal dunia dengan kalimat laa ilaa Ha illallah …”


BAB III
PENUTUP
3.1.  Simpulan
Pendidik adalah orang yang melakukan kegiatan dalam bidang mendidik.secara khusus pendidik dalam perspektif pendidikan Islam adalah orang-orang yang bertanggung jawab terhadap perkembangan seluruh potensi peserta didik. Kalau kita melihat secara fungsional kata mendidik dapat diartikan sebagai pemberi atau penyalur pengetahuan, keterampilan.
Perbuatan mendidik atau mengajar adalah perbuatan terpuji dan mendatangkan pahala dari Allah karena amal kebajikan jariyah yang akan mengalirkan pahala selama ilmu yang diajarkan tersebut masih diamalkan orang belajar tersebut.
Seorang pendidik mempunyai rasa tanggung jawab terhadap tugas-tugasnya sebagai seorang pendidik. Seperti yang dikatakan oleh Imam Ghazali bahwa tugas pendidik adalah menyempurnakan, membersihkan, serta membawa hati manusia untuk taqorrub kepada Allah SWT.
Sedangkan anak didik adalah makhluk yang berada dalam proses perkembangan dan pertumbuhan menuru fitrahny masing-masing, dimana mereka sangat memerlukan bimbingan dan pengarahan yang konsisten menuju kearah titik yang optimal kemampuan fitrahnya.


DAFTAR PUSTAKA
Al-Rasyidin dan Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Ciputat Press, 2005.
Asma Hasan Fahmi, Mabadiut Tarbiyatil Islamiyah, terjemah Ibrahim Husein, Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1979.
Hasan Asari, Etika Akademis dalam Islam, Studi tentang Kitab Tazirat al-Sami wa al-Mutakallim Karya Ibnu Jama’ah, Yogyakarta: Tirta Wacana, 2008.
Hasan Basri, Filsafat Pendidikan Islam, Bandung, Pustaka setia, 2009.
Hasan Langgulung, Asas-asas Pendidikan Islam, Jakarta: Pustaka al-Husna, 1992.
Jamaludin, dkk, Pembelajran Perspektif Islam, Bandung, PT. Remaja Rosdakarya, 2015





[1] Hasan Langgulung, Asas-asas Pendidikan Islam,Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1992, hlm. 4-5
[2] Undang-undang Sisdiknas 2003 (UU RI NO 20 Th 2003), Jakarta: Sinar Grafika, 2003, hlm. 20
[3] Syaiful Bahri Djamarah, Filsafat Pendidikan Islam, Bandung, Pustaka Setia, 2009, hlm. 58
[4] Al-Rasyidan dan Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Ciputat Pres.2005, hlm. 50-51
[5] Al-Ghazali, Pemikiran Al-Ghazali tentang Pendidikan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998, hlm. 67

Tidak ada komentar:

Posting Komentar