BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Proses pendidikan dalam kehidupan manusia tidak
terlepas dari peran pendidik dan peserta didik itu sendiri. Berhasil atau
gagalnya pendidikan diantaranya ditentukan oleh kedua komponen tersebut.Mulai
dari kemapanan ilmu pengetahuan pendidik, sampai kemampuan pendidik dalam
menguasai objek pendidikan, berbagai syarat yang harus dipenuhi oleh seorang
pendidik, motivasi belajar peserta didik, kepribadian anak didik dan tentu saja
pengetahuan awal yang dikuasai oleh peserta didik. Agar hasil yang direncanakan
tercapai semaksimal mungkin. Disinilah pentingnya pengetahuan tentang subjek
pendidikan.
Al-Quran sebagai pedoman hidup manusia di
dalamnya menyimpan berbagai mutiara yang mahal harganya yang jika dianalisis
secara mendalam sangat bermanfaat bagi kehidupan manusia. Diantara mutiara
tersebut adalah beberapa konsep pendidikan yang terkandung dalam Al-Quran,
diantara konsep tersebut adalah konsep awal pendidikan, kewajiban belajar,
tujuan pendidikan dan subjek pendidikan.
Keluasan Al-Quran dalam konsep pendidikan
tersebut telah mendorong penulis untuk menggali salah satu dari konsep
tersebut, untuk itu dalam makalah ini penulis akan mencoba memaparkan sedikit
tentang salah satu konsep tersebut, yaitu yang berhubungan dengan subjek
pendidikan dengan harapan dapat lebih memahami bagaimana subjek pendidikan
menurut Al-Quran
1.2. Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas dapat diambil rumusan masalah,sebagai
berikut :
1.
Apa
hakikat pendidik ?
2.
Apa hakikat
peserta didik ?
1.3. Tujuan Masalah
1.
Mengetahui
haikat pendidik
2.
Mengetahui
hakiat peserta didik
BAB II
PEMBAHASAN
1.1. Hakikat Pendidik
A.
Pengertian Pendidik
Secara etimologi pendidik adalah orang yang
memberikan bimbingan. Secara terminologi terdapat beberapa pendapat pakar
pendidikan tentang pengertian pendidik, antara lain:
1.
Ahmad D. Marimba mengartikan pendidik sebagai
orang yang memikul tanggung jawab untuk mendidik.
2.
Ahmad Tafsir menyatakan bahwa pendidik dalam
Islam sama dengan teori di barat yaitu siapa saja yang bertanggung jawab
terhadap peserta didik.
Sementara itu bila kita merujuk kepada hasil
konferensi internasional Islam I di Mekah tahun 1977, pengertian pendidikan
mencakup tiga pengertian sekali gus yakni tarbiyah, ta’lim, ta’dib.
Dapat kita ambil pemahaman, pengertian pendidik dalam islam adalah Murabbi,
Mu’allim dan Mu’addib.[1]
Pengertian mu’allim mengandung arti
konsekuensi bahwa pendidik harus mu’allimun yakni menguasai ilmu,
memiliki kreatifitas dan komitmen yang tinggi dalam mengembangkan
ilmu.Sedangkan konsep ta’dib mencakup pengertian integrasi antara ilmu
dengan amal sekaligus, karena apabila dimensi amal hilang dalam kehidupan
seorang pendidik, maka citra dan esensi pendidikan Islam itu akan hilang.
Pendidik, disebut juga
dengan guru. Guru adalah figur manusia yang diharapkan kehadiran dan perannya
dalam pendidikan, sebagai sumber yang menempati posisi dan memegang peranan
penting dalam pendidikan.
Guru merupakan jabatan
profesi yang memerlukan keahlian khusus sebagai guru. Dalam undang-undang RI No
20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan BAB XI pasal 39 ayat 2 disebutkan bahwa
pendidik merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan
proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan bimbingan dan
pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian masyarakat, terutama bagi
pendidik perguruan tinggi.[2]
Menjadi guru berdasarkan
tuntutan pekerjaan adalah perbuatan yang mudah, tetapi menjadi guru berdasarkan
panggilan jiwa atau tuntutan hati nurani adalah tidak mudah karena lebih
menuntut pengabdian kepada anak didik daripada tuntutan pekerjaan atau material-oriented.
Guru yang mendasarkan pengabdiannya karena panggilan jiwa, merasakan jiwanya
lebih dekat dengan anak didiknya. Ketiadaan anak didiknya menjadi pemikirannya,
mengapa anak didiknya tidak hadir di kelas, apa yang menyebabkannya, dan
berbagai pertanyaan yang mungkin guru ajukan ketika itu. (Syaiful Bahri Djamarah,
2005: 2).[3]
Sedangkan Pendidik dalam
perspektif pendidikan Islam adalah orang-orang yang bertanggung jawab terhadap
perkembangan seluruh potensi peserta didik , baik petensi afektif, kognitif,
maupun psikomotorik sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam.
Beberapa kata di atas
secara keseluruhan terhimpun dalam kata pendidik, karena keseluruhan kata
tersebut mengacu kepada seorang yang memberikan pengetahuan, keterampilan atau
pengalaman kepada orang lain. Kata-kata yang bervariasi tersebut menunjukan
adanya perbedaan ruang gerak dan lingkungan di mana pengetahuan dan
keterampilan diberikan.
Uraian singkat di atas
tampak bahwa ketika menjelaskan pengertian pendidik selalu dikaitkan dengan
bidang tugas atau pekerjaan. Jika dikaitakan dengan pekerjaan maka variabel
yang melekat adalah lembaga pendidikan, walau secara luas pengertian pendidik
tidak terikat dengan lembaga pendidikan. Ini menunjukan bahwa pada akhirnya
pendidik merupakan profesi atau keahlian tertentu yang melekat pada seseorang
yang tugasnya berkaitan dengan pendidikan. Didalam pendidikan ada proses
belajar mengajar dengan kata lain adalah pengajaran.
Dalam Islam, orang yang
paling bertanggung-jawab terhadap pendidikan adalah orangtua (ayah dan ibu)
anak didik. Tanggung jawab itu disebabkan oleh dua hal yaitu pertama, karena
kodrat yaitu karena orangtua ditakdirkan menjadi orangtua anaknya, dan karena
itu ia ditakdirkan pula bertanggung-jawab mendidik anaknya. Kedua, karena
kepentingan kedua orangtua yaitu orangtua berkepentingan terhadap kemajuan perkembangan
anaknya.
Selain itu sukses tidaknya
anak mereka juga sangat tergantung pada pola pengasuhan dan pendidikan yang
diberikan di lingkungan rumah tangga. Inilah yang tercermin dalam QS. At-Tahrim : 6
yang berbunyi: “Wahai orang-orang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu
dari api neraka”.
Kemudian pendidik
berikutnya dalam pandangan Islam adalah guru/dosen. Sederhananya guru bisa
disebut sebagai pengajar dan pendidik sekaligus. Dalam pendidikan formal
tingkat dasar dan menengah disebut pendidik, sedangkan pada perguruan tinggi
disebut dengan dosen.
Menurut Ramayulis,
pendidik dalam pendidikan Islam setidaknya ada empat macam. Pertama,
Allah SWT sebagai pendidik bagi hamba-hamba dan sekalian makhluk-Nya. Kedua,
Nabi Muhammad SAW sebagai utusan-Nya telah menerima wahyu dari Allah kemudian
bertugas untuk menyampaikan petunjuk-petunjuk yang ada di dalamnya kepada
seluruh manusia. Ketiga, orang tua sebagai pendidik dalam lingkungan
keluarga bagi anak-anaknya. Keempat, guru sebagai pendidik di lingkungan
pendidikan formal, seperti di sekolah atau madrasah. Namun pendidik yang lebih
banyak dibicarakan dalam pembahasan ini adalah pendidik dalam bentuk yang
keempat.
Salah satu hal yang
menarik pada ajaran Islam ialah penghargaan Islam yang sangat tinggi terhadap
guru / pendidik. Begitu tingginya penghargaan itu sehingga menempatkan
kedudukan guru setingkat di bawah kedudukan nabi dan rasul. Mengapa demikian?
Karena pendidik selalu terkait dengan ilmu (pengetahuan), sedangkan Islam
sangat menghargai pengetahuan.
Sebenarnya tingginya
kedudukan pendidik dalam Islam merupakan realisasi ajaran Islam itu sendiri.
Islam memuliakan pengetahuan, pengetahuan itu didapat dari belajar dan
mengajar, yang belajar adalah calon pendidik, dan yang mengajar adalah
pendidik. Islam pasti memuliakan pendidik. Tak terbayangkan terjadinya
perkembangan pengetahuan tanpa adanya orang yang belajar dan mengajar, tidak
terbayangkan adanya belajar dan mengajar tanpa adanya pendidik. Karena Islam
adalah agama, maka pandangan tentang pendidik, kedudukan pendidik, tidak
terlepas dari nilai-nilai kelangitan.
B.
Peran Pendidik
dalam Pengajaran
Pendidik dalam rangka pengajaran dituntut untuk
melakukan kegiatan yang bersifat edukatif dan ilmiah. Oleh karena itu peran
pendidik tidak hanya sebagai pengajar tetapi sekaligus sebagai pembimbing yaitu
sebagai wali yang membantu anak didik mengatasi kesulitan dalam studinya dan
pemecahan bagi permasalahan lainya. Di lain pihak pendidik juga berperan
sebagai pemimpin (khusus diruang kuliah/kelas), sebagai komunikator dengan
masyarakat, sebagai pengembangan ilmu dan penjabaran luasan ilmu (innovator),
bahkan juga berperan sebagai pelaksana administrasi. Peranan pendidik dapat
ditinjau dalam arti luas dan dalam arti sempit. Dalam arti luas pendidik
mengemban peranan–peranan sebagai ukuran kognitif, sebagai agen moral, sebagai
inovator dan kooperatif.
Pendidik sebagai ukuran kognitif. Tugas
pendidik umumnya adalah mewariskan pengetahuan berbagai keterampilan kepada
generasi muda. Hal-hal yang akan diwariskan itu sudah tentu harus sesuai ukuran
yang telah ditentukan masyarakat dan merupakan gambaran tentang keadaan sosial,
ekonomi, dan politik. Karena itu pendidik harus
mampu memenuhi ukuran kemampuan tersebut.
Pendidik sebagai agen
moral dan politik. Pendidik bertindak sebagai agen moral masyarakat, karena
fungsinya mendidik warga masyarakat agar melek huruf, pandai berhitung dan
berbagai keterampilan kognitif lainnya. Keterampilan-keterampilan itu dipandang
sebagai bagian dari proses moral, karena masyarakat yang telah pandai membaca
dan pengetahuan, akan berusaha menghindari dari tindakan-tindakan kriminal dan
menyimpang dari aturan masyarakat.
Pendidik sebagai inovator.
Berkat kamajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka masyarakat senantiasa
berubah dan berkembang dalam semua aspek. Perubahan dan perkembangan itu
menuntut terjadinya inovasi pendidikan. Tanggung jawab melaksanakan inovasi itu
diantaranya terletak pada penyelenggaraan pendidikan.
Peranan kooperatif dalam
melaksanakan tugasnya pendidik tidak mungkin bekerjasama sendiri dan
mengandalkan kemampuan diri sendiri. Karena itu para pendidik perlu bekerja
sama antara sesama pendidik dan dengan pekerja-pekerja sosial, lembaga-lembaga
kemasyarakatan, dan dengan persatuan orang tua murid.
C.
Tujuan Pendidik
Pendidik adalah orang yang mempunyai rasa
tanggung jawab untuk memberi bimbingan atau bantuan kepada anak didik dalam
perkembangan jasmani dan rohaninya demi mencapai kedewasaannya, mampu
melaksanakan tugasnya sebagai makhluk tuhan, makhluk sosial dan sebagai
individu yang sanggup berdiri sendiri.
Orang yang pertama yang bertanggung jawab
terhadap perkembangan anak atau pendidikan anak adalah orang tuanya, karena
adanya pertalian darah secara langsung sehingga ia mempunyai rasa tanggung
jawab terhadap masa depan anaknya.
Orang tua disebut juga sebagai pendidik kodrat.
Namun karena mereka tidak mempunyai kemampuan, waktu dan sebagainya, maka
mereka menyerahkan sebagian tanggung jawabnya kepada orang lain yang dikira
mampu atau berkompeten untuk melaksanakan tugas mendidik.
D.
Syarat-syarat dan Sifat-sifat yang harus dimiliki oleh Seorang Pendidik
Syarat-syarat umum bagi
seorang pendidik adalah : Sehat Jasmani dan Sehat Rohani. Menurut H. Mubangit,
syarat untuk menjadi seorang pendidik yaitu :
1. Harus beragama.
2. Mampu bertanggung jawab
atas kesejahteraan agama.
3. Tidak kalah dengan
guru-guru umum lainnya dalam membentuk Negara yang demokratis.
4. Harus memiliki perasaan
panggilan murni.
Sedangkan sifat-sifat yang
harus dimiliki seorang pendidik adalah :
1.
Integritas peribadi, pribadi yang segala aspeknya berkembang secara
harmonis.
2.
Integritas sosial, yaitu pribadi yang merupakan satuan dengan masyarakat.
3.
Integritas susila, yaitu pribadi yang telah menyatukan diri dengan
norma-norma susila yang dipilihnya.
E.
Tugas dan
Tanggung Jawab Pendidik
Secara umum tugas pendidik Islam adalah
membimbing dan mengarahkan pertumbuhan dan perkembangan peserta didik dari
tahap ke tahap kehidupanya sampai mencapai titik kemampuan yang optimal.
Mengenai tugas pendidik, ahli-ahli pendidikan Islam juga ahli pendidikan Barat
telah sepakat bahwa tugas pendidik ialah mendidik. Mendidik adalah tugas yang
amat luas. Mendidik itu sebagian dilakukan dalam bentuk mengajar, sebagian
dalam bentuk memberikan dorongan, memuji, menghukum, memberi contoh,
membiasakan, dan lain-lain.
Dalam Al-Qur’an juga dijelaskan tentang tugas
seorang pendidik atau ustad.Al-Qur’an telah mengisyaratkan peran para nabi dan
pengikutnya dalam pendidikan dan fungsi fundamental mereka dalam pengkajian
ilmu-ilmu Ilahi serta aplikasinya.Isyarat tersebut, salah
satunya terdapat dalam firman-Nya berikut ini : “Tidak wajar bagi seseorang manusia yang
Allah berikan kepadanya Al Kitab, hikmah dan kenabian, lalu dia berkata kepada
manusia: “Hendaklah kamu menjadi penyembah-penyembahku bukan penyembah Allah.”
Akan tetapi (dia berkata): “Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, karena
kamu selalu mengajarkan Al Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya.”
(QS. Ali Imran : 79)
Pendidik, jika ingin berhasil dalam dalam
kegiatannya mendidik anak, harus mematuhi 8 adab atau etika yang bisa dimaknai
juga sebagai tugas kewajiban selaku pendidik yang telah diatur pedomannya
berlandaskan nilai-nilai luhur Islam. Al-Ghazali sebagaimana dikutip
Al-Abrasy menjelaskan tugas dan kewajiban pendidik sebagai berikut :
Pertama, sayang kepada murid sebagaimana
sayangnya kepada anaknya sendiri dan berusah memberi pelajaran yang dapat
membebaskannya dari api neraka. Oleh karena itu, tugas
pendidik adalah lebih mulia daripada tugas kedua orang tua. Pendidik adalah
sebab bagi kebahagiaan dunia dan akhirat, sedang orang tua hanyalah sebab bagi
kelahiran anak ke dalam dunia fana.
Kedua, mengikuti akhlak dan keteladanan Nabi Muhamad SAW. Oleh karena
itu, seorang pendidik tidak boleh mengharapkan gaji, upah atau ucapan terima
kasih. Ia mengajar harus dengan
niat beribadat dan mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Ketiga, membimbing murid
secara penuh, baik dalam cara belajar maupun dalam menentukan urutan pelajaran.
Ia harus memulai pelajaran dari yang mudah dan berangsur meningkat kepada yang
sukar. Ia harus menjelaskan juga pada murid bahwa menuntut ilmu itu tidak boleh
bercampur dengan niat lain kecuali karena Allah semata-mata.
Keempat, menasehati murid
agar senantiasa berakhlak baik. Ia harus memualai nasehat itu dari hanya
sekedar sindiran serta dengan penuh kasih sayang, tidak dengan cara dengan terang-terangan,
apalagi dengan kasar dan mengejek, yang malah akan membuat murid menjadi kebal
atau keras kepala sehingga nasehat itu akan menjadi seumpama air dalam dalam
keranjang menetes ke dalam pasir.
Kelima, menghindarkan diri
dari sikap merendahkan ilmu-ilmu lain di hadapan anak, misalnya pendidik bahasa
mengatakan ilmu fikih tidak penting, pendidik fikih mengatakan ilmu
tafsir tidak perlu dan sebagainya.
Keenam, menjaga agar
materi yang diajarkanya sesuai dengan tingkat kematangan dan daya tangkap muridnya.
Ia tidak boleh memberikan pelajaran yang belum terjangkau oleh potensi
inteljensi anak didiknya. Pelajaran yang tidak disesuaikan malah akan membuat
anak benci, merasa terpaksa dan akhirnya malah meninggalkan pelajaran tersebut.
Ketujuh, memilihkan mata
pelajaran yang sesuai untuk anak-anak yang kurang pandai atau
bodoh. Ia tidak boleh menyebut-menyebut bahwa di belakang dari ilmu yang sedang
diajarkanya masih banyak rahasia yang hanya ia sendiri mengetahuinya.
Kadang-kadang pendidik, dengan sikap menyembunyikan semacam itu, ingin
memperlihatkan dirinya sebagai seorang yang sangat dalam ilmunya sehingga orang
banyak harus berpendidik kepadanya .
Kedelapan, mengamalkan
ilmunya, serta perkataannya tidak boleh berlawanan dengan realitas zhahir perbuatannya.
Sebab, jika demikian halnya maka murid-murid tidak akan hormat kepadanya.
Tanggung jawab pendidik
sebagai tenaga profesional antara lain;
1.
Tanggung jawab moral; Tenaga profesional berkewajiban menghayati dan
mengamalkan pancasila dan mewariskan moral Pancasila kemahasiswa dan generasi
muda.
2. Tanggung jawab dalam
bidang pendidikan; Tenaga profesional bertanggung jawab mengelola proses
pendidikan dalam pengajaran, bimbingan, dan lain sebaginya.
3. Tanggung jawab
kemasyarakatan; pendidik tidak boleh melepaskan diri dari kehidupan masyarakat
4. Tanggung jawab di bidang
keilmuan; pendidik bertanggung jawab memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi,
terutama bidang keahlianya.
Dalam melengkapi keahlian
sebagai seorang pendidik tentunya tidak terlepas juga dari keahlihan dia dalam
memahami metode, yang selanjutnya untuk mewujudkan tujuan pendidikan. Maka
sangatlah penting untuk memahami hakekat metode dalam pendidikan.
Disamping itu menurut
pemakalah adalah perlunya adanya lembaga yang selanjutnya akan mengevaluasi
kompetensi seorang pendidik, baik secara mentalitas maupun kapabilitasnya.
Disamping evaluasi perlu juga adanya lembaga yang konsen dibidang peningkatan
mutu seorang pendidik, dalam hal ini mungkin diterjemahkan dalam bentuk program
pelatihan, pengawasan, pembimbingan dan penjaminan. Kehadiran lembaga pengontrol mutu di lembaga-lembaga pendidikan sangat
membantu dalam menciptakan profil pendidik yang ideal.
Dari pembahasan tersebut maka secara khusus tugas-tugas dari seorang
pendidik adalah sebagai berikut :
1.
Membimbing peserta didik, dalam artian mencari pengenalan terhadap anak
didik mengenai kebutuhan, kesanggupan, bakat, minat dan sebagainya.
2. Menciptakan situasi
untuk pendidikan, yaitu ; suatu keadaan dimana tindakan-tindakan pendidik dapat
berlangsung dengan baik dan hasil yang memuaskan.
3.
Seorang penddidik harus memiliki pengetahuan yang diperlukan, seperti
pengetahuan keagamaan, dan lain sebagainya.
Seperti yang dikemukakan oleh Imam al-Ghazali, bahwa tugas pendidik
adalah menyempurnakan, membersihkan, menyempurnakan serta membaha hati manusia
untuk Taqarrub kepada Allah SWT.
Sedangkan tanggung jawab
dari seorang pendidik adalah :
1.
Bertanggung moral.
2.
Bertanggung jawab dalam bidang pedidikan.
3.
Tanggung jawab kemasyarakatan.
4.
Bertanggung jawab dalam bidang keilmuan.
1.2. Hakikat Peserta didik
A.
Pengertian Peserta Didik
Peserta
didik adalah makhluk yang berada dalam proses perkembangan dan pertumbuhan
menurut fitrahnya masing-masing, mereka memrlukan bimbingan dan pengarahan yang
konsisten menuju kearah yang titik optimal kemampuan fitrahnya.
Didalam
pandangan yang lebih modern anak didik tidak hanya dianggap sebagai objek atau
sasaran pendidikan, melainkan juga mereka harus diperlukan sebagai subjek
pendidikan, diantaranya adalah dengan cara melibatkan peserta didik dalam
memecahkan masalah dalam proses belajar mengajar. Berdasarkan pengertian ini,
maka anak didik dapat dicirikan sebagai orang yang tengah memerlukan
pengetahuan atau ilmu, bimbingan dan pengarahan.
B.
Dasar-dasar Kebutuhan Anak Untuk Memperoleh Pendidikan
Secara
kodrati anak memerlukan pendidikan atau bimbingan dari orang dewasa. Dasar
kodrati ini dapat dimengerti dari kebutuhan-kebutuhan dasar yang dimiliki oleh
setiap anak yang hidup di dunia ini.
Sabda Rasulullah Saw :
“Tiadalah seorang
yang dilahirkan melainkan menurut fitrahnya maka kedua orang tuanyalah yang
me-Yahudikannya atau me-Nasrani kannya dan me – Majusikannya.”
Allah Berfirman : Qs. An-Nahl : 78 “Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut
ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun …”
Dari
hadits dan ayat tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa untuk menentukkan
status manusia sebagaimana mestinya adalah melalui pendidikan. Dalam hal ini,
keharusan mendapatkan pendidikan itu jika diamati lebih jauh sebenarnya
mengandung aspek-aspek kepentingan yang antara lain dapat dikemukakan sebagai
berikut :
1.
Aspek
Paedagogis
Dalam
aspek ini para ahli didik memandang manusia sebagai animal educandum : makhluk
yang memerlukan pendidikan. Dalam kenyataannya manusia dapat dikategorikan,
sebagai animal , artinya binatang yang dapat di didik . sedangkan binatang pada
umumnya tidak dapat di didik, melainkan hanya dilatih secara dresser, artinya
latihan untuk mengerjakan sesuatu yang sifatnya statis, tidak berubah. Adapun
manusia dnegan potensi yang dimilikinya dapat di didik dan di kembangkan kea
rah yang diciptakan, setaraf dengan kemampuan yang dimilikinya.
Rasulullah Saw bersabda : “Kewajiban
orang tua kepada anaknya adalah memberi nama yang baik, mendidik sopan santun
dan mengajari tulis menulis, renang, memanah, memberi makan dengan makanan yang
baik dan hal lainnya serta mengawinkkannya apabila ia telah mencapai dewasa“
(HR. Hakim)
Islam
mengajarkan bahwa anak itu membawa berbagai potensi. Apabila potensi terebut
dididik dan dikembangkan ia akan menjadi manusia yang memadai secara fisik,
psikis dan mental.
2.
Aspek
Sosiologis dan Kultural
Menurut
ahli sosiologi, pada prinsipnya manusia adalahmoscius, yaitu makhluk yang
berwatak dan berkemampuan dasar atau yang memiliki garizah (insting) untuk
hidup bermasyarakat. Sebagai makhluk sosial manusia harus memiliki rasa
tanggung jawab sosial yang diperlukan dalam mengembangkan hubungan timbal balik
(interelasi) dan saling pengaruh dan mempengaruhi antara sesame anggota
masyarakat dalam kesatuan hidup mereka. Allah Berfirman: “Mereka diliputi
kehinaan di mana saja mereka berada, kecuali jika mereka berpegang kepada tali
agama Allah dan tali (perjanjian) dengan manusia … “ (QS. Ali Imran : 112)
Apabila
manusia sebagai makhluk sosial itu berkembang, maka berarti merupakan makhluk
yang berkebudayaa, baik moral maupun material. Diantara satu insting manusia
adalah adanya kecendrungannya. Dan transmisi (pemindahan dan penyaluran serta
pengoperan) kebudayaan kepada generasi yang akan menggantikan di masa
mendatang.
3.
Aspek
Tauhid
Aspek
tauhid ini ialah aspek pandangan yang mengakui bahwa manusia adalah makhluk
yang berketuhanan, yang menurut istilah ahli disebut homodivinous (makhluk yang
percaya adanya tuhan) ata disebut juga
homoreligius artinya makhluk yang beragama. Adapun kemampuan dasar yang
menyebabkan manusia menjadi makhluk yang berketuhanan atau beragamma adalah di
dalam jiwa manusia terdapat isnting yang disebut insting religious atau garizah
diniyah (insting percaya kepada Agama). Itulah sebabnya , tanpa melalui proses
pendidikan insting religious atau garizah diniyah tersebut tidak akan mungkin
dapat berkembang secara wajar. Dengan demikian, pendidikan keagamaan mutlak
diperlukan untuk mengembangkan insting religious atau garizah diniyah tersebut.
Apabila
pendidikan tidak ada, maka kemungkinan besar anak-anak akan berkembang kearah
yang tidak baik atau buruk, seperti tidak mengakui Tuhan, budi pekertinya
rendah bodoh dan malas bekerja.
Anak
adalah makhluk yang masih membawa kemungkinan untuk berkembang, baik jasmani
maupun rohani. Ia memiliki jasmani yang belum mencapai taraf kematangan, baik
bentuk, kekuatan maupun perimbangan bagian-bagiannya. Dalam segi rohaniah, anak
mempunyai bakat-bakat yang harus dikembangkan ia juga mempunyai kehendak,
perasaan dan pikiran yang belum matang. Disamping itu, ia mempunyai berbagai
kebutuhan seperti kebutuhan akan pemeliharaan jamani, yaitu makan , minum dan
pakaian, kebutuhan akan kesempatan berkembang, bermain-main, berolahraga, dan
sebagainya.
Selain
itu, anak juga mempunyai kebutuhan rohaniah seperti kebutuhan akan ilmu
pengetahuan dunia dan keagamaan. Kebutuhan atau pengertian nilai-nilai
kemasyarakatan, kesusilaan, kebutuhan akan kasih sayang dan lain-lain.
Pendidikan islam harus membimbing, menuntun , serta memenuhi kebutuha-kebutuhan
anak didik dalam berbagai bidang di atas.
Menurut
Al-Ghazali, anak adalah amanah Allah dan harus di jaga dan dididik untuk
mencapai keutamaan dalam hidup dan mendekatkan diri kepada Allah. Semua bayi
yang dilahirkan di dunia ini, bagaikan sebuah mutiara yang belum di ukur dan
belum berbentuk, tetapi amat bernilai tinggi. Maka kedua orangtuanyalah
mengukir dan membentuknya menjadi mutiara yang berkualitas tinggi dan disenangi
semua orang. Maka ketergantungan anak kepada pendidiknya termasuk kepada kedua
orang tuanya, tampak sekali. Ketergantungan ini hendaknya dikurangi secara
bertahap sampai akil baligh.
C.
Pertumbuhan Anak ( Manusia )
Menurut
pendapat para ahli, periodisasi pertumbuhan anak itu bermacam-macam, tetapi
dapat digolongkan menjadi 3 macam , yaitu :
a.
Periodisasi
pertumbuhan berdasarkan biologis
b.
Periodisasi
pertumbuhan berdasarkan psikologis
c.
Periodisasi
pertumbuhan berdasarkan didaktis.
1.
Pertumbuhan
berdasarkan biologis
Allah berfirman dalam QS. Al-Mukmin ayat 67 yang artinya sebagai
berikut: “dialah yang menciptakan kamu dari tanah kemudian dari setets air
mani, sesudah itu dari segumpal darah, kemudian dilahirkannya kamu sebagai
seorang anak, kemudian (kamu diberikan hidup) supaya kamu sampai kepada masa
(dewasa), kemudian (dibiarkan kamu hidup lagi) sampai tua, diantara kamu ada
yang diwafatkan sebelum itu, (kami perbuat demikian) supaya kamu sampai kepada
ajal yang ditentukan dan supaya kamu memahami (Nya). “ (QS.Al-Mukmin :67)
Dari ayat ini dapat diambil kesimpulan bahwa anak itu tumbuh dan
pertumbuhan ini melalui fase-fase sebagai berikut :
1)
Masa
embrio (dalam perut ibu)
2)
Masa
kanak-kanak
3)
Masa
kuat (kuat jasmani dan rohani atau pikirannya)
4)
Masa
tua
5)
Meninggal
dunia
2.
Pertumbuhan
berdasarkan psiologis
Diantara ahli didik islam yang mempunyai perhatan pendidikan
terhadap anak-anak berdasarkan psikologis ialah Ali Fikri menurut beliau,
pertumbuhan anak itu melalui sebelas fase sebagai berikut :
1)
Masa
kanak-kanak
2)
Masa
berbicara
3)
Masa
akil baligh dari umur 15 – 21 tahun
4)
Masa
syabibah (adolesen) dari umur 22 – 26 tahun
5)
Masa
rujulah (pemuda pertama atau dewasa )
dari umur 29 sampai 42 tahun
6)
Masa
kuhulah dari 43 – 49 tahun
7)
Masa
umur menurun dari 50 - 56 tahun
8)
Masa
kakek kakek atau nenek-nenek pertama dari 56 – 63 tahun
9)
Masa
kakek-kakek atau nenek-nenek kedua dari 64 – 75 tahun
10)
Masa
harom (pikun) dari 75-91 tahun
11)
Masa
meninggal.
3.
Pertumbuhan
berdasarkan didaktis
Pertumbuhan yang didasarkan segi-segi didaktis atau paedagogis ini
terutama berasal dari sabda Rasul yang artinya sebagai berikut :
“berkata Anas : bersabda. Nabi
Muhammad Saw. “ anka itu pada hari ke tujuh dari lahirnya disembelihkan qiqah
dan diberi nama serta di cukur rambutnya, kemudian setelah umur enam tahun
dididik beradab, setelah Sembilan tahun di pisah tempat tidurnya, bila telah
berumur tiga belas tahun dipukul karena meninggalkan solat, setelah umur enam
belas tahun di kawinkan oleh orang tuanya (ayahnya) kemudian ayahnya berjabatan
tangan mengatakan , “ saya telah mendidik kamu, mengajar dan mengawinkan
kamu. Saya mohon kepada Tuhan agar di jauhkan dari fitnah mu di dunia dan
siksamu di akhirat …”
Hadits
tersebut memberi pengertian bahwa fase-fase pertumbuhan anak berdasarkan
didaktis atau paedagogis adalah sebagai berikut :
a)
Periode
pendidikan pertama : sejak lahir
sampai umur enam tahun, anak di jaga dari segala yang mengotorkan jasmani dan
rohani (yakni antara lain dengan cara disembelihkan aqiqah dan diberi nama yang
baik). Periode ini adalah masa pendidikan secara dresser (pembiasan) dalam
hal-hal yang baik-baik.
b)
Periode
pendidikan kedua : yakni anak
didik tentang adab kesusilaan. Pendidikan ini dimuali enam tahun.
c)
Periode
pendidikan ketiga : anak didik
seksualnya dengan cara memisahkan tempat tidurnya dari orang tuanya. Sebab
hbungan seksual ayah dan ibu bila sampai di lihat oleh anaknya, akan
membahayakan jiwa anak tersebut. Karena anak mempunyai watak suka meniru
perbuatan orang lain terutama orang tuanya. Anak dalam periode ini menginjak
umur Sembilan tahun.
d)
Periode
pendidikan ke empat : yakni bagi
anak yang berumur tiga belas tahun diharuskan menjalankan solat untuk
menenangkan jiwanya. Karena masa ini akan mulai memasuki alam pubertas (strun
and drang) dan akan mengalami kegoncangan-kegoncangan jiwa yang sangat
membutuhkan pimpinan yang teguh.
e)
Periode
pendidikan ke lima : yakni bagi anak umur enam belas tahun. Pada
masa ini anak telah mengalami masa kedewasaan nafsu birahinya (seksnya) yang
banyak memerlukan penjagaan dari orang tuanyaagar tidak terjadi ekses-ekses
seksual yang merugikan. Maka pada saat itu, ayah diizinkan mengawinkan anaknya.
Sebab menurut pandangan islam kawin merupakan jalan sebaik-baiknya bagi
pencegahan ekses-ekses seksual tersebut.
f)
Periode
pendidikan ke enam : yakni bagi
umur dewasa (16- umur 21 tahun). Pada waktu ini, anak telah dilepaskan oleh
orang tua dan bertanggung jawab atas dirinya sendiri tidak bergantung lagi pada
orang tuanya. Anak pada masa ini harus mendidik dirinya sendiri. harus self
standing.
Disamping itu dalam islam terdapai pula periodesasi pertumbuhan
yang dinamakan masa hadanah atau masa
pendidikan anak-anak. Masa ini bagi anak umur 0-7 tahun. Sedangkan masa
selanjutnya disebut masa dhom yakni bagi anak yang berumur tjuh tahun sampai
dewasa. Untuk masa hadanah yang berhak menjadi pendidiknya ialah pihak ibu,
karena ibu adalah lebih memiliki kaish sayang terhadap anak daripada ayahnya.
Sedangkan pada asa dhom tanggung jawab pendidikan diletakkan pada ayahnya. Bila
laki-laki dilatih dengan pekerjaan yang berhubungan dengan tugas kaum pria.
Bagia anak perempuan masa dhom ini tetap terletak pada ibunya sampai ia menikah
karena ibunya lah yang dapat mendidik anaknya dalam hal pekerjaan wanita.
Dari uraian tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa para ahli
didik islam umunya mempunyai perhatian terhadap pertumbuhan anak. Pendidikan
islam semestinya mengetahui usia-usia perkembangan tersebut beserta ciri
masing-masing usia perkembangan itu, karena perkembangan seseorang dengan yangb
lain kemungkinan besar tidak sama. Dengan mengetahui usia, perkembangan beserta
dengan ciri-ciri mereka maka pendidik akan dapat melayani kebutuhan anak
didiknya.
D.
Tugas dan Kewajiban Peserta Didik
Agar pelaksanaan proses pendidikan Islam dapat mencapai tujuan yang
diinginkan maka setiap peserta didik hendanya senantiasa menyadari tugas dan
kewajibannya. Menurut Asma Hasan Fahmi tugas dan kewajiban yang harus dipenuhi
peserta didik diantaranya adalah[4]
1.
Peserta
didik hendaknya senantiasa membersihkan hatinya sebelum menuntut ilmu
2.
Tujuan
belajar hendaknya ditujukan untuk menghiasi ruh dengan berbagai sifat keimanan
3.
Setiap
peserta didik wajib menghormati pendidiknya
4.
Peserta
didik hendaknya belajar secara bersungguh-sungguh dan tabah dalam belajar
Adapun
kewajiban peserta didik diantaranya adalah:
1.
Sebelum
belajar hendaknya terlebih dahulu membersihkan hatinya dari segala sifat buruk
2.
Niat
belajar hendaknya ditujukan untuk mengisi jiwa dengan berbagai fadillah
3.
Wajib
bersungguh-sungguh dalam belajar
4.
Wajib
saling mengasihi dan menyayangi diantara sesame, dan
5.
Bergaul
baik dengan guru-gurunya.
E.
Sifat-sifat Ideal Peserta Didik
Dalam upaya mencapai tujuan pendidikan Islam, peserta didik
hendaknya memilikidan menanamkan sifat-sifat yang baik dalam diri dan
kepribadiannya. Diantara sifat-sifat ideal yang perlu dimiliki peserta didik misalnya
; berkemauan keras atau pantng menyerah, memiliki motivasi yang tinggi, sabar,
dan tabah, tidak mudah putus asa dan sebagainya.
Berkenaan dengan sifat ideal diatas, Imam Ghazali, sebagaimana
diutip Fatahiyah Hasan Sulaiman,merumusan sifat-sifat ideal yang patut dimiliki
peserta didik yaitu[5]
1.
Belajar
dengan niat ibadah dalam rangka taqarub ilaallah
2.
Mempunyai
akhlak yang baik dan meninggalkan yang buruk
3.
Mengurangi
kecenderungan pada kehidupan duniawi disbanding ukhrawi dan sebaliknya
4.
Bersikap
tawadhu’ ( rendah hati )
5.
Menjaga
pikiran dari berbagai pertentangan dan aliran
6.
Mempelajari
ilmu-ilmu yang terpuji baik ilmu umum dan agama
7.
Belajar
secara bertahap atau berjenjang dengan melalui pelajaran yang mudah menuju
pelajaran yang lebih sulit
8.
Mempelajari
ilmu sampai tuntas untuk kemudian beralih kepada ilmu yang lainnya
9.
Memahami
nilai-nilai ilmiah atas ilmu pengetahuan yang dipelajari
10.
Memprioritaskan
ilmu diniyah sebelum memasuki ilmu duniawi.
F.
Batas-batas Pendidikan Islam
1.
Batas
awal pendidikan Islam
Dr.
Asma Hasan Fahmi mengemukakan bahwa dikalangan ahli didik islam berbeda
pendapat tentang kapan anak mulai dapat dididik. Sebagian diantara mereka
mengatakansetelah anak berusia empat tahun.
Prof.
M. Athyah Al-Abrasy menceritakan di dalam bukunya dasar-dasar pokok
pendidikan islam” sebagai berikut :
Pada
suatu ketika , Mufadal bin Zaid melihat anak seorang wanita islam dari desa
maka beliau terpesona melihat wajahnya dan kesempurnaan bentuk badannya. Zaid
bertanya kepada ibunya mengena anak tersebut, dan di jawab , “ketika ia berumur
lima tahun saya telah menyerahkannya kepada seorang juru didik ia belajar
menghafal Al-quran, kemudian mempelajari syarir, dan sesudah itu diberikan
kepadanya sejarah nenek moyang dan kaumnya dan membaca jasa-jasa dan kemegahan
mereka hingga ia dewasa kemudian ia dilatih mengendarai kuda dan mempergunakan
senjata. Setelah mahir dalam memakai senjata , dia disuruh berjalan dari rumah
ke rumah dan ketika ia mendengar suara minta tolong, dengan cepat ia membantu
dan menolong.
Dari
jawaban ibu tersebut, dapat disimpulkan bahwa anak di didik setelah berumur
lima tahun, urutan-urutan ilmu yang diberikan adalah : membaca al-quran,
mempelajari syair, mempelajari nenk moyang dan kaumnya, mengendarai kuda, dan
mneggunakan senjata.
Menurut
al-Abdari, anak mulai di didik dalam arti sesungguhnya setelah berusia tujuh
tahun. Karena itu, beliau mengeritik orang tua yang menyekolahkan anaknya pada
usia yang masih terlalu muda, yaitu sebelum usia tujuh tahun.
Dari
uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa belum ada kesepakatan para ahli didik
islam tentang mulai kapan anak mulai di didik. Namun, jika diterapkan dalam
praktek pendidikan, maka dapat dijelaskan sebagai berikut yaitu : untuk
memasuki pendidikan prasekolah sebaiknya setelah anak berumur lima tahun,
sedangkan untuk memasuki pendidikan dasar, maka
sebaiknya setelah anak berusia tujuh tahun.
Manusia
adalah makhluk Allah yang paling unik dibandingkan dengan makhluk-makhluk
lainnya. Keunikannya terletak pada manusia seabagai makhluk Allah yang paling
mulia, sebagai khalifah di muka bumi yang kelak diakhirat akan dimintai
pertanggungjawabannya.
Sabda rasul :“belajarlah sejak
engkau dalam buaian sampai keliang lahat”
“belajar di waktu kecil bagaikan
mengukir di atas batu, belajar setelah dewasa bagai mengukir di atas air”
Maksudnya
semua yang dipelajari anak di waktu kecil mempunyai kesan atau oengaruh yang
dalam baginya dan sulit dihilangkan. Kalaupun ia ingin menghilangkannya ia
harus melewati proses yang lama. Kesan yang dterima di waktu keil telah merasuk
ke dalam jantung hatinya sehingga telah mendarah daging bagi dirinya. Karena
itu kepada orang tua dianjiurkan untuk membimbing anaknya sedini mungkin dengan
penuh kesungguhan.
2.
Batas
Akhir Pendidikan islam
Tujuan
pendidikan islam yaitu membentuk kepribadian muslim untuk mewujudkan
kepribadian muslim itu sangat sulit. Sesudah terwujudnya kepribadian muslim
diperlukan pemeliharaan kestabilan kepribadian muslim tersebut oleh Karena itu,
sebagaimana sabda Rasulullah itu, maka batas akhir pendidikan Islam yaitu
sampai akhir hayat.
Begitu
besar perhatian Islam terhadap pentingnya pendidikan ini, sampai-sampai
rasulullah memerintahkan kepada umatnya yang sednag menunggui orang yang akan
sakaratul maut supaya menuntunnya membaca kalimat “laa ilaa ha illallah” .
Rasulullah saw bersabda yang artinya “ Ajarilah orang yang akan meninggal dunia
dengan kalimat laa ilaa Ha illallah …”
BAB III
PENUTUP
3.1.
Simpulan
Pendidik
adalah orang yang melakukan kegiatan dalam bidang mendidik.secara khusus
pendidik dalam perspektif pendidikan Islam adalah orang-orang yang bertanggung
jawab terhadap perkembangan seluruh potensi peserta didik. Kalau kita melihat
secara fungsional kata mendidik dapat diartikan sebagai pemberi atau penyalur
pengetahuan, keterampilan.
Perbuatan
mendidik atau mengajar adalah perbuatan terpuji dan mendatangkan pahala dari
Allah karena amal kebajikan jariyah yang akan mengalirkan pahala selama ilmu
yang diajarkan tersebut masih diamalkan orang belajar tersebut.
Seorang
pendidik mempunyai rasa tanggung jawab terhadap tugas-tugasnya sebagai seorang
pendidik. Seperti yang dikatakan oleh Imam Ghazali bahwa tugas pendidik adalah
menyempurnakan, membersihkan, serta membawa hati manusia untuk taqorrub kepada
Allah SWT.
Sedangkan
anak didik adalah makhluk yang berada dalam proses perkembangan dan pertumbuhan
menuru fitrahny masing-masing, dimana mereka sangat memerlukan bimbingan dan
pengarahan yang konsisten menuju kearah titik yang optimal kemampuan fitrahnya.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Rasyidin dan Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam,
Jakarta: Ciputat Press, 2005.
Asma Hasan Fahmi, Mabadiut Tarbiyatil Islamiyah, terjemah
Ibrahim Husein, Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bulan
Bintang, 1979.
Hasan Asari, Etika Akademis dalam Islam, Studi tentang Kitab
Tazirat al-Sami wa al-Mutakallim Karya Ibnu Jama’ah, Yogyakarta: Tirta Wacana,
2008.
Hasan
Basri, Filsafat Pendidikan Islam, Bandung, Pustaka setia, 2009.
Hasan
Langgulung, Asas-asas Pendidikan Islam, Jakarta: Pustaka al-Husna, 1992.
Jamaludin, dkk, Pembelajran Perspektif Islam, Bandung, PT.
Remaja Rosdakarya, 2015
[1] Hasan
Langgulung, Asas-asas Pendidikan Islam,Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1992,
hlm. 4-5
[2] Undang-undang
Sisdiknas 2003 (UU RI NO 20 Th 2003), Jakarta: Sinar Grafika, 2003, hlm.
20
[3] Syaiful Bahri
Djamarah, Filsafat Pendidikan Islam, Bandung, Pustaka Setia, 2009, hlm.
58
[4] Al-Rasyidan dan
Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Ciputat Pres.2005,
hlm. 50-51
[5] Al-Ghazali, Pemikiran
Al-Ghazali tentang Pendidikan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998, hlm. 67
Tidak ada komentar:
Posting Komentar