Senin, 18 April 2016

Pendidikan Gratis dalam Perspektif Filsafat Pendidikan Islam

Pendidikan Gratis dalam Perspektif Filsafat Pendidikan Islam

Pendidikan gratis adalah sebuah kebijakan pemerintah yang dimana siswa tidak lagi dibebankan dengan bermacam-macam biaya mulai dari uang pangkal, uang sekolah, uang komite, dan buku penunjang utama. Sementara itu, untuk biaya-biaya lain, tidak ditanggung oleh pemda, misalnya, biaya transportasi, pakaian seragam, dan biaya-biaya lain (penambahan materi, darmawisata, dan sebagainya). Dengan kata lain, komponen biaya untuk memenuhi kebijakan ‘pendidikan gratis’ adalah berupa subsidi. Subsidi ini pun masih disertai sejumlah persyaratan, yaitu jika besaran dana bantuan yang diberikan pemerintah pusat dan pemerintah provinsi lebih kecil dari biaya operasional sekolah, pemerintah kota dan siswa harus menutupi kekurangan dana tersebut
Mengapa biaya pendidikan harus gratis ? maka kita lihat kembali ke tahun 1945 ketika kita memproklamirkan diri sebagai bangsa Indonesia yang merdeka yang bercita-cita untuk mencerdaskan kehidupan bangsanya. Bagaimana mungkin kita akan dapat mencerdaskan bangsa ini jika untuk mendapatkan pendidikan dasar saja warga negaranya kesulitan karena pendidikan yang dikelola oleh pemerintah mahal harganya.
Prioritas utama pemerintahan kita adalah peningkatan kualitas SDM!”, “Tuntutlah ilmu sampai ke negeri Cina”, “Menuntut Ilmu adalah kewajiban sejak dalam buaian sampai liang kubur”, karena ilmu merupakan kunci dunia dan akhirat. Dengan ilmu, dunia dan akhirat bisa dikuasai. Menyadari kebutuhan manusia akan ilmu, bahkan ketika masa Rasulullah saw, para sahabat pun terus-menerus belajar tanpa mengenal usia.
Al-Bukhari meriwayatkan, bahwa para sahabat Rasulullah SAW terus-menerus belajar, meski di usia mereka yang sudah senja (al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Juz I/26). Demikian pula bagi para sahabat yang masih belia, mereka juga tidak mau ketinggalan. Ali bin Abi Thalib, yang disebut oleh Nabi sebagai pintu kota ilmu (babu al-Madinah), dan Ibn Abbas yang disebut sebagai penafsir Alquran (turjuman al-Qur'an) sama-sama telah belajar sejak usia 7 atau 8 tahun. Sayyidina 'Ali menuturkan,"Belajar di waktu kecil seperti memahat di atas batu." (al-Kattani, at-Taratib al-Idariyyah, Juz II/162).
Sejalan dengan itu dalam Islam pembiayaan pendidikan untuk seluruh tingkatan sepenuhnya merupakan tanggung jawab negara. Seluruh pembiayaan pendidikan, baik menyangkut gaji para guru/dosen maupun infrastruktur serta sarana dan prasarana pendidikan, sepenuhnya menjadi kewajiban negara. Ringkasnya, dalam Islam pendidikan disediakan secara gratis oleh negara (Usus at-Ta‘lîm al-Manhaji, hlm. 12).
Mengapa demikian? Sebab, negara berkewajiban menjamin tiga kebutuhan pokok masyarakat: pendidikan, kesehatan, dan keamanan. Berbeda dengan kebutuhan pokok individu (sandang, pangan, dan papan) yang dijamin secara tak langsung oleh negara, pendidikan, kesehatan dan keamanan dijamin secara langsung oleh negara. Maksudnya, tiga kebutuhan ini diperoleh secara cuma-cuma sebagai hak rakyat atas negara[1]. Nabi saw. bersabda:
الإِمَامُ رَاعٍ وَهُوَ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
“Imam bagaikan penggembala dan dialah yang bertanggung jawab atas gembalaannya itu” (HR Muslim).
Dengan filosofi, "Imam (kepala negara) adalah penggembala, dan dialah satu-satunya yang bertanggung jawab terhadap gembalaan (rakyat)-nya." (HR al-Bukhari), kewajiban untuk memberikan layanan kelas satu di bidang pendidikan ini benar-benar dipikul oleh negara. Jika kas negara tidak mencukupi, maka negara berhak mengambil pajak secukupnya dari kaum Muslim untuk membiayai kebutuhan ini (al-'Allamah Syaikh Taqiyuddn an-Nabhani, Muqaddimatu ad-Dustur, hal. 364-370).
Ijma’ Sahabat juga telah terwujud dalam hal wajibnya negara menjamin pembiayaan pendidikan. Khalifah Umar dan Utsman memberikan gaji kepada para guru, muazin, dan imam shalat jamaah. Khalifah Umar memberikan gaji tersebut dari pendapatan negara (Baitul Mal) yang berasal dari jizyah, kharaj (pajak tanah), dan usyur (pungutan atas harta non-Muslim yang melintasi tapal batas negara) (Rahman, 1995; Azmi, 2002; Muhammad, 2002).
Sistem pendidikan formal yang diselenggarakan Negara Khilafah memperoleh sumber pembiayaan sepenuhnya dari Negara (Baitul Mal). Dalam sejarah, pada masa Khalifah Umar bin al-Khaththab, sumber pembiayaan untuk kemaslahatan umum (termasuk pendidikan) berasal darijizyah, kharaj, dan usyur  (Muhammad, 2002).
Terdapat 2 (dua) sumber pendapatan Baitul Mal yang dapat digunakan membiayai pendidikan, yaitu: (1) pos fai’ dan kharaj yang merupakan kepemilikan Negara seperti ghanîmah, khumuûs (seperlima harta rampasan perang), jizyah, dan dharîbah (pajak); (2) pos kepemilikan umum seperti tambang minyak dan gas, hutan, laut, dan hima (milik umum yang penggunaannya telah dikhususkan). Adapun pendapatan dari pos zakat tidak dapat digunakan untuk pembiayaan pendidikan, karena zakat mempunyai peruntukannya sendiri, yaitu delapan golongan mustahik zakat (QS 9 : 60). (Zallum, 1983; an-Nabhani, 1990).
Jika dua sumber pendapatan itu ternyata tidak mencukupi, dan dikhawatirkan akan timbul efek negatif (dharar) jika terjadi penundaan pembiayaannya, maka Negara wajib mencukupinya dengan segera dengan cara berhutang (qardh). Utang ini kemudian dilunasi oleh Negara dengan dana dari dharîbah (pajak) yang dipungut dari kaum Muslim (Al-Maliki,1963).
Biaya pendidikan dari Baitul Mal itu secara garis besar dibelanjakan untuk 2 (dua) kepentingan. Pertama: untuk membayar gaji segala pihak yang terkait dengan pelayanan pendidikan seperti guru, dosen, karyawan, dan lain-lain. Kedua: untuk membiayai segala macam sarana dan prasana pendidikan, seperti bangunan sekolah, asrama, perpustakaan, buku-buku pegangan, dan sebagainya. (An-Nabhani, 1990).
Dari uraian diatas, jelas bahwa pada masa Rasulullah saw pun pendidikan sudah gratis, dan siapapun berhak mendapatkan pendidikan. Seperti yang tertuang dalam UUD 1945 hasil Amandemen yang tercantum pada pasal 31 ayat 2, menyatakan bahwa : “setiap warga Negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya”. Sejalan dengan itu UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab IV Pasal 6 ayat 1 yang menyatakan bahwa ”setiap warga Negara yang berusia tujuh sampai lima belas tahun wajib mengikuti pendidikan dasar”[2]. Dan Bab VIII Pasal 34 ayat 2 menyebutkan bahwa ”pemerintah dan pemerintah daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya”, sedangkan dalam ayat 3 menyebutkan bahwa ”wajib belajar merupakan tanggung jawab Negara yang diselenggarakan oleh lembaga pendidikan, Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan masyarakat”[3]. Pesan dari amanat undang-undang tersebut adalah Pemerintah dan Pemerintah daerah wajib memberikan layanan pendidikan bagi seluruh peserta didik pada tingkat pendidikan dasar (SD dan SMP) dan pendidikan lain yang sederajat.
Berdasarkan undang-undang tersebut seharusnya pemerintah mempunyai komitmen yang tinggi untuk melaksanakannya. Karena selain tuntutan dari undang-undang, pendidikan juga dapat meningkatkan kesejahteraan warganya, bahkan Rasulullah saw pun bersabda bahwa “Imam bagaikan penggembala dan dialah yang bertanggung jawab atas gembalaannya itu” (HR Muslim)
Pada intinya, peraturan di atas menyatakan bahwa Negara (melalui pemerintah) mempunyai kebijakan untuk membebaskan biaya pendidikan yang bertujuan untuk mensukseskan program wajib belajar sembilan tahun yang bermutu agar semua anak usia wajib belajar dapat memperoleh akses belajar. Akses pendidikan tidak boleh memandang latar belakang sosial, ekonomi, budaya, dan semua latar belakang lainnya. Semua anak usia 6 sampai dengan 15 tahun harus dapat memperoleh pendidikan dasar yang bermutu.
Namun, perlu dicatat, meski pembiayaan pendidikan adalah tanggung jawab negara, Islam tidak melarang inisiatif rakyatnya, khususnya mereka yang kaya, untuk berperan serta dalam pendidikan. Melalui wakaf yang disyariatkan, sejarah mencatat banyak orang kaya yang membangun sekolah dan universitas. Hampir di setiap kota besar seperti Damaskus, Baghdad, Kairo, Asfahan, dan lain-lain terdapat lembaga pendidikan dan perpustakaan yang berasal dari wakaf (Qahaf, 2005).
Di antara wakaf ini ada yang bersifat khusus, yakni untuk kegiatan tertentu atau orang tertentu; seperti wakaf untuk ilmuwan hadis, wakaf khusus untuk dokter, wakaf khusus untuk riset obat-obatan, wakaf khusus untuk guru anak-anak, wakaf khusus untuk pendalaman fikih dan ilmu-ilmu al-Quran. Bahkan sejarah mencatat ada wakaf khusus untuk Syaikh Al-Azhar atau fasilitas kendaraannya. Selain itu, wakaf juga diberikan dalam bentuk asrama pelajar dan mahasiswa, alat-alat tulis, buku pegangan, termasuk beasiswa dan biaya pendidikan (Qahaf, 2005).
Dengan Islam rakyat akan memperoleh pendidikan formal yang gratis dari negara. Adapun melalui inisiatif wakaf dari anggota masyarakat yang kaya, rakyat akan memperoleh pendidikan non formal yang juga gratis atau murah bagi rakyat.
Dampak Pendidikan Gratis
a.      Dampak Positif
Kebijakan sekolah gratis mampu memberikan dampak yang positif demi tercapainya cita-cita nasional, yang mana kebijakan tersebut dapat memberikan sedikit titik terang bagi dunia pendidikan yang selama ini sangat kurang sekali perhatiannya oleh pemerintah. Adapun dampak yang mampu ditimbulkan dari sekolah gratis ini, diantaranya :
1.    Mampu memberikan peluang dan kesempatan bagi anak-anak yang kurang mampu untuk dapat mengenyam bangku pendidikan yang selama ini hanya ada dalam bayangan dan angan-angan mereka saja
2.    Mampu meningkatkan mutu pendidikan kedepannya
3.    Mampu mengurangi tingkat kebodohan, pengangguran, dan kemiskinan
4.    Mampu menghasilkan SDM yang berkualitas
5.    Mampu mewujudkan cita-cita nasional bangsa Indonesia yaitu ikut mencerdaskan anak bangsa.
b.      Dampak Negatif
Dari sebuah keputusan yang besar seperti “Kebijakan Sekolah Gratis” tersebut selain mampu memberikan manfaat bagi seluruh rakyat Indonesia, juga dapat memberikan dampak negatif dari adanya penetapan kebijakan tersebut , diantaranya :
1.    Dengan program sekolah gratis rakyat yang masih awam akan berfikiran bahwa mereka hanya cukup dengan menyekolahkan anak-anak mereka sampai tingkat SD atau SMP saja
2.    Biaya yang digratiskan hanyalah biaya administrasinya saja, sehingga menimbulkan peluang untuk terjadinya penyalahgunaan dari pihak-pihak sekolah yang tidak bertanggung jawab, misalnya mau tidak mau siswa dipaksa untuk membeli buku-buku pelajaran , LKS, dan biaya Bimbel yang akhirnya tetap tidak gratis juga
3.    Menimbulkan sebagian Peserta didik berlaku seenaknya dalam hal belajar ataupun pembiayaan.
4.    Apabila sekolah membutuhkan dana untuk keperluan pengadaan peralatan yang mendadak akan keteteran.




[1] Al-Maliki, Abdurrahman,  ”As-Siyâsah al-Iqtishâdiyah Al-Mutsla”. (Hizbut Tahrir: t.p. 1963)
[2] Peraturan Pemerintah Republik Indonesia (Jakarta: Dharma Bahkti, 2005), hlm. 96
[3] Ibid, hlm. 108

Hakikat Pengembangan Pendidikan Islam

BAB II
PEMBAHASAN
1.1.      Hakikat Pengembangan Pendidikan Islam
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2002 Pengembangan adalah kegiatan ilmu pengetahuan dan teknologi yang bertujuan memanfaatkan kaidah dan teori ilmu pengetahuan yang telah terbukti kebenarannya untuk meningkatkan fungsi, manfaat, dan aplikasi ilmu pengetahuan dan teknologi yang telah ada, atau menghasilkan teknologi baru. Pengembangan secara umum berarti pola pertumbuhan, perubahan secara perlahan (evolution) dan perubahan secara bertahap.
Menurut Seels & Richey (Alim Sumarno, 2012) pengembangan berarti proses menterjemahkan atau menjabarkan spesifikasi rancangan kedalam bentuk fitur fisik. Pengembangan secara khusus berarti proses menghasilkan bahan-bahan pembelajaran. Sedangkan menurut Tessmer dan Richey (Alim Sumarno, 2012) pengembangan memusatkan perhatiannya tidak hanya pada analisis kebutuhan, tetapi juga isu-isu luas tentang analisis awal-akhir, seperti analisi kontekstual. Pengembangan bertujuan untuk menghasilkan produk berdasarkan temuan-temuan uji lapangan.
Pada hakikatnya pengembangan adalah upaya pendidikan baik formal maupun non formal yang dilaksanakan secara sadar, berencana, terarah, teratur dan bertanggung jawab dalam rangka memperkenalkan, menumbuhkan, membimbing, mengembangkan suatu dasar kepribadian yang seimbang, utuh, selaras, pengetahuan, keterampilan sesuai dengan bakat, keinginan serta kemampuan-kemampuan, sebagai bekal atas prakarsa sendiri untuk menambah, meningkatkan, mengembangkan diri ke arah tercapainya martabat, mutu dan kemampuan manusiawi yang optimal serta pribadi mandiri (Iskandar Wiryokusumo, 2011). Dari pendapat para ahli di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa pengembangan merupakan suatu usaha yang dilakukan secara sadar, terencana, terarah untuk membuat atau memperbaiki, sehingga menjadi produk yang semakin bermanfaat untuk meningkatkan kualitas sebagai upaya untuk menciptakan mutu yang lebih baik.
Masalah pengembangan aktivitas pendidikan islam di indonesia pada dasarnya sudah perlangsung sejak sebelum indonesia merdeka sehingga sekarang hingga yang akan datang, bahkan sudah dilakukan oleh orang-orang Islam sejak awal kelahiran Islam. Hal ini dapat dilihat dari fenomena tumbuh kembangnya program dan praktik pendidikan islam yang di laksanakan di nusantara. Buchori (1989) mematahkan struktur internal pendidikan islam di indonesia, jika di tilik dari aspek program dan praktik pendidikannya ke dalam 4 jenis yaitu:
1.    Pendidikan pondok pesantren
2.    Pendidikan madrasah
3.    Pendidikan umum yang bernafaskan islam dan,
4.    Pelajaran agama islam yang di selenggarakan di lembaga-lembaga pendidikan umum sebagai suatu mata pelajaran atau mata kuliah saja.
2.1.1. Perlunya Pengembangan Ilmu Pendidikan Islam
Dalam bukunya, Azyumardi Azra menyatakan kekecewaannya yang mendalam tentang kurangnya perhatian terhadap kajian ilmu pendidikan Islam. Ia mengatakan, kajian kependidikan Islami tampaknya merupakan bidang yang belum tergarap secara serius, bahkan kajian islami dalam konteks Indonesia lebih ketinggalan[1].
Sebenarnya, sejak adanya fakultas Tarbiyah di IAIN, Pendidikan Islam telah dijadikan salah satu bahan kajian, “Pendidikan Islami” telah muncul sebagai salah satu mata kuliah. Usaha itu secara serius barulah dimulai sekitar akhir tahun 1993.
Usaha itu didorong antara lain oleh kenyataan banyaknya sekolah Islami yang kurang baik mutunya. Mutu yang kurang baik itu diduga disebabkan oleh belum digunakannya teori-teori pendidikan (islami) yang sesuai dengan tuntutan zaman.
Berdasarkan penelitian Ahmad Tafsir (1985), menemukan bahwa  lebih banyak sekolah Katolik yang baik dibandingkan dengan sekolah Islami. Hal ini disebabkan bukan karena sekolah Islami kekurangan dana, melainkan karena pengurus-pengurus sekolah Islami itu belum menerapkan paham profesionalisme dalam pengelolaan sekolah. Hal ini berdasarkan fakta bahwa banyak kepala sekolah Islami yang dipimpin oleh kepala sekolah yang tidak dididik  untuk itu, banyak guru yang mengajarkan mata pelajaran yang tidak disiapkan untuk tugas itu, banyak juga sekolah yang dibangun tidak melalui perencanaan yang memadai, dan banyak juga lembaga pendidikan yang kacau administrasinya. Padahal hadis Nabi menjelaskan bahwa menerapkan profesionalisme itu merupakan keharusan bagi orang muslim[2].
Sesuai dengan kelemahan yang ada, maka perbaikan dilakukan dalam dua hal, pertama perbaikan dari segi pandangan atau sikap, dan kedua perbaikan dari segi pencerahan teori-teori pendidikan yang islami. Para ahli pendidikan Islam harus memberikan penjelasan bagaimana pandangan dan sikap orang muslim itu seharusnya, terhadap kekayaannya, terhadap kewajibannya, terhadap tanggung jawab sosialnya. Kelemahan segi penguasaan teori pendidikan diperbaiki dengan cara menyediakan bagi mereka teori-teori pendidikan yang sesuai dengan tuntutan zaman.
Salah satu rekomendasi musyawarah Nasional di Ciawi yaitu agar Departemen Agama dibentuk Konsorsium Ilmu Pendidikan Islam. Zakiyah Darajat menekankan pentingnya ada konsorsium Ilmu Pendidikan Islam, yang mana konsorsium itu kelaknya diharapkan dapat memperhatikan pengembangan Ilmu Pendidikan Islam, akan tetapi usul ini belum mendapat tanggapan serius dari Departemen Agama. Karena itu Ahmad Tafsir dkk, mendirikan Asosiasi Sarjana Pendidikan Islam (ASPI) pada tahun 1995, salah satu usahanya yaitu mengorganisasikan seminar-seminar nasional Ilmu Pendidikan Islami yang deselenggarakan oleh Fakultas IAIN seluruh Indonesia.
Adapun hasil dari ASPI ialah telah timbulnya kesadaran dan keberanian dikalangan sarjana pendidikan Islam untuk mengembangkan ilmu pendidikan Islam[3].
Jadi pemikiran tentang pengembangan pendidikan Islam itu berarti mengajak seseorang untuk berpikir analitis-kritis, kreatif dan inovatif dan universal dalam menghadapi berbagai praktik dan isu aktual di bidang pendidikan untuk dikaji dan ditelaah dari dimensi fondasionalnya agar tidak kehilangan roh atau spirit Islam dan/atau kerapuhan fondasi filosofis; serta menghadapi trend  pemikiran dan teori-teori pendidikan yang dibangun oleh para pendahulunya, untuk selanjutnya dapat: (1) memperkaya nuansa pemikiran dan teori yang ada; atau (2) merevisisi dan menyempurnakan pemikiran dan teori yang sudah ada; atau (3) mengganti pemikiran dan teori lama dengan pemikiran dan teori baru; dan/atau (4) menciptakan pemikiran dan teori yang belum ada sebelumnya. Dengan demikian, pendidikan Islam akan mengalami perubahan (change), pembaharuan atau perbaikan (reform), yang diikuti dengan pertumbuhan (growth), dan ditingkatkan secara berkelanjutan (continous improvement) untuk dibawa ke arah yang lebih ideal.
Bertolak dari pemikiran tersebut, maka pemikiran tentang pengembangan Pendidikan Islam dapat mengandung berbagai makna, yaitu:
1.    Bagaimana mengembangkan Pendidikan Islam sehingga memiliki kontribusi yang signifikan bagi pembangunan masyarakat dan pengembangan ipteks;
2.    Bagaimana mengembangkan model-model Pendidikan Islam yang lebih kreatif dan inovatif, dengan tetap komitmen terhadap dimensi-dimensi fondasionalnya sebagai landasan pijak bagi pengembangan Pendidikan Islam;
3.    Bagaimana menggali masalah-masalah operasional dan aktual Pendidikan Islam untuk dibidik dari dimensi-dimensi fondasional dan strukturalnya; dan
4.    Bagaimana mengembangkan pemikiran Pendidikan Islam sebagaimana tertuang dan terkandung dala literatur-literatur pendidikan Islam.
2.1.2. Paradigma Pengembangan Pendidikan Islam
Dalam realitas kehidupan sehari-hari sering timbul pertanyaan: apa saja aspek-aspek kehidupan itu? Apakah agama merupakan bagian dari aspek kehidupan, sehingga hidup beragama berarti menjalankan salah satu aspek dari berbagai aspek kehidupan, ataukah agama merupakan sumber nilai-nilai dan operasional kehidupan, sehingga agama akan mewarnai segala aspek kehidupan itu sendiri?. Dalam konteks inilah para pemikir dan pengembang pendidikan pada umumnya mempunyai pandangan yang berbeda-beda. Perbedaan tersebut pada gilirannya melahirkan beberapa paradigma pengembangan pendidikan Islam sebagai berikut:
1.    Paradigma Formisme/ Dikotomis
Dikotomi adalah pembagian dua bagian, Secara terminologis, dikotomi dipahami sebagai pemisahan antara ilmu dan agama yang kemudian berkembang menjadi fenomena dikotomik-dikotomik lainnya. Bagi al-Faruqi, dikotomi adalah dualisme religius dan kultural.
Adanya dikotomi ilmu pengetahuan ini berimplikasi terhadap dikotomi model pendidikan. Disatu pihak ada pendidikan yang memperdalam ilmu pengetahuan modern yang kering dari nilai-nilai keagamaan, dan sisi lain ada pendidikan yang hanya memperdalam masalah agama yang terpisahkan dari perkembangan ilmu pengetahuan. Secara teoritis makna dikotomi adalah pemisahan secara teliti dan jelas dari satu jenis menjadi dua yang terpisah satu sama lain dimana yang satu sama sekali tidak dapat dimasukan kedalam yang satunya lagi dan sebaliknya[4].
Paradigma formisme mempunyai implikasi terhadap pengembangan pendidikan Islam yang lebih berorientasi pada keakhiratan, sedangkan masalah dunia dianggap tidak penting, serta menekankan pada pendalaman al-ulum al-diniyah (ilmu-ilmu keagamaan) yang merupakan jalan pintas untuk menuju kebahagiaan akhirat. Sementara sains (ilmu pengetahuan) dianggap terpisah dari agama. Demikian pula pendekatan yang dipergunakan lebih bersifat keagamaan yang normatif, doktriner dan absolutis. Peserta didik diarahkan untuk menjadi pelaku (actor) yang loyal, memiliki sikap commitment (keberpihakan), dan dedikasi (pengabdian) yang tinggi terhadap agama yang dipelajari. Sementara itu, kajian-kajian keilmuan yang bersifat empiris, rasional, analitis-kritis, dianggap dapat menggoyahkan iman, sehingga perlu ditindih oleh pendekatan yang normatif dan doktriner tersebut[5]
Pendikotomian ilmu yang pada awalnya memang merupakan tradisi islam lebih dari seribu tahun silam, tidak menimbulkan terlalu banyak problem dalam system pendidikan islam, hingga system pendidikan sekuler Barat diperkenalkan ke dunia Islam melalui imprealisme. Hal ini terjadi karena, sekalipun dikotomi antara ilmu-ilmu agama dan non agama itu telah dikenal dalam karya-karya klasik, seperti yang ditulis Al-Ghazali dan Ibnu Khaldun, ia tidak mengingkari, tetapi mengakui validitas dan status ilmiah masing-masing kelompok keilmuan tersebut. Berbeda dengan dikotomi yang dikenal di dunia Islam, sains modern Barat sering menganggap rendah status keilmuan ilmu-ilmu keagamaan. Ketika berbicara hal-hal yang ghaib, ilmu agama tidak bisa dipandang ilmiah karena sebuah ilmu baru bisa dikatakan ilmiah apabila objek-objeknya bersifat empiris. Padahal, ilmu-ilmu agama tentu tidak bisa menghindar dari membicarakan hal-hal yang gaib, seperti Tuhan, Malikat dan sebagainya sebagai pembicaraan pokok mereka[6].
2.    Paradigma Mekanisme
Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Depdikbud,1988), secara etimologis mechanism berarti: hal kerja mesin, cara kerja suatu organisasi, atau hal saling bekerja seperti mesin, kalau yang satu bergerak, maka yang lain turut bergerak. Paradigma mechanism memandang kehidupan terdiri atas berbagai aspek, dan pendidikan dipandang sebagai penanaman dan pengembangan seperangkat nilai kehidupan, yang masing-masing bergerak dan berjalan menurut fungsinya, bagaikan sebuah mesin yang terdiri atas beberapa komponen atau elemen-elemen, yang masing-masing menjalankan fungsinya sendiri-sendiri, dan antara satu dengan lainnya bisa saling berkonsultasi atau tidak.
Aspek-aspek atau nilai-nilai kehidupan itu sendiri terdiri atas: nilai agama, nilai individu, nilai sosial, nilai politik, nilai ekonomi, nilai rasional, nilai aestetik, nilai biofisik, dan lain-lain. Dengan demikian, aspek atau nilai agama merupakan salah satu aspek atau nilai kehidupan dari aspek-aspek atau nilai-nilai kehidupan lainnya. Hubungan antara nilai agama dengan nilai-nilai lainnya dapat bersifat horizontal-lateral (independent) atau lateral-sekuensial, atau vertikal linier[7].
Relasi yang bersifat horizontal-lateral (independent), mengandung arti bahwa beberapa mata pelajaran (mata kuliah) yang ada dan pendidikan agama mempunyai hubungan sederajat yang independen, dan tidak saling berkonsultasi. Relasi yang bersifat lateral-sekuensial, berarti di antara masing-masing mata pelajaran (mata kuliah) tersebut mempunyai relasi sederajat yang bisa saling berkonsultasi. Sedangkan relasi vertikal-linier berarti mendudukkan pendidikan agama sebagai sumber nilai atau sumber konsultasi, sementara seperangkat mata pelajaran (mata kuliah) yang lain adalah termasuk pengembangan nilai-nilai insani yang mempunyai relasi vertikal-linier dengan agama.
Umat Islam dididik dengan seperangkat ilmu pengetahuan atau mata pelajaran, salah satunya adalah mata pelajaran pendidikan agama yang mempunyai fungsi tersendiri, yaitu sebagai: pertama, pengembangan dan peningkatan keimanan dan ketakwaan; kedua, penyaluran bakat dan minat dalam mendalami agama; ketiga, perbaikan kesalahan, kekurangan dan kesalahan dalam keyakinan, pemahaman dan pengamalan ajaran agama; keempat, pencegahan hal-hal negatif dan lingkungannya atau budaya asing yang berbahaya; kelima, sumber nilai atau pedoman hidup utuk mencapai kebahagiaan dunia-akhirat; dan keenam, pengajaran atau penyampaian pengetahuan keagam[8].
Jadi, pendidikan agama lebih menonjolkan fungsi moral dan spiritual atau dimensi afektif daripada kognitif dan psikomotor dalam arti dimensi kognitif dan psikomotor diarahkan untuk pembinaan afektif (moral dan spiritual) yang berbeda dengan mata pelajaran lainnya.
Paradigma tersebut tampak dikembangkan pada sekolah atau Perguruan Tinggi (PT) yang bukan berciri khas agama islam. Di dalamnya diberikan seperangkat mata pelajaran atau ilmu pengetahuan (mata kuliah), salah satunya adalah mata pelajaran atau mata kuliah pendidikan agama yang hanya diberikan dua jam pelajaran per minggu atau di perguruan tinggi tiga sks, dan didudukkan sebagai mata kuliah dasar umum, yakni sebagai upaya pembentukan kepribadian yang religius.
Sebagai implikasinya, pengembangan pendidikan agama Islam tergantung pada kemauan, kemampuan, atau political-will dan para pembinanya dan sekaligus pimpinan dan lembaga pendidikan tersebut, terutama dalam membangun hubungan kerja sama dengan mata pelajaran (kuliah) lainnya. Fenomena pengembangan pendidikan agama Islam di Sekolah atau perguruan tinggi umum tampaknya sangat bervariasi. Dalam arti ada yang cukup puas dengan pola horizontal-lateral (independent), ada yang mengembangkan pola relasi lateralsekuensial, dan ada pula yang berobsesi untuk mengembangkan pola relasi vertikal-linier. Semuanya itu lagi-lagi banyak ditentukan oleh kemauan, kemampuan, dan political-will dan pimpinan dan lembaga pendidikan tersebut. Kebijakan tentang pembinaan pendidikan agama Islam secara terpadu di sekolah umum misalnya, antara lain menghendaki agar pendidikan agama dan sekaligus para guru/dosen agamanya mampu memadukan antara mata pelajaran agama dengan pelajaran umum. Kebijakan ini akan sulit diimplementasikan pada sekolah atau perguruan tinggi umum yang cukup puas hanya mengembangkan pola relasi horizontallateral (independent). Barangkali kebijakan tersebut relatif mudah diimplementasikan pada lembaga pendidikan yang mengembangkan pola lateral-sekuensial. Hanya saja implikasi dan kebijakan tersebut adalah para guru/dosen agama harus menguasai ilmu agarna dan memahami substansi ilmu-ilmu umum, sebaliknya guru/dosen umum dituntut untuk menguasai ilmu umum (bidang keahliannya) dan memahami dasar-dasar ajaran dan nilai-nilai agama[9].
3.    Paradigma  Organisme
Istilah “organisme” dapat berarti: benda hidup (plants, animals, and bacterial are organism), dan dapat berarti kesatuan yang terdiri atas bagian-bagian yang rumit (Salim, P, 1996). Dalam pengertian kedua tersebut, paradigm organisme bartolak dari pandangan bahwa pendidikan Islam adalah kesatuan atau sebagai system (yang terdiri atas komponen-komponen yang rumit) yang berusaha mengembangkan pandangan/semangat hidup (weltanschauung) Islam, yang dimanifestasikan dalam sikap hidup dan keterampilan hidup yang Islami.
Pandangan semacam itu menggarisbawahi pentingnya kerangka pemikiran yang dibangun dan fundamental doctrines dan fundamental values yang tertuang dan terkandung dalarn Al-Qur’an dan al-sunnah ash-shahihah sebagai sumber pokok. Ajaran dan nilai-nilai Ilahi/agama/wahyu didudukkan sebagai sumber konsultasi yang bijak, sementara aspek-aspek kehidupan Iainnya didudukkan sebagai nilai-nilai insani yang mempunyai hubungan vertical linier dengan nilai Ilahi/agama.
Melalui upaya semacam itu, maka sistem pendidikan Islam diharapkan dapat mengintegrasikan nilai-nilai ilmu pengetahuan, nilai-nilai agama dan etik, serta mampu melahirkan manusia-manusia yang menguasai dan menerapkan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni, memiliki kematangan profesional, dan sekaligus hidup di dalam nilainilai agama.
Paradigma tersebut tampaknya mulai dirintis dan dikembangkan dalam sistem pendidikan di madrasah, yang dideklarasikan sebagai sekolah umum yang berciri khas agama Islam, atau sekolah-sekolah (swasta) Islam unggulan. Kebijakan pengembangan madrasah berusaha mengakomodasikan tiga kepentingan utama, yaitu: pertama, sebagai wahaha untuk membina ruh atau praktik hidup keislaman; kedua, memperjelas dan memperkokoh keberadaan madrasah sederajat dengan sistem sekolah, sebagai wahana pembinaan warga negara yang cerdas, berpengetahuan, berkepribadian, serta produktif; dan ketiga, mampu merespons tuntutan-tuntutan masa depan, dalam arti sanggup melahirkan manusia yang memiliki kesiapan memasuki era globalisasi, industrialisasi maupun era informasi[10]
2.1.3. Arah Pengembangan Pendidikan Islam
Didalam al-Quran dinyatakan bahwa “tujuan Tuhan menciptakan jin dan manusia adalah agar mereka menyembah kepada-Nya”. Ibadah itu mencakup segala sesuatu yang dilakukan oleh manusia, baik berupa amal perbuatan, pemikiran ataupun perasaan yang senantiasa ditujukan kepada Allah swt. Tujuan Tuhan menciptakan manusia ini kemudian dijadikan sebagai tujuan akhir dari kegiatan pendidikan Islam.
Dalam khazanah pemikiran pendidikan Islam, pada umumnya para ulama berpendapat bahwa tujuan akhir pendidikan Islam adalah “untuk beribadah kepada Allah swt”.
Di dalam Undang-Undang No. 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional dinyatakan, bahwa tujuan pendidikan nasional adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.
Maka dalam konteks pendidikan Islam, justru harus berusaha lebih dari itu. Dalam arti, pendidikan Islam bukan sekedar diarahkan untuk mengembangkan manusia yang beriman dan bertakwa, tetapi justru berusaha mengembangkan manusia untuk menjadi imam/pemimpin bagi orang beriman dan bertakwa.
Di dalam sebuah hadis juga dinyatakan “Kullukum raa’in wakullukum mas’ulun ‘an raiyyatihi” yakni masing-masing kamu adalah pemimpin (minimal pemimpin bagi dirimu sendiri), dan masing-masing kamu akan dimintai pertanggung jawaban atas kepemimpinannya[11].
Jadi dapat disimpulkan bahwa arah pengembangan pendidikan Islam itu ialah menjadi manusia yang seutuhnya, sesuai dengan fitrahnya sebagai manusia, yaitu sebagai Abdullah (hamba Allah) dan khalifatullah fil ard
2.1.4. Strategi Pengembangan Pendidikan Islam di Indonesia
Untuk mengembangkan ilmu pendidikan Islam, maka kita harus mengembangkan teori-teori ilmu pendidikan Islam tersebut. Mengembangkan ilmu berarti mengembangkan teorinya, karena isi ilmu adalah teori-teori. Selanjutnya mengembangkan teori sekurang-kurangnya yaitu:
a.    Merevisi teori yang sudah ada. Disini teori lama tidak dibuang seluruhnya, melainkan hanya disempurnakan
b.    Mengganti teori lama dengan teori baru. Disini teori lama tersebut dibuang semuanya dan diganti dengan teori baru
c.    Membuat teori, disini kita membuat teori, karena memang belum ada sebelumnya.
Dalam pengembangan teori seperti itu, apakah merevisi, mengganti, ataupun membuat teori, diperlukan metode yang menjelaskan cara kerja yang terpertanggungjawabkan. Jika kita merevisi teori atau hendak mengganti teori, itu berarti teori lama sudah ada. Teori lama yang ada dan banyak ialah teori pendidikan dari Barat.
Ada dua arus yang muncul tentang cara pengembangan ilmu pendidikan Islam.
1)   Cara Induksi-Konsultasi, yaitu kita mulai dengan memeriksa teori Barat tersebut, lantas kita konsultasikan ke Islam (al-Quran atau Hadits), boleh jadi teori itu kita terima, kita revisi, atau kita tolak. Inilah islamisasi Ilmu Pendidikan dalam rangka mengembangkan Ilmu Pendidikan Islam. Jika cara ini kita tempuh, maka kita dikatakan menggunakan metode induksi-konsultasi
2)   Cara deduksi, yaitu kita mulai dari teks wahyu atau sabda Rasul, lantas ditafsirkan, dari sini muncul teori pendidikan pada tingkat filsafat. Teori itu dieksperimenkan, dari sini akan muncul teori pendidikan pada tingkat ilmu (sains). Selanjutnya diurai lebih operasional sehingga langsung dapat dijadikan petunjuk teknis (manual)[12]
Adapun untuk  mengembangkan pendidikan Islam itu sendiri  diperlukan landasan-landasan yang kokoh dengan memerhatikan berbagai perspektif, yaitu:
1.    Normatif-Teologis atau religius, yakni ajaran dan nilai-nilai Islam diyakini sebagai kebenaran dan kebaikan, sehingga harus dijadikan pegangan secara kokoh, dan dilestarikan, diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya, serta dikembangkan melalui sistem pendidikan Islam
2.    Filosofis, yakni ada sesuatu dalam pendidikan Islam yang harus dipikirkan dan direnungkan secara rasional, sistematis, radikal, dan universal, sehingga melahirkan keputusan yang bijaksana dalam penyelenggaraan sistem pendidikan Islam;
3.    Psikologis, kejiwaan yang berbeda-beda
4.    Historis, yakni pendidikan adalah masalah hidup dan kehidupan yang berada dalam proses sejarah, ruang dan waktu yang penuh dengan peristiwa dan tantangan yang selalu berjalan dan berubah selaras dengan perkembangan zaman, sehingga proses sejarah pada ruang dan waktu tertentu harus diangkat ibrahnya dan dijadikan pertimbangan untuk menjawab tantangan pendidikan masa kini dan mengantisipasi masa depan
5.    Sosiologis, yakni setiap individu memiliki ketergantungan dengan individu lainnya, kelompoknya, masyarakatnya, sehingga terjadinya simbiosis mutualisme, saling memengaruhi, isi mengisi dan melengkapi
6.    Politik,yakni kehidupan seseorang berada dalam sistem pemerintahan dan kekuasaan tertentu, demikian pula pendidikan, sehingga sistem dan corak politik ikut mewarnai sistem pendidikan
7.    Ekonomi, yakni pendidikan dipandang sebagai salah satu sarana untuk menyiapkan manusia atau tenaga kerja yang produktif dan siap dipakai (jasanya) oleh masyarakat (user).




[1] Ahmad Tafsir, “Filsafat Pendidikan Islam” (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2010) hlm. 281-282
[2] Ibid, hlm. 283-284
[3] Ibid, hlm 284-286
[4] Samsul Nizar, “Sejarah Pendidikan Islam; Menelusuri Jejak Sejarah Pendidikan Era Rasulullah Sampai Indonesia” (Jakarta: Kencana, 2008) hlm. 230
[5] Muhaimin, “Paradigma Pendidikan Islam” (Bandung: Remaja Rosdakarya,2012)  hlm 41
[6] Mulya Kartanegara, “Integrasi Ilmu: Sebuah Rekontruksi Holistik”, (Bandung: Arasy Mizan, 2005) hlm. 19-20
[7] Muhaimin, loc.cit, hlm.43
[8] Ibid, hlm. 43
[9] Ibid, hlm. 44-45
[10] Ibid, hlm. 45-46
[11] Ibid, hlm 48-50
[12] Ahmad Tafsir, op.cit. hlm 325-327

Kamis, 14 April 2016

Metode Luqman dalam Mendidik Anak

BAB I

PENDAHULUAN

1.1.       Latar Belakang
Setiap anak lahir dalam keadaan suci. Sesuai dengan hadits Nabi saw:
كُلُّ مَوْلُوْدٍيُوْلَدُعَلَى الْفِطْرَةِ حَتَّى يَعْرُبَ عَنْهُ لِسَانُهُ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْيُنَصِّرَانِهِ أَوْيُمَجِسَانِهِ. (الحديث)
“semua anak dilahirkan atas fitrah, sehingga ia jelas omongannya. Kemudian orangtuanyalah yang menyebabkan anak itu menjadi Yahudi, Nasrani, atau Majusi”. (HR. Abu Ya’la, Al-Thabrani, dan Al-Baihaqi dan Al-Aswad bin Sari).
Berdasarkan hadits diatas, dijelaskan bahwa orang tuanyalah penyebab bagaimana anak itu akan menjalani kehidupannya. Tujuan dari pernikahan adalah untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah mawadah, warahmah diantara sesama anggota keluarganya[1], diantaranya yaitu dengan memiliki keturunan yang shaleh dan shalehah. Dalam upaya menghasilkan generasi yang berkualitas, shaleh dan shalehah, diperlukan adanya usaha yang konsisten dan kontinu dari orang tua dalam melaksanakan tugas memelihara, mengasuh dan mendidik anak-anak mereka baik lahir maupun batin sampai anak tersebut dewasa dan/mampu berdiri sendiri, dimana tugas ini merupakan kewajiban orang tua[2].
Sejalan dengan itu, Allah swt melalui Luqman al-Hakim memberikan contoh-contoh bagaimana Luqman dalam mendidik anak-anaknya yang diabadikan dalam al-Quran surah Luqman, yang mana Allah swt, menganjurkan para orang tua untuk berkaca atau meniru apa yang Luqman  al-Hakim lakukan dalam mendidik anak-anaknya, untuk menghasilkan generasi yang berkualitas. Maka dari itu, dalam makalah ini penulis akan menguraikan metode Luqman dalam mendidik anak.                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                            
1.2.       Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang belakang diatas, adapun masalah yang ingin digali dalam pembuatan makalah ini seperti terangkum dalam pertanyaan-pertanyaan dibawah ini:
1)      Siapakah Luqman al-Hakim ?
2)      Pentingkah mendidik anak?
3)      Apa saja esensi pokok pendidikan Luqman Al-Hakim?
4)      Metode apa saja yang diterapkan Luqman dalam mendidik anak?
1.3.       Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan dari pembuatan makalah ini adalah :
1)      Untuk mengetahui biografi Lukman al-Hakim.
2)      Untuk mengetahui seberapa penting mendidik anak.
3)      Untuk mengetahui esensi pokok pendidikan Luqman Al-Hakim
4)      Untuk mengetahui metode Luqman dalam mendidik anak.


BAB II
PEMBAHASAN
2.1.       Biografi Luqman al-Hakim
Luqman Al-Hakim adalah seorang yang diberikan hikmah oleh Allah SWT.  Sebagaimana disebutkan oleh Allah SWT dalam firman- Nya, “Dan sesungguhnya telah kami berikan hikmah kepada luqman...”(QS. Luqman :12).
Jumhur ulama ahli takwil menyatakan: Lukman adalah seorang wali bukan Nabi. Yang benar Lukman adalah seorang laki-laki yang hakim (bijak) mendapat hikmah dari Allah, dia benar dalam aqidah, dan ahli di bidang agama dan cerdas akalnya, dia seorang Hakim Agung Bani Israil.
Ibnu Umar menyatakan: Saya mendengar Rasululah saw. bersabda:
لم يكن لقمان نبيًّا ولكن كان عبدا كثيـر التفـكر حسن اليقين, أحبَّ الله تعالى فأحبـه, فمَنَّ عليه بالحكمـة, وخـيَّره فى أن يجعله خليفة يحكم بالحقِّ.(ابن الحاتم)
(Lukman bukanlah seorang Nabi, tetapi dia seorang hamba yang banyak berfikir dan memiliki keyakinan yang baik, dia mencintai Allah Ta’alaa, dan Allah  mencintainya. Allah menganugerahinya hikmah, dan Allah memilihnya untuk dijadikan kholifah atau pemimpin untuk menetapkan hukum dengan benar)[3]
Mujahid berkata : Luqman Al-Hakim adalah seorang hamba habasyah  yang bibirnya tebal dan kedua tumitnya pecah-pecah . dia didatangi seseorang ketika sedang duduk dan memberikan ceramah di hadapan banyak orang. Dia bertanya kepada luqman, “ bukankah dulu anda yang menggembala kambing ditempat ini dan ini  ? “ Luqman menjawab : “ ya.” orang itu bertanya lagi,” apa yang membuat anda mencapai kedudukan ini ?” beliau menjawab , “ berbicara jujur dan diam dari sesuatu yang tidak perlu.”[4]
Tentang pekerjaan Luqman, ada beberapa pendapat: Sa’id Ibnul Musayyab menyatakan; Dia seorang penjahit. Menurut Kholid ar Ruba’ie: Dia seorang tukang kayu.[5] Dari pendapat lain: Lukman adalah seorang tukang kayu, orang miskin berkulit hitam dari Sudan, yang diberi hikmah oleh Allah setingkat dengan kenabian.[6]
Hikmah menurut bahasa, terdapat dalam Kamus Munjid: Kalimat yang sesuai dengan kebenaran, filsafat, urusan yang benar, keadilan, ilmu, ketulusan. Menurut Ibnu Abbas, hikmah adalah: Ilmu, kefahaman, serta kebenaran dalam ucapan dan tindakan.[7] Dalam pemakaian sehari-hari hikmah adalah: Kearifan dan kebijaksanaan. Ahmad al Maroghie dalam Tafsirnya menyatakan: Hikmah adalah akal sehat atau kecerdasan, dan telah banyak kata-kata mutiara hikmah dari Lukman, sebagai upaya mendidik anak-anaknya antara lain: “Wahai anakku sesungguhnya dunia ini ibarat sebuah lautan yang dalam, dan telah menenggelamkan banyak manusia, oleh karena itu jadikanlah taqwa kepada Allah sebagai perahumu, iman sebagai muatannya, dan tawakal sebagai layarnya, maka engkau akan selamat”. Kata mutiara lainnya: “Barang siapa yang memiliki kendali diri, maka akan mendapatkan penjagaan dari Allah, dan barang siapa yang adil terhadap dirinya sendiri, maka Allah berkenan menambah kemulyaan baginya. Meremehkan ketaatannya kepada Allah, maka berarti mendekati Allah dengan maksiyat”. Kata mutiara lainnya: “Wahai anakku, jangan terlalu manis, maka kamu akan ditelan orang, dan jangan terlalu pahit, maka kamu akan dimuntahkan orang”. Kata mutiara Lukman yang lain: “Hai anakku, apabila engkau hendak berteman dengan seseorang, maka buatlah dia marah, bila dia bertindak adil kepadamu, ketika dia marah, maka jadikanlah dia temanmu, bila tidak, maka jauhilah dia”.[8]
Dan Lukman sebagai orang yang diberi hikmah diperintah bersyukur kepada Allah, karena siapa orang yang diberi hikmah berarti diberi anugerah yang teramat banyak dan besar, sebagaimana firman Allah dalam surat al Baqarah 269:
  
“Allah menganugerahkan Al Hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Quran dan As Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. dan Barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah)” (QS. Al-Baqarah :269)
Orang yang diberi hikmah adalah mendapatkan anugerah yang sangat besar dari Allah, oleh karena itu wajib bersyukur kepada Allah atas anugerah hikmah tersebut. Orang yang diberi hikmah oleh Alah, tampil sebagai pribadi yang berakhlakul karimah, adil, arif dan bijaksana, terhadap segala urusan baik urusan dirinya sendiri, keluarga, masyarakat, atau terhadap sesama makhluk hidup. Orang tersebut akan tampak sebagai hamba kekasih Allah, kehidupannya terhormat, dan taat menjalankan semua perintah Allah dan sanggup menjauhi semua larangan Allah. Inilah pribadi muttaqin menurut pandangan Islam.
2.2.       Arti Penting Mendidik Anak
Pada kebun fitrah  pertama, Allah SWT telah menggariskan untuk manusia, anak Adam terlahir, lalu orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi, sebagaimana Rasulullah saw bersabda:
كُلُّ مَوْلُوْدٍيُوْلَدُعَلَى الْفِطْرَةِ حَتَّى يَعْرُبَ عَنْهُ لِسَانُهُ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْيُنَصِّرَانِهِ أَوْيُمَجِسَانِهِ. (الحديث)
“semua anak dilahirkan atas fitrah, sehingga ia jelas omongannya. Kemudian orangtuanyalah yang menyebabkan anak itu menjadi Yahudi, Nasrani, atau Majusi”. (HR. Abu Ya’la, Al-Thabrani, dan Al-Baihaqi dan Al-Aswad bin Sari)
Dari awal akan tampak,apakah langkah-langkah pendidikan  itu baik atau rusak, tergantung orang tuanya, bagaimana cara mendidik anak-anak mereka. Tidak dapat dipungkiri lagi bahwasanya mereka adalah bekal masa depan bahkan mereka adalah masa depan itu sendiri. Dengan merekalah umat akan terangkat.[9] Memperhatikan mereka akan menjadikan umat akan  berkembang di masa mendatang, sebaliknya mangabaikan mereka mengancam kekelaman di masa mendatang. Di samping itu pula orang tua juga akan bertanggung jawab kepada Allah SWT atas mereka. Allah SWT akan menanyakan kepada kita tentang mereka dan tentang pendidikan mereka. Allah SWT berfirman :
  
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan” (QS; At-Tahrim: 6)
Rasulullah SAW menyatakan bahwa anak-anak,yang tidak sholih-sholihah, akan menyebabkan orang tua mereka menjadi bodoh, kikir, pengecut, dan senantiasa bersedih. Bodoh karena ketiadaan waktu untuk belajar agama disebabkan kesibukan mencari materi untuk anak-anak. Kikir karena merasa sayang untuk berinfak sebab merasa kebutuhan anak-anak belum semuanya tercukupi. Pengecut karena enggan menunaikan amar makruf nahi munkar sebab memikirkan keselamatan anak-anak dari resiko penegakan kebenaran, dan senantiasa bersedih sebab anak-anak itu hanya  menambah beban kesedihan akan permintaan mereka  yang diluar kemampuan atau berbagai kenakalan yang membawa-bawa orang tua.
Pada akhirnya tidak ada pilihan lain bagi orang tua muslim kecuali menjadikan anak-anak mereka sebagai pribadi shalih-shalihah yang siap menghadapi zamannya. Agar anak-anak itu membawa izzah (kemuliaan) bagi orang tua dan menjadi investasi dunia akhirat. Serta memberikan pahala yang mengalir tiada putus- putusnya  jika orang tua mendahului mereka menghadap Allah SWT, atau membukakan pintu jannah bagi orang tua jika mereka lebih dahulu meninggal.[10]

2.3.       Esensi Pokok Pendidikan Luqman Al-Hakim
2.3.1. Pendidikan Aqidah Tauhid
Pendidikan aqidah tauhid merupakan pendidikan pertama dan utama yang harus diberikan kepada anak-anak, agar anak sejak dini mengenal Tuhan yang menciptakan alam semesta termasuk manusia dan diri anak itu sendiri. Pendidikan tauhid bertujuan agar anak menjadi manusia yang bertaqwa kepada Allah SWT. Perlu dijelaskan bahwa yang dilarang ialah mempersekutukan Allah dengan sesuatu. Dalam Islam ada satu kaidah hukum yang menyatakanالنهي عن الشئ أمر بضـده  (Larangan terhadap sesuatu itu berarti perintah terhadap kebalikan sesuatu itu).[11]
Jadi kalau yang dilarang musyrik, maka orang diperintah mentauhidkan (mengesakan) Allah. Larangan musyrik terhadap anak sudah barang tentu sebelumnya sudah melaui proses pembentukan keimanan yang kokoh kuat melalui pendidikan. Sebab tidak mungkin orang melarang orang lain terutama anaknya terhadap sesuatu perbuatan tanpa diketahui terlebih dahulu tentang hal dilarangnya.
Sejak baru lahir anak telah dikenalkan dengan Tuhan Allah, dengan cara mebiisikkan kalimat adzan pada telinganya, sebagai pendidikan utama dan pertama setelah lahir didunia, sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi saw., yang diriwayatkan oleh Abu Rofi’ ia menyatakan bahwa dia menyaksikan Rasulullah saw.:
رايت رسول الله صلى الله عليه وسلم اَذَّنَ فى اُذنِ الحسـن بن علىٍّ حين ولدته فاطمـةُ بالصلاةِ (ابو داود)
(Saya melihat Rasulullah saw. melakukan adzan pada telinga al Hasan bin Ali ketika baru dilahirkan oleh Fathimah, seperti adzan untuk sholat).[12]
Setelah anak mulai bisa berbicara, beraktivitas mandiri diperkenalkan dengan sifat-sifat Allah terutama sifat kasih sayang Allah kepada manusia terutama anak-anak, dengan menghafalkan surat al Ikhlas dan sebagainya. Anak diajak mengenal ciptaan Alah dalam wujud alam semesta yang berada disekitar kehidupan anak, pepohonan yang hijau, sawah terbentang luas, buah-buahan yang nikmat cita rasanya, semuanya anugerah Allah untuk manusia. Dan pada gilirannya anak akan mengenal jati dirinya, kedudukanannya di hadapan Allah dan di hadapan sesama manusia dan makhluk lainnya. Sebagaimana tersebut dalam ayat: 13 surat Lukman:

“dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar" (QS. Luqman;13)
Pernyataan “hai anakku”, menunjukkan bahwa pendidikan Lukman menggunakan pendekatan cinta kasih. Ahmad Musthofa al Maroghie menyatakan: “Dholim adalah: meletakkan sesuatu bukan peda tempatnya”. Kedholiman besar ketika orang menyamakan antara Dzat yang tidak ada kenikmatan kecuali dari pada-Nya, yakni Allah SWT. dengan makhluk yang tidak mampu memberi kenikmatan kepada siapapun, yakni patung atau berhala”.[13]
     Aqidah (keimanan yang kuat) adalah kunci dari keberagamaan seseorang, dan itu akan diperoleh melalui pendidikan dan latihan secara tekun dan terus menerus, baik melalui pendidikan keluarga, atau pendidikan formal, misalnya di Madrasah, Sekolah, pesantren, bisa juga melalui pengajian di majelis-majelis ta’lim.
Aqidah yang kuat akan menjauhkan manusia dari syirik atau mempersekutukan Allah dengan tuhan-tuhan lainnya. Dan manusia dalam hidupnya memiliki prinsip yang tegas sebagaimana yang diajarkan oleh Nabi saw. dan kita ucapkan setiap saat: رضيت بالله ربا وبالإسلام دينا وبمحمد نبيًّا ورسولا (Aku rela Allah Tuhanku, Islam agamaku, dan Nabi muhammad adalah nabi dan utusan Allah). Sebagaimana hadits dari al Abbas bin Abdul Mutholib, bahwasanya dia mendengar Rasulullah saw. bersabda, diriwayatkan oleh Muslim:
ذاق طعـم الإيمان, من رضي باللهِ ربًّا وبالإسـلام ديـنا وبمحـمد رسولاً
(Akan menikmati lezatnya beriman orang yang rela bahwa Allah Tuhannya, Islam agamanya, dan Muhammad adalah utusan Allah). [14]
Aqidah yang baik akan membawa manusia menjadi baik, sebagai tanda bahwa manusia itu baik adalah paham akan agama Islam dengan baik pula. Sebagaimana sabda Rasululah saw.
من يـرد الله به خيـرًا يفـقهـه فى الدين (رواه الشيخان عن معاوية)
(Barang siapa yang dikehendaki oleh Allah menjadi orang baik, maka Allah memberikan kemampuan memahami tentang seluk beluk agama).[15]
Banyak orang lalai terhadap pendidikan aqidah untuk anak-anaknya, mereka menganggap itu kurang penting dan bahkan akan mengganggu perkembangan kepribadian anak dan menurunkan prestasi anak dalam pendidikan. Realita menunjukkan bahwa banyak orang tua tidak memiliki bekal untuk mengantar anaknya menjadi manusia yang baik, yang berguna bagi mereka nanti, baik di masa tua atau sesudah meninggal dunia.

2.3.2. Pendidikan Berbakti Kepada Kedua Orang Tua
Salah satu tujuan pernikahan: agar memperoleh anak keturunan yang baik, sebagai tugas melestarikan kehidupan jenis manusia di muka bumi ini. Setelah keluarga memiliki anak, maka Islam mengatur hak-hak anak terhadap orang tua dan hak-hak orang tua terhadap anak. Berbicara tentang pendidikan anak, maka tekanannya adalah bagaimana mendidik anak agar menyadari bahwa dia banyak berhutang budi kepada kedua orang tua terutama ibu, ibu sebagai perantara dia lahir ke dunia, maka dia wajib menghargai dan menghormati kedua orang tua sebagai manusia yang paling berjasa terhadap dirinya sehingga dia lahir dan hidup di dunia ini. Anak dididik memiliki sopan santun, etika, dan hormat kepada orang tua dan yang lebih tua dari padanya. Allah sangat bijaksana dalam mengantar pendidikan ini, Allah sendiri langsung yang memerintahkan, dengan firman-Nya dalam ayat 14 – 15 surat Lukman:

“dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu- bapanya; ibunya telah mengandungnya dalam Keadaan lemah yang bertambah- tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. bersyukurlah kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, Maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, Maka Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan”
Dari ayat ini ada beberapa pelajaran:
1.    Anak wajib berbakti kepada kedua ibu bapaknya, dan haram hukumnya melawan atau menentang kedua orang tua, kapan saja di mana saja, dalam kondisi apa saja. Karena jasa-jasa keduanya yang tak mungkin terbalas oleh anak manapun. Bahkan Allah secara tegas berfirman dalam surat al Israa: 23:  
“dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. jika salah seorang di antara keduanya atau Kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya Perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka Perkataan yang mulia”
Banyak cerita tentang bencana yang akan diterima oleh orang yang tidak berbakti kepada kedua orang tua (uquuqul walidain), kata orang Jawa "kuwalat". Oleh karena itu wajib bagi anak berusaha untuk mendapat ridlo orang tua agar Allah meridloinya, sebagaimana sabda Nabi saw: “Ridlo Allah itu terletak pada keridloan kedua orang tua, dan kemurkaan Allah itu terletak pada kemurkaan kedua orang tua”.
2.    Dilarang mengikuti perintah orang tua yang mengajak mempersekutukan Allah dengan yang lain, atau berma’siyat kepada Allah, dan wajib bergaul dengan baik walaupun agama kedua orang tua bukan orang Islam. Karena anak telah memahami bahwa menyekutukan Allah dengan yang lain adalah kedholiman yang besar. Dalam satu riwayat bahwa ayat ini diturunkan meyangkut tentang Sa’od bin Abi Waqosh, ia berkata: “Ketika saya masuk Islam, ibuku bersumpah, dia tidak akan makan dan minum, pada hari pertama dia mogok makan saya memanggilnya untuk makan, dia tidak mau dan dia bertahan, pada hari kedua saya panggil untuk makan, dia menolak, pada hari ketiga, saya panggil lagi, dia tetap menolak. Lalu saya berkata kepadanya: “Demi Allah seandainya ibu memiliki seratus nyawa, maka seratus nyawa itu akan melayang sebelum saya meninggalkan agamaku ini”. Ketika ibu tahu bahwa saya tidak akan melakukan apa yang dikehendaki agar saya kembali musyrik, maka dia mau makan”.[16]
3.    Dan setiap anak wajib menempuh jalan yang ditempuh oleh orang-orang yang menuju kepada Tuhan Allah, yakni jalan orang-orang sholeh yang rajin beribadah kepada Allah, dengan kesadaran bahwa dia akan kembali kepada Allah dan menerima balasan apa yang telah mereka perbuat di dunia. Inilah pendidikan anak tentang syari’ah agama yang dianutnya.
Dalam kaitannya berbakti kepada kedua ibu bapak, Abu Hurairoh berkata: Datang seorang laki-laki menghadap Rasulullah saw. dan bertanya:
يا رسول الله من احقُّ الناسِ بحسن صحابتى؟ قال: أمك, قال: ثم من؟ قال: أمك, قال: ثم من؟ قال: أمك, قال: ثم من؟ قال: أبوك (متفق عليه)
(Hai Rasulullah, siapakah orang yang paling berhak untuk saya pergauli dengan baik? Beliau menjawab: Ibumu. Ia bertanya lagi: Lalu siapa? Beliau menjawab: Ibumu. Ia bertanya lagi: Lalu siapa? Beliau menjawab: Ibumu. Ia bertanya lagi: Lalu siapa? Beliau menjawab: Ayahmu).[17] Tepat sekali bunyi ayat di atas menyebut ibu yang mengandung dan menyusui selama dua tahun terrhadap anaknya, karena betapa penting peran seorang ibu terhadap perkembangan kepribadian seorang anak.
Dalam hal berbakti kepada kedua orang tua, secara langsung diperintah oleh Allah, oleh karena sangat tidak mungkin seorang ayah atau ibu menyatakan kepada anaknya: “Kamu harus berbakti kepadaku”. Oleh karena itu sangat penting peranan guru atau pembimbing rohani untuk menjelaskan tentang berbakti kepada dua orang tua dimaksud. Banyak kita jumpai seseorang lebih hormat kepada gurunya dibanding kepada kedua orang tuanya, hal ini dimungkinkan anak tidak diserahkan kepada pendidik yang memiliki kapasitas dan kompetensi yang tepat.
Di Indonesia sudah ada Undang-Undang perlindungan anak, orang tua dapat dihukum karena menelantarkan anaknya, tetapi belum ada undang-undang perlindungan orang tua, oleh sebab itu bila ada anak menelantarkan orang tuanya, tidak dijerat oleh hukum, banyak kasus orang tua telantar, bahkan di Situbondo ada dua orang anak yang bapaknya sejak sakit sampai meninggal dunia di rumah sakit tidak mau menjenguk dan mengambil jenazah bapaknya, ini anak kurang ajar, tetapi tidak dapat dijerat oleh hukum. Hal ini sangat timpang dan perlu mendapatkan perhatian semua pihak, agar segera ada UU tentang perlindungan orang tua.
Dalam UU Sisdiknas Nomor: 20 Tahun 2003, tujuan pendidikan nasional adalah: untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.[18] Sama sekali tidak menyentuh kebaktian seorang anak terhadap kedua orang tuanya, sehingga sangat sulit dalam pendidikan kita untuk mengembangkan budi pekerti, karena pangkal utama budi pekerti itu adalah hormat terhadap kedua orang tua atau lain yang berjasa. Untuk itu perlu ditinjau kembali UU Sisdiknas kita di masa mendatang, dengan mempertimbangan unsur pokok pendidikan Lukman.

2.3.3. Pendidikan Disiplin dan Taat Terhadap Hukum
Anak dididik berdisiplin dan taat hukum, character building (pembangunan mental)  dan basic personality (dasar-dasar kepribadian) anak, maka harus melalui penanaman disiplin yang tinggi, agar anak memiliki kekuatan jiwa, atau mental yang tinggi, tidak mudah menyerah dengan keadaan. Dan anak dilatih untuk taat terhadap hukum yang berlaku, anak dididik mengenal reward and punishment (ganjaran dan hukuman), agar anak memiliki tanggung jawab terhadap apa saja yang ia kerjakan dan lakukan, baik dalam bentuk ucapan atau perbuatan. Sebagaimana yang diajarkan oleh Lukman dalam surat Lukman: 16:  
"Hai anakku, Sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya (membalasinya). Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha mengetahui”.
Anak dilatih untuk melakukan yang terbaik, agar mereka sadar bahwa semua yang dilakukan sekecil apapun baik atau buruk, pasti akan dibalas oleh Allah. Anak dilatih untuk tidak melanggar peraturan dan perundang-undangan yang berlaku lebih-lebih syari’at yang ditetapkan oleh Tuhan Allah, kata orang sekarang menjunjung tingi supremasi hukum. Karena dengan tegaknya hukum, maka kehidupan masyarakat dan negara akan menjadi sebagaimana digambarkan oleh Allah dalam surat as Saba: 15:  بلدة طيبـة وربٌّ غفـورٌ (Negeri yang baik, dengan ampunan dari Tuhan yang Maha Pengampun). Anak dilatih melakukan kewajiban dengan tertib dan baik, karena kesemuanya itu akan kembali kepada diri mereka sendiri, sehingga oleh anak kewajiban dipandang sebagai kebutuhan diri sendiri yang mutlak.
Apabila setiap orang tua menyadari betapa pentingnya pendidikan disiplin dan taat hukum ini, maka pasti akan ada program khusus dalam rumah tangga tentang pendidikan tersebut, dan tentu akan terwujud keteladanan setiap orang tua bagi anak-anaknya tentang disiplin dan taat hukum ini. Anak sudah memahami akan hak dan kewajiban, dan hukum sebab akibat, sebagaimana pepatah; “Siapa yang menanam dialah yang akan menuai”, “Siapa menebar angin akan menuai badai”. Sehingga anak memiliki disiplin pribadi yang kuat.

2.3.4. Pendidikan Pribadi Mandiri dan Bertanggung Jawab
Lukman al Hakim mendidik anaknya untuk menjadi manusia yang berkepribadian mandiri dan bertanggung jawab terhadap profesi. Sebagaimana firman Allah dalam surat Lukman: 17:  
“Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu Termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah)”
Ada tiga hal yang diharapkan oleh Lukman al hakim terhadap anaknya:
1.    Agar anaknya tekun melaksanakan sholat, sebagai tanggungjawabnya sebagai makhluk individu, sholat bisa dimaknai sebagai sholat secara harfiyah, tetapi juga sholat sebagai simbul dari ibadah secara keseluruhan. Sholat dalam arti harfiyah, bahwa sholat itu mampu mencegah manusia dari perbuatan keji dan mungkar, sedangkan bila sholat dimaknai sebagai simbolis dari seluruh ibadah, maka anak diharapkan memiliki pribadi yang teguh sebagai hamba Allah yang tugas pokoknya berbakti hanya kepada Allah semata. Perintah sholat sudah didahului dengan simpul-simpul tahapan, ketika anak umur tujuh tahun, ketika anak sudah umur 10 tahun, dan ketika anak sudah baligh mukallaf, dia bertanggung jawab menerima beban hukum terutama sholat. Menurut sabda Nabi saw. bahwa anak sudah diperintah melakukan sholat sejak umur tujuh tahun, dan setelah umur sepuluh tahun, harus dipukul bila lalai terhadap sholatnya.
مروا اولادكم بالصلاة وهم أبناء سـبع واضـربوهم عليها وهم ابناء عشـر وفرقوا بينهم فى المضاجع.(احمد وابو داود والحاكم)
(Perintahlah anakmu sholat ketika berumur tujuh tahun, dan pukullah mereka bila lalai setelah umur sepuluh tahun, dan pisahkanlah tempat tidur mereka).[19]
Anak diperintah pada usia tujuh tahun dan dipukul pada usia sepuluh tahun, bukan berarti Lukman baru berbicara tentang sholat ketika anak sudah berumur tujuh tahun, tetapi jauh sebelum itu anak telah dididik untuk sholat.
2.    Anak yang sudah dewasa dan mandiri bertanggung jawab sebagai makhluk sosial, untuk beramar ma’ruf nahi anil mungkar di tengah masyarakat luas. Menjadi manusia yang bertanggung jawab terhadap lingkungannya, pergaulannya, dan masyarakat sekitarnya, artinya diharapkan menjadi pemimpin bagi orang yang bertaqwa kepada Allah. Sebagaimana do’a kita setiap selesai sholat, dalam surat al Furqon: 74:  
“dan orang orang yang berkata: "Ya Tuhan Kami, anugrahkanlah kepada Kami isteri-isteri Kami dan keturunan Kami sebagai penyenang hati (Kami), dan Jadikanlah Kami imam bagi orang-orang yang bertakwa”
Betapa banyak cerdik pandai, gagah perkasa, tetapi tidak memiliki kepedulian terhadap masyarakat dan lingkungannya, mereka hanya sibuk mengurusi kebutuhan sendiri-sendiri, dan itulah kondisi bangsa kita saat ini, sangat memprihatinkan sekali.
3.    Dididik menjadi manusia yang sabar menghadapi semua rintangan dan tantangan hidup, termasuk dalam menjalankan tugas amar ma’ruf nahi anil mungkar, melalui keteladanan dalam hidup Lukman sebagai manusia yang diberi hikmah kebijaksanaan. Karena sadar bahwa itu semua adalah suatu kewajiban mulia yang harus dipikul dan tidak mungkin kehormatan yang diberikan Tuhan itu dilepaskan, dan yakin Tuhan pasti akan memberikan jalan keluar dari segala kesulitan yang dihadapinya, itu pasti dan pasti, karena Tuhan Allah tidak akan menipu, dan itulah yang dinamakan dalam islam “ruhul jihad” atau semangat juang yang tinggi.

2.3.5. Pendidikan Akhlaqul Karimah
        Lukman mendidik anaknya agar memiliki akhlaqul karimah, memiliki rasa sosial kemasyarakatan yang tinggi, memiliki human relationship yang kuat, tidak sombong dan congkak, ketika nanti sudah menjadi manusia yang berstatus di masyarakat, hidup dalam kecukupan atau bahkan memiliki status atau posisi penting di tengah masyarakat. Dalam surat Lukman: 18 – 19 Lukman berkata kepada anaknya:  
18.dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.
19. dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai.
Sombong dan congkak itu pada kebiasaannya dilakukan oleh orang yang sudah mapan dalam kehidupannya, sudah memiliki status atau kedudukan di masyarakat, sekalipun tidak menutup kemungkinan orang yang tidak memiliki kemapanan juga ada yang sombong, hal itu luar biasa. Gejala kesombongan itu dapat terlihat dalam ekspresi wajah, ekspresi sikap, cara berjalan, cara berbicara, dan bentuk-bentuk lainnya, yang menggambarkan sikap merendahkan atau meremehkan orang lain, karena merasa dirinya lebih dalam segala hal. Islam sangat menekankan akhlaqul karimah, karena Nabi Muhammad saw. di utus oleh Allah untuk menyempurnakan akhlak yang baik, sesuai dengan sabda beliau saw.: “Sesungguhnya saya diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia”.
Nabi saw. bersabda:
من كان يؤمن بالله واليوم الأخـر فليحسـن الى جاره, ومن كان يؤمن بالله واليوم الأخـر فليكـرم ضـيفـه, ومن كان يؤمن بالله واليوم الأخـر فليقل خيـرا او ليصـمت (رواه الشيخان)
“(Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah berbuat baik kepada tetangganya, dan barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah menghormati tamunya, dan barang siapa yang beriman kepada Alah dan hari akhir, maka hendaklah berkata yang baik atau diam)”.[20]
Dalam kesempatan lain beliau bersabda:
لا يؤمن احدكم حتى يحب لأخيه ما يحب لنفسـه (رواه البخارى ومسلم)
“(Tidak dinyatakan beriman sempurna seseorang di antara kamu, sampai mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri)”.[21]
     Uraian dalam ayat ini menggambarkan pendidikan bagi anak-anak setelah dewasa nanti dan memiliki status sosial yang mapan, kedudukan yang lumayan, maka hendaknya jangan berbuat dholim terhadap siapapun saja terutama terhadap profesinya, dan berkhianat terhadap amanat yang diberikan kepadanya.
2.4.       Metode Luqman Dalam Mendidik Anak
Istilah metode secara sederhana sering diartikan cara yang cepat dan tepat. Dalam bahasa Arab istilah metode dikenal dengan istilah thoriqah yang berarti langkah-langkah strategis untuk melakukan suatu pekerjaan. Akan tetapi menurut Ahmad Tafsir jika dipahami dari asal kata method (bahasa Inggris) ini mempunyai pengertian lebih khusus, yakni cara yang cepat dan tepat dalam mengerjakan sesuatu[22]. Jadi dapat disimpulkan bahwa metode merupakan suatu cara/langkah untuk melakukan sesuatu hal, dengan demikian maka metode yang dipakai Luqman al-Hakim dalam mendidik anaknya diantaranya sebagai berikut[23]:
1.    Metode Kisah
Menurut kamus Ibn Manzur (1200 H), kisah berasal dari kata qashsha-yaqushshu-qishshatan, mengandung arti potongan berita yang diikuti dan pelacak jejak. Menurut al-Razzi (1985:87) kisah merupakan penelusuran terhadap kejadian masa lalu. Dalam pelaksanaan pendidikan karakter di sekolah, kisah sebagai metode pendukung pelaksanaan pendidikan memiliki peranan yang sangat penting, karena dalam kisah-kisah terdapat keteladanan dan edukasi. Hal ini karena terdapat beberapa alasan yang mendukungnya:
a.    Kisah senantiasa memikat karena mengundang pembaca atau pendengar untuk mengikuti peristiwanya, merenungkan maknanya. Selanjutnya makna-makna itu akan menimbulkan kesan dalam hati pembaca atau pendengar tersebut.
b.    Kisah dapat menyentuh hati manusia, karena kisah itu menampilkan tokoh dalam konteksnya yang menyeluruh, sehingga pembaca atau pendengar dapat menghayati dan merasakan isi kisah tersebut, seolah-olah dia sendiri yang menjadi tokohnya.
c.    Kisah qurani mendidik keimanan dengan cara: membangkitkan berbagai perasaan, seperti khauf, ridho dan cinta (hub), mengarahkan seluruh perasaan sehingga bertumpuk pada suatu puncak, yaitu kesimpulan kisah, melibatkan pembaca atau pendengar kedalam kisah itu sehingga ia terlibat secara emosional.
Kisah qurani merupakan suatu cara dalam mendidik anak agar beriman kepada Allah. Menurut An-Nahlawi (1996) dengan mengutip pendapat Syayid Qutb (tt: 117-128) terdapat beberapa tujuan yang ingin dicapai yaitu:
1.    Mengungkapkan kemantapan wahyu dan risalah. Mewujudkan rasa mantap dalam menerima al-Quran dan keutusan Rasul. Kisah-kisah tersebut menjadi salah satu bukti kebenaran wahyu dan kebenaran Rasul-Nya.
2.    Menjelaskan bahwa secara keseluruhan, al-din itu datangnya dari Allah
3.    Menjelaskan bahwa Allah menolong dan mencintai Rasul-Nya. Menjelaskan bahwa kaum mukminin adalah umat yang satu dan Allah adalah Rabb nya
4.    Kisah-kisah itu bertujuan menguatkan keimanan kepada kaum Muslimin, menghibur mereka dari kesedihan atas musibah yang menimpa mereka
5.    Mengingatkan bahwa musuh orang mukmin adalah syaitan; menunjukkan permusuhan abadi itu lewat kisah akan tampak lebih hidup dan jelas.
2.    Metode Nasihat
Metode nasihat merupakan metide yang yang dilakukan oleh para Nabi kepada kaumnya, seperti Nabi Saleh yang menasehati kaumnya agar menyembah Allah, dan Nabi Ibrahim yang menasehati ayahnya agar menyembah Allah dan tidak lagi membuat patung. Begitu pula al-Quran mengisahkan Luqman yang memberi nasihat kepada anaknya agar menyembah Allah dan berbakti kepada kedua orang tua serta melakukan sifat-sifat yang terpuji, seperti yang terdapat dalam QS. Luqman ayat 13  
“dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar" (QS. Luqman;13)
Selain dari kisah Nabi dan Luqman di atas, al-Quran sendiri mengandung ayat-ayat yang mengandung nasihat, seperti nasihat agar tidak mempersekutukan Allah dan berbuat baik kepada manusia. Dalam al-Quran juga terdapat nasihat yang berulang-ulang. Hal ini menunjukkan bahwa masalah yang dinasihati itu penting sesuai dengan konteksnya.
Abuddin Nata (1997) menegaskan bahwa Al-Quran secara eksplisit menggunakan nasihat sebagai salah satu cara untuk menyampaikan suatu ajaran. Al-Quran berbicara tentang penasihat, yang dinasihati, objek nasihat, situasi nasihat, dan latar belakang nasihat. Karenanya sebagai suatu metode pengajaran, nasihat dapat diakui kebenarannya untuk diterapkan sebagai upaya mencapai suatu tujuan.
Abuddin Nata juga mengatakan, bahwa nasihat ini cocok untuk anak usia remaja, karena dengan kalimat-kalimat yang baik, dapat menentukan hati untuk mengarahkannya kepada ide yang dikehendaki. Selanjutnya beliau mengatakan bahwa metode nasihat itu sasarannya adalah untuk menimbulkan kesadaran pada orang yang dinasihati agar mau insaf melaksanakan ajaran yang digariskan  atau diperintahkan kepadanya[24]
3.    Metode Targhib dan Tarhib
Targhib ialah janji terhadap kesenangan, kenikmatan akhirat yang disertai dengan bujukan. Tarhib ialah ancaman karena dosa yang dilakukan. Targhib dan Tarhib bertujuan agar orang mematuhi aturan Allah, akan tetapi keduanya memiliki titik tekan yang berbeda. Targhib agar melakukan kebaikan yang diperintahkan oleh Allah, sedangkan tarhib agar menjauhi perbuatan jelek yang dilarang oleh Allah swt.
Metode ini didasarkan atas fitrah manusia, yaitu sifat keinginan kepada kesenangan, keselamatan, dan tidak menginginkan kesedihan dan kesengsaraan. Dalam hal ini dapat dilihat dari QS. Luqman ayat 16, yaitu ketika Luqman memberikan pengajaran kepada anaknya   
"Hai anakku, Sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya (membalasinya). Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha mengetahui”. (QS. Luqman: 16)
Dari ayat diatas anak dilatih untuk melakukan yang terbaik, agar mereka sadar bahwa semua yang dilakukan sekecil apapun baik atau buruk, pasti akan dibalas oleh Allah. Anak dilatih untuk tidak melanggar peraturan dan perundang-undangan yang berlaku lebih-lebih syari’at yang ditetapkan oleh Tuhan Allah.
4.    Metode Keteladanan
Dalam penanaman nilai-nilai ajaran Islam kepada anak, keteladanan yang diberikan orang tua merupakan metode yang lebih efektif dan efisien. Karena pendidikan dengan keteladanan bukan hanya memberikan pemahaman secara verbal, bagaimana konsep tentang akhlak baik dan buruk, tetapi memberikan contoh secara langsung kepada mereka. Didalam QS. Luqman ayat 18-19 Allah berfirman:  
18.dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.
19. dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai.
Dari dua ayat diatas menerangkan untuk memiliki akhlak yang baik dan menjadi teladan bagi orang lain, dengan tidak sombong dan congkak.
5.    Metode Pembiasaan
Pembiasaan adalah sesuatu yang sengaja dilakukan secara berulang-ulang agar sesuatu itu dapat menjadi kebiasaan. Metode pembiasaan ini berintikan pengalaman, karena yang dibiasakan itu ialah sesuatu yang diamalkan, dan inti kebiasaan ini adalah pengulangan.
Rasulullah saw mengajarkan agar para orang tua “pendidik” mengajarkan shalat kepada anak-anak dalam usia tujuh tahun, “suruhlah anak-anak kalian melaksanakan shalat dalam usia tujuh tahun, dan pukulah mereka apabila meninggalkannya ketika mereka berumur sepuluh tahun, dan pisahkanlah tempat tidur mereka” (HR. Abu Dawud). Membiasakan anak-anak dalam melaksanakan terlebih dilakukan secara berjamaah itu penting, karena dengan kebiasaan ini akan membangun karakter yang melekat dalam diri mereka. Sebagaimana firman Allah dalam surat Lukman: 17:   
“Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu Termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah)”. (QS. Luqman: 17)





BAB III
PENUTUP
3.1.       Kesimpulan
Ada lima hal penting yang disampaikan luqman kepada anaknya, yaitu:
1.      Larangan mempersekutukan Allah SWT.
2.      Perintah untuk berbuat baik kepada kedua orang tua.
3.      Menanamkan cinta akan amal sholih.
4.      Mengenalkan pada anak untuk menjalankan kewajiban kepada Allah SWT.
5.      Perintah untuk bersikap tawadlu’ dan larangan untuk menyombongkan diri.
Terdapat beberapa metode yang dapat diterapkan oleh orang tua dalam mendidik anaknya, diantaranya metode kisah, nasihat, targhib dan tarhib, keteladanan dan pembiasaan. Banyak pelajaran yang bisa dipetik dari kisah luqman tersebut, terutama soal keteladanan bapak dalam mendidik anak. Luqman menanamkan tauhid dan keimanan kepada Allah SWT. Luqman mengajarkan bagaimana cara berhubungan yang baik kepada keluarga dan  masyarakat, yang di sini luqman langsung memberikan keteladanan terhadap anaknya.
3.2.       Saran
Hendaknya kita ketahui bahwasanya anak-anak meniru apa yang kita lakukan, maka seyogyanya kita menjauhi kesalahan-kesalahan  karena takut kepada Allah SWT yang akan mengadzab kita atas dosa-dosa kita dengan adanya anak-anak yang durhaka. Maka benarlah yang telah mengatakan:                                                                               
Suatu hari,seekor merak berjalan dengan angkuh,lalu anak-anaknya menirunya, Dia bertanya mengapa kalian melakukan hal ini? Mereka menjawab kamu telah memulai dan kami  hanya menirumu. Maka seorang anak akan tumbuh dengan apa yang telah dibiasakan ayahnya.
Urgensi keteladanan disebutkan  dalam hadits nabi.” Barang siapa yang memeberikan contoh baik, maka baginya pahala atas perbuatan baiknya dan pahala orang yang mengikuti hingga hari kiamat, yang demikian itu tidak menghalangi pahala orang-orang yang mengikutinya sedikitpun. Dan barang siapa yang memberi contoh buruk, maka baginya dosa atas perbutan nya dan orang yang mengikutinya hingga hari kiamat. Yang demikian itu tanpa di kurangi sedikit pun dosa irang-orang yang nmengikutinya .(HR.Muslim)  
Dalam waktu sekarang ini, metode Luqman Al- hakim dalam mendidik anaknya perlu disosialisasikan dalam masyarakat, khususnya bagi orang tua. ditengah permunculannya kasus anak-anak yang tidak dapat mendapat hak sewajarnya dalam keluarga , banyak anak hidup di bawah ancaman dan kekerasan , karena orang tua lari dari tanggung jawab. Disisi lain banyak perilaku negatif di masyarakat yang bisa mendorong anak-anak menjadi jauh dari aqidah dan akhlak islam. Sebagai contoh,Tayangan televisi yang kurang bermutu, yang  cenderung banyak mempertontonkan aurat serta maraknya aksi pornografi dan porno aksi , merupakan bagian dari penyebabnya, Yang mengakibatkan anak-anak mengalami krisis keteladanan.
Untuk itu peran keluarga amat sangat penting dalam mengawal pendidikan anak-anak. Dari pendidikan keluarga lah anak menemukan tata nilai norma dan agama yang berhubungan dengan masyarakat atau pun yang berhubungan dengan Allah SWT, sebagai mana yang di ajarkan Rasulullah SAW. Sehingga dengan demikian , terbentuk anak  yang shalih dan shalihah yang menjadikan keluarga  sakinah mawaddah warahmah yang senantiasa mendapatkan ridha dari Allah SWT. Insya Allah   

DAFTAR PUSTAKA
Abdul Hamid Hakim, “As Sulam”, Juz II, As Sa’diyah Putra, Jakarta
Abil Husain Muslim bin al Hajjaj al Qusyairie an Naisaburie, “Shohih Muslim”, Juz: I, Darul Fikri, Beirut, Libanon
Abu Abdillah Muhamad bin Ahmad al Anshorie al Qurthubie, 1994.  “Al Jami’u li ahkaami al Qur’aani” (Tafisr al Qurthubie), jilid VII, Bagian ke XIV, Darul Fikri, Beirut, Libanon
Abu faruq al –atsari,2009. “Bagaimana Mendidik Anak?”, Solo: al-Qowam group
Abu Thohir bin Abbas, 1995. “Tafsir Ibnu Abbas”, Darul Fikri, Beirut, Libanon,
Ahmad Musthofa al Maroghie, “Tafsir al Maroghie”, jilid 7, Juz: 21, Darul Fikri, Beirut, Libanon
Copmac Disc (CD) “Mausu’ah al Hadits as Syarif al Kutubut Tasi’ah”, Sunan Abu dawud, hadits no. 4441
Mahmud dkk. 2013. “Pendidikan Agama Islam dalam Keluarga”. Jakarta: Akademia
Muhyiddin Abu Zakariya Yahya bin Syarof an Nawawie, “Riyadlus Sholihin” min kalami Sayyidil Mursalin, Salim Nabhan wa aulaadih, Surabaya Rahmanblogspot.com
Syarbini, Amirullah dan Heri Gunawan. 2014. “Mencetak Anak Hebat”. Jakarta: PT Alex Media.
Undang-Undang SISDIKNAS (Sistem Pendidikan Nasional) 2003 (UU RI NO. 20 Thn. 2003), Jakarta: Sinar Grafika, Jakarta
Yunahar ilyas, 2009. “kuliah akhlaq”, Yogyakarta: LPPI UMY










[1] Mahmud dkk. “Pendidikan Agama Islam dalam Keluarga”. (Jakarta: Akademia, 2013), hlm. 132
[2] Ibid, hlm. 132
[3] Abu Abdillah Muhamad bin Ahmad al Anshorie al Qurthubie, “Al Jami’u li ahkaami al Qur’aani” (Tafisr al Qurthubie), jilid VII, Bagian ke XIV, Darul Fikri, Beirut, Libanon, 1994, hal. 56
[4] Rahmanblogspot.com
[5]  Abu Abdillah Muhamad bin Ahmad al Anshorie al Qurthubie, loc, cit, hlm.57
[6]  Ahmad Musthofa al Maroghie, “Tafsir al Maroghie”, jilid 7, Juz: 21, Darul Fikri, Beirut, Libanon, hal: 78.
[7]  Abu Thohir bin Abbas, “Tafsir Ibnu Abbas”, (Darul Fikri, Beirut, Libanon, 1995),  hal:  412.
[8]  Ahmad Musthofa al Maroghie, loc. cit
[9] Abu faruq al –atsari, “Bagaimana Mendidik Anak?”,  (Solo, al-qowam group,2009) hlm 12
[10] Yunahar ilyas, “kuliah akhlaq”, (Yogyakarta,LPPI UMY,2009) hlm 148
[11]  Abdul Hamid Hakim, “As Sulam”, Juz II, As Sa’diyah Putra, Jakarta, hal. 14.
[12]  Copmac Disc (CD) “Mausu’ah al Hadits as Syarif al Kutubut Tasi’ah”, Sunan Abu dawud, hadits no. 4441.
[13]  Ahmad Musthofa al maroghie, Op. Cit, hal. 81
[14]  Abil Husain Muslim bin al Hajjaj al Qusyairie an Naisaburie, “Shohih Muslim”, Juz: I, Darul Fikri, Beirut, Libanon, hal: 41.
[15]  As Sayyid  Ahmad al hasyimie Bek, “Mukhtarul ahaaditsi an Nabawiyyah wal Hikami al Muhammadiyah, Op. Cit. 175.
[16]  Ahmad Musthofa al Maroghie, Op. Cit, hal:83.
[17]  Muhyiddin Abu Zakariya Yahya bin Syarof an Nawawie, “Riyadlus Sholihin” min kalami Sayyidil Mursalin, Salim Nabhan wa aulaadih, Surabaya, hal. 116.
[18]  Undang-Undang SISDIKNAS (Sistem Pendidikan Nasional) 2003 (UU RI NO. 20 TH. 2003), Sinar Grafika, Jakarta, hal. 5 – 6.
[19]  Al Imam Jalaluddin Abdur Rohman bin Abi Bakar as Suyuthie, “Al Jami’u as Shoghir”, Darul Kaatib al Arobie wat Thoba’ah wan nasyar  bil Qohiroh /Darul Qolam (Kairo), tahun 1967, hal. 291.
[20]  As Sayyid Ahmad al Hasyimie Bek, Op. Cit, hal. 173.
[21]  Ibid, 138.
[22] Mahmud dkk. “Pendidikan Agama Islam Dalam Keluarga”. (Jakarta: Akademia, 2013) hlm. 157
[23] Ibid, hlm. 159-163
[24] Syarbini, Amirullah dan Heri Gunawan. “Mencetak Anak Hebat”. (Jakarta: PT Alex Media. 2014) hlm. 224-225