BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Masalah
Banyak permasalahan baru
muncul pada saat ini, yang mana hukumnya masih membuat bingung masyarakat akan
hal itu. Diantara permasalahan yang baru muncul adalah Keluarga Berencana (KB),
Aborsi, dan Telat Bulan (Menstrual reagulation). Banyak dari masyarakat yang
bertanya-tanya bagaimana hukum KB, Aborsi, dan Telat Bulan. Bahkan banyak dari
mereka yang tidak mengerti apa yang dimaksud dengan KB, Aborsi, ataupun Telat
Bulan.
KB, aborsi dan telat bulan
semuanya merupakan cara untuk mencegah kehamilan. Akan tetapi aborsi dan telat
bulan dilakukan saat si wanita terlanjur hamil dan ingin menggugurkan
kehamilannya. Sedangkan KB dilakukan hanya untuk mencegah kehamilan saja dan
akibatnya tidak akan terlalu fatal bagi pelakunya.
1.2.Rumusan Masalah
Sebagaimana latar belakang
masalah diatas, maka rumusan masalah yang dapat dirumuskan sebagai berikut:
Ø Apa yang dimaksud
dengan Keluarga Berencana, dan bagaimana pandangan hukum Islam terhadap
Keluarga Berencana?
Ø Apa yang dimaksud
dengan Aborsi, dan bagaimana pandangan hukum Islam terhadap Aborsi?
Ø Apa yang dimaksud
dengan Menstrual reagulation, dan bagaimana pandangan hukum Islam terhadap
Menstrual reagulation?
1.3.Tujuan Penulisan
Sebagaimana rumusan yang telah
dirumuskan, maka tujuan penulisan sebagai berikut:
Ø Untuk mengetahui apa
yang dimaksud dengan Keluarga Berencana dan pandangan islam terhadap Keluarga
Berencana
Ø Untuk mengetahui apa
yang dimaksud dengan Aborsi dan pandangan islam terhadap Aborsi
Ø Untuk mengetahui apa
yang dimaksud dengan Menstrual reagulation
dan pandangan islam terhadap Menstrual reagulation.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Keluarga Berencana (KB)
2.1.1. Pengertian Keluarga Berencana (KB)
Istilah Keluarga Berencana (KB), merupakan terjemahan dari Bahasa
Inggris “Family Planning” yang dalam pelaksanaannya di Negara Barat
mencakup dua macam metode (cara), yaitu[1]
:
a. Planning Parenthood
Yaitu suatu perencanaan yang kongkrit mengenai kapan anak-anaknya
diharapkan lahir agar setiap anaknya lahir disambut dengan rasa gembira dan
syukur[2].
Adapun dalam istilah Bahasa Arab yaitu
تَنْظِمُ النَّسْلِ (mengatur
keturunan)
b. Birth Control
Penerapan metode ini menekankan jumlah anak, atau
menjarangkan kelahiran, sesuai dengan situsi dan kondisi suami istri. Hal ini
lebih mirip dengan istilah Bahasa Arab : تَحْدِيْدُ
النَّسْلِ
(membatasi keturunan)[3].
Menurut Muhammad Syaltut, jika program KB itu dimaksudkan
sebagai usaha pembatasan anak dalam jumlah tertentu, misalnya hanya 3 anak
untuk setiap keluarga dalam segala situasi dan kondisi tanpa kecuali, maka hal
tersebut bertentangan dengan syariat Islam, hukum alam, dan hikmah Allah
menciptakan manusia agar berkembang biak dan dapat memanfaatkan karunia Allah
untuk kesejahteraan hidupnya.
Islam sangat menganjurkan umatnya untuk
memiliki banyak keturunan,
yang diharapkan kebermanfaatannya,
bukan juntru malah mengacaukan dan memperburuk wajah Islam dan umat Islam.
Seperti banyak umat Islam yang berada pada kebodohan, kemiskinan dan
kemelaratan. Diantara penyebabnya adalah jumlah populasi manusia yang semakin
banyak tanpa diiringi kualitas. Sehingga Negara tidak mampu memberikan
fasilitas kehidupan yang layak bagi pendidikan, pekerjaan dan kesehatan
masyarakat.
Islam pada hakikatnya menghendaki umatnya memiliki keturunan
yang baik secara fisik maupun psikis. Pendidikan, kesehatan dan ekonomi anak-anak
terjamin sampai hari tuanya[4].
2.1.2. Hukum Keluarga Berencana (KB)
Pelaksanaan KB dibolehkan dalam
ajaran Islam karena pertimbangan ekonomi, kesehatan dan pendidikan. Artinya
dibolehkan bagi orang-orang yang tidak sanggup membiayai kehidupan anak,
kesehatan dan pendidikannya. Bahkan menjadi dosa baginya, jikalau ia melahirkan
anak yang tidak terurusi masa depannya, yang akhirnya menjadi beban yang berat
bagi masyarakat, karena orang tuanya tidak menyanggupi biaya hidupnya,
kesehatan dan pendidikannya[5].
Hal ini berdasarkan pada sebuah ayat al-Quran Surat An-Nisa ayat 9, yang berbunyi:
“Dan hendaklah takut kepada
Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang
lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. oleh sebab itu
hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan
Perkataan yang benar”. (QS. An-Nisa : 9)
Ayat ini menerangkan bahwa kelemahan ekonomi, kurang
stabilnya kondisi kesehatan fisik dan kelemahan intelegensi anak, akibat
kekurangan makanan yang bergizi, menjadi tanggung jawab orang tuanya. Maka
disinilah peranan KB untuk membantu orang-orang yang tidak mampu menyanggupi
hal tersebut, agar tidak berdosa dikemudian hari bila meninggalkan keturunannya[6].
Rasulullah saw bersabda, yang berbunyi:
إِنَّكَ
أَنْ تَذَرَ وَرَثَتَكَ أَغْثِيَاءَ خَيْرٌمِنْ أَنْ تَذَرَهُمْ عَالَةً
يَتَكَفَّفُوْنَ النَّاسَ (متفق عليه)
“sesungguhnya lebih baik bagimu meninggalkan ahli
warismu dalam keadaan kecukupan daripada meninggalkan mereka menjadi beban
tanggungan orang banyak” (H.R. al-Bukhari dan Muslim dari Saad bin Abi
Waqqash r.a.)[7]
Hadits ini memberi petunjuk bahwa faktor
kemampuan suami istri untuk memenuhi kebutuhan anak-anaknya hendaknya dijadikan
pertimbangan mereka yang ingin menambah jumlah anaknya.
KB juga diperbolehkan dalam rangka
menyiapkan generasi-generasi yang kuat iman, fisik dan psikisnya. Hal ini
sesuai dengan sabda Rasulullah saw:
اَلْمُؤْمِنُ
الْقَوِيُّ خَيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَىﷲ مِنَ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيْفِ
“Orang mukmin yang kuat itu lebih
baik dan lebih disukai Allah daripada orang mukmin yang lemah” (HR. Muslim
dari Abu Hurairah ra)
Hadits ini memberi
petunjuk/peringatan kepada kita, bahwa Islam lebih menghargai kualitas daripada
kuantitas. Dan yang dimaksud dengan orang mukmin yang kuat disini ialah orang mukmin yang
mempunyai kekuatan mental maupun fisik, moral maupun materiil, sehingga dapat
benar-benar mencerminkan kekuatan Islam sendiri[8]
Hukum asal menggunakan alat
kontrasepsi KB adalah mubah, karena
tidak ada nash sharih yang melarang ataupun memerintahkannya. Hal ini sesuai
dengan kaidah hukum Islam yang berbunyi:
تَغَيُّرَاْلأَحْكَمِ
بِتَغَيُّرِاْلأَزْمِنَةِ وَاْلأَمْكِنَتِ وَاْلأَحْوَالِ
“Hukum-hukum itu bisa berubah sesuai dengan perubahan zaman, tempat
dan keadaan”
Hukum ber-KB bisa menjadi boleh kalau seorang Muslim
melaksanakan KB dengan motivasi yang hanya bersifat pribadi (individual
motivation), misalnya untuk menjarangkan kehamilan atau untuk menjaga
kesehatan. Tetapi kalau seorang ber-KB disamping punya motivasi yang bersifat
pribadi, juga ia punya motivasi yang bersifat kolektif dan nasional, seperti untuk
kesejahteraan masyarakat/Negara, maka hukumnya bisa sunnah atau wajib,
tergantung pada keadaan masyarakat dan Negara, misalnya mengenai
kependudukannya, apakah sudah benar-benar overpopulated (terlalu padat
penduduknya), atau mengenai wilayahnya untuk tanah pemukiman, tanah
pertanian/industry/pendidikan dan sebagainya sudah benar-benar overloaded (terlalu
sarat/penuh dan berat), sehingga wilayah yang bersangkutan itu tidak mampu
mendukung kebutuhan hidup penduduknya secara normal[9].
Tetapi hukum ber-KB bisa menjadi
makruh bagi pasangan suami istri yang tidak menghendaki kehamilan si istri,
padahal suami istri tersebut tidak ada hambatan/kelainan untuk mempunyai
keturunan. Sebab hal yang demikian itu bertentangan dengan tujuan perkawinan
menurut agama, yakni untuk menciptakan rumah tangga yang bahagia dan untuk
mendapatkan keturunan yang sah yang diharapkan menjadi anak yang shaleh sebagai
generasi penerus.
Hukum ber-KB akan menjadi haram
(berdosa), apabila orang melaksanakan KB dengan cara yang bertentangan dengan
norma agama. Misalnya dengan cara vasektomi (sterilisasi suami) dan abortus
(pengguguran)[10].
Dasar hadits yang memperbolehkan
menggunakan alat kontrasepsi adalah hadits yang bersumber dari jabir
عَنْ
جَابِرٍ قَالَ, كُنَّانَعْزِلُ عَلَى عَهْدِ رَسُوْلِ اﷲ ص م وَالْقُرْاۤنُ
يَنْزِلُ (متفق عليه)
Diriwayatkan dari Jabir ra, ia
berkata, “Kami melakukan azal (coitus interuptus) di masa Rasulullah pada
waktu ayat-ayat al-Quran masih diturunkan dan tidak ada satu ayatpun yang
melarangnya”. (Hadits Riwayat al-Bukhari dan Muslim), dan menurut lafal
Muslim, “Kami melakukan azal di masa Rasulullah dan hal ini diketahui Nabi,
dan Nabi tidak melarangnya”[11]
Pandangan ulama yang membolehkan ber-KB[12]
1. Imam Ghazali, KB dibolehkan dengan motif yang dibenarkan,
seperti untuk menjaga kesehatan si Ibu, untuk menghindari kesulitan hidup,
karena banyak anak, dan untuk menjaga kecantikan si Ibu
2. Syekh al-Hariri (Mufti besar Mesir), KB diperbolehkan yaitu
untuk menjarangkan anak, untuk menghindari suatu penyakit bila ia mengandung,
untuk menghindari kemudharatan bila ia mengandung dan melahirkan, untuk menjaga
kesehatan si Ibu.
3. Syekh Mahmud Syaltut, dibolehkan KB dengan motif bukan
pembatasan kelahiran tetapi untuk mengatur kelahiran.
Sedangkan ulama yang mengharamkan KB adalah:
1. Abu A’la al-Maududi
Menurut
pendapatnya, pada hakikatnya KB adalah untuk menghindari dari keturunan
kehamilan dan kelahiran seorang anak manusia. Larangan ini didasarkan kepada
firman Allah swt:
“… dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu
karena takut kemiskinan, Kami akan memberi rezki kepadamu dan kepada mereka” (QS: al-An’am : 151)
2.1.3. Macam-Macam
Alat Kontrasepsi
Ada beberapa alat kontrasepsi dalam pelaksanaan
program Keluarga Berencana (KB) yang dikenal di Indonesia pada saat ini, yaitu[13]:
2.1.3.1.
Alat Kontrasepsi yang
dibolehkan
a.
Untuk wanita, seperti:
1.
Pil, berupa tablet yang berisi bahan progestin dan
progenteron yang bekerja pada tubuh wanita untuk mencegah terjadinya ovulasi
dan melakukan perubahan pada endomestrium.
2.
Suntikan, yaitu menginjeksikan cairan kedalam tubuh
wanita yang dikenal dengan cairan devofropeta, netden, dan noristerat. Kontra
indikasi tidak disuntikan kepada wanita yang sedang hamil, mengidap tumor
ganas, berpenyakit jantung, paru-paru, liver, hipertensi dan diabetes.
3.
Susuk KB, yaitu berupa
lepemorgestrel, yang terdiri dari enam kapsul yang diinsersikan dibawah kulit
lengan bagian dalam kira-kira 6 sampai 10 cm dari lipatan siku.
4.
IUD (Intra Uterine
Device)/AKDR (Alat Kontrasepsi Dalam Rahim), terdiri dari livesslov (spiral),
multiload dan cover terbuat dari plastic halus dengan tembaga tipis.
5.
Cara-cara tradisional dan
metode sederhana; misalnya minum jamu dan metode klender.
Semua alat tersebut digunakan oleh
perempuan (istri) dan dibolehkan karena sifatnya yang permanen, jika tidak lagi
menggunakan alat tersebut, seorang istri dapat kembali hamil dan melahirkan
seperti semula.
b. Untuk pria, seperti:
1. Kondom
2. Coitus interrptus (azal)
عَنْ
جَابِرٍ قَالَ, كُنَّانَعْزِلُ عَلَى عَهْدِ رَسُوْلِ اﷲ ص م وَالْقُرْاۤنُ
يَنْزِلُ (متفق عليه)
“Diriwayatkan dari Jabir ra, ia
berkata, “Kami melakukan azal (coitus interuptus) di masa Rasulullah pada waktu
ayat-ayat al-Quran masih diturunkan dan tidak ada satu ayatpun yang
melarangnya”. (Hadits Riwayat al-Bukhari dan Muslim), dan menurut lafal
Muslim, “Kami melakukan azal di masa Rasulullah dan hal ini diketahui Nabi, dan
Nabi tidak melarangnya”.
Hadits ini menerangkan bahwa boleh melakukan cara
kontrasepsi berupa coitus interruptus, karena tidak ada ayat yang melarangnya,
padahal ketika Sahabat melakukannya, al-Quran masih selalu turun. Karena itu,
seandainya perbuatan itu dilarang oleh Allah, maka pasti ada ayat yang turun
untuk mencegah perbuatan itu. Begitu juga halnya sikap Nabi ketika mengetahui,
banyak diantara Sahabat yang melakukan hal tersebut, maka beliaupun tidak
melarangnya, pertanda bahwa melakukan azal (coitus interruptus) dibolehkan
dalam Islam untuk ber-KB[14].
2.1.3.2. Alat kontrasepsi yang haram, yaitu[15];
a. Untuk wanita
1. Ligasi tuba, yaitu mengikat saluran kantong ovum
2. Tubektomi, yaitu mengangkat tempat ovum
b. Untuk pria
1. Vasektomi, yaitu mengikat atau memutuskan saluran sperma dari
buah zakar.
Ketiga cara diatas disebut dengan
sterilisasi atau pengakhiran kesuburan. Hukum sterilisasi ini adalah haram
karena mengakibatkan seseorang tidak dapat mempunyai anak lagi (pemandulan
selama-lamanya).
Tetapi kalau kondisi kesehatan istri
atau suami yang terpaksa, seperti untuk menghindari penurunan penyakit dari
bapak/ibu terhadap anak keturunannya yang bakal lahir atau terancamnya jiwa si
ibu bila ia mengandung atau melahirkan bayi, maka sterilisasi dibolehkan oleh
Islam karena dianggap darurat. Hal ini diisyaratkan dalam kaidah:
اضرورةتبيح
المحظورات
“keadaan darurat membolehkan
melakukan hal-hal yang dilarang oleh agama”
2.2. Abortus
2.2.1. Pengertian Aborsi/Abortus
Istilah abortus dalam bahasa Arab disebut “Ijhadh”, yang memiliki
beberapa sinonim yakni; isqath (menjatuhkan), ilqa’ (membuang), tharah
(melempar) dan imlash (menyingkirkan).
Sedangkan istilah abortus dalam bidang kesehatan yaitu berakhirnya suatu
kehamilan (oleh akibat tertentu) pada atau sebelum kehamilan tersebut mencapai
usia 22 minggu atau buah kehamilan belum mampu untuk hidup di luar kandungan.[16]
Abortus terbagi dua, yaitu: (1) Abortus Spontan yaitu abortus yang
terjadi secara alamiah tanpa intervensi luar (buatan) untuk mengakhiri
kehamilan tersebut yang biasanya disebut dengan keguguran; (2) Abortus buatan
yakni abortus yang terjadi akibat intervensi tertentu yang bertujuan untuk
mengakhiri proses kehamilan yang biasa disebut juga dengan pengguguran, aborsi
atau abortus provokatus.[17]
Dalam hukum pidana Islam, aborsi yang dikenal sebagai suatu tindak
pidana atas janin atau pengguguran kandungan terjadi apabila terdapat suatu
perbuatan maksiat yang mengakibatkan terpisahnya janin dari ibunya.
Definisi aborsi
secara etimologi dan terminologi, yakni :
1. Adapun secara etimologi : Aborsi adalah menggugurkan anak,
sehingga dia tidak hidup.
2. Adapun secara terminologi : Aborsi adalah praktek seorang wanita
yang menggugurkan janinnya, baik dilakukan sendiri ataupun orang lain.
Aborsi secara umum adalah berakhirnya suatu kehamilan (oleh
akibat-akibat tertentu) sebelum buah kehamilan tersebut mampu untuk hidup di
luar kandungan.
Dari definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa tidak semua jenis aborsi
merupakan perbuatan yang bertentangan dengan moral dan kemanusiaan dengan kata
lain tidak semua aborsi merupakan kejahatan. Aborsi yang terjadi secara spontan
– keguguran – akibat kelainan fisik pada perempuan atau akibat penyakit
biomedis internal, yang dalam hal ini tidak terjadi kontroversi di masyarakat
atau di kalangan fuqaha, sebab terjadinya keguguran bukan atas dasar
kesengajaan, dan merupakan kehendak diluar kemampuan manusia. Aborsi yang
dilakukan sengaja termasuk pada pembunuhan terhadap hak hidup seorang manusia
jelas merupakan suatu dosa besar.
Merujuk pada
surat Al-Maidah ayat 32 yaitu:
Artinya:
“Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa:
barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh)
orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi, maka seakan-akan
dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara
kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan
manusia semuanya. Dan sesungguhnya telah datang kepada mereka rasul-rasul Kami
dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas, kemudian banyak diantara
mereka sesudah itu sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan
dimuka bumi.” (Q.S Al-Maidah : 32).
2.2.2. Aborsi dalam Pandangan Islam
Aborsi menurut pandangan agama-agama sebelum Islam termasuk tindakan yang
diharamkan. Dalam agam Yahudi aborsi dianggap haram, tidak diperbolehkan dan
pelakunya mendapatkan hukuman. Akan tetapi hukumannya tidaklah ditetapkan.
Dr. Abdurrahman Al-Baghdadi (1998) dalam bukunya Emansipasi Adakah Dalam
Islam halaman 127-128 menyebutkan bahwa aborsi dapat dilakukan sebelum atau
sesudah ruh (nyawa) ditiupkan. Jika dilakukan setelah ditiupkannya ruh, yakni
setelah 4 bulan masa kehamilan, maka semua ulama fiqih sepakat akan
keharamannya. Akan tetapi para ulama berbeda pendapat mengenai praktek borsi
yang dilakukan sebelum 4 bulan masa kehamilan. Sebagian membolehkan dan
sebagian lain mengharamkannya.
Diantara ulama yang membolehkan praktek aborsi sebelum peniupan ruh, antara
lain Muhammad Ramli (w. 1596 M) dalam kitabnya An Nihayah dengan alasan karena
belum ada makhluk yang bernyawa. Ada pula yang memandangnya makruh,
denganalasan karena janin sedang mengalami pertumbuhan. Adapun salah satu ulama
yang mengharamkan aborsi sebelum peniupan ruh antara lain Ibnu Hajar (w. 1567
M) dalam kitabnya At Tuhfah dan Al Ghazali dalam kitabnya Ihya` Ulumuddin.
Abdul Qadim Zallum dan Abdurrahman al-Bahgdadi mengungkapkan bahwa pendapat
yang lebih kuat (rajih) adalah jika aborsi dilakukan setelah 40 hari atau 42
hari dari usia kehamilan dan pada saat permulaan pemebentukan janin, maka
hukumnya haram. Dalam hal ini hukumnya sama dengan hukum keharaman aborsi
setelah peniupan ruh ke dalam janin. Sedangkan pengguguran kandungan yang
usianya belum mencapai 40 hari, maka hukumnya sama dengan hukum keharaman
aborsi setelah peniupan ruh ke dalam janin. Sedangkan pengguguran kandungan
yang usianya belum mencapai 40 hari, maka hukumnya boleh (Jaiz). Pendapat ini
didasarkan kepada sabda Rasulullah Saw:
“Jika nutfah (gumpalan darah) telah lewat 42 malam, maka Allah mengutus
seorang malaikat padanya, lalu dia membentuk nutfah tersebut; dia membuat
pendengarannya, penglihatannya, kulitnya, dagingnya dan tulang belulang. Lalu
malaikat itu bertanya (kepada Allah), “Yaa Tuhanku, apakah dia (akan Engkau
tetapkan) menjadi laki-laki atau perempuan?” maka Allah kemudian memberi
keputusan...”(HR. Muslim dari Ibnu Mas’ud ra).
Alasan dibolehkannya aborsi pada janin yang usianya belum mencapai 40 hari,
maka hukumnya boleh dikarenakan bahwa apa yang ada dalam rahim belum menjadi
janin karena dia masih berada dalam masa tahapan sebagai nutfah, belum sampai
pada fase penciptaan yang menunjukkan ciri-ciri sebagai manusia. Selain itu,
penguguran nutfah sebelum menjadi janin, dari segi hukum dapat disamakan dengan
‘azal yang dimaksudkan untuk mencegah terjadinya kehamilan.
Walaupun begitu, pendapat ini tidak boleh dijadikan alasan bagi para wanita
yang diakibatkan pergaulan bebas, mereka mengetahui tanda-tanda kehamilan
dengan telat bulan dan kemudian mengkonsumsi obat telat bulan. Dengan tujuan
tidak terjadi kehamilan di luar nikah. Tetapi harus memperhatikan hukum
keharaman aborsi ini dalam firman Allah Swt:
“Dan
janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. Kamilah yang akan
memberi rezki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka
adalah suatu dosa yang besar. Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya
zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.”(QS.Al-Isra,
31-32)
وَلَا
تَقْتُلُوا أَوْلَادَكُمْ مِنْ إِمْلَاقٍ نَحْنُ نَرْزُقُكُمْ
“Dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan.
Kami akan memberi rezki kepadamu dan kepada mereka.”(Q.S. al-An’am : 151).
Abu Fadl
mengatakan bahwa janin dibawah 4 bulan dalam Islam mempunyai hak-hak yang harus
diberikan oleh orangtuanya. Sehingga aborsi sebelum 4 bulan tetap diharamkan.
Lebih lanjut beliau mengungkapkan hak-hak yang harus diberikan kepada janin:
1.
Hak untuk hidup
2.
Hak untuk mendapat waris
3.
Dan penguburan bayi
Dengan demikian, seluruh ulama sepakat bahwa pengguguran kandungan
sesudah janin diberi nyawa, hukumnya haram dan suatu tindakan kriminal. Karena
perbuatan tersebut dianggap sebagai pembunuhan terhadap orang hidup yang
wujudnya telah sempurna. Para ulama juga berpendapat apabila menurut medis
janin yang ada di dalam rahim ibu akan membahayakan keselamatan si ibu maka
syariat islam memerintahkan untuk mengambil salah satu tindakan darurat seperti
aborsi[18].
Dalam keputusan fatwa MUI tanggal 29 Juli 2000 menetapkan bahwa:
1. Aborsi sesudah nafk al-ruh hukumnya adalah haram, kecuali jika
ada alasan secara medis, seperti untuk menyelamatkan jiwa si ibu.
2. Aborsi sejak terjadinya pembuahan ovum, walaupun sebelum nafkh
al-ruh, hukumnya adalah haram, kecuali ada alasan medis atau alasan lain yang
dibenarkan oleh syarat islam
3. Mengharamkan semua pihak untuk melakukan, membantu, atau
mengizinkan praktik aborsi.
Keputusan ini didasarkan bahwa janin adalah makhluk yang telah memiliki
kehidupan yang harus dihormati; menggugurkannya berarti menghentikan
(menghilangkan) kehidupan yang telah ada; dan ini hukumnya haram, berdasarkan
sejumlah dalil, antara lain:
وَلَا
تَقْتُلُوا أَوْلَادَكُمْ مِنْ إِمْلَاقٍ نَحْنُ نَرْزُقُكُمْ
“Dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan.
Kami akan memberi rezki kepadamu
dan kepada mereka.”(Q.S. al-An’am : 151)
وَالَّذِينَ لَا
يَدْعُونَ مَعَ اللَّهِ إِلَهًا آخَرَ وَلَا يَقْتُلُونَ النَّفْسَ الَّتِي
حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ وَلَا يَزْنُونَ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ يَلْقَ
أَثَامًا ﴿سورة الفرقان : ٦٨﴾
“Dan orang-orang
yang tidak menyembah tuhan yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang
diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak
berzina, barangsiapa yang melakukan demikian itu, niscaya dia mendapat
(pembalasan) dosa (nya)”. (Q.S. al-Furqan : 68)
Menurut Imam al-Ghazali dari kalangan Syafi’i, jika nutfah (sperma)
telah bercampur dengan ovum dan siap menerima kehidupan, maka merusanya
dipandang sebagai tindak pidana yang artinya haram melakukannya.
Membolehkan aborsi sebelum nafkh al-ruh dapat menimbulkan banyak dampak
negatif, di samping dampak positif, seperti dalam kaidah fiqih:
“Menghindarkan kerusakan (hal-hal negatif) diutamakan daripada
mendatangkan kemaslahatan.”[19]
2.2.3. Dampak Aborsi Bagi Kesehatan
Ada dua macam resiko kesehatan terhadap wanita yang melakukan aborsi:
1.
Resiko kesehatan dan
keselamatan secara fisik
Brain Clowes dalam bukunya Facts of life menyebutkan beberapa resiko
yang akan dihadapi oleh wanita yang melakukan aborsi, yaitu:
a. Kematian mendadak karena pendaharan hebat
b. Kematian mendadak karena pembiusan yang gagal
c. Kematian secara lambat akibat infeksi serius di sekitar
kandungan
d. Rahim yang sobek
e. Kerusakan leher rahim yang akan menyebabkan cacat pada anak
berikutnya
f. Kanker payudara karena ketidakseimbangan hormon ostrogen pada
wanita
g. Kanker indung telur
h. Kanker leher rahim/ kanker cervic
i. Kanker hati
j. Kelainan pada placenta/ ari-ari yang akan menyebabkan cacat pada
anak berikutnya dan pendarahan hebat pada saat kehamilan berikutnya
k. Menjadi mandul/ tidak mampu memiliki keturunan lagi
l. Infeksi rongga panggul
m. Infeksi pada lapisan rahim
2. Resiko gangguan psikologis
Resiko aborsi bukan saja pada aspek fisik tetapi juga memiliki dampak
yang sangat hebat terhadap keadaan mental seorang wanita. Gejala ini dikenal
dalam dunia psikologi sebagai “post-abortion syndrome” (sindrom paksa
aborsi). Seperti:
a. Kehilangan harga diri (82%)
b. Berteriak-teriak histeris (51%)
c. Mimpi buruk berkali-kali mengenai bayi (63%)
d. Ingin melakukan bunuh diri (28%)
e. Mulai mencoba menggunakan obat-obatan terlarang (41%)
f. Tidak bisa menikmati lagi hubungan seksual (59%)[20]
2.3. Menstrual Regulation (MR)
2.3.1. Pengertian Menstrual Regulation
Menstrual regulation secara harfiah
artinya pengaturan menstruasi/datang bulan/haid, tetapi dalam praktek menstrual
regulation ini dilaksanakan terhadap wanita yang merasa terlambat waktu
menstruasi dan berdasarkan hasil pemeriksaan laboratoris ternyata positif dan
mulai mengandung, maka ia meminta untuk dibersihkan janinnya, dan itu termasuk
dalam pembunuhan terselubung.
2.3.2. Hukum Menstrual Regulation
Berdasarkan kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP) pasal 299, 346, dan 349 negara melarang abortus, termasuk
menstrual regulation dan sanksi hukumannya cukup berat; bahkan hukumannya tidak
hanya ditujukan kepada wanita yang bersangkutan, tetapi semua orang yang
terlibat dalam kejahatan ini dapat dituntut, seperti dokter, dukun bayi, tukang
obat, dan sebagainya yang mengobati atau menyuruh atau yang membantu atau yang melakukannya sendiri[21]
Islam juga melarang menstrual
regulation, karena pada hakikatnya sama dengan abortus, merusak/menghancurkan
janin calon manusia yang dimuliakan oleh Allah, karena ia berhak tetap survive
dan lahir dalam keadaan hidup, sekalipun eksistensinya hasil dari hubungan yang
tidak sah (diluar perkawinan yang sah). Sebab menurut Islam, bahwa setiap anak
lahir dalam keadaan suci. Sesuai dengan hadits Nabi saw:
كُلُّ
مَوْلُوْدٍيُوْلَدُعَلَى الْفِطْرَةِ حَتَّى يَعْرُبَ عَنْهُ لِسَانُهُ
فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْيُنَصِّرَانِهِ أَوْيُمَجِسَانِهِ. (الحديث)
“semua anak dilahirkan atas
fitrah, sehingga ia jelas omongannya. Kemudian orangtuanyalah yang menyebabkan
anak itu menjadi Yahudi, Nasrani, atau Majusi”. (HR. Abu Ya’la,
Al-Thabrani, dan Al-Baihaqi dan Al-Aswad bin Sari)
Yang dimaksud dengan fitrah dari
hadits disini ada dua pengertian, yaitu:
1. Dasar membawa manusia (human nature) yang religious dan
monoteis, artinya bahwa manusia itu dari dasar pembawaannya adalah makhluk
beragama dan percaya pada ke-Esaan Allah secara murni (pure monotheism
atau tauhid khalis).
2. Kesucian/kebersihan (purity), artinya bahwa semua anak manusia
dilahirkan dalam keadaan suci/bersih dari segala macam dosa[22]
Dengan demikian penggunaan obat
telat bulan dengan tujuan untuk meluruhkan kandungan tanpa adanya suatu sebab
medis seperti : apabila janin tetap berada di dalam kandungan hingga besar maka
akan berbahaya bagi keselamatan ibu maka penggunaan obat tersebut tidaklah
dibenarkan sebab termasuk perbuatan yang merusak keturunan, sebagaimana firman
Allah swt :
“dan apabila ia berpaling (dari kamu), ia berjalan di bumi untuk
Mengadakan kerusakan padanya, dan merusak tanam-tanaman dan binatang ternak,
dan Allah tidak menyukai kebinasaan”. (QS. Al-Baqharah :205)
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Ø
KB dibolehkan dengan tujuan
bukan untuk pembatasan keturunan tetapi pengaturan jarak kelahiran, kesehatan
dan pendidikan. dengan menggunakan alat kontrasepsi yang sifatnya sementara
seperti: pil, suntik, susuk, IUD, kondom, dan azal, sedangkan Islam
mengharamkan alat kontrasepsi yang sifatnya pemandulan selama-lamanya atau
sterilisasi, seperti ligase tuba, tubektomi, dan vasektomi. Tapi sterilisasi
dibolehkan bila semata-mata kerena alasan medis.
Ø
Aborsi atau abortus yaitu
mengakhiri masa kehamilan baik dengan sengaja ataupun dengan tidak disengaja.
Aborsi yang tidak disengaja atau dengan alamiah biasa disebut dengan keguguran.
Sedangkan aborsi yang disengaja memiliki dua hukum. Aborsi yang dilakukan
karena alasan medis seperti bayi akan terlahir cacat atau tidak akan selamat
maka boleh melakukan aborsi. Akan tetapi jika aborsi yang dilakukan karena
alasan malu atau tidak mau bertanggung jawab atas kehamilannya maka aborsi ini
diharamkan.
Ø
Mestruation Regulation atau
disebut juga dengan telat bulan, hampir sama dengan abortus atau aborsi. Akan
tetapi dalam hal praktiknya MR dilakukan pada masa awal kehamilan (2 minggu
pertama) atau saat dia menyadari akan kehamilannya karena dia telat datang
bulan dan dibenarkan sesuai dengan pernyataan medis. Kemudian dia meminta untuk
dibersihkan janinnya baik oleh dokter ataupun menggunakan obat-obatan. Dan
dalam pandangan hukum Islam, MR tetap haram hukumnya.
DAFTAR
PUSTAKA
Buku Acuan Nasional Pelayanan
Kesehatan Maternal dan Neonatal cetakan ke-6. 2006. Jakarta. Yayasan Bina
Pustaka Sarwono Prawirohardjo
Hasbiyyallah. 2009. “Masail
Fiqhiyyah”. Jakarta: Depag.
Mahjuddin. 2014. “Masail Al-Fiqh”. Jakarta: Kalam
Mulia
Maslani dan Hasbiyallah. 2009. “Masail
Fiqhiyah Al-Hadisyah”. Bandung: Sega Arsy
Zuhdi, Masjfuk. 1997. “Masail Fiqhiyah”. Jakarta: PT
Toko Gunung Agung
[1]
Mahjuddin. “Masail Al-Fiqh”. (Jakarta: Kalam Mulia. 2014), hlm. 71
[2]
Maslani dan Hasbiyallah. “Masail Fiqhiyah Al-Hadisyah”, (Bandung : Sega
Arsy. 2009), hlm. 59
[3]
Mahjuddin, loc, cit, hlm 71
[4] Maslani
dan Hasbiyallah, loc,cit, hlm. 59-60
[5]
Mahjuddin, loc, cit, hlm 74
[6]
Ibid, hlm, 75
[7]
Masjfuk Zuhdi. “Masail Fiqhiyah”, (Jakarta: PT Toko Gunung Agung. 1997), hlm, 61
[8]
Ibid, hlm, 62
[9]
Ibid, hlm, 57
[10]
Ibid, hlm, 58
[11]
Ibid, hlm, 62
[12]
Maslani dan Hasbiyallah, op, cit, hlm, 66
[13]
Ibid, hlm, 61-63
[14]
Mahjuddin, op, cit, hlm. 76-78
[15]
Maslani dan Hasbiyallah, loc,cit, hlm. 62-63
[16] Buku
Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal cetakan ke-6. 2006.
Jakarta. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Hal 145
[17] Buku
Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal cetakan ke-6. 2006.
Jakarta. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Hal 145
[18]
Hasbiyallah. “Masail Fiqhiyah”. (Jakarta: Depag. 2009), hlm 162
[19]
Ibid, hlm, 165
[20]
Ibid, hlm, 164
[21]
Masjfuk Zuhdi, hlm, 79
[22]
Ibid, hlm, 83-84