Selasa, 22 Maret 2016

Hukum Keluarga Berencana (KB), Aborsi, dan Menstrual Regulation (MR)


BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang Masalah
Banyak permasalahan baru muncul pada saat ini, yang mana hukumnya masih membuat bingung masyarakat akan hal itu. Diantara permasalahan yang baru muncul adalah Keluarga Berencana (KB), Aborsi, dan Telat Bulan (Menstrual reagulation). Banyak dari masyarakat yang bertanya-tanya bagaimana hukum KB, Aborsi, dan Telat Bulan. Bahkan banyak dari mereka yang tidak mengerti apa yang dimaksud dengan KB, Aborsi, ataupun Telat Bulan.
KB, aborsi dan telat bulan semuanya merupakan cara untuk mencegah kehamilan. Akan tetapi aborsi dan telat bulan dilakukan saat si wanita terlanjur hamil dan ingin menggugurkan kehamilannya. Sedangkan KB dilakukan hanya untuk mencegah kehamilan saja dan akibatnya tidak akan terlalu fatal bagi pelakunya.



1.2.Rumusan Masalah
Sebagaimana latar belakang masalah diatas, maka rumusan masalah yang dapat dirumuskan sebagai berikut:
Ø  Apa yang dimaksud dengan Keluarga Berencana, dan bagaimana pandangan hukum Islam terhadap Keluarga Berencana?
Ø  Apa yang dimaksud dengan Aborsi, dan bagaimana pandangan hukum Islam terhadap Aborsi?
Ø  Apa yang dimaksud dengan Menstrual reagulation, dan bagaimana pandangan hukum Islam terhadap Menstrual reagulation?
1.3.Tujuan Penulisan
Sebagaimana rumusan yang telah dirumuskan, maka tujuan penulisan sebagai berikut:
Ø  Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan Keluarga Berencana dan pandangan islam terhadap Keluarga Berencana
Ø  Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan Aborsi dan pandangan islam terhadap Aborsi
Ø  Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan Menstrual reagulation  dan pandangan islam terhadap Menstrual reagulation.



BAB II
PEMBAHASAN
2.1.       Keluarga Berencana (KB)
2.1.1. Pengertian Keluarga Berencana (KB)
Istilah Keluarga Berencana (KB), merupakan terjemahan dari Bahasa Inggris “Family Planning” yang dalam pelaksanaannya di Negara Barat mencakup dua macam metode (cara), yaitu[1] :
a.       Planning Parenthood
Yaitu suatu perencanaan yang kongkrit mengenai kapan anak-anaknya diharapkan lahir agar setiap anaknya lahir disambut dengan rasa gembira dan syukur[2]. Adapun dalam istilah Bahasa Arab yaitu
تَنْظِمُ النَّسْلِ (mengatur keturunan)
b.      Birth Control 
Penerapan metode ini menekankan jumlah anak, atau menjarangkan kelahiran, sesuai dengan situsi dan kondisi suami istri. Hal ini lebih mirip dengan istilah Bahasa Arab : تَحْدِيْدُ النَّسْلِ (membatasi keturunan)[3].
Menurut Muhammad Syaltut, jika program KB itu dimaksudkan sebagai usaha pembatasan anak dalam jumlah tertentu, misalnya hanya 3 anak untuk setiap keluarga dalam segala situasi dan kondisi tanpa kecuali, maka hal tersebut bertentangan dengan syariat Islam, hukum alam, dan hikmah Allah menciptakan manusia agar berkembang biak dan dapat memanfaatkan karunia Allah untuk kesejahteraan hidupnya.
Islam sangat menganjurkan umatnya untuk memiliki banyak keturunan,
yang diharapkan kebermanfaatannya, bukan juntru malah mengacaukan dan memperburuk wajah Islam dan umat Islam. Seperti banyak umat Islam yang berada pada kebodohan, kemiskinan dan kemelaratan. Diantara penyebabnya adalah jumlah populasi manusia yang semakin banyak tanpa diiringi kualitas. Sehingga Negara tidak mampu memberikan fasilitas kehidupan yang layak bagi pendidikan, pekerjaan dan kesehatan masyarakat.
Islam pada hakikatnya menghendaki umatnya memiliki keturunan yang baik secara fisik maupun psikis. Pendidikan, kesehatan dan ekonomi anak-anak terjamin sampai hari tuanya[4].

2.1.2. Hukum Keluarga Berencana (KB)
Pelaksanaan KB dibolehkan dalam ajaran Islam karena pertimbangan ekonomi, kesehatan dan pendidikan. Artinya dibolehkan bagi orang-orang yang tidak sanggup membiayai kehidupan anak, kesehatan dan pendidikannya. Bahkan menjadi dosa baginya, jikalau ia melahirkan anak yang tidak terurusi masa depannya, yang akhirnya menjadi beban yang berat bagi masyarakat, karena orang tuanya tidak menyanggupi biaya hidupnya, kesehatan dan pendidikannya[5]. Hal ini berdasarkan pada sebuah ayat al-Quran Surat An-Nisa ayat 9,  yang berbunyi:  
“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan Perkataan yang benar”. (QS. An-Nisa : 9)
Ayat ini menerangkan bahwa kelemahan ekonomi, kurang stabilnya kondisi kesehatan fisik dan kelemahan intelegensi anak, akibat kekurangan makanan yang bergizi, menjadi tanggung jawab orang tuanya. Maka disinilah peranan KB untuk membantu orang-orang yang tidak mampu menyanggupi hal tersebut, agar tidak berdosa dikemudian hari bila meninggalkan keturunannya[6].
Rasulullah saw bersabda, yang berbunyi:
إِنَّكَ أَنْ تَذَرَ وَرَثَتَكَ أَغْثِيَاءَ خَيْرٌمِنْ أَنْ تَذَرَهُمْ عَالَةً يَتَكَفَّفُوْنَ النَّاسَ (متفق عليه)
“sesungguhnya lebih baik bagimu meninggalkan ahli warismu dalam keadaan kecukupan daripada meninggalkan mereka menjadi beban tanggungan orang banyak” (H.R. al-Bukhari dan Muslim dari Saad bin Abi Waqqash r.a.)[7]
Hadits ini memberi petunjuk bahwa faktor kemampuan suami istri untuk memenuhi kebutuhan anak-anaknya hendaknya dijadikan pertimbangan mereka yang ingin menambah jumlah anaknya.
KB juga diperbolehkan dalam rangka menyiapkan generasi-generasi yang kuat iman, fisik dan psikisnya. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah saw:
اَلْمُؤْمِنُ الْقَوِيُّ خَيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَىﷲ مِنَ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيْفِ
“Orang mukmin yang kuat itu lebih baik dan lebih disukai Allah daripada orang mukmin yang lemah” (HR. Muslim dari Abu Hurairah ra)
Hadits ini memberi petunjuk/peringatan kepada kita, bahwa Islam lebih menghargai kualitas daripada kuantitas. Dan yang dimaksud dengan orang mukmin yang kuat  disini ialah orang mukmin yang mempunyai kekuatan mental maupun fisik, moral maupun materiil, sehingga dapat benar-benar mencerminkan kekuatan Islam sendiri[8]
Hukum asal menggunakan alat kontrasepsi  KB adalah mubah, karena tidak ada nash sharih yang melarang ataupun memerintahkannya. Hal ini sesuai dengan kaidah hukum Islam yang berbunyi:
تَغَيُّرَاْلأَحْكَمِ بِتَغَيُّرِاْلأَزْمِنَةِ وَاْلأَمْكِنَتِ وَاْلأَحْوَالِ
“Hukum-hukum itu bisa berubah sesuai dengan perubahan zaman, tempat dan keadaan”
Hukum ber-KB  bisa menjadi boleh kalau seorang Muslim melaksanakan KB dengan motivasi yang hanya bersifat pribadi (individual motivation), misalnya untuk menjarangkan kehamilan atau untuk menjaga kesehatan. Tetapi kalau seorang ber-KB disamping punya motivasi yang bersifat pribadi, juga ia punya motivasi yang bersifat kolektif dan nasional, seperti untuk kesejahteraan masyarakat/Negara, maka hukumnya bisa sunnah atau wajib, tergantung pada keadaan masyarakat dan Negara, misalnya mengenai kependudukannya, apakah sudah benar-benar overpopulated (terlalu padat penduduknya), atau mengenai wilayahnya untuk tanah pemukiman, tanah pertanian/industry/pendidikan dan sebagainya sudah benar-benar overloaded (terlalu sarat/penuh dan berat), sehingga wilayah yang bersangkutan itu tidak mampu mendukung kebutuhan hidup penduduknya secara normal[9].
Tetapi hukum ber-KB bisa menjadi makruh bagi pasangan suami istri yang tidak menghendaki kehamilan si istri, padahal suami istri tersebut tidak ada hambatan/kelainan untuk mempunyai keturunan. Sebab hal yang demikian itu bertentangan dengan tujuan perkawinan menurut agama, yakni untuk menciptakan rumah tangga yang bahagia dan untuk mendapatkan keturunan yang sah yang diharapkan menjadi anak yang shaleh sebagai generasi penerus.
Hukum ber-KB akan menjadi haram (berdosa), apabila orang melaksanakan KB dengan cara yang bertentangan dengan norma agama. Misalnya dengan cara vasektomi (sterilisasi suami) dan abortus (pengguguran)[10].
Dasar hadits yang memperbolehkan menggunakan alat kontrasepsi adalah hadits yang bersumber dari jabir
عَنْ جَابِرٍ قَالَ, كُنَّانَعْزِلُ عَلَى عَهْدِ رَسُوْلِ اﷲ ص م وَالْقُرْاۤنُ يَنْزِلُ (متفق عليه)
Diriwayatkan dari Jabir ra, ia berkata, “Kami melakukan azal (coitus interuptus) di masa Rasulullah pada waktu ayat-ayat al-Quran masih diturunkan dan tidak ada satu ayatpun yang melarangnya”. (Hadits Riwayat al-Bukhari dan Muslim), dan menurut lafal Muslim, “Kami melakukan azal di masa Rasulullah dan hal ini diketahui Nabi, dan Nabi tidak melarangnya[11]
Pandangan ulama yang membolehkan ber-KB[12]
1.    Imam Ghazali, KB dibolehkan dengan motif yang dibenarkan, seperti untuk menjaga kesehatan si Ibu, untuk menghindari kesulitan hidup, karena banyak anak, dan untuk menjaga kecantikan si Ibu
2.    Syekh al-Hariri (Mufti besar Mesir), KB diperbolehkan yaitu untuk menjarangkan anak, untuk menghindari suatu penyakit bila ia mengandung, untuk menghindari kemudharatan bila ia mengandung dan melahirkan, untuk menjaga kesehatan si Ibu.
3.    Syekh Mahmud Syaltut, dibolehkan KB dengan motif bukan pembatasan kelahiran tetapi untuk mengatur kelahiran.
Sedangkan ulama yang mengharamkan KB adalah:
1.    Abu A’la al-Maududi
Menurut pendapatnya, pada hakikatnya KB adalah untuk menghindari dari keturunan kehamilan dan kelahiran seorang anak manusia. Larangan ini didasarkan kepada firman Allah swt:

 “… dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan, Kami akan memberi rezki kepadamu dan kepada mereka” (QS: al-An’am : 151)
                                     
2.1.3. Macam-Macam Alat Kontrasepsi
Ada beberapa alat kontrasepsi dalam pelaksanaan program Keluarga Berencana (KB) yang dikenal di Indonesia pada saat ini, yaitu[13]:
2.1.3.1.    Alat Kontrasepsi yang dibolehkan
a.    Untuk wanita, seperti:
1.    Pil, berupa tablet yang berisi bahan progestin dan progenteron yang bekerja pada tubuh wanita untuk mencegah terjadinya ovulasi dan melakukan perubahan pada endomestrium.
2.    Suntikan, yaitu menginjeksikan cairan kedalam tubuh wanita yang dikenal dengan cairan devofropeta, netden, dan noristerat. Kontra indikasi tidak disuntikan kepada wanita yang sedang hamil, mengidap tumor ganas, berpenyakit jantung, paru-paru, liver, hipertensi dan diabetes.
3.    Susuk KB, yaitu berupa lepemorgestrel, yang terdiri dari enam kapsul yang diinsersikan dibawah kulit lengan bagian dalam kira-kira 6 sampai 10 cm dari lipatan siku.
4.    IUD (Intra Uterine Device)/AKDR (Alat Kontrasepsi Dalam Rahim), terdiri dari livesslov (spiral), multiload dan cover terbuat dari plastic halus dengan tembaga tipis.
5.    Cara-cara tradisional dan metode sederhana; misalnya minum jamu dan metode klender.
Semua alat tersebut digunakan oleh perempuan (istri) dan dibolehkan karena sifatnya yang permanen, jika tidak lagi menggunakan alat tersebut, seorang istri dapat kembali hamil dan melahirkan seperti semula.
b.    Untuk pria, seperti:
1.    Kondom
2.    Coitus interrptus (azal)
عَنْ جَابِرٍ قَالَ, كُنَّانَعْزِلُ عَلَى عَهْدِ رَسُوْلِ اﷲ ص م وَالْقُرْاۤنُ يَنْزِلُ (متفق عليه)

 “Diriwayatkan dari Jabir ra, ia berkata, “Kami melakukan azal (coitus interuptus) di masa Rasulullah pada waktu ayat-ayat al-Quran masih diturunkan dan tidak ada satu ayatpun yang melarangnya”. (Hadits Riwayat al-Bukhari dan Muslim), dan menurut lafal Muslim, “Kami melakukan azal di masa Rasulullah dan hal ini diketahui Nabi, dan Nabi tidak melarangnya”.
Hadits ini menerangkan bahwa boleh melakukan cara kontrasepsi berupa coitus interruptus, karena tidak ada ayat yang melarangnya, padahal ketika Sahabat melakukannya, al-Quran masih selalu turun. Karena itu, seandainya perbuatan itu dilarang oleh Allah, maka pasti ada ayat yang turun untuk mencegah perbuatan itu. Begitu juga halnya sikap Nabi ketika mengetahui, banyak diantara Sahabat yang melakukan hal tersebut, maka beliaupun tidak melarangnya, pertanda bahwa melakukan azal (coitus interruptus) dibolehkan dalam Islam untuk ber-KB[14].
2.1.3.2.     Alat kontrasepsi yang haram, yaitu[15];
a.    Untuk wanita
1.    Ligasi tuba, yaitu mengikat saluran kantong ovum
2.    Tubektomi, yaitu mengangkat tempat ovum
b.    Untuk pria
1.    Vasektomi, yaitu mengikat atau memutuskan saluran sperma dari buah zakar.
Ketiga cara diatas disebut dengan sterilisasi atau pengakhiran kesuburan. Hukum sterilisasi ini adalah haram karena mengakibatkan seseorang tidak dapat mempunyai anak lagi (pemandulan selama-lamanya).
Tetapi kalau kondisi kesehatan istri atau suami yang terpaksa, seperti untuk menghindari penurunan penyakit dari bapak/ibu terhadap anak keturunannya yang bakal lahir atau terancamnya jiwa si ibu bila ia mengandung atau melahirkan bayi, maka sterilisasi dibolehkan oleh Islam karena dianggap darurat. Hal ini diisyaratkan dalam kaidah:
اضرورةتبيح المحظورات
“keadaan darurat membolehkan melakukan hal-hal yang dilarang oleh agama”

2.2.       Abortus
2.2.1. Pengertian Aborsi/Abortus
Istilah abortus dalam bahasa Arab disebut “Ijhadh”, yang memiliki beberapa sinonim yakni; isqath (menjatuhkan), ilqa’ (membuang), tharah (melempar) dan imlash (menyingkirkan).
Sedangkan istilah abortus dalam bidang kesehatan yaitu berakhirnya suatu kehamilan (oleh akibat tertentu) pada atau sebelum kehamilan tersebut mencapai usia 22 minggu atau buah kehamilan belum mampu untuk hidup di luar kandungan.[16]
Abortus terbagi dua, yaitu: (1) Abortus Spontan yaitu abortus yang terjadi secara alamiah tanpa intervensi luar (buatan) untuk mengakhiri kehamilan tersebut yang biasanya disebut dengan keguguran; (2) Abortus buatan yakni abortus yang terjadi akibat intervensi tertentu yang bertujuan untuk mengakhiri proses kehamilan yang biasa disebut juga dengan pengguguran, aborsi atau abortus provokatus.[17]
Dalam hukum pidana Islam, aborsi yang dikenal sebagai suatu tindak pidana atas janin atau pengguguran kandungan terjadi apabila terdapat suatu perbuatan maksiat yang mengakibatkan terpisahnya janin dari ibunya.
Definisi aborsi secara etimologi dan terminologi, yakni :
1.    Adapun secara etimologi : Aborsi adalah menggugurkan anak, sehingga dia tidak hidup.
2.      Adapun secara terminologi : Aborsi adalah praktek seorang wanita yang menggugurkan janinnya, baik dilakukan sendiri ataupun orang lain.
Aborsi secara umum adalah berakhirnya suatu kehamilan (oleh akibat-akibat tertentu) sebelum buah kehamilan tersebut mampu untuk hidup di luar kandungan.
Dari definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa tidak semua jenis aborsi merupakan perbuatan yang bertentangan dengan moral dan kemanusiaan dengan kata lain tidak semua aborsi merupakan kejahatan. Aborsi yang terjadi secara spontan – keguguran – akibat kelainan fisik pada perempuan atau akibat penyakit biomedis internal, yang dalam hal ini tidak terjadi kontroversi di masyarakat atau di kalangan fuqaha, sebab terjadinya keguguran bukan atas dasar kesengajaan, dan merupakan kehendak diluar kemampuan manusia. Aborsi yang dilakukan sengaja termasuk pada pembunuhan terhadap hak hidup seorang manusia jelas merupakan suatu dosa besar.
Merujuk pada surat Al-Maidah ayat 32 yaitu:

Artinya: “Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa: barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. Dan sesungguhnya telah datang kepada mereka rasul-rasul Kami dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas, kemudian banyak diantara mereka sesudah itu sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan dimuka bumi.” (Q.S Al-Maidah : 32).

2.2.2. Aborsi dalam Pandangan Islam
Aborsi menurut pandangan agama-agama sebelum Islam termasuk tindakan yang diharamkan. Dalam agam Yahudi aborsi dianggap haram, tidak diperbolehkan dan pelakunya mendapatkan hukuman. Akan tetapi hukumannya tidaklah ditetapkan.
Dr. Abdurrahman Al-Baghdadi (1998) dalam bukunya Emansipasi Adakah Dalam Islam halaman 127-128 menyebutkan bahwa aborsi dapat dilakukan sebelum atau sesudah ruh (nyawa) ditiupkan. Jika dilakukan setelah ditiupkannya ruh, yakni setelah 4 bulan masa kehamilan, maka semua ulama fiqih sepakat akan keharamannya. Akan tetapi para ulama berbeda pendapat mengenai praktek borsi yang dilakukan sebelum 4 bulan masa kehamilan. Sebagian membolehkan dan sebagian lain mengharamkannya.
Diantara ulama yang membolehkan praktek aborsi sebelum peniupan ruh, antara lain Muhammad Ramli (w. 1596 M) dalam kitabnya An Nihayah dengan alasan karena belum ada makhluk yang bernyawa. Ada pula yang memandangnya makruh, denganalasan karena janin sedang mengalami pertumbuhan. Adapun salah satu ulama yang mengharamkan aborsi sebelum peniupan ruh antara lain Ibnu Hajar (w. 1567 M) dalam kitabnya At Tuhfah dan Al Ghazali dalam kitabnya Ihya` Ulumuddin.
Abdul Qadim Zallum dan Abdurrahman al-Bahgdadi mengungkapkan bahwa pendapat yang lebih kuat (rajih) adalah jika aborsi dilakukan setelah 40 hari atau 42 hari dari usia kehamilan dan pada saat permulaan pemebentukan janin, maka hukumnya haram. Dalam hal ini hukumnya sama dengan hukum keharaman aborsi setelah peniupan ruh ke dalam janin. Sedangkan pengguguran kandungan yang usianya belum mencapai 40 hari, maka hukumnya sama dengan hukum keharaman aborsi setelah peniupan ruh ke dalam janin. Sedangkan pengguguran kandungan yang usianya belum mencapai 40 hari, maka hukumnya boleh (Jaiz). Pendapat ini didasarkan kepada sabda Rasulullah Saw:
“Jika nutfah (gumpalan darah) telah lewat 42 malam, maka Allah mengutus seorang malaikat padanya, lalu dia membentuk nutfah tersebut; dia membuat pendengarannya, penglihatannya, kulitnya, dagingnya dan tulang belulang. Lalu malaikat itu bertanya (kepada Allah), “Yaa Tuhanku, apakah dia (akan Engkau tetapkan) menjadi laki-laki atau perempuan?” maka Allah kemudian memberi keputusan...”(HR. Muslim dari Ibnu Mas’ud ra).
Alasan dibolehkannya aborsi pada janin yang usianya belum mencapai 40 hari, maka hukumnya boleh dikarenakan bahwa apa yang ada dalam rahim belum menjadi janin karena dia masih berada dalam masa tahapan sebagai nutfah, belum sampai pada fase penciptaan yang menunjukkan ciri-ciri sebagai manusia. Selain itu, penguguran nutfah sebelum menjadi janin, dari segi hukum dapat disamakan dengan ‘azal yang dimaksudkan untuk mencegah terjadinya kehamilan.
Walaupun begitu, pendapat ini tidak boleh dijadikan alasan bagi para wanita yang diakibatkan pergaulan bebas, mereka mengetahui tanda-tanda kehamilan dengan telat bulan dan kemudian mengkonsumsi obat telat bulan. Dengan tujuan tidak terjadi kehamilan di luar nikah. Tetapi harus memperhatikan hukum keharaman aborsi ini dalam firman Allah Swt:
  
 “Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. Kamilah yang akan memberi rezki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar. Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.”(QS.Al-Isra, 31-32)
وَلَا تَقْتُلُوا أَوْلَادَكُمْ مِنْ إِمْلَاقٍ نَحْنُ نَرْزُقُكُمْ
“Dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan. Kami akan memberi rezki kepadamu dan kepada mereka.”(Q.S. al-An’am : 151).
Abu Fadl mengatakan bahwa janin dibawah 4 bulan dalam Islam mempunyai hak-hak yang harus diberikan oleh orangtuanya. Sehingga aborsi sebelum 4 bulan tetap diharamkan. Lebih lanjut beliau mengungkapkan hak-hak yang harus diberikan kepada janin:
1.    Hak untuk hidup
2.    Hak untuk mendapat waris
3.    Dan penguburan bayi
Dengan demikian, seluruh ulama sepakat bahwa pengguguran kandungan sesudah janin diberi nyawa, hukumnya haram dan suatu tindakan kriminal. Karena perbuatan tersebut dianggap sebagai pembunuhan terhadap orang hidup yang wujudnya telah sempurna. Para ulama juga berpendapat apabila menurut medis janin yang ada di dalam rahim ibu akan membahayakan keselamatan si ibu maka syariat islam memerintahkan untuk mengambil salah satu tindakan darurat seperti aborsi[18].
Dalam keputusan fatwa MUI tanggal 29 Juli 2000 menetapkan bahwa:
1.    Aborsi sesudah nafk al-ruh hukumnya adalah haram, kecuali jika ada alasan secara medis, seperti untuk menyelamatkan jiwa si ibu.
2.    Aborsi sejak terjadinya pembuahan ovum, walaupun sebelum nafkh al-ruh, hukumnya adalah haram, kecuali ada alasan medis atau alasan lain yang dibenarkan oleh syarat islam
3.    Mengharamkan semua pihak untuk melakukan, membantu, atau mengizinkan praktik aborsi.
Keputusan ini didasarkan bahwa janin adalah makhluk yang telah memiliki kehidupan yang harus dihormati; menggugurkannya berarti menghentikan (menghilangkan) kehidupan yang telah ada; dan ini hukumnya haram, berdasarkan sejumlah dalil, antara lain:
وَلَا تَقْتُلُوا أَوْلَادَكُمْ مِنْ إِمْلَاقٍ نَحْنُ نَرْزُقُكُمْ
“Dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan. Kami akan  memberi rezki kepadamu dan kepada mereka.”(Q.S. al-An’am : 151)
وَالَّذِينَ لَا يَدْعُونَ مَعَ اللَّهِ إِلَهًا آخَرَ وَلَا يَقْتُلُونَ النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ وَلَا يَزْنُونَ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ يَلْقَ أَثَامًا ﴿سورة الفرقان : ٦٨﴾
“Dan orang-orang yang tidak menyembah tuhan yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina, barangsiapa yang melakukan demikian itu, niscaya dia mendapat (pembalasan) dosa (nya)”. (Q.S. al-Furqan : 68)
Menurut Imam al-Ghazali dari kalangan Syafi’i, jika nutfah (sperma) telah bercampur dengan ovum dan siap menerima kehidupan, maka merusanya dipandang sebagai tindak pidana yang artinya haram melakukannya.
Membolehkan aborsi sebelum nafkh al-ruh dapat menimbulkan banyak dampak negatif, di samping dampak positif, seperti dalam kaidah fiqih:
“Menghindarkan kerusakan (hal-hal negatif) diutamakan daripada mendatangkan kemaslahatan.”[19]

2.2.3. Dampak Aborsi Bagi Kesehatan
Ada dua macam resiko kesehatan terhadap wanita yang melakukan aborsi:
1.    Resiko kesehatan dan keselamatan secara fisik
Brain Clowes dalam bukunya Facts of life menyebutkan beberapa resiko yang akan dihadapi oleh wanita yang melakukan aborsi, yaitu:
a.    Kematian mendadak karena pendaharan hebat
b.    Kematian mendadak karena pembiusan yang gagal
c.    Kematian secara lambat akibat infeksi serius di sekitar kandungan
d.   Rahim yang sobek
e.    Kerusakan leher rahim yang akan menyebabkan cacat pada anak berikutnya
f.     Kanker payudara karena ketidakseimbangan hormon ostrogen pada wanita
g.    Kanker indung telur
h.    Kanker leher rahim/ kanker cervic
i.      Kanker hati
j.      Kelainan pada placenta/ ari-ari yang akan menyebabkan cacat pada anak berikutnya dan pendarahan hebat pada saat kehamilan berikutnya
k.    Menjadi mandul/ tidak mampu memiliki keturunan lagi
l.      Infeksi rongga panggul
m.  Infeksi pada lapisan rahim
2.    Resiko gangguan psikologis
Resiko aborsi bukan saja pada aspek fisik tetapi juga memiliki dampak yang sangat hebat terhadap keadaan mental seorang wanita. Gejala ini dikenal dalam dunia psikologi sebagai “post-abortion syndrome” (sindrom paksa aborsi). Seperti:
a.    Kehilangan harga diri (82%)
b.    Berteriak-teriak histeris (51%)
c.    Mimpi buruk berkali-kali mengenai bayi (63%)
d.   Ingin melakukan bunuh diri (28%)
e.    Mulai mencoba menggunakan obat-obatan terlarang (41%)
f.     Tidak bisa menikmati lagi hubungan seksual (59%)[20]

2.3.       Menstrual Regulation (MR)
2.3.1. Pengertian Menstrual Regulation
Menstrual regulation secara harfiah artinya pengaturan menstruasi/datang bulan/haid, tetapi dalam praktek menstrual regulation ini dilaksanakan terhadap wanita yang merasa terlambat waktu menstruasi dan berdasarkan hasil pemeriksaan laboratoris ternyata positif dan mulai mengandung, maka ia meminta untuk dibersihkan janinnya, dan itu termasuk dalam pembunuhan terselubung.
2.3.2. Hukum Menstrual Regulation
Berdasarkan kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) pasal 299, 346, dan 349 negara melarang abortus, termasuk menstrual regulation dan sanksi hukumannya cukup berat; bahkan hukumannya tidak hanya ditujukan kepada wanita yang bersangkutan, tetapi semua orang yang terlibat dalam kejahatan ini dapat dituntut, seperti dokter, dukun bayi, tukang obat, dan sebagainya yang mengobati atau menyuruh atau yang membantu atau  yang melakukannya sendiri[21]
Islam juga melarang menstrual regulation, karena pada hakikatnya sama dengan abortus, merusak/menghancurkan janin calon manusia yang dimuliakan oleh Allah, karena ia berhak tetap survive dan lahir dalam keadaan hidup, sekalipun eksistensinya hasil dari hubungan yang tidak sah (diluar perkawinan yang sah). Sebab menurut Islam, bahwa setiap anak lahir dalam keadaan suci. Sesuai dengan hadits Nabi saw:
كُلُّ مَوْلُوْدٍيُوْلَدُعَلَى الْفِطْرَةِ حَتَّى يَعْرُبَ عَنْهُ لِسَانُهُ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْيُنَصِّرَانِهِ أَوْيُمَجِسَانِهِ. (الحديث)
“semua anak dilahirkan atas fitrah, sehingga ia jelas omongannya. Kemudian orangtuanyalah yang menyebabkan anak itu menjadi Yahudi, Nasrani, atau Majusi”. (HR. Abu Ya’la, Al-Thabrani, dan Al-Baihaqi dan Al-Aswad bin Sari)
Yang dimaksud dengan fitrah dari hadits disini ada dua pengertian, yaitu:
1.      Dasar membawa manusia (human nature) yang religious dan monoteis, artinya bahwa manusia itu dari dasar pembawaannya adalah makhluk beragama dan percaya pada ke-Esaan Allah secara murni (pure monotheism atau tauhid khalis).
2.      Kesucian/kebersihan (purity), artinya bahwa semua anak manusia dilahirkan dalam keadaan suci/bersih dari segala macam dosa[22]
Dengan demikian penggunaan obat telat bulan dengan tujuan untuk meluruhkan kandungan tanpa adanya suatu sebab medis seperti : apabila janin tetap berada di dalam kandungan hingga besar maka akan berbahaya bagi keselamatan ibu maka penggunaan obat tersebut tidaklah dibenarkan sebab termasuk perbuatan yang merusak keturunan, sebagaimana firman Allah swt :

“dan apabila ia berpaling (dari kamu), ia berjalan di bumi untuk Mengadakan kerusakan padanya, dan merusak tanam-tanaman dan binatang ternak, dan Allah tidak menyukai kebinasaan”. (QS. Al-Baqharah :205)







BAB III
PENUTUP
3.1.       Kesimpulan
Ø  KB dibolehkan dengan tujuan bukan untuk pembatasan keturunan tetapi pengaturan jarak kelahiran, kesehatan dan pendidikan. dengan menggunakan alat kontrasepsi yang sifatnya sementara seperti: pil, suntik, susuk, IUD, kondom, dan azal, sedangkan Islam mengharamkan alat kontrasepsi yang sifatnya pemandulan selama-lamanya atau sterilisasi, seperti ligase tuba, tubektomi, dan vasektomi. Tapi sterilisasi dibolehkan bila semata-mata kerena alasan medis.
Ø  Aborsi atau abortus yaitu mengakhiri masa kehamilan baik dengan sengaja ataupun dengan tidak disengaja. Aborsi yang tidak disengaja atau dengan alamiah biasa disebut dengan keguguran. Sedangkan aborsi yang disengaja memiliki dua hukum. Aborsi yang dilakukan karena alasan medis seperti bayi akan terlahir cacat atau tidak akan selamat maka boleh melakukan aborsi. Akan tetapi jika aborsi yang dilakukan karena alasan malu atau tidak mau bertanggung jawab atas kehamilannya maka aborsi ini diharamkan.
Ø  Mestruation Regulation atau disebut juga dengan telat bulan, hampir sama dengan abortus atau aborsi. Akan tetapi dalam hal praktiknya MR dilakukan pada masa awal kehamilan (2 minggu pertama) atau saat dia menyadari akan kehamilannya karena dia telat datang bulan dan dibenarkan sesuai dengan pernyataan medis. Kemudian dia meminta untuk dibersihkan janinnya baik oleh dokter ataupun menggunakan obat-obatan. Dan dalam pandangan hukum Islam, MR tetap haram hukumnya.


DAFTAR PUSTAKA
Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal cetakan ke-6. 2006. Jakarta. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo
Hasbiyyallah. 2009. “Masail Fiqhiyyah”. Jakarta: Depag.
Mahjuddin. 2014. “Masail Al-Fiqh”. Jakarta: Kalam Mulia
Maslani dan Hasbiyallah. 2009. “Masail Fiqhiyah Al-Hadisyah”. Bandung: Sega Arsy
Zuhdi, Masjfuk. 1997. “Masail Fiqhiyah”. Jakarta: PT Toko Gunung Agung




[1] Mahjuddin. “Masail Al-Fiqh”. (Jakarta: Kalam Mulia. 2014), hlm. 71
[2] Maslani dan Hasbiyallah. “Masail Fiqhiyah Al-Hadisyah”, (Bandung : Sega Arsy. 2009), hlm. 59
[3] Mahjuddin, loc, cit, hlm 71
[4] Maslani dan Hasbiyallah, loc,cit, hlm. 59-60
[5] Mahjuddin, loc, cit, hlm 74
[6] Ibid, hlm, 75
[7] Masjfuk Zuhdi. “Masail Fiqhiyah”,  (Jakarta: PT Toko Gunung Agung. 1997), hlm, 61
[8] Ibid, hlm, 62
[9] Ibid, hlm, 57
[10] Ibid, hlm, 58
[11] Ibid, hlm, 62
[12] Maslani dan Hasbiyallah, op, cit, hlm, 66
[13] Ibid, hlm, 61-63
[14] Mahjuddin, op, cit, hlm. 76-78
[15] Maslani dan Hasbiyallah, loc,cit, hlm. 62-63
[16] Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal cetakan ke-6. 2006. Jakarta. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Hal 145
[17] Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal cetakan ke-6. 2006. Jakarta. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Hal 145
[18] Hasbiyallah. “Masail Fiqhiyah”. (Jakarta: Depag. 2009), hlm 162
[19] Ibid, hlm, 165
[20] Ibid, hlm, 164
[21] Masjfuk Zuhdi, hlm, 79
[22] Ibid, hlm, 83-84