Jumat, 04 Maret 2016

Pemikiran Filsafat Al-Kindi dan Pengaruhnya Terhadap Dunia Islam

BAB 1
PENDAHULUAN
1.1.       Latar Belakang
Berbicara masalah filsafat, itu merupakan kebutuhan sehari-hari dan merupakan sesuatu yang tidak akan lepas dalam kehidupan manusia, bahwasanya filsafat merupakan kebutuhan yang tidak bisa di abaikan. Oleh Karena itu semakin enggan orang mengenal filsafat berarti semakin jauh juga dia dari kebijaksanaan. Karena banyak sekali di zaman sekarang orang yang jauh dari filsafat, sehingga pemikiranya menjadi dangkal, ada keterangan menyebutkan “filsafat tanpa agama adalah sesat dan agama tanpa filsafat adalah dangkal
Filsafat bagi Al kindi ialah pengetahuan tentang yang benar. Disinilah terdapat persamaan filsafat dan agama. Tujuan agama ialah menerangkan apa yang benar apa yang baik, demikian halnya filsafat. Agama, disamping wahyu, mempergunakan akal, dan filsafat juga menggunakan akal. Yang benar pertama bagi Al-Kindi ialah Tuhan dan filsafat yang paling tinggi ialah filsafat tentang Tuhan. Bahkan Al-Kindi berani mengatakan bagi orang yang menolak filsafat, telah mengingkari kebenaran, dan menggolongkannya kepada “kafir”, karena orang-orang tersebut telah jauh dari kebenaran, walaupun menganggap dirinya paling benar. Karena keselarasan antara filsafat dan agama didasarkan pada tiga alasan:(1) ilmu agama merupakan bagian dari filsafat, (2) wahyu yang diturunkan kepada nabi dan kebenaran filsafat saling bersesuaian dan,(3) menurut ilmu, secara logika, diperintahkan dalam Agama.
Filsafat Islam memiliki karakteristik yang berbeda dengan filsafat mana pun di dunia. Lahirnya filsafat didasarkan pada Alquran sebagai sumber dorongan dan sumber informasi. Akan tetapi, banyak kesalah fahaman dan anggapan bahwa filsafat Islam itu bertentangan dengan Alquran dan hadis. Padahal, yang dibicarakan di dalamnya adalah masalah-masalah yang belum ditemukan dan masih bisa di cari kebenarannya tentunya yang bersumber dari Alquran dan hadis.
Terkait dengan hal diatas maka perlu di ungkapkan beberapa bentuk dari filsafat Islam yang juga terlahir dari khasanah pemikiran orang-orang Islam. Salah satu contoh filosof dari orang Islam h Al-Kindi yang akan di jelaskan lebih lanjut di dalam makalah ini.
1.2.Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, Adapun masalah-masalah yang ingin di gali dalam pembuatan makalah ini yaitu seperti terangkum dalam pertanyaan-pertanyaan berikut:
1.      Bagaimana Sejarah Hidup/Biografi Al Kindi ?
2.      Seperti Apa Pemikiran Filsafat Al Kindi  ?
3.      Apa Pengaruh Filsafat Al Kindi Terhadap Dunia Islam ?
4.      Apasaja Karya Al Kindi ?
1.3.Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan yang diharapkan dalam pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut :
1.      Untuk Mengetahui Bagaimana Sejarah Hidup/Biografi Al Kindi.
2.      Untuk Mengetahui Seperti Apa Pemikiran Filsafat Al Kindi.
3.      Untuk Mengetahui Apa Saja Pengaruh Filsafat Al Kindi Terhadap Dunia Islam.
4.      Untuk Mengetahui Karya-Karya Al Kindi.



BAB II
PEMBAHASAN

2.1.       Biografi Al Kindi
Nama Al Kindi dari nama sebuah suku, yaitu : Banu Kindah yaitu suku keturunan Kindah, yang berlokasi di daerah selatan Jazirah Arab dan mereka mempunyai kebudayaan yang tinggi[1].
Nama lengkap Al Kindi adalah Abu Yusuf Ya’kub bin Ishaq ibnu Sabbah ibnu ‘Imron ibnu Ismail bin Muhammad bin Al-Ash’ats bin Qais Al Kindi[2]. Kindi adalah nama kabilah terkemuka pra-islam yang merupakan cabang dari Bani Kahlan yang menetap di Yaman. Kabilah ini yang melahirkan seorang tokoh sastrawa yang terbesar kesusastraan Arab, sang penyair pangeran Imr Al-Qais, yang gagal untuk memulihkan tahta kerajaan Kindah setelah pembunuhan ayahnya.
Al Kindi  dilahirkan di kufah pada tahun 185 H atau bertepatan dengan 801 M[3] dan keluarganya terkenal kaya dan terhormat. Ayahnya bernama Al Sabbah, bangsawan Arab yang sangat berpengaruh dan pernah menjadi gubernur kufah pada masa Al Mahdi (196-170H/785-786M) dan Harun Al Rasyid (170-194H/786-809M)[4]. Al Kindi mengalami masa pemerintahan Bani abbas, yakni Al Amin, Al Ma’mun, Al Mu’tasim, Al Wasiq dan Al Muttawakkil.
Al Kindi menghabiskan masa kecilnya di Kufah bersama kedua orangtuanya. Ketika Al Kindi masih anak-anak, ayahnya meninggal dunia. Namun, keadaan itu tidak membuat semangatnya menjadi turun dan ia terus tetap mempelajari berbagai macam ilmu di Kufah, Basroh dan Baghdad. Dia memulai belajarnya dari ilmu-ilmu agama, kemudian filsafat logika, matematika, music, astronomi, fisika, kimia, geografi, kedokteran, dan teknik mesin.
Ibnu Abi Usaibi’ah (w.668H/1269M), pengarang Tabaqatal-Attiba, mencatat Al Kindi sebagai salah satu dari empat penerjemah mahir pada masa gerakan penerjemahan[5]
Dalam hal pendidikan Al Kindi pindah dari Kufah ke Bashrah, sebuah pusat studi bahasa dan teologi Islam. Dan ia pernah menetap di Baghdad, ibukota kerajaan Bani Abbas, yang juga sebagai jantung kehidupan intelektual pada masa itu[6]. Kemampuan dalam bidang filsafat dan penemuannya dalam bidang kedokteran serta keahliannya sebagai insinyur telah diakui oleh para ilmuan lain yang hidup pada masanya. Kejeniusan dan kemampuannya dalam berbagai bidang sempat menjadi sumber kedengkian orang-orang yang dengki dan membuat jiwanya lemah sehingga hampir saja Al Kindi akan dipenjara, dicambuk dan diboikot.
Dalam bahasa asing Al Kindi menguasai dua bahasa yaitu bahasa Yunani dan Suryani. Selain itu, ada yang mengatakan bahwa dia juga menguasai bahasa asing lainnya. Penguasaannya terhadap berbagai bahasa inilah yang telah membantunya menguasai berbagai macam ilmu dan menjadikannya sangat berpengaruh bagi khalifah Al Ma’mun sehingga khalifah  mengankatnya sebagai penerjemah buku-buku asing yang dianggap penting.
2.2.       Filsafat Al-Kindi
Menurut sejarah dibeberapa buku, seperti; Al-Tarikh Al-Islami, Tarikh Falasifah Al-Islam, Tarikh Al-Fikr Al-Arabi, dan Lainnya menyatakan bahwa al-Kindi adalah seorang filosof Islam yang pertama dari bangsa Arab yang berusaha memadukan antara ajaran filsafat Yunani dengan ajaran Islam. Atas perpaduan antara ajaran filsafat yunani dengan Ajaran Islam, maka ini terbukti bahwa mempelajari filsafat tidaklah memusnahkan keyakinan agama yang dimiliki umat Islam selama umat Islam tersebut sudah kokoh berpegang pada dasar-dasar Islam. Selama eksisnya dalam mempelajari filsafat, al-Kindi memberikan definisi-definisi singkat dari filsafat itu sendiri.
Sumber filosofis Al Kindi diperoleh dari sumber-sumber Yunani Klasik terutama Neoplatonik. Risalahnya, Risalah Al-Hudud Al-Asyya, secara keseluruhan dapat dipandang sebagai basis atas pandangan pandangannya sendiri.[7]
Menurut Al Kindi definisi filsafat adalah pengetahuan tentang segala sesuatu yang abadi, bersifat menyeluruh dan umum, essensinya dan causa-causanya. Filsuf adalah orang berupaya memperoleh kebenaran dan hidup mengamalkan kebenaran yang diperolehnya, yaitu orang yang hidup menjungjung tinggi nilai keadilan atau hidup adil[8].
Unsur-unsur pemikiran yang mempengaruhi filsafat:
1.      Pemikiran Pitagoras tentang matematika sebagai jalan kea rah filsafat
2.      Pemikiran Aristoteles dalam fisika-fisikanya dan metafisika dan berbeda pendapat mengenai qadimnya alam/kekalnya alam
3.      Pemikiran Plato dan Aristoteles dalam etika
4.      Pemikiran Plato dan kejiwaan
5.      Wahyu dan Iman (ajaran-ajaran agama) dalam hubungannya dengan Tuhan dan sifat-sifat-Nya
6.      Pemikiran Mutazilah dalam menekan rasio dan menafsirkan ayat-ayat Al-Quran
Dalam pandangan filsafat fisikanya disebutkan “bahwa alama ini ada illat-Nya (sebab) yang jauh, yang menjadikan, yaitu Allah yang mengaturnya dan menciptakan sebagiannya sebagai illat (sebab) yang lainnya”[9]. “Alam itu tidak mempunyai asal, kemudian menjadi ada, karena diciptakan, maka alam itu mustahil qadimnya”. Di alam ini terdapat bermacam-macam gerak. Disamping itu juga ada 4 illat, yaitu illat materi atau illat unsur (illat maddiyah; material cause), illat bentuk (illat shuriyah; formal cause), illat pencipta (illat failah, moving cause), dan illat tujuan (illat ghaiyah; final cause).
Al Kindi mengemukakan tiga jalan untuk membuktikan adanya Tuhan, yaitu:[10]
1.      Tidak mungkin ada benda yang ada dengan sendirinya, jadi wajib ada yang menciptakannya, dari ketiadaan dan pencipta itulah Tuhan
2.      Dalam alam tidak mungkin ada keragaman tanpa keseragaman, atau keseragaman tanpa keragaman. Tergabungnya keseragaman dan keragaman bersama-sama, bukanlah karena kebetulan,  tetapi karena suatu sebab. Sebab pertama itulah Tuhan.
3.      Kerapihan alam tidak mungkin terjadi tanpa ada yang merapikannya, yang merapikan atau yang mengatur alam itulah Tuhan.
Disamping itu Al Kindi juga membuktikan wujud Tuhan dengan menggunakan 3 jalan:
1.      Barunya alam, alam ini baru da nada permulaan waktunya, karena alam ini terbebas, oleh karena itu yang menyebabkan alam ini tercipta, dan tidak mungkin ada sesuatu benda yang ada dengan sendirinya. Maka ia diciptakan oleh penciptanya dari tiada.
2.      Keanekaragaman dalam wujud (katsrah fit mawujudat), keanekaragaman disini adalah ada yang menyebabkan, atau ada sebab. Sebab itu bukanlah alam itu sendiri, tetapi sebab yang ada berada di luar alam yang lebih mulia, lebih tinggi dan lebih dahulu adanya karena sebab harus ada sebelum akibat.
3.      Kerapian alam, bahwa alam lahir tidak mungkin rapid an teratur kecuali adanya dzat yang tidak Nampak, yang zat tidak nampak itu dapat diketahui dengan melalui bekas-Nya (illat tujuan/illat ghaiyyah)
Sedangkan pemikirannya tentang sifat-sifat Tuhan, ia mengikuti pendirian Mutazilah yaitu:
1.      Keesaan, suatu sifat yang paling khas bagi-Nya
2.      Yang Mahatahu
3.      Yang Maha Berkuasa
4.      Yang Mahahidup
Sebagai seorang muslim, Al-Kindi berusaha menggegas agar filsafat bisa dipelajari dan berpadu dalam Islam, namun arah tujuan dari semua itu tidak untuk kebenaran yang hakiki. Untuk itu Al-Kindi yang terkenal sebagi Filosof Islam pertama kali di dunia membuat suatu usaha demi sebuah pencerahan. Salah satu usahanya adalah al-Kindi memperkenalkan filsafat ke dalam dunia Islam dengan cara mengetok hati umat supaya menerima kebenaran walaupun dari mana sumbernya. Menurutnya kita tidak pada tempatnya malu mengakui kebenaran dari mana saja sumbernya. Bagi mereka yang mengakui kebenaran tidak ada sesuatu yang lebih tinggi nilainya selain kebenaran itu sendiri dan tidak pernah meremehkan dan merendahkan martabat orang yang menerimanya.
Kemudian ia Mengarahkan filsafat muslim ke arah kesesuaian antara filsafat dan agama melalui perpaduan antara akal dan agama. Kalau di gariskan maka, filsafat berlandaskan akal sedangkan agama berdasarkan wahyu. Logika (mantiq) merupakan metode filsafat sedang iman merupakan kepercayaan kepada hakikat yang disebutkan dalam Al-Qur’an sebagaimana diwahyukan Allah kepada Nabi-Nya. Apa yang telah dinyatakan dalam al-Qur’an merupakan satu ilmu yang mesti dipelajari melalui akal dan keimanan, sebagai contoh firman Allah Swt Q.S. Al-Baqarah ayat 164 :

"Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh (terdapat) ) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan"

Dalil kedua yang dimunculkannya adalah Q.S Al-Hasyr ayat 2;

”… maka ambillah ’ibrah (pengajaran), hai orang-orang yang mempunyai pemandangan”.
Ia juga menselaraskan antara filsafat dan agama yang didasarkan pada tiga alasan: pertama, ilmu agama merupakan bagian dari filsafat. Kedua, wahyu yang diturunkan kepada Nabi dan kebenaran filsafat saling bersesuaian. Ketiga, menuntut ilmu, secara logika diperintahkan dalam agama.
Filsafat merupakan pengetahuan tentang hakikat segala suatu, dan ini mengandung teologi (al-rububiyah), ilmu tauhid, etika dan seluruh ilmu pengetahuan yang bermanfaat. Kebanyakan definisi filsafat al-Kindi dikumpulkan dari karya-karya Aristoteles dan kesukaannya kepada Aristoteles tidak bisa di abaikan. Bahkan, ketika ia meringkas dari sumber-sumber lain yang secara keliru, ia menisbahkan pula kepada Aristoteles. Subjek dan susunanya sesuai benar dengan sumber Neopolitik. Pada definisi pertama, Tuhan disebut ”Sebab pertama” mirip dengan ”Agen Pertamanya” Plotinus, suatu ungkapan yang juga digunakan al-Kindi atau dengan istilahnya ”Yang Esa adalah sebab dari segala sebab”. Definisi-definisi berikutnya  dalam Risalah al-Kindi dikemukakan susunanya yang membedakan antara alam atas dan alam bawah. Yang pertama ditandai dengan definisi-definisi akal, alam, dan jiwa, diikuti dengan definisi-definisi yang menandai alam bawah, dimulai dengan definisi badan (jism), penciptaan (ibda’), materi (hayula), bentuk (shurah). Dari dasar pemikiran al-kindi akhirnya timbullah pemikiran Filsafatnya antara lain
2.2.1.           Filsafat Ketuhanan
Al Kindi selain filsuf, juga ahli ilmu ahli pengetahuan. Menurutnya, pengetahuan terbagi dalam dua bagian
1.      Pengetahuan Ilahi عِلْمُ اِلَهِيُ (Divine science), sebagai mana yang tercantum dalam al-Quran= yaitu pengetahuan langsung yang diperoleh Nabi dan Tuhan. Dasar pengetahuan ini ialah keyakinan.
2.      Pengetahuan manusiawi عِلْمٌ اِنْسَانِيٌ (human science) atau filsafat dasarnya ialah pemikiran (ratio-reason)
     Filsafat Ketuhanan al-Kindi merupakan awal lahirnya perbincangan Ketuhanan, namun penafsiran al-Kindi mengenai Tuhan sangat berbeda dengan pendapat Aristoteles, Plato dan Plotinius. Mengenai hakikat ke-Tuhanan ia mengatakan bahwa Tuhan adalah wujud yang Esa, tidak ada sesuatu benda apapun yang menyerupai akan Tuhan, dan Tuhan tidaklah melahirkan ataupun dilahirkan, akan tetapi Tuhan akan selalu hidup dan tidak akan pernah mati. Dalam al-Qur’an Surat al-Ikhlas ayat 1 s/d 4 sebagai bukti keberadaan Tuhan.
قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ * اللَّهُ الصَّمَدُ * لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ * وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ
”Katakanlah: "Dia-lah Allah, yang Maha Esa, Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu, Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan,  Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia".
Dalam Islam Sang Khalik atau pencipta dan penguasa segalanya di buat sebuah penamaan yakni ”Allah Swt” sebagaimana disebutkan dalam ayat di atas maka, itulah bukti yang paling kongkrit bahwa Allah swt itu ada dan hidup kekal selamanya, sedangkan manusia adalah Hamba Allah yang diberikan kehidupan hingga akhirnya mati. Bagaimana kita bisa percaya akan adanya Allah Swt, maka dari itu sebagai manusia biasa diberikan akal, hati dan nurani untuk dapat menyakini adanya Allah swt melalui bukti-bukti kekuasaan Allah Swt.
Menrut Al-Kindi benda-benda yang ada di alam ini mepunyai dua hakikat yaitu hakikat juz’iyyah atau aniyah (sebagian) dan hakikat kulliyah atau mahiyyah (keseluruhan).[11] Allah dalam filsafat AI-Kindi, tidak mempunyai hakikat dalam arti 'aniah dan mahiah. Tidak 'aniah karena Allah bukan benda yang mempunyai sifat fisik dan tidak pula termasuk dalam benda-benda di alam ini. Allah tidak tersusun dari mater dan bentuk. Akan tetapi, Allah juga tidak mempunyai hakikat dalam bentuk mahiyah. Bagi Al-Kindi, Allah adalah unik. Ia hanya satu dan tidak ada yang setara dengan-Nya. Dialah Ying Benar Pertama (al-Haqq al-Awwal) dan Yang Benar Tunggal (al-Haqq al-Wahid). Selain dari-Nya, semuanya mengandung arti banyak.[12]
Agar dapat memahami penafsiran al-Kindi tentang Tuhan, kita mesti merujuk pada kaum Tradisionalis dan Mu’tazilah. Kaum tradisionalis (Ibn Hanbal adalah salah seorang tokohnya) menafsirkan sifat-sifat Allah dengan nama-nama Allah, mereka menerima makna harfiyah al-Qur’an tanpa memberikan penafsiran lebih jauh. Kaum Mu’tazilah yang semasa dengan al-Kindi, secara akal menafsirkan sifat-sifat Allah demi memantapkan sifat Maha Esa-Nya. 
Walaupun al-Kindi sepaham dengan Muktazilah dalam menafikan sifat dari Zat Allah. Akan tetapi, ketika Muktazilah menyatakan bahwa Tuhan itu mengetahui dengan Ilmu-Nya dan Ilmu-Nya adalah Zat-Nya (’Alim bi’ilm wa ’ilmuh zatuh) berkuasa dengan kekuasaan-Nya dan kekuasaa-Nya adalah Zat-Nya (qadir bi qudratih wa qudratuh zaituh) al-Kindi tidak sepaham dengan pandangan ini. [ Sesuai dengan paham yang ada dalam Islam, Tuhan bagi al-Kindi adalah Pencipta dan bukan penggerak Pertama sebagai pendapat Aristoteles.
2.2.2.      Filsafat Alam
Mengenai alam, al-Kindi berbeda pendapat juga dengan para filosof seperti Aristoteles Plato, dan lainnya yang sebelum dia dengan mengatakan ”alam ini kekal”, sedangkan al-Kindi mengatakan ”alam ini tak kekal”. Dalam hal ini ia memberikan pemecahan yang radikal, dengan membahas gagasan tentang ketakterhinggaan secara matematik. Dengan ketentuan ini, setiap benda yang terdiri atas materi dan bentuk yang tak terbatas ruang dan bergerak di dalam waktu, adalah terbatas, meskipun benda tersebut adalah wujud dunia. Karena terbatas, ia tak kekal. Hanya Allah-lah yang kekal.
Al-Kindi juga mengatakan alam bukan kekal di zaman lampau (qadim) tetapi mempunyai permulaan. Karena itu ia lebih dekat dalam hal ini pada falsafat Plotinus yang mengatakan bahwa Yang Maha Satu adalah sumber dari alam ini dan sumber dari segala yang ada. Alam ini adalah emanasi dari Yang Maha Satu. Tetapi paham emanasi ini kelihatannya tidak jelas dalam falsafat al-Kindi. Al-Farabiyah yang dengan jelas menulis tentang hal itu.[13]
Menurut al-kindi alam ini termasuk makhluk yang sifatnya baharu, sebagai bukti dari baharunya alam ia mengemukakan beberapa argumen, antara lain: pertama, semua benda yang homogen, yang tiada padanya lebih besar ketimbang yang lain, adalah sama besar. Kedua, jarak antara ujung-ujung dari benda-benda yang sama besar, juga sama besarnya dalam aktualitas dan potensialitas. Ketiga, benda-benda yang mempunyai batas tidak bisa tidak mempunyai batas. Keempat, jika salah satu dari dua benda yang sama besarnya dan homogen ditambah dengan homogen lainnya, maka keduanya menjadi tidak sama besar. Kelima, jika sebuah benda dikurangi, maka besar sisanya lebih kecil daripada benda semula. Keenam, jika satu bagian diambil dari sebuah benda, lalu dipulihkan kembali kepadanya, maka hasilnya adalah benda yang sama seperti semula. Ketujuh, tiada dari dua benda homogen yang besarnya tidak mempunyai batas. Kedelapan, jika benda-benda yang homogen yang semuanya mempunyai batas ditambahkan ber sama, maka jumlahnya juga akan terbatas.
Kesimpulan dari ungkapan al-Kindi atas ungkapannya di atas adalah alam semesta ini pastilah terbatas, oleh sebab itu ia menolak pandangan Aristoteles yang mengatakan bahwa alam semesta tidak terbatas atau qadim. Mengenai keteraturan alam dan perdaran alam ini sebagai bukti adanya Tuhan, sedangkan alam adalah buatan Tuhan.
2.2.3.      Filsafat Jiwa dan Akal
Sebagaimana jiwa dalam filsafat Yunani, Al-Kindi juga mengatakan bahwa jiwa adalah jauhar basith (tunggal, tidak tersusun, tidak panjang, dalam, dan lebar). Jiwa mempunyai arti penting, sempurna, dan mulia. Substansinya berasal dari substansi Allah. Hubungannya dengan Allah sama dengan hubungan cahaya dengan matahari. Jiwa mempunyai wujud tersendiri, terpisah, dan berbeda dengan jasad atau badan. Jiwa bersifat rohani.[14]
Mengenai jiwa , al-Kindi juga membantah pendapat Aristoteles. Para filosof muslim menamakan jiwa (al-nafs) seperti yang diistilahkan dalam al-Qur’an yaitu, al-ruh. Menurut Al Kindi, roh itu berbeda dengan badan dan mempunyai wujud sendiri. Argument yang digunakan Al Kindi tentang perbedaan roh dari badan ialah keadaan badan yang memiliki hawa nafsu, dan sifat pemarah. Roh menentang sifat hawa nafsu dan pemarah. Sudah jelas bahwa yang melarang tidak sama, tetapi berlainan dari yang di larang. Dengan perantaraan rohlah, manusia memperoleh pengetahuan yang sebenarnya.
 Kemudian kata ruh ini di indonesiakan menjadi tiga bentuk, pertama nafsu yaitu dorongan untuk melakukan perbuatan yang diingini, jika keinginan ini berbentuk negatif maka nafsu ini mendekati dengan hawa, jadi kalau digabungkan menjadi hawa nafsu (keinginan yang jelek). Kedua nafas yaitu suatu alat pencernaan udara sebagai tanda kehidupan seseorang. Ketiga roh atau jiwa yaitu suatu zat yang tidak bisa dirangkaikan bentuknya. Karena al-Qur’an telah menginformasikan bahwa manusia tidak akan mengetahui akan hakikat roh, roh adalah urusan Allah bukan urusan manusia. Allah menyatakan akan hakikat roh dalam Q.S. Al-Isra’ 17 : 85.
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الرُّوحِ قُلِ الرُّوحُ مِنْ أَمْرِ رَبِّي وَمَا أُوتِيتُمْ مِنَ الْعِلْمِ إِلا قَلِيلا
”Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: "Roh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit".
Sedangkan akal merupakan sebuah potensi berupa alat untuk berpikir yang hanya dimiliki oleh manusia. Setiap manusia yang terlahir ia akan membawa potensi masing-masing dari akal yang dimilikinya, semakin banyak ia berpikir semakin banyak pula ia akan mendapatkan pengetahuan, maka akan nampak sebuah perbedaan seorang yang banyak berpikir dengan akalnya untu menemukan sebuah ide-ide baru dari pada seorang yang hanya menerima hasil dari ide orang lain. Muncullah sebuah perbedaan antara seorang yang berpengetahuan dengan yang tidak berpengetahuan seperti dikatakan al-Qur’an pada Surat az-Zumar ayat 9:

 “(Apakah kamu hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadah di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah: "Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran”.
Selanjutnya, Al-Kindi menolak pendapat Aristoteles yang mengatakan bahwa manusia sebagaimana benda-benda, tersusun dari dua unsur, materi dan bentuk. Materi adalah badan dan bentuk adalah jiwa manusia. Hubungan dengan badan sama dengan hubungan bentuk dengan materi. Bentuk atau jiwa tidak bisa mempunyai wujud tanpa materi atau badan dan begitu pula sebaliknya materi atau badan tidak pula bisa berwujud tanpa bentuk atau jiwa. Pendapat ini mengandung arti bahwa jiwa adalah baharu karena jiwa adalah form bagi badan. Form tidak bisa terwujud tanpa materi, keduanya membentuk satu kesatuan yang bersifat esensial, dan kemusnahan badan membawa kemusnahan jiwa. Dalam hal ini al-Kindi sependapat dengan Plato yang mengatakan bahwa kesatuan jiwa dan badan adalah kesatuan Acciden, binasanya badan tidak membawa binasa pada jiwa. Namun, ia tidak menerima pendapat Plato yang mengatakan bahwa jiwa berasal dari alam ide.
Menurut al-Kindi roh tidak tersusun (basiithah, simple, sederhana) tetapi mempunyai  arti penting, sempurna dan mulia. Substansinya (jawahara) berasal dari substansi Tuhan. Hubungannya dengan Tuhan sama dengan hubungan cahaya dengan matahari. Hanya roh yang sudah suci di dunia ini yang dapat pergi ke alam kebenaran itu. Roh yang masih kotor dan beluim bersih, pergi dahulu ke bulan. Setelah berhasil membersihkan diri di sana, baru pindah ke Merkuri, dan demikianlah naik setingkat demi setingkat hingga akhirnya, setelah benar-benar bersih, sampai ke alam akal, dalam lingkungan cahaya Tuhan dan melihat Tuhan.
Mengenai akal, al-Kindi juga berbeda pendapat dengan Aristoteles. Aristoteles membedakan akal menjadi dua macam, yaitu akal mungkin dan akal agen. Akal mungkin menerima pikiran, sedangkan akal agen menghasilkan objek-objek pemikiran. Akal agen ini dilukiskan oleh Aristoteles sebagai tersendiri, tak bercampur, selalu aktual, kekal, dan takkan rusak[15]. Berbeda halnya dengan al-Kindi yang membagi akal dalam empat macam; pertama: akal yang selalu bertindak, kedua: akal yang secara potensial berada di dalam roh, ketiga: akal yang telah berubah, di dalam roh, dari daya menjadi aktual, keempat; akal yang kita sebut akal kedua. Yang dimaksudkan dengan akal ”kedua” yaitu tingkat kedua aktualitas; antara yang hanya memiliki pengetahuan dan yang mempraktekkannya[16].
Dinyatakan lagi oleh al-Kindi bahwa; akal yang bersifat potensial tak bisa mempunyai sifat aktuil jika tidak ada kekurangan yasng menggerakkannya dari luar. Dan oleh karena itu bagi al-Kindi ada lagi satu macam akal yang mempunyai wujud di luar roh manusia, dan bermakna: akal yang selamanya dalam aktualitas (al’aqlu ladzi bil fa’il abadan). Akal ini, karena selamanya dalam aktualitas, ialah yang membuat akal yang bersifat potensial dalam roh manusia menjadi aktuil. Bagi al-Kindi manusia disebut menjadi ’akil (’akal) jika ia telah mengetahui universal, yaitu jika ia telah memperoleh akal yang di luar itu (idza uktisab hadzal ’aklul kharaji). Akal yang selalu bertindak (akal pertama) bagi al-Kindi, mengandung arti banyak, karena dia adalah universals (al-kuliyat mutakatsarah). Dalam limpahan dari Yang Maha Satu, akal inilah yang pertama-tama merupakan yang banyak (awwalu muktatsar).
2.3.       Pengaruh Filsafat Al-Kindi Terhadap Dunia Islam
Al-Kindi sebagai kunci pertama pembuka gerbang filsafat dunia islam. Melalui usahanya ini Al-Kindi berhasil membuka jalan bagi kaum muslimin untuk menerima filsafat. Al-Kindi memiliki pengaruh dan kostribusi besar terhadap perkembangan ilmu pengetahuan di dunia islam. Sejarah membuktikan, prestasi yang telah di ukir Al-Kindi menjadikan dirinya dinobatkan sebagai filosof muslim kenamaan yang sejajar dengan para pemikir raksasa lainnya. Ia adalah filosof pertama islam yang menyelaraskan agama dengan filsafat.
Ia melicinkan jalan bagi al-farabi, Ibn Sina, dan Ibn Rusyd. Ia memberikan dua pandangan yang berbeda. Yang pertama mengikuti jalur ahli logika, dan memfilsafatkan agama. Yang kedua, memandang agama sebagai ilmu ilahiyah dan menempatkannya di atas filsafat. Ilmu ilahiyah diketahui lewat jalur para nabi. Tetapi melalui penafsiran para filosofis, agama jadi selaras dengan filsafat[17].
Kebesaran Al-Kindi telah dibuktikan dengan pengaruh Al-Kindi terhadap kemajuan peradaban islam, kemajuan ilmu pengetahuan di dunia islam yang dipelopori oleh Al-Kindi ini telah mengantarkan Al-Kindi dan karya-karyanya menghiasi kerajaan Al- Mu’tasim. Pemikiran Al-Kindi telah banyak menginspirasikan banyak para pemikir lain pada masa itu. Hal itu dibuiktikan oleh Gerad dari Cremona ke dalam bahasa latin. Karya-karya itu sangat mempengaruhi Eropa pada abad pertengahan.[18]


2.4.      Karya Al Kindi
Al-Kindi mendalami filsafat Yunani dan menerjemahkan sebagian buku-bukunya. Selain itu, ia pun menambahkannya dengan keterangan dan komentar yang menunjukkan pada kemampuannya yang sangat besar dalam bidang itu. Kenyataan inilah yang membuat Khalifah Al-Ma'mun memberikan tugas kepadanya untuk menerjemahkan buku-buku karangan Aristoteles. Dia juga menguasai pemikiran dan filsafat Persia dan India. Dia menelusuri metode filsafat dan logika matematika sebagaimana yang dilakukan oleh para filsuf Yunani.
Hubungan Al-Kindi yang kuat dengan filsafat memberikan dampak yang sangat besar bagi perkembangan pemikiran ilmiahnya. Al-Kindi menolak segala pemikiran yang bertentangan dengan Islam dan berusaha untuk memadukan antara filsafat dan pemikiran Islam.
Ya'qub Al-Kindi memiliki lebih dari dua ratus buku yang dikarangnya. Bahkan Dr. Abdul Halim Muntashir mengatakan dalam bukunya "Tarikh Al-Ilm wa Daur Al-Arab fi Taqaddumihi" bahwa buku karangan Al-Kindi lebih dari 230 buku. Akan tetapi yang sangat disayangkan, kebanyakan dari buku-buku ini hilang dan tidak sampai ke tangan kita kecuali judul- judulnya saja yang diberitahukan oleh penerjemahnya kepada kita. Adapun diantaranya :
A.  Bidang Filsafat
1.      Kitab Al-Kindi ila Al-Mu’tashim Billah fi al-Falsafah al-Ula (tentang filsafat pertama),
2.      Kitab al-Falsafah al-Dakhilat wa al-Masa’il al-Manthiqiyyah wa al Muqtashah wa ma  fawqa al-Thabi’iyyah (tentang filsafat yang diperkenalkan dan masalah-masalah logika dan muskil, serta metafisika),
3.      Kitab fi Annahu la Tanalu al-Falsafah illa bi ‘ilm al-Riyadhiyyah (tentang filsafat tidak  dapat dicapai kecuali dengan ilmu pengetahuan dan matematika),
4.      Kitab fi Qashd Aristhathalis fi al-Maqulat (tentang maksud-maksud Aristoteles dalam kategori-kategorinya),
5.      Kitab fi Ma’iyyah al-‘ilm wa Aqsamihi (tentang sifat ilmu  pengetahuan dan klasifikasinya),
6.      Risalah fi Hudud al-Asyya’ wa  Rusumiha (tentang definisi benda-benda dan uraiannya),
7.      Risalah fi Annahu Jawahir la Ajsam (tentang substansi-substansi tanpa badan),
8.      Kitab fi Ibarah al-Jawami’ al  Fikriyah (tentang ungkapan-ungkapan mengenai ide-ide komprehensif),
9.      Risalah al-Hikmiyah fi Asrar al-Ruhaniyah (sebuah tilisan filosofis tentang rahasia-rahasia spiritual),
10.  Risalah fi al-Ibanah an al-‘illat al-Fa’ilat al-Qaribah li al-kawn wa al-Fasad (tentang penjelasan mengenai sebab dekat yang aktif terhadap alam dan kerusakan).
B.  Bidang Astronomi
1.      Risalah fi Masa’il Su’ila anha min Ahwal al-Kawatib (jawaban dari pertanyaan tentang planet),
2.      Risalah fi Jawab Masa’il Thabi’iyah fi Kayfiyyat Nujumiah (pemecahan soal-soal fisik tentang sifat-sifat perbintangan),
3.      Risalah fi anna Ru’yat al Hilal la Tudhbathu bi al-Haqiqoh wa innama al-Qowl fiha bi at-Taqrib (bahwa pengamatan astronomi bulan baru tidak dapat ditentukan dengan ketetapan,
4.      Risalah fi Mathrah asy-Syu’a (tentang projeksi sinar),
5.      Risalah fi Fashlayn (tentang dua musim yakni; musim panas dan musim dingin),
6.      Risalah fi Idhah ‘illat Ruju’ al-Kawakib (tentang penjelasan sebab gerak kebelakang planet-planet),
7.      Fi asy-Syu’at (tentang sinar bintang)
C.    Meteorologi
1.      Risalah fi ’illat Kawnu adh-Dhabasb (tentang sebab asal mula kabut),
2.      Risalah fi Atshar alladzi Yazhharu fi al-laww Yusamma Kawkaban (tentang tanda yang     tampak di langit dan disebut sebuah planet),
3.      Risalah fi ’illat Ikhtilaf Anwa’us Sanah (tentang sebab perbedaan dalam tahun-tahun),
4.      Risalah fi al-Bard al-Musamma ”Bard al-Ajuz” (tentang dingin),
D.  Ramalan
1.      Risalah fi Taqdimat al-Khabar (tentang Prediksi),
2.      Risalah fi Taqdimat al-Ma’rifat fi al-Ahdats (tentang ramalan dengan mengamati gejala    meteorolgi).
E.  Ilmu Pengobatan
1.      Risalah fi’illat Naftcad-Damm (tentang hemoptesis yakni; batuk darah dari saluran pernapasan)
2.      Risalah fi Adhat al-Kalb al-Kalib (tentang rabies).
F.   Ilmu Hitung
1.      Risalah fi al-Kammiyat al-Mudhafah (tentang jumlah relatif),
2.      Risalah fi at-Tajhid min Jihat al-’Adad (tentang keesaan dari segi angka-angka).
G.  Bidang Logika
1.      Risalatun fi Madhkal al-Mantiq bi Istifa al-Qawl fihi (tentang sebuah pengantar lengkap logika),
2.      Ikhtisar Kitab Isaghuji li Farfuris (sebuah ikhtisar Eisagoge Porphyry).
Karya-karya yang disebutkan di atas merupakan sebagian terkecil dari sekian banyak karya Al-Kindi. Karya Al-Kindi di susun oleh Ibnu An-Nadim yang menyebutkan tidak kurang dari 242 buah karya Al-Kindi, sedangkan sumber lain menyebutkan 265 buah, dan membaginya menurut pokok persoalannya menjadi filsafat, logika, ilmu hitung, sferika, ilmu kedokteran, astrologi, polemik, psikologi, politik, meteorologi, dan ramalan



BAB III
PENUTUP
3.1.       Kesimpulan
Al Kindi merupakan filsuf pertama dalam Islam, yang menyelaraskan antara agama dan filsafat. Ia mempermudah jalan bagi Al Farabi, Ibnu Sina, dan Ibnu Rusyd. Sebagaimana telah diketahui juga, bahwa Al-Kindi banyak mempelajari filsafat Yunani, maka dalam pemikirannya banyak kelihatan unsur-unsur filsafat Yunani itu. Oleh karena pemikiran Al-Kindi banyak mendapat pengaruh filsafat Yunani, maka sebagian penulis berpendapat bahwa al-Kindi mengambil alih seluruh filsafat Yunani.
Bagi al-Kindi, filsafat paling utama adalah mencari yang benar, yakni konsep tentang ketuhanan. Dari beberapa pemikiran filsafat yang ditekuni, akhirnya Al-Kindi berkesimpulan bahwa filsafat Ketuhananlah yang mendapat derajat atau kedudukan yang paling tinggi dibandingkan dengan lainnya. Ia memandang pembahasan mengenai Tuhan adalah sebagai bagian filsafat yang paling tinggi kedudukannya.




DAFTAR PUSTAKA
Ahmad dan Mudzakir Syadali. 1999. “Filsafat Umum”. Bandung: Pustaka Setia
Fakhri, Majid. 1986. “Sejarah Filsafat Islam”. Jakarta: Pustaka Jaya
Luthfi Jum’ah, Muhammad. 1927. “Tarikh Falasifah Al-Islam”. Mesir
Majid, Nurcholis. 1987. “Khasanah Intelektual Islam”. Jakarta: Bulan Bintang
Miska Muhammad amien, 2006, “Epistemologi Islam”.  Jakarta: Universitas Indonesia
Mohamad Erihadiana. 2014. “Filsafat Umum”. Bandung: CV Insan Mandiri.
Mustofa, A. 2004. “Filsafat Islam” . Bandung: Pustaka Setia
Nasution, Harun. 1996. “Islam Rasional”. Bandung: Mizan
Nasution, Harun. 1973. “Filsafat dan Mitisisme dalam Islam”. Jakarta: Bulan Bintang
Salam, Abdus. 1983. “Sains dan Dunia Islam” . Bandung: Salman ITP
S.Praja. Juhaya. 2013. ”Pengantar Filsafat Islam” . Bandung: CV Pustaka Setia
Sudarsono. 2004. ”Filsafat Islam”. Jakarta: Rineka Cipta
Zar, Sirajuddin. 2004. “Filsafat Islam filosof dan filsafatnya” . Jakarta: Raja Grafindo Persada










[1] Sudarsono. Filsafat Islam. 2004; hal : 21
[2] Juhaya S.Praja. Pengantar Filsafat Islam. 2013; hal : 50
[3] Sudarsono. Filsafat Islam. 2004; hal : 21
[4] Juhaya S.Praja. Pengantar Filsafat Islam. 2013; hal : 50
[5] Juhaya S.Praja. Pengantar Filsafat Islam. 2013; hal : 50
[6] Mohammad Erihadiana. Filsafat Umum. 2014; hal: 141
[7] Juhaya S.Praja. Pengantar Filsafat Islam. 2013; hal : 54
[8] Sudarsono. Filsafat Islam. 2004; hal : 25
[9] Sudarsono. Filsafat Islam. 2004; hal : 25
[10] Sudarsono. Filsafat Islam. 2004; hal : 26
[11] Sirajudin Zar, Filsafat Islam….., h. 47.

[12] Harun Nasution, Islam Rasional, (Bandung: Mizan, 1996), h. 356.
[13] Juhaya S.Praja. Pengantar Filsafat Islam. 2013; hal :57
[14] Sirajudin Zar, Filsafat Islam….., h. 59.
               
[15] Juhaya S.Praja. Pengantar Filsafat Islam. 2013; hal :66
[16] Juhaya S.Praja. Pengantar Filsafat Islam. 2013; hal :67
[17] Juhaya S.Praja. Pengantar Filsafat Islam. 2013; hal:62
[18] Ahmad dan Mudzakir Syadali, Filsafat Umum, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), h. 40.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar