BAB
1
PENDAHULUAN
1.1. Latar
Belakang
Berbicara masalah
filsafat, itu merupakan kebutuhan sehari-hari dan merupakan sesuatu yang tidak
akan lepas dalam kehidupan manusia, bahwasanya filsafat merupakan kebutuhan
yang tidak bisa di abaikan. Oleh Karena itu semakin enggan orang mengenal
filsafat berarti semakin jauh juga dia dari kebijaksanaan. Karena banyak sekali
di zaman sekarang orang yang jauh dari filsafat, sehingga pemikiranya menjadi
dangkal, ada keterangan menyebutkan “filsafat tanpa agama adalah sesat dan
agama tanpa filsafat adalah dangkal”
Filsafat bagi Al kindi ialah pengetahuan tentang yang benar.
Disinilah terdapat persamaan filsafat dan agama. Tujuan agama ialah menerangkan
apa yang benar apa yang baik, demikian halnya filsafat. Agama, disamping wahyu,
mempergunakan akal, dan filsafat juga menggunakan akal. Yang benar pertama bagi
Al-Kindi ialah Tuhan dan filsafat yang paling tinggi ialah filsafat tentang
Tuhan. Bahkan Al-Kindi berani mengatakan bagi orang yang menolak filsafat,
telah mengingkari kebenaran, dan menggolongkannya kepada “kafir”, karena orang-orang tersebut telah jauh dari
kebenaran, walaupun menganggap dirinya paling benar. Karena keselarasan antara
filsafat dan agama didasarkan pada tiga alasan:(1) ilmu agama merupakan bagian
dari filsafat, (2) wahyu yang diturunkan kepada nabi dan kebenaran filsafat
saling bersesuaian dan,(3) menurut ilmu, secara logika, diperintahkan dalam Agama.
Filsafat Islam memiliki karakteristik
yang berbeda dengan filsafat mana pun di dunia. Lahirnya filsafat didasarkan
pada Alquran sebagai sumber dorongan dan sumber informasi. Akan tetapi, banyak
kesalah fahaman dan anggapan bahwa filsafat Islam itu bertentangan dengan
Alquran dan hadis. Padahal, yang dibicarakan di dalamnya adalah masalah-masalah
yang belum ditemukan dan masih bisa di cari kebenarannya tentunya yang
bersumber dari Alquran dan hadis.
Terkait
dengan hal diatas maka perlu di ungkapkan beberapa bentuk dari filsafat Islam
yang juga terlahir dari khasanah pemikiran orang-orang Islam. Salah satu contoh
filosof dari orang Islam h Al-Kindi yang akan di jelaskan lebih lanjut di dalam
makalah ini.
1.2.Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas,
Adapun masalah-masalah yang ingin di gali dalam pembuatan makalah ini yaitu
seperti terangkum dalam pertanyaan-pertanyaan berikut:
1.
Bagaimana Sejarah Hidup/Biografi Al
Kindi ?
2.
Seperti Apa Pemikiran Filsafat Al Kindi ?
3.
Apa Pengaruh Filsafat Al Kindi Terhadap Dunia Islam ?
4.
Apasaja Karya Al Kindi ?
1.3.Tujuan
Berdasarkan
rumusan masalah diatas, maka tujuan yang diharapkan dalam pembuatan makalah ini
adalah sebagai berikut :
1.
Untuk Mengetahui Bagaimana Sejarah
Hidup/Biografi Al Kindi.
2. Untuk
Mengetahui Seperti Apa Pemikiran Filsafat Al Kindi.
3.
Untuk Mengetahui Apa Saja Pengaruh Filsafat Al Kindi
Terhadap Dunia Islam.
4.
Untuk Mengetahui Karya-Karya Al Kindi.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1. Biografi
Al Kindi
Nama Al Kindi dari nama
sebuah suku, yaitu : Banu Kindah yaitu suku keturunan Kindah, yang berlokasi di
daerah selatan Jazirah Arab dan mereka mempunyai kebudayaan yang tinggi[1].
Nama lengkap Al Kindi
adalah Abu Yusuf Ya’kub bin Ishaq ibnu Sabbah ibnu ‘Imron ibnu Ismail bin
Muhammad bin Al-Ash’ats bin Qais Al Kindi[2].
Kindi adalah nama kabilah terkemuka pra-islam yang merupakan cabang dari Bani
Kahlan yang menetap di Yaman. Kabilah ini yang melahirkan seorang tokoh
sastrawa yang terbesar kesusastraan Arab, sang penyair pangeran Imr Al-Qais,
yang gagal untuk memulihkan tahta kerajaan Kindah setelah pembunuhan ayahnya.
Al Kindi dilahirkan di kufah pada tahun 185 H atau
bertepatan dengan 801 M[3]
dan keluarganya terkenal kaya dan terhormat. Ayahnya bernama Al Sabbah,
bangsawan Arab yang sangat berpengaruh dan pernah menjadi gubernur kufah pada
masa Al Mahdi (196-170H/785-786M) dan Harun Al Rasyid (170-194H/786-809M)[4].
Al Kindi mengalami masa pemerintahan Bani abbas, yakni Al Amin, Al Ma’mun, Al
Mu’tasim, Al Wasiq dan Al Muttawakkil.
Al Kindi menghabiskan
masa kecilnya di Kufah bersama kedua orangtuanya. Ketika Al Kindi masih
anak-anak, ayahnya meninggal dunia. Namun, keadaan itu tidak membuat semangatnya
menjadi turun dan ia terus tetap mempelajari berbagai macam ilmu di Kufah,
Basroh dan Baghdad. Dia memulai belajarnya dari ilmu-ilmu agama, kemudian
filsafat logika, matematika, music, astronomi, fisika, kimia, geografi,
kedokteran, dan teknik mesin.
Ibnu Abi Usaibi’ah
(w.668H/1269M), pengarang Tabaqatal-Attiba, mencatat Al Kindi sebagai salah
satu dari empat penerjemah mahir pada masa gerakan penerjemahan[5]
Dalam hal pendidikan Al
Kindi pindah dari Kufah ke Bashrah, sebuah pusat studi bahasa dan teologi
Islam. Dan ia pernah menetap di Baghdad, ibukota kerajaan Bani Abbas, yang juga
sebagai jantung kehidupan intelektual pada masa itu[6].
Kemampuan dalam bidang filsafat dan penemuannya dalam bidang kedokteran serta
keahliannya sebagai insinyur telah diakui oleh para ilmuan lain yang hidup pada
masanya. Kejeniusan dan kemampuannya dalam berbagai bidang sempat menjadi
sumber kedengkian orang-orang yang dengki dan membuat jiwanya lemah sehingga
hampir saja Al Kindi akan dipenjara, dicambuk dan diboikot.
Dalam
bahasa asing Al Kindi menguasai dua bahasa yaitu bahasa Yunani dan Suryani.
Selain itu, ada yang mengatakan bahwa dia juga menguasai bahasa asing lainnya.
Penguasaannya terhadap berbagai bahasa inilah yang telah membantunya menguasai
berbagai macam ilmu dan menjadikannya sangat berpengaruh bagi khalifah Al
Ma’mun sehingga khalifah mengankatnya
sebagai penerjemah buku-buku asing yang dianggap penting.
2.2. Filsafat Al-Kindi
Menurut sejarah dibeberapa buku, seperti; Al-Tarikh
Al-Islami, Tarikh Falasifah Al-Islam, Tarikh Al-Fikr Al-Arabi, dan Lainnya
menyatakan bahwa al-Kindi adalah seorang filosof Islam yang pertama dari bangsa
Arab yang berusaha memadukan antara ajaran filsafat Yunani dengan ajaran Islam.
Atas perpaduan antara ajaran filsafat yunani dengan Ajaran Islam, maka ini
terbukti bahwa mempelajari filsafat tidaklah memusnahkan keyakinan agama yang
dimiliki umat Islam selama umat Islam tersebut sudah kokoh berpegang pada
dasar-dasar Islam. Selama eksisnya dalam mempelajari filsafat, al-Kindi memberikan
definisi-definisi singkat dari filsafat itu sendiri.
Sumber filosofis Al Kindi diperoleh dari sumber-sumber
Yunani Klasik terutama Neoplatonik. Risalahnya, Risalah Al-Hudud Al-Asyya, secara
keseluruhan dapat dipandang sebagai basis atas pandangan pandangannya sendiri.[7]
Menurut Al Kindi definisi filsafat adalah pengetahuan
tentang segala sesuatu yang abadi, bersifat menyeluruh dan umum, essensinya dan
causa-causanya. Filsuf adalah orang berupaya memperoleh kebenaran dan hidup
mengamalkan kebenaran yang diperolehnya, yaitu orang yang hidup menjungjung
tinggi nilai keadilan atau hidup adil[8].
Unsur-unsur pemikiran yang mempengaruhi filsafat:
1. Pemikiran Pitagoras tentang matematika
sebagai jalan kea rah filsafat
2. Pemikiran Aristoteles dalam
fisika-fisikanya dan metafisika dan berbeda pendapat mengenai qadimnya
alam/kekalnya alam
3. Pemikiran Plato dan Aristoteles
dalam etika
4. Pemikiran Plato dan kejiwaan
5. Wahyu dan Iman (ajaran-ajaran agama)
dalam hubungannya dengan Tuhan dan sifat-sifat-Nya
6. Pemikiran Mutazilah dalam menekan
rasio dan menafsirkan ayat-ayat Al-Quran
Dalam pandangan filsafat fisikanya disebutkan “bahwa alama
ini ada illat-Nya (sebab) yang jauh, yang menjadikan, yaitu Allah yang
mengaturnya dan menciptakan sebagiannya sebagai illat (sebab) yang lainnya”[9].
“Alam itu tidak mempunyai asal, kemudian menjadi ada, karena diciptakan, maka
alam itu mustahil qadimnya”. Di alam ini terdapat bermacam-macam gerak.
Disamping itu juga ada 4 illat, yaitu illat materi atau illat unsur (illat
maddiyah; material cause), illat bentuk (illat shuriyah; formal cause), illat
pencipta (illat failah, moving cause), dan illat tujuan (illat ghaiyah; final
cause).
Al Kindi mengemukakan tiga jalan untuk membuktikan adanya
Tuhan, yaitu:[10]
1. Tidak mungkin ada benda yang ada
dengan sendirinya, jadi wajib ada yang menciptakannya, dari ketiadaan dan
pencipta itulah Tuhan
2. Dalam alam tidak mungkin ada
keragaman tanpa keseragaman, atau keseragaman tanpa keragaman. Tergabungnya
keseragaman dan keragaman bersama-sama, bukanlah karena kebetulan, tetapi karena suatu sebab. Sebab pertama
itulah Tuhan.
3. Kerapihan alam tidak mungkin terjadi
tanpa ada yang merapikannya, yang merapikan atau yang mengatur alam itulah
Tuhan.
Disamping itu Al Kindi juga
membuktikan wujud Tuhan dengan menggunakan 3 jalan:
1. Barunya alam, alam ini baru da nada
permulaan waktunya, karena alam ini terbebas, oleh karena itu yang menyebabkan
alam ini tercipta, dan tidak mungkin ada sesuatu benda yang ada dengan
sendirinya. Maka ia diciptakan oleh penciptanya dari tiada.
2. Keanekaragaman dalam wujud (katsrah
fit mawujudat), keanekaragaman disini adalah ada yang menyebabkan, atau ada
sebab. Sebab itu bukanlah alam itu sendiri, tetapi sebab yang ada berada di
luar alam yang lebih mulia, lebih tinggi dan lebih dahulu adanya karena sebab harus
ada sebelum akibat.
3. Kerapian alam, bahwa alam lahir
tidak mungkin rapid an teratur kecuali adanya dzat yang tidak Nampak, yang zat
tidak nampak itu dapat diketahui dengan melalui bekas-Nya (illat tujuan/illat
ghaiyyah)
Sedangkan pemikirannya tentang sifat-sifat
Tuhan, ia mengikuti pendirian Mutazilah yaitu:
1. Keesaan, suatu sifat yang paling
khas bagi-Nya
2. Yang Mahatahu
3. Yang Maha Berkuasa
4. Yang Mahahidup
Sebagai seorang muslim, Al-Kindi berusaha menggegas agar
filsafat bisa dipelajari dan berpadu dalam Islam, namun arah tujuan dari semua
itu tidak untuk kebenaran yang hakiki. Untuk itu Al-Kindi yang terkenal sebagi
Filosof Islam pertama kali di dunia membuat suatu usaha demi sebuah pencerahan.
Salah satu usahanya adalah al-Kindi memperkenalkan filsafat ke dalam dunia
Islam dengan cara mengetok hati umat supaya menerima kebenaran walaupun dari
mana sumbernya. Menurutnya kita tidak pada tempatnya malu mengakui kebenaran
dari mana saja sumbernya. Bagi mereka yang mengakui kebenaran tidak ada sesuatu
yang lebih tinggi nilainya selain kebenaran itu sendiri dan tidak pernah
meremehkan dan merendahkan martabat orang yang menerimanya.
Kemudian ia Mengarahkan filsafat muslim ke arah kesesuaian
antara filsafat dan agama melalui perpaduan antara akal dan agama. Kalau di
gariskan maka, filsafat berlandaskan akal sedangkan agama berdasarkan wahyu.
Logika (mantiq) merupakan metode filsafat sedang iman merupakan kepercayaan
kepada hakikat yang disebutkan dalam Al-Qur’an sebagaimana diwahyukan Allah
kepada Nabi-Nya. Apa yang telah dinyatakan dalam al-Qur’an merupakan satu ilmu
yang mesti dipelajari melalui akal dan keimanan, sebagai contoh firman Allah
Swt Q.S. Al-Baqarah ayat 164 :
"Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya
malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi
manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu
Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala
jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan
bumi; sungguh (terdapat) ) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum
yang memikirkan"
Dalil
kedua yang dimunculkannya adalah Q.S Al-Hasyr ayat 2;
”… maka ambillah ’ibrah
(pengajaran), hai orang-orang yang mempunyai pemandangan”.
Ia juga menselaraskan antara
filsafat dan agama yang didasarkan pada tiga alasan: pertama, ilmu agama
merupakan bagian dari filsafat. Kedua, wahyu yang diturunkan kepada Nabi dan
kebenaran filsafat saling bersesuaian. Ketiga, menuntut ilmu, secara logika
diperintahkan dalam agama.
Filsafat
merupakan pengetahuan tentang hakikat segala suatu, dan ini mengandung teologi
(al-rububiyah), ilmu tauhid, etika dan seluruh ilmu pengetahuan yang
bermanfaat. Kebanyakan definisi filsafat al-Kindi dikumpulkan dari karya-karya
Aristoteles dan kesukaannya kepada Aristoteles tidak bisa di abaikan. Bahkan,
ketika ia meringkas dari sumber-sumber lain yang secara keliru, ia menisbahkan
pula kepada Aristoteles. Subjek dan susunanya sesuai benar dengan sumber
Neopolitik. Pada definisi pertama, Tuhan disebut ”Sebab pertama” mirip dengan
”Agen Pertamanya” Plotinus, suatu ungkapan yang juga digunakan al-Kindi atau
dengan istilahnya ”Yang Esa adalah sebab dari segala sebab”. Definisi-definisi
berikutnya dalam Risalah al-Kindi dikemukakan susunanya yang membedakan
antara alam atas dan alam bawah. Yang pertama ditandai dengan definisi-definisi
akal, alam, dan jiwa, diikuti dengan definisi-definisi yang menandai alam
bawah, dimulai dengan definisi badan (jism), penciptaan (ibda’), materi
(hayula), bentuk (shurah). Dari dasar pemikiran al-kindi akhirnya timbullah
pemikiran Filsafatnya antara lain
2.2.1.
Filsafat
Ketuhanan
Al
Kindi selain filsuf, juga ahli ilmu ahli pengetahuan. Menurutnya, pengetahuan
terbagi dalam dua bagian
1. Pengetahuan Ilahi عِلْمُ اِلَهِيُ
(Divine science), sebagai mana yang tercantum dalam al-Quran= yaitu pengetahuan
langsung yang diperoleh Nabi dan Tuhan. Dasar pengetahuan ini ialah keyakinan.
2. Pengetahuan manusiawi عِلْمٌ اِنْسَانِيٌ
(human science) atau filsafat dasarnya ialah pemikiran (ratio-reason)
Filsafat
Ketuhanan al-Kindi merupakan awal lahirnya perbincangan Ketuhanan, namun
penafsiran al-Kindi mengenai Tuhan sangat berbeda dengan pendapat Aristoteles,
Plato dan Plotinius. Mengenai hakikat ke-Tuhanan ia mengatakan bahwa Tuhan
adalah wujud yang Esa, tidak ada sesuatu benda apapun yang menyerupai akan
Tuhan, dan Tuhan tidaklah melahirkan ataupun dilahirkan, akan tetapi Tuhan akan
selalu hidup dan tidak akan pernah mati. Dalam al-Qur’an Surat al-Ikhlas ayat 1
s/d 4 sebagai bukti keberadaan Tuhan.
قُلْ هُوَ اللَّهُ
أَحَدٌ * اللَّهُ الصَّمَدُ *
لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ * وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ
”Katakanlah: "Dia-lah Allah,
yang Maha Esa, Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu,
Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan, Dan tidak ada seorangpun
yang setara dengan Dia".
Dalam
Islam Sang Khalik atau pencipta dan penguasa segalanya di buat sebuah penamaan
yakni ”Allah Swt” sebagaimana disebutkan dalam ayat di atas maka, itulah bukti
yang paling kongkrit bahwa Allah swt itu ada dan hidup kekal selamanya,
sedangkan manusia adalah Hamba Allah yang diberikan kehidupan hingga akhirnya
mati. Bagaimana kita bisa percaya akan adanya Allah Swt, maka dari itu sebagai
manusia biasa diberikan akal, hati dan nurani untuk dapat menyakini adanya
Allah swt melalui bukti-bukti kekuasaan Allah Swt.
Menrut Al-Kindi benda-benda yang ada di alam ini
mepunyai dua hakikat yaitu hakikat juz’iyyah atau aniyah (sebagian) dan hakikat
kulliyah atau mahiyyah (keseluruhan).[11]
Allah dalam filsafat AI-Kindi, tidak mempunyai hakikat dalam arti 'aniah dan
mahiah. Tidak 'aniah karena Allah bukan benda yang mempunyai sifat fisik dan
tidak pula termasuk dalam benda-benda di alam ini. Allah tidak tersusun dari
mater dan bentuk. Akan tetapi, Allah juga tidak mempunyai hakikat dalam bentuk
mahiyah. Bagi Al-Kindi, Allah adalah unik. Ia hanya satu dan tidak ada yang
setara dengan-Nya. Dialah Ying Benar Pertama (al-Haqq al-Awwal) dan Yang Benar
Tunggal (al-Haqq al-Wahid). Selain dari-Nya, semuanya mengandung arti banyak.[12]
Agar dapat
memahami penafsiran al-Kindi tentang Tuhan, kita mesti merujuk pada kaum
Tradisionalis dan Mu’tazilah. Kaum tradisionalis (Ibn Hanbal adalah salah
seorang tokohnya) menafsirkan sifat-sifat Allah dengan nama-nama Allah, mereka
menerima makna harfiyah al-Qur’an tanpa memberikan penafsiran lebih jauh. Kaum
Mu’tazilah yang semasa dengan al-Kindi, secara akal menafsirkan sifat-sifat
Allah demi memantapkan sifat Maha Esa-Nya.
Walaupun
al-Kindi sepaham dengan Muktazilah dalam menafikan sifat dari Zat Allah. Akan
tetapi, ketika Muktazilah menyatakan bahwa Tuhan itu mengetahui dengan Ilmu-Nya
dan Ilmu-Nya adalah Zat-Nya (’Alim bi’ilm wa ’ilmuh zatuh) berkuasa dengan
kekuasaan-Nya dan kekuasaa-Nya adalah Zat-Nya (qadir bi qudratih wa qudratuh
zaituh) al-Kindi tidak sepaham dengan pandangan ini. [ Sesuai dengan paham yang
ada dalam Islam, Tuhan bagi al-Kindi adalah Pencipta dan bukan penggerak Pertama
sebagai pendapat Aristoteles.
2.2.2. Filsafat Alam
Mengenai
alam, al-Kindi berbeda pendapat juga dengan para filosof seperti Aristoteles
Plato, dan lainnya yang sebelum dia dengan mengatakan ”alam ini kekal”,
sedangkan al-Kindi mengatakan ”alam ini tak kekal”. Dalam hal ini ia memberikan
pemecahan yang radikal, dengan membahas gagasan tentang ketakterhinggaan secara
matematik. Dengan ketentuan ini, setiap benda yang terdiri atas materi dan
bentuk yang tak terbatas ruang dan bergerak di dalam waktu, adalah terbatas,
meskipun benda tersebut adalah wujud dunia. Karena terbatas, ia tak kekal.
Hanya Allah-lah yang kekal.
Al-Kindi
juga mengatakan alam bukan kekal di zaman lampau (qadim) tetapi mempunyai
permulaan. Karena itu ia lebih dekat dalam hal ini pada falsafat Plotinus yang
mengatakan bahwa Yang Maha Satu adalah sumber dari alam ini dan sumber dari
segala yang ada. Alam ini adalah emanasi dari Yang Maha Satu. Tetapi paham
emanasi ini kelihatannya tidak jelas dalam falsafat al-Kindi. Al-Farabiyah yang
dengan jelas menulis tentang hal itu.[13]
Menurut
al-kindi alam ini termasuk makhluk yang sifatnya baharu, sebagai bukti dari
baharunya alam ia mengemukakan beberapa argumen, antara lain: pertama,
semua benda yang homogen, yang tiada padanya lebih besar ketimbang yang lain,
adalah sama besar. Kedua, jarak antara ujung-ujung dari benda-benda yang
sama besar, juga sama besarnya dalam aktualitas dan potensialitas. Ketiga,
benda-benda yang mempunyai batas tidak bisa tidak mempunyai batas. Keempat,
jika salah satu dari dua benda yang sama besarnya dan homogen ditambah dengan
homogen lainnya, maka keduanya menjadi tidak sama besar. Kelima, jika
sebuah benda dikurangi, maka besar sisanya lebih kecil daripada benda semula. Keenam,
jika satu bagian diambil dari sebuah benda, lalu dipulihkan kembali kepadanya,
maka hasilnya adalah benda yang sama seperti semula. Ketujuh, tiada dari
dua benda homogen yang besarnya tidak mempunyai batas. Kedelapan, jika
benda-benda yang homogen yang semuanya mempunyai batas ditambahkan ber sama,
maka jumlahnya juga akan terbatas.
Kesimpulan
dari ungkapan al-Kindi atas ungkapannya di atas adalah alam semesta ini
pastilah terbatas, oleh sebab itu ia menolak pandangan Aristoteles yang
mengatakan bahwa alam semesta tidak terbatas atau qadim. Mengenai keteraturan
alam dan perdaran alam ini sebagai bukti adanya Tuhan, sedangkan alam adalah
buatan Tuhan.
2.2.3. Filsafat Jiwa dan Akal
Sebagaimana jiwa dalam filsafat Yunani, Al-Kindi
juga mengatakan bahwa jiwa adalah jauhar basith (tunggal, tidak tersusun, tidak
panjang, dalam, dan lebar). Jiwa mempunyai arti penting, sempurna, dan mulia.
Substansinya berasal dari substansi Allah. Hubungannya dengan Allah sama dengan
hubungan cahaya dengan matahari. Jiwa mempunyai wujud tersendiri, terpisah, dan
berbeda dengan jasad atau badan. Jiwa bersifat rohani.[14]
Mengenai
jiwa , al-Kindi juga membantah pendapat Aristoteles. Para filosof muslim
menamakan jiwa (al-nafs) seperti yang diistilahkan dalam al-Qur’an yaitu,
al-ruh. Menurut Al Kindi, roh itu berbeda dengan badan dan mempunyai wujud
sendiri. Argument yang digunakan Al Kindi tentang perbedaan roh dari badan
ialah keadaan badan yang memiliki hawa nafsu, dan sifat pemarah. Roh menentang
sifat hawa nafsu dan pemarah. Sudah jelas bahwa yang melarang tidak sama,
tetapi berlainan dari yang di larang. Dengan perantaraan rohlah, manusia
memperoleh pengetahuan yang sebenarnya.
Kemudian kata ruh ini di indonesiakan menjadi
tiga bentuk, pertama nafsu yaitu dorongan untuk melakukan perbuatan yang
diingini, jika keinginan ini berbentuk negatif maka nafsu ini mendekati dengan
hawa, jadi kalau digabungkan menjadi hawa nafsu (keinginan yang jelek). Kedua
nafas yaitu suatu alat pencernaan udara sebagai tanda kehidupan seseorang.
Ketiga roh atau jiwa yaitu suatu zat yang tidak bisa dirangkaikan bentuknya.
Karena al-Qur’an telah menginformasikan bahwa manusia tidak akan mengetahui
akan hakikat roh, roh adalah urusan Allah bukan urusan manusia. Allah
menyatakan akan hakikat roh dalam Q.S. Al-Isra’ 17 : 85.
وَيَسْأَلُونَكَ
عَنِ الرُّوحِ قُلِ الرُّوحُ مِنْ أَمْرِ رَبِّي وَمَا أُوتِيتُمْ مِنَ الْعِلْمِ
إِلا قَلِيلا
”Dan
mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: "Roh itu termasuk urusan
Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit".
Sedangkan akal merupakan sebuah
potensi berupa alat untuk berpikir yang hanya dimiliki oleh manusia. Setiap
manusia yang terlahir ia akan membawa potensi masing-masing dari akal yang
dimilikinya, semakin banyak ia berpikir semakin banyak pula ia akan mendapatkan
pengetahuan, maka akan nampak sebuah perbedaan seorang yang banyak berpikir
dengan akalnya untu menemukan sebuah ide-ide baru dari pada seorang yang hanya
menerima hasil dari ide orang lain. Muncullah sebuah perbedaan antara seorang
yang berpengetahuan dengan yang tidak berpengetahuan seperti dikatakan
al-Qur’an pada Surat az-Zumar ayat 9:
“(Apakah kamu hai orang musyrik yang
lebih beruntung) ataukah orang yang beribadah di waktu-waktu malam dengan sujud
dan berdiri, sedang ia takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat
Tuhannya? Katakanlah: "Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan
orang-orang yang tidak mengetahui?" Sesungguhnya orang yang berakallah
yang dapat menerima pelajaran”.
Selanjutnya,
Al-Kindi menolak pendapat Aristoteles yang mengatakan bahwa manusia sebagaimana
benda-benda, tersusun dari dua unsur, materi dan bentuk. Materi adalah badan
dan bentuk adalah jiwa manusia. Hubungan dengan badan sama dengan hubungan
bentuk dengan materi. Bentuk atau jiwa tidak bisa mempunyai wujud tanpa materi
atau badan dan begitu pula sebaliknya materi atau badan tidak pula bisa
berwujud tanpa bentuk atau jiwa. Pendapat ini mengandung arti bahwa jiwa adalah
baharu karena jiwa adalah form bagi badan. Form tidak bisa terwujud tanpa
materi, keduanya membentuk satu kesatuan yang bersifat esensial, dan kemusnahan
badan membawa kemusnahan jiwa. Dalam hal ini al-Kindi sependapat dengan Plato
yang mengatakan bahwa kesatuan jiwa dan badan adalah kesatuan Acciden,
binasanya badan tidak membawa binasa pada jiwa. Namun, ia tidak menerima
pendapat Plato yang mengatakan bahwa jiwa berasal dari alam ide.
Menurut
al-Kindi roh tidak tersusun (basiithah, simple, sederhana) tetapi
mempunyai arti penting, sempurna dan mulia. Substansinya (jawahara)
berasal dari substansi Tuhan. Hubungannya dengan Tuhan sama dengan hubungan
cahaya dengan matahari. Hanya roh yang sudah suci di dunia ini yang dapat pergi
ke alam kebenaran itu. Roh yang masih kotor dan beluim bersih, pergi dahulu ke
bulan. Setelah berhasil membersihkan diri di sana, baru pindah ke Merkuri, dan
demikianlah naik setingkat demi setingkat hingga akhirnya, setelah benar-benar
bersih, sampai ke alam akal, dalam lingkungan cahaya Tuhan dan melihat Tuhan.
Mengenai
akal, al-Kindi juga berbeda pendapat dengan Aristoteles. Aristoteles membedakan
akal menjadi dua macam, yaitu akal mungkin dan akal agen. Akal mungkin menerima
pikiran, sedangkan akal agen menghasilkan objek-objek pemikiran. Akal agen ini
dilukiskan oleh Aristoteles sebagai tersendiri, tak bercampur, selalu aktual,
kekal, dan takkan rusak[15].
Berbeda halnya dengan al-Kindi yang membagi akal dalam empat macam; pertama:
akal yang selalu bertindak, kedua: akal yang secara potensial berada di dalam
roh, ketiga: akal yang telah berubah, di dalam roh, dari daya menjadi aktual,
keempat; akal yang kita sebut akal kedua. Yang dimaksudkan dengan akal ”kedua”
yaitu tingkat kedua aktualitas; antara yang hanya memiliki pengetahuan dan yang
mempraktekkannya[16].
Dinyatakan
lagi oleh al-Kindi bahwa; akal yang bersifat potensial tak bisa mempunyai sifat
aktuil jika tidak ada kekurangan yasng menggerakkannya dari luar. Dan oleh
karena itu bagi al-Kindi ada lagi satu macam akal yang mempunyai wujud di luar
roh manusia, dan bermakna: akal yang selamanya dalam aktualitas (al’aqlu ladzi
bil fa’il abadan). Akal ini, karena selamanya dalam aktualitas, ialah yang
membuat akal yang bersifat potensial dalam roh manusia menjadi aktuil. Bagi
al-Kindi manusia disebut menjadi ’akil (’akal) jika ia telah mengetahui
universal, yaitu jika ia telah memperoleh akal yang di luar itu (idza uktisab
hadzal ’aklul kharaji). Akal yang selalu bertindak (akal pertama) bagi
al-Kindi, mengandung arti banyak, karena dia adalah universals (al-kuliyat
mutakatsarah). Dalam limpahan dari Yang Maha Satu, akal inilah yang
pertama-tama merupakan yang banyak (awwalu muktatsar).
2.3. Pengaruh
Filsafat Al-Kindi Terhadap Dunia Islam
Al-Kindi sebagai kunci pertama pembuka gerbang filsafat
dunia islam. Melalui usahanya ini Al-Kindi berhasil membuka jalan bagi kaum
muslimin untuk menerima filsafat. Al-Kindi memiliki pengaruh dan kostribusi
besar terhadap perkembangan ilmu pengetahuan di dunia islam. Sejarah membuktikan,
prestasi yang telah di ukir Al-Kindi menjadikan dirinya dinobatkan sebagai
filosof muslim kenamaan yang sejajar dengan para pemikir raksasa lainnya. Ia
adalah filosof pertama islam yang menyelaraskan agama dengan filsafat.
Ia melicinkan jalan bagi al-farabi, Ibn Sina, dan Ibn Rusyd.
Ia memberikan dua pandangan yang berbeda. Yang pertama mengikuti jalur ahli
logika, dan memfilsafatkan agama. Yang kedua, memandang agama sebagai ilmu
ilahiyah dan menempatkannya di atas filsafat. Ilmu ilahiyah diketahui lewat
jalur para nabi. Tetapi melalui penafsiran para filosofis, agama jadi selaras
dengan filsafat[17].
Kebesaran Al-Kindi telah dibuktikan dengan pengaruh Al-Kindi
terhadap kemajuan peradaban islam, kemajuan ilmu pengetahuan di dunia islam
yang dipelopori oleh Al-Kindi ini telah mengantarkan Al-Kindi dan
karya-karyanya menghiasi kerajaan Al- Mu’tasim. Pemikiran Al-Kindi telah banyak
menginspirasikan banyak para pemikir lain pada masa itu. Hal itu dibuiktikan
oleh Gerad dari Cremona ke dalam bahasa latin. Karya-karya itu sangat
mempengaruhi Eropa pada abad pertengahan.[18]
2.4. Karya
Al Kindi
Al-Kindi
mendalami filsafat Yunani dan menerjemahkan sebagian buku-bukunya. Selain itu,
ia pun menambahkannya dengan keterangan dan komentar yang menunjukkan pada
kemampuannya yang sangat besar dalam bidang itu. Kenyataan inilah yang membuat
Khalifah Al-Ma'mun memberikan tugas kepadanya untuk menerjemahkan buku-buku
karangan Aristoteles. Dia juga menguasai pemikiran dan filsafat Persia dan
India. Dia menelusuri metode filsafat dan logika matematika sebagaimana yang
dilakukan oleh para filsuf Yunani.
Hubungan
Al-Kindi yang kuat dengan filsafat memberikan dampak yang sangat besar bagi
perkembangan pemikiran ilmiahnya. Al-Kindi menolak segala pemikiran yang
bertentangan dengan Islam dan berusaha untuk memadukan antara filsafat dan
pemikiran Islam.
Ya'qub
Al-Kindi memiliki lebih dari dua ratus buku yang dikarangnya. Bahkan Dr. Abdul
Halim Muntashir mengatakan dalam bukunya "Tarikh Al-Ilm wa Daur Al-Arab fi
Taqaddumihi" bahwa buku karangan Al-Kindi lebih dari 230 buku. Akan tetapi
yang sangat disayangkan, kebanyakan dari buku-buku ini hilang dan tidak sampai
ke tangan kita kecuali judul- judulnya saja yang diberitahukan oleh
penerjemahnya kepada kita. Adapun diantaranya :
A. Bidang
Filsafat
1. Kitab Al-Kindi ila Al-Mu’tashim
Billah fi al-Falsafah al-Ula (tentang filsafat pertama),
2. Kitab al-Falsafah al-Dakhilat wa
al-Masa’il al-Manthiqiyyah wa al Muqtashah wa ma fawqa al-Thabi’iyyah (tentang filsafat yang diperkenalkan
dan masalah-masalah logika dan muskil, serta metafisika),
3. Kitab fi Annahu la Tanalu
al-Falsafah illa bi ‘ilm al-Riyadhiyyah (tentang filsafat tidak
dapat dicapai kecuali dengan ilmu pengetahuan dan matematika),
4. Kitab fi Qashd Aristhathalis fi
al-Maqulat (tentang
maksud-maksud Aristoteles dalam kategori-kategorinya),
5. Kitab fi Ma’iyyah al-‘ilm wa
Aqsamihi (tentang
sifat ilmu pengetahuan dan klasifikasinya),
6. Risalah fi Hudud al-Asyya’ wa
Rusumiha (tentang
definisi benda-benda dan uraiannya),
7. Risalah fi Annahu Jawahir la Ajsam (tentang substansi-substansi tanpa
badan),
8. Kitab fi Ibarah al-Jawami’ al
Fikriyah (tentang
ungkapan-ungkapan mengenai ide-ide komprehensif),
9. Risalah al-Hikmiyah fi Asrar
al-Ruhaniyah (sebuah
tilisan filosofis tentang rahasia-rahasia spiritual),
10. Risalah fi al-Ibanah an al-‘illat
al-Fa’ilat al-Qaribah li al-kawn wa al-Fasad (tentang penjelasan mengenai sebab dekat yang aktif terhadap
alam dan kerusakan).
B.
Bidang
Astronomi
1. Risalah fi Masa’il Su’ila anha min
Ahwal al-Kawatib (jawaban dari pertanyaan tentang planet),
2.
Risalah
fi Jawab Masa’il Thabi’iyah fi Kayfiyyat Nujumiah (pemecahan soal-soal fisik
tentang sifat-sifat perbintangan),
3.
Risalah
fi anna Ru’yat al Hilal la Tudhbathu bi al-Haqiqoh wa innama al-Qowl fiha bi
at-Taqrib (bahwa pengamatan astronomi bulan baru tidak dapat ditentukan dengan
ketetapan,
4.
Risalah
fi Mathrah asy-Syu’a (tentang projeksi sinar),
5.
Risalah
fi Fashlayn (tentang dua musim yakni; musim panas dan musim dingin),
6.
Risalah
fi Idhah ‘illat Ruju’ al-Kawakib (tentang penjelasan sebab gerak kebelakang
planet-planet),
7. Fi asy-Syu’at (tentang sinar
bintang)
C. Meteorologi
1. Risalah fi ’illat Kawnu adh-Dhabasb
(tentang sebab asal mula kabut),
2. Risalah fi Atshar alladzi Yazhharu
fi al-laww Yusamma Kawkaban (tentang tanda yang tampak di langit dan disebut sebuah
planet),
3. Risalah fi ’illat Ikhtilaf Anwa’us
Sanah (tentang sebab perbedaan dalam tahun-tahun),
4. Risalah fi al-Bard al-Musamma ”Bard
al-Ajuz” (tentang dingin),
D.
Ramalan
1. Risalah fi Taqdimat al-Khabar
(tentang Prediksi),
2. Risalah fi Taqdimat al-Ma’rifat fi
al-Ahdats (tentang ramalan dengan mengamati gejala meteorolgi).
E.
Ilmu Pengobatan
1. Risalah fi’illat Naftcad-Damm
(tentang hemoptesis yakni; batuk darah dari saluran pernapasan)
2. Risalah fi Adhat al-Kalb al-Kalib
(tentang rabies).
F.
Ilmu Hitung
1. Risalah fi al-Kammiyat al-Mudhafah
(tentang jumlah relatif),
2. Risalah fi at-Tajhid min Jihat
al-’Adad (tentang keesaan dari segi angka-angka).
G.
Bidang
Logika
1. Risalatun fi Madhkal al-Mantiq bi
Istifa al-Qawl fihi (tentang sebuah pengantar lengkap logika),
2. Ikhtisar Kitab Isaghuji li Farfuris
(sebuah ikhtisar Eisagoge Porphyry).
Karya-karya yang disebutkan di atas
merupakan sebagian terkecil dari sekian banyak karya Al-Kindi. Karya Al-Kindi
di susun oleh Ibnu An-Nadim yang menyebutkan tidak kurang dari 242 buah karya
Al-Kindi, sedangkan sumber lain menyebutkan 265 buah, dan membaginya menurut
pokok persoalannya menjadi filsafat, logika, ilmu hitung, sferika, ilmu
kedokteran, astrologi, polemik, psikologi, politik, meteorologi, dan ramalan
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Al Kindi merupakan filsuf pertama dalam Islam, yang
menyelaraskan antara agama dan filsafat. Ia mempermudah jalan bagi Al Farabi, Ibnu Sina, dan Ibnu
Rusyd. Sebagaimana telah diketahui juga, bahwa Al-Kindi
banyak mempelajari filsafat Yunani, maka dalam pemikirannya banyak kelihatan
unsur-unsur filsafat Yunani itu. Oleh karena pemikiran Al-Kindi banyak mendapat
pengaruh filsafat Yunani, maka sebagian penulis berpendapat bahwa al-Kindi
mengambil alih seluruh filsafat Yunani.
Bagi al-Kindi, filsafat paling utama
adalah mencari yang benar, yakni konsep tentang ketuhanan. Dari beberapa
pemikiran filsafat yang ditekuni, akhirnya Al-Kindi berkesimpulan bahwa
filsafat Ketuhananlah yang mendapat derajat atau kedudukan yang paling tinggi
dibandingkan dengan lainnya. Ia memandang pembahasan mengenai Tuhan adalah
sebagai bagian filsafat yang paling tinggi kedudukannya.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad
dan Mudzakir Syadali. 1999. “Filsafat Umum”. Bandung: Pustaka Setia
Fakhri,
Majid. 1986. “Sejarah Filsafat Islam”. Jakarta: Pustaka Jaya
Luthfi
Jum’ah, Muhammad. 1927. “Tarikh Falasifah Al-Islam”. Mesir
Majid, Nurcholis. 1987. “Khasanah
Intelektual Islam”. Jakarta: Bulan Bintang
Miska Muhammad amien, 2006, “Epistemologi Islam”. Jakarta: Universitas Indonesia
Mohamad Erihadiana. 2014. “Filsafat Umum”.
Bandung: CV Insan Mandiri.
Mustofa,
A. 2004. “Filsafat Islam” . Bandung: Pustaka Setia
Nasution, Harun. 1996. “Islam
Rasional”. Bandung: Mizan
Nasution,
Harun. 1973. “Filsafat dan Mitisisme dalam Islam”. Jakarta: Bulan
Bintang
Salam,
Abdus. 1983. “Sains dan Dunia Islam” . Bandung: Salman ITP
S.Praja. Juhaya. 2013. ”Pengantar
Filsafat Islam” . Bandung: CV Pustaka Setia
Sudarsono. 2004. ”Filsafat Islam”.
Jakarta: Rineka Cipta
Zar,
Sirajuddin. 2004. “Filsafat Islam filosof dan filsafatnya” . Jakarta:
Raja Grafindo Persada
[1] Sudarsono. Filsafat Islam. 2004;
hal : 21
[2] Juhaya S.Praja. Pengantar
Filsafat Islam. 2013; hal : 50
[3] Sudarsono. Filsafat Islam. 2004;
hal : 21
[4] Juhaya S.Praja. Pengantar
Filsafat Islam. 2013; hal : 50
[5] Juhaya S.Praja. Pengantar
Filsafat Islam. 2013; hal : 50
[6]
Mohammad Erihadiana.
Filsafat Umum. 2014; hal: 141
[7] Juhaya S.Praja. Pengantar
Filsafat Islam. 2013; hal : 54
[8] Sudarsono. Filsafat Islam. 2004;
hal : 25
[9] Sudarsono. Filsafat Islam. 2004;
hal : 25
[10] Sudarsono. Filsafat Islam. 2004;
hal : 26
[11] Sirajudin Zar, Filsafat
Islam….., h. 47.
[12] Harun Nasution, Islam
Rasional, (Bandung: Mizan, 1996), h. 356.
[13]
Juhaya S.Praja. Pengantar Filsafat Islam. 2013; hal :57
[14] Sirajudin Zar, Filsafat
Islam….., h. 59.
[15] Juhaya S.Praja. Pengantar
Filsafat Islam. 2013; hal :66
[16] Juhaya S.Praja. Pengantar
Filsafat Islam. 2013; hal :67
[17] Juhaya S.Praja. Pengantar
Filsafat Islam. 2013; hal:62
[18] Ahmad dan Mudzakir Syadali, Filsafat
Umum, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), h. 40.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar