Jumat, 04 Maret 2016

Aqiqah dan Qurban

BAB I
PENDAHULUAN
1.1              Latar Belakang Masalah
Berqurban merupakan bagian dari Syariat Islam yang sudah ada semenjak manusia ada. Ketika putra-putra nabi Adam AS diperintahkan berqurban. Maka Allah SWT menerima qurban yang baik   dan diiringi ketakwaan dan menolak qurban yang buruk. Allah SWT berfirman:
Ceritakanlah kepada mereka kisah kedua putra Adam (Habil dan Qabil) menurut yang sebenarnya, ketika keduanya mempersembahkan qurban, maka diterima dari salah seorang dari mereka berdua (Habil) dan tidak diterima dari yang lain (Qabil). Ia berkata (Qabil): Aku pasti membunuhmu! Berkata Habil: Sesungguhnya Allah hanya menerima (korban) dari orang-orang yang bertaqwa (QS Al-Maidah 27).
Maka dari itu kita sebagai umat islam di syariatkan untuk melaksanakan qurban. Bukan hanya itu saja, Allah SWT juga memerintahkan kita untuk melaksanakan aqiqah. Rasulullah SAW juga bersabda dalam hadis yang diriwayatkan oleh oleh Dari Samurah bin Jundub yakni: “setiap bayi tergadai dengan aqiqahnya, yang disembelih pada hari ketujuh, dicukur, dan diberi nama.” (HR Abu Daud/An-Nasai/At-Tirmidzi).
Kedua-dua ibadah ini adalah antara amalan mulia dan penting dalam Islam kerana amat besar fadhilatnya, tetapi malangnya masih ramai orang yang samar-samar atau kabur kefahaman mereka mengenainya, sehingga ada yang memandang ringan walaupun mempunyai kemampuan tetapi tidak mau melakukan penyembelihan qurban dan aqiqah ini. Semoga dengan penjelasan yang serba sedikit ini dapat membantu kefahaman kita semua tentang ibadat Qurban serta Aqiqah serta keinginan untuk sama-sama mencari pahala kedua ibadah ini akan meningkat.

1.2              Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, Adapun masalah-masalah yang ingin di gali dalam pembuatan makalah ini yaitu seperti terangkum dalam pertanyaan-pertanyaan berikut :
1.      Apa Pengertian Aqiqah dan Bagaimanakah Syarat, Hukum,  Hikmah Aqiqah, Waktu serta Pelaksanaan Aqiqah
2.      Apa Pengertian Qurban dan Bagaimanakah Syarat, Hukum,  Hikmah Qurban, Waktu, serta Pelaksaan Qurban ?
3.      Bolehkah Satu Sembelihan Untuk Qurban dan Aqiqah ?

1.3         Tujuan Penulisan
Penulisan makalah ini dilakukan untuk memenuhu tujuan-tujuan yang diharapkan dapat bermanfaat bagi kita semua dalam menambah imu pengetahuan dan wawasan. Secara terperinci tujuan dari penelitian dan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
1.      Untuk Mengetahui Apa Pengertian Aqiqah dan Bagaimanakah Syarat, Hukum, Hikmah Aqiqah, Waktu serta Bagaimana Pelaksanaan Aqiqah.
2.      Untuk Mengetahui Apa Pengertian Qurban dan Bagaimanakah Syarat, Hukum, Hikmah Qurban, Waktu, serta Bagaimana Pelasaan Qurban.
3.      Untuk Mengetahui Bolehkah Satu Sembelihan Untuk Qurban dan Aqiqah.







BAB II
PEMBAHASAN

2.1.            Aqiqah
A.                Pengertian Aqiqah
Aqiqah menurut bahasa ialah rambut kepala bayi yang sedang lahir. Sedangkan aqiqah menurut istilah ialah menyembelih ternak (kambing) pada hari ketujuh dari kelahiran anak, yang pada hari itu anak diberi nama dan dipotong rambutnya.
Aqiqah dalam istilah agama adalah sembelihan untuk anak yang baru lahir sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah SWT dengan niat dan syarat-syarat tertentu. Oleh sebagian ulama ia disebut dengan nasikah atau dzabihah (sembelihan).

B.                 Persyaratan Hewan Aqiqah
1.      Jenis Hewan Untuk Aqiqah
Dalam masalah aqiqah, binatang yang boleh dipergunakan sebagai sembelihan hanyalah kambing, tanpa memandang apakah jantan atau betina, sebagaimana riwayat dibawah ini :
Dari Ummu Kurz Al-Ka’biyah, bahwasanya ia pernah bertanya kepada Rasulullah saw. Tentang aqiqah, maka Rasulullah saw bersabda. “Ya, untuk laki-laki dua ekor kambing, dan untuk perempuan satu ekor kambing. Tidak menyusahkanmu baik kambing itu jantan maupun betina.” (HR. Ahmad dan Tirmidzi)
Syarat-syarat hewan yang bisa (sah) untuk dijadikan aqiqah:
1.      Tidak cacat
2.      Tidak berpenyakit
3.      Cukup umur, yaitu kira-kira berumur satu tahun
4.       Warna bulu sebaiknya warna putih


2.      Jumlah Hewan yang Disembelih
Jumlah hewan aqiqah minimah adalah satu ekor baik untuk laki-laki maupun perempuan. Namun afdolnya anak laki-laki disembelik dua ekor sedangkan anak perempuan satu ekor. Namun ada yang membolehkan untuk anak laki-laki cukup satu ekor, terutama apabila dalam kesempitan. Berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas ra.
bahwa sesungguhnya Rasulullah telah meng-aqiqahkan Al-Hasan dan Al-Husein satu kambing/domba satu kambing/domba”.
Berapa hadis menunjukan bahwa yang lebih utama adalah dua ekor untuk anak laki-laki dan satu ekor untuk anak perempuan, diantaranya sebagai berikut:
Ummu Kurz Al Kabiyyah berkata, yang artinya : “Nabi saw. Memerintahkan agar disembelihkan aqiqah dari anak laki-laki dua ekor domba, dan anak perempuan satu ekor”. (hadis sanad shahih riwayat Imam Ahmad dan Ashhabus Sunan)
Dari Aisyah ra berkata, yang artinya : “Nabi saw, memerintahkan mereka agar disembelihkan aqiqah dari anak laki-laki dua ekor domba yang sepadan dan dari anak perempuan satu ekor”.  (shahih riwayat At Tirmdzi)
Dari ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya, dari kakenya, Rasulullah saw bersabda:
“Barangsiapa diantara kalian yang ingin menyembelih (kambing ) karena kelahiran bayi maka hendaklah ia lakukan untuk laki-laki dua kambing yang sama dan untuk perempuan satu kambing”. (HR Abu Dawud, Nasa’I, Ahmad)

C.    Hukum Aqiqah
Hukum aqiqah adalah sunnah mu’akkad. Aqiqah bagi anak laki-laki dengan dua ekor kambing, sedangkan bagi wanita dengan seekor kambing.Apabila mencukupkan diri dengan seekor kambing bagi anak laki-laki, itu juga diperbolehkan.Anjuran aqiqah ini menjadi kewajiban ayah (yang menanggung nafkah anak). Apabila ketika waktu dianjurkannya aqiqah (misalnya tujuh hari kelahiran), orang tua dalam keadaan faqir (tidak mampu), maka ia tidak diperintahkan untuk aqiqah. Karena Allah SWT berfirman dalam QS. At Taghobun: 16
(#qà)¨?$$sù ©!$# $tB ÷Läê÷èsÜtFó$# (#qãèyJó$#ur (#qãèÏÛr&ur (#qà)ÏÿRr&ur #ZŽöyz öNà6Å¡àÿRX{ 3 `tBur s-qム£xä© ¾ÏmÅ¡øÿtR y7Í´¯»s9'ré'sù ãNèd tbqßsÎ=øÿçRùQ$# ÇÊÏÈ  
“Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu dan dengarlah serta taatlah dan nafkahkanlah nafkah yang baik untuk dirimu.dan Barangsiapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, Maka mereka Itulah orang-orang yang beruntung”.

D.    Hikmah Aqiqah
Sejak seorang suami memancarkan sperma kepada istrinya, lalu sperma itu berlomba-lomba mendatangi panggilan indung telur melalui signyal kimiawi yang dipancarkan darinya, sejak itu tanpa banyak disadari oleh manusia, sesungguhnya setan jin sudah mengadakan penyerangan kepada calon anak mereka. Hal tersebut dilakukan oleh jin dalam rangka membangun pondasi di dalam janin yang masih sangat lemah itu, supaya kelak di saat anak manusia tersebut menjadi dewasa dan kuat, setan jin tetap dapat menguasai target sasarannya itu. Maka sejak itu pula Rasulullah saw. telah mengajarkan kepada umatnya cara menangkal serangan yang sangat membahayakan itu sebagaimana yang disampaikan Beliau saw. melalui sabdanya berikut ini :
حَدِيثُ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَوْ أَنَّ أَحَدَهُمْ إِذَا أَرَادَ أَنْ يَأْتِيَ أَهْلَهُ قَالَ بِاسْمِ اللَّهِ اللَّهُمَّ جَنِّبْنَا الشَّيْطَانَ وَجَنِّبِ الشَّيْطَانَ مَا رَزَقْتَنَا فَإِنَّهُ إِنْ يُقَدَّرْ بَيْنَهُمَا وَلَدٌ فِي ذَلِكَ لَمْ يَضُرَّهُ شَيْطَانٌ أَبَد
“Diriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a berkata: Rasulullah s.a.w pernah bersabda: apabila seseorang diantara kamu ingin bersetubuh dengan isterinya hendaklah dia membaca”:
بِسْمِ اللَّهِ اللَّهُمَّ جَنِّبْنَا الشَّيْطَانَ وَجَنِّبِ الشَّيْطَانَ مَا رَزَقْتَنَا
Yang artinya: “Dengan nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Wahai Tuhanku! Jauhkanlah kami dari setan dan jauhkanlah setan dari apa yang Engkau karuniakan kepada kami. Sekiranya hubungan aantara suami istri itu ditakdirkan mendapat seorang anak”

E.     Waktu Pelaksanaan Aqiqah
Pelaksanaan Aqiqah menurut kesepakatan para ulama adalah hari ketujuh dari kelahiran. Hal ini berdasarkan hadis Samirah dimana Nabi saw bersabda, “seorang anak terikat dengan aqiqahnya. Ia disembelihkan aqiqah pada hari ketujuh dan diberi nama”. (HR.al Tirmidzi)
Namun demikian apabila terlewat dan tidak bisa dilaksanakan pada hari ketujuh, ia bisa dilaksanakan pada hari ke 14. Dan jika tidak juga, maka pada hari ke 21 atau kapan saja ia mampu. Imam Malik berkata : pada dzohirnya bahwa keterikatannya pada hari ke 7 atar dasar anjuran, maka sekiranya menyembelih pada hari ke 4, ke 8, ke 10, atau setelahnya aqiqah itu telah cukup. Karena prinsip ajaran Islam adalah memudahkan, bukan menyulitkan, sebagimana firman Allah swt dalam QS al Baqarah 185
 ßƒÌãƒ ª!$# ãNà6Î/ tó¡ãŠø9$# Ÿwur ߃̍ムãNà6Î/ uŽô£ãèø9$# (
“Allah menghendaki kemudian bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu….” (QS. Al-Baqarah: 185)

Bayi yang meninggal dunia sebelum hari ke tujuh disunahkan juga untuk disembelih aqiqahnya, bahkan meskipun bayi yang keguguran, dengan syarat sudah berusia empat bulan didalam kandungan ibunya.
Aqiqah adalah syariat yang ditekan kepada ayah si bayi. Namun bila seseorang yang belum disembelih hewan aqiqah oleh orang tuanya hingga ia besar, maka ia bisa menyembelih aqiqah dari dirinya sendiri. Syaikh Shalih Al-Fauzan berkata : “dan bila tidak di aqiqahkan oleh ayahnya kemudian ia mengaqiqahkan dirinya sendiri, maka hal itu tidak apa apa”.

F.     Tata Cara Pelaksanaan Aqiqah
Berikut ini adalah tata cara yang biasa dilakukan dalam penyembelihan aqiqah :
1.      Diawali membaca Basmalah
2.      Membaca Shalawat atas Nabi SAW
3.      Membaca Takbir
4.      Membaca doa ketika penyembelihan hewan Aqiqah
5.      Kambing disembelih sendiri oleh ayah dari yang di aqiqahkan
6.      Daging dibagikan kepada fakir miskin dan tetangga dalam keadaan sudah dimasak dahulu.
Pada hari ini anak diberi nama dan bersedekah dengan jumlah seberat rambut bayi yang baru dicukur, bernilai ½ atau 1 dirham. Sebagian ulama berpendapat seberat timbangan rambut bayi dengan nilai emas/perak.
Nabi SAW bersabda :
Dari Ali bin Abi Thalib ia berkata, Rasulullah SAW telah mengakikahkan Hasan dengan seekor kambing, maka Nabi bersabda: “Hai Fathimah, cukurlah rambutnya, bersedekahlah dengan perak seberat rambutnya”. Kemudiam Ali berkata lagi : Fatimah kemudian menimbangnya satu dirham atau ½ dirham. (HR. At-Turmudzi)

2.2.            Qurban
A.                Pengertian Qurban
Qurban menurut bahasa berasal dari kata “qaruba-yaqrubu-qurbaanan” yang artinya dekat, mendekat.Sedangkan qurban menurut istilah ialah menyembelih ternak pada hari raya haji (qurban) dan hari-hari tasyriq untuk mendekatkan diri kepada Allah.
Perintah menyembelih Qurban Firman Allah SWT:
!$¯RÎ) š»oYøsÜôãr& trOöqs3ø9$# ÇÊÈ   Èe@|Ásù y7ÎntÏ9 öptùU$#ur ÇËÈ 
“Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkorbanlah”

B.     Hukum Qurban
Disyariatkannya qurban sebagai simbol pengorbanan hamba kepada Allah SWT, bentuk ketaatan kepada-Nya dan rasa syukur atas nikmat kehidupan yang diberikan Allah SWT kepada hamba-Nya. Hubungan rasa syukur atas nikmat kehidupan dengan berqurban yang berarti menyembelih binatang dapat dilihat dari dua sisi. Pertama, bahwa penyembelihan binatang tersebut merupakan sarana memperluas hubungan baik terhadap kerabat, tetangga, tamu dan saudara sesama muslim. Semua itu merupakan fenomena kegembiraan dan rasa syukur atas nikmat Allah SWT kepada manusia, dan inilah bentuk pengungkapan nikmat yang dianjurkan dalam Islam:
$¨Br&ur ÏpyJ÷èÏZÎ/ y7În/u ô^ÏdyÛsù ÇÊÊÈ 
Dan terhadap nikmat Tuhanmu maka hendaklah kamu menyebut-nyebutnya (dengan bersyukur) (QS Ad-Dhuhaa 11).
Kedua, sebagai bentuk pembenaran terhadap apa yang datang dari Allah SWT. Allah menciptakan binatang ternak itu adalah nikmat yang diperuntukkan bagi manusia, dan Allah mengizinkan manusia untuk menyembelih binatang ternak tersebut sebagai makanan bagi mereka. Bahkan penyembelihan ini merupakan salah satu bentuk pendekatan diri kepada Allah SWT. Berqurban merupakan ibadah yang paling dicintai Allah SWT di hari Nahr, sebagaimana disebutkan dalam hadits riwayat At-Tirmidzi dari Aisyah RA. bahwa Nabi SAW bersabda:
Tidaklah anak Adam beramal di hari Nahr yang paling dicintai Allah melebihi menumpahkan darah (berqurban). Qurban itu akan datang di hari Kiamat dengan tanduk, bulu dan kukunya. Dan sesungguhnya darah akan cepat sampai di suatu tempat sebelum darah tersebut menetes ke bumi. Maka perbaikilah jiwa dengan berqurban.
Hukum qurban menurut jumhur ulama adalah sunnah muaqqadah sedang menurut mazhab Abu Hanifah adalah wajib. Allah SWT berfirman:
Èe@|Ásù y7În/tÏ9 öptùU$#ur ÇËÈ  
Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berkorbanlah (QS Al-Kautsaar: 2).
Rasulullah SAW bersabda:
منكانلهسعةولميضحفلايقربنمصلانا
Siapa yang memiliki kelapangan dan tidak berqurban, maka jangan dekati tempat shalat kami (HR Ahmad, Ibnu Majah dan Al-Hakim).
Dalam hadits lain: Jika kalian melihat awal bulan Zulhijah, dan seseorang di antara kalian hendak berqurban, maka tahanlah rambut dan kukunya (jangan digunting) (HR Muslim).
Bagi seorang muslim atau keluarga muslim yang mampu dan memiliki kemudahan, dia sangat dianjurkan untuk berqurban. Jika tidak melakukannya, menurut pendapat Abu Hanifah, ia berdosa. Dan menurut pendapat jumhur ulama dia tidak mendapatkan keutamaan pahala sunnah.
C.     Hukum Menjual Bagian Qurban
Orang yang berqurban tidak boleh menjual sedikitpun hal-hal yang terkait dengan hewan qurban seperti, kulit, daging, susu dll dengan uang yang menyebabkan hilangnya manfaat barang tersebut. Jumhur ulama menyatakan hukumnya makruh mendekati haram, sesuai dengan hadits:

Siapa yang menjual kulit hewan qurban, maka dia tidak berqurban (HR Hakim dan Baihaqi).
Kecuali dihadiahkan kepada fakir-miskin, atau dimanfaatkan maka dibolehkan. Menurut mazhab Hanafi kulit hewan qurban boleh dijual dan uangnya disedekahkan. Kemudian uang tersebut dibelikan pada sesuatu yang bermanfaat bagi kebutuhan rumah tangga.

D.    Hukum Memberi Upah Tukang Jagal Qurban
Sesuatu yang dianggap makruh mendekati haram juga memberi upah tukang jagal dari hewan qurban. Sesuai dengan hadits dari Ali ra:
Rasulullah SAW memerintahkanku untuk menjadi panitia qurban (unta) dan membagikan kulit dan dagingnya. Dan memerintahkan kepadaku untuk tidak memberi tukang jagal sedikitpun. Ali berkata: Kami memberi dari uang kami (HR Bukhari).

E.     Sayarat Binatang yang Boleh Diqurbankan
Para ulama sepakat bahwa hewan qurban itu adalah unta, sapi, dan kambing. mereka berbeda pendapat tentang mana yang lebih utama dari hewan-hewan tersebut;
1.      Menurut Malik, urutannya adalah kambing kibas, sapi lalu unta, kebalikan dari hadyu haji, unta, sapi, lalu kambing kibas.
2.      Menurut Syafi’I, al-Asyhab,dan Ibnu Sya’ban, urutannya kebalikan dari pendapat Malik, yaitu unta, sapi, lalu kambing.
Dengan perbuatan Rasulullah saw. Ada hadis yang menerangkan bahwa setiap kali Rasulullah saw berkurban selalu berupa kambing. ini menunjukan bahwa kambing lebih utama. Ada hadis yang bertentangan dengan hadis diatas, yaitu hadis Bukhari dari Ibnu Umar, ia berkata:
Yang artinya “Rasulullah saw pernah menyembelih qurban ditempat shalat” (HR. Nasa’i)
Qiyas adalah karena qurban itu pendekatan diri kepada Allah dengan mengorbankan hewan, maka standar hewannya adalah hewan yang disembelih dalah haji.

Sedangkan binatang selain itu seperti burung, ayam dll tidak boleh dijadikan binatang qurban. Allah SWT berfirman:
Èe@à6Ï9ur 7p¨Bé& $oYù=yèy_ %Z3|¡YtB (#rãä.õuÏj9 zNó$# «!$# 4n?tã $tB Nßgs%yu .`ÏiB ÏpyJÎgt/ ÉO»yè÷RF{$# 3 ö/ä3ßg»s9Î*sù ×m»s9Î) ÓÏnºur ÿ¼ã&s#sù (#qßJÎ=ór& 3 ÎŽÅe³o0ur tûüÏGÎ6÷ßJø9$# ÇÌÍÈ 
Dan bagi tiap-tiap umat telah Kami syariatkan penyembelihan (qurban), supaya mereka menyebut nama Allah terhadap binatang ternak yang telah direzkikan Allah kepada mereka (QS Al-Hajj 34).
Kambing untuk satu orang, boleh juga untuk satu keluarga. Karena Rasulullah SAW menyembelih dua kambing, satu untuk beliau dan keluarganya dan satu lagi untuk beliau dan umatnya. Sedangkan unta dan sapi dapat digunakan untuk tujuh orang, baik dalam satu keluarga atau tidak, sesuai dengan hadits Rasulullah SAW:
Yang artinya dari Jabir bin Abdullah, berkata Kami berqurban bersama Rasulullah SAW di tahun Hudaibiyah, unta untuk tujuh orang dan sapi untuk tujuh orang (HR Muslim).
Binatang yang akan diqurbankan hendaknya yang paling baik, cukup umur dan tidak boleh cacat. Rasulullah SAW bersabda:Empat macam binatang yang tidak sah dijadikan qurban: 1. Cacat matanya, 2. sakit, 3. pincang dan 4. kurus yang tidak berlemak lagi (HR Bukhari dan Muslim).
Hadits lain:Janganlah kamu menyembelih binatang ternak untuk qurban kecuali musinnah (telah ganti gigi, kupak). Jika sukar didapati, maka boleh jadzah (berumur 1 tahun lebih) dari domba. (HR Muslim).

Musinnah adalah jika pada unta sudah berumur 5 tahun, sapi umur dua tahun dan kambing umur 1 tahun, domba dari 6 bulan sampai 1 tahun. Dibolehkan berqurban dengan hewan kurban yang mandul, bahkan Rasulullah SAW berqurban dengan dua domba yang mandul. Dan biasanya dagingnya lebih enak dan lebih gemuk.
Menurut ijmak ulama, qurban yang harus dihindari adalah hewan yang cacat atau sakit
Berdasarkan hadis al-Barra’ bin Azib, Rasulullah saw bersabda”
Rasulullah saw ditanya tentang qurban yang harus dihindari, maka beliau bersyarat dengan tangannya dengan mengatakan, empat. Al-Barra’ bersyarat dengan tangannya dengan mengatakan, “tangan saya lebih pendek daripada tangan Rasulullah saw. : Hewan yang jelas timpang/pincang, yang jelas juling/ buta sebelah, yang jelas sakit, dan yang kurus tanpa sumsum di tulangnya.” (HR. Nasai dan Ibnu Majah)

Para ulama sepakat pula bahwa apabila empat cacat tersebut tidak keterlaluan, tidak sampai terhalang. Ada dua hal yang diperselisihkan oleh para ulama, yaitu :
1.      Cacat yang melebihi ketentuan dalam nash hadis diatas, seperti buta kedua mata dan patah kaki.
2.      Cacat yang senilai dengan nash hadis diatas namun berbeda bentuk, seperti cacat di telinganya, mata, ekor, gigi geraham,dan lain-lain anggota jasad yang cacat tersebut tidak ringan.

F.     Pembagian Daging Qurban
Orang yang berqurban boleh makan sebagian daging qurban, sebagaimana firman Allah SWT:Dan telah Kami jadikan untuk kamu unta-unta itu sebahagian dari syi`ar Allah, kamu memperoleh kebaikan yang banyak padanya, maka sebutlah olehmu nama Allah ketika kamu menyembelihnya dalam keadaan berdiri (dan telah terikat). Kemudian apabila telah roboh (mati), maka makanlah sebahagiannya dan beri makanlah orang yang rela dengan apa yang ada padanya (yang tidak meminta-minta) dan orang yang meminta. Demikianlah Kami telah menundukkan unta-unta itu kepada kamu, mudah-mudahan kamu bersyukur (QS Al-Hajj 36).
šcôç7ø9$#ur $yg»oYù=yèy_ /ä3s9 `ÏiB Ύȵ¯»yèx© «!$# ö/ä3s9 $pkŽÏù ׎öyz ( (#rãä.øŒ$$sù zNó$# «!$# $pköŽn=tæ ¤$!#uq|¹ ( #sŒÎ*sù ôMt7y_ur $pkæ5qãZã_ (#qè=ä3sù $pk÷]ÏB (#qßJÏèôÛr&ur yìÏR$s)ø9$# §ŽtI÷èßJø9$#ur 4 y7Ï9ºxx. $yg»tRö¤y öNä3s9 öNä3ª=yès9 tbrãä3ô±s? ÇÌÏÈ  
“Dan telah Kami jadikan untuk kamu unta-unta itu sebahagian dari syi'ar Allah, kamu memperoleh kebaikan yang banyak padanya, Maka sebutlah olehmu nama Allah ketika kamu menyembelihnya dalam Keadaan berdiri (dan telah terikat). kemudian apabila telah roboh (mati), Maka makanlah sebahagiannya dan beri makanlah orang yang rela dengan apa yang ada padanya (yang tidak meminta-minta) dan orang yang meminta. Demikianlah Kami telah menundukkan untua-unta itu kepada kamu, Mudah-mudahan kamu bersyukur” (QS. Al-Hajj: 36)
Hadits Rasulullah SAW:Jika di antara kalian berqurban, maka makanlah sebagian qurbannya (HR Ahmad).
Bahkan dalam hal pembagian disunnahkan dibagi tiga. Sepertiga untuk dimakan dirinya dan keluarganya, sepertiga untuk tetangga dan teman, sepertiga yang lainnya untuk fakir miskin dan orang yang minta-minta. Disebutkan dalam hadits dari Ibnu Abbas menerangkan qurban Rasulullah SAW bersabda:Sepertiga untuk memberi makan keluarganya, sepertiga untuk para tetangga yang fakir miskin dan sepertiga untuk disedekahkan kepada yang meminta-minta (HR Abu Musa Al-Asfahani).
Tetapi orang yang berkurban karena nadzar, maka menurut mazhab Hanafi dan Syafii, orang tersebut tidak boleh makan daging qurban sedikitpun dan tidak boleh memanfaatkannya.

G.    Waktu Penyembelihan Qurban
Waktu penyembelihan hewan qurban yang paling utama adalah hari Nahr, yaitu Raya Idul Adha pada tanggal 10 Zulhijah setelah melaksanakan shalat Idul Adha bagi yang melaksanakannya. Adapun bagi yang tidak melaksanakan shalat Idul Adha seperti jamaah haji dapat dilakukan setelah terbit matahari di hari Nahr. Adapun hari penyembelihan menurut Jumhur ulama, yaitu madzhab Hanafi, Maliki dan Hambali berpendapat bahwa hari penyembelihan adalah tiga hari, yaitu hari raya Nahr dan dua hari Tasyrik, yang diakhiri dengan tenggelamnya matahari. Pendapat ini mengambil alasan bahwa Umar RA, Ali RA, Abu Hurairah RA, Anas RA, Ibnu Abbas dan Ibnu Umar RA mengabarkan bahwa hari-hari penyembelihan adalah tiga hari. Dan penetapan waktu yang mereka lakukan tidak mungkin hasil ijtihad mereka sendiri tetapi mereka mendengar dari Rasulullah SAW (Mughni Ibnu Qudamah 11/114).
Sedangkan mazhab Syafii dan sebagian mazhab Hambali juga diikuti oleh Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa hari penyembelihan adalah 4 hari, Hari Raya Idul Adha dan 3 Hari Tasyrik. Berakhirnya hari Tasyrik dengan ditandai tenggelamnya matahari. Pendapat ini mengikuti alasan hadits, sebagaimana disebutkan Rasulullah SAW:
Semua hari Tasyrik adalah hari penyembelihan (HR Ahmad dan Ibnu Hibban). Berkata Al-Haitsami: Hadits ini para perawinya kuat. Dengan adanya hadits shahih ini, maka pendapat yang kuat adalah pendapat mazhab Syafii.
Mengenai waktu penyembelihan qurban dijelaskan dalam hadits berikut,

وسلم عليه الله صلى النَّبِىُّ قَالَ قَالَ عنه الله رض مَالِكٍ بْنِ أَنَسِ عَنْ
مَنْ ذَبَحَ قَبْلَ الصَّلاَةِ فَإِنَّمَا ذَبَحَ لِنَفْسِهِ ، وَمَنْ ذَبَحَ بَعْدَ الصَّلاَةِ فَقَدْ تَمَّ نُسُكُهُ ، وَأَصَابَ سُنَّةَ الْمُسْلِمِينَ

Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang menyembelih qurban sebelum shalat (Idul Adha), maka ia berarti menyembelih untuk dirinya sendiri. Barangsiapa yang menyembelih setelah shalat (Idul Adha), maka ia telah menyempurnakan manasiknya dan ia telah melakukan sunnah kaum muslimin.”
Dari Jundab, ia menyaksikan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu beliau berkhutbah dan bersabda, “Barangsiapa yang menyembelih sebelum shalat ‘ied, hendaklah ia mengulanginya. Dan yang belum menyembelih, hendaklah ia menyembelih dengan menyebut ‘bismillah’.”
Imam Nawawi rahimahullah dalam Syarh Muslim (13: 110) berkata, “Adapun waktu berqurban, hendaklah qurban itu disembelih setelah shalat bersama imam. Demikian qurban tersebut dikatakan sah. Sebagaimana kata Ibnul Mundzir, “Para ulama sepakat bahwa udhiyah (qurban) tidaklah boleh disembelih sebelum terbit fajar pada hari Idul Adha.” Sedangkan waktu setelah itu (setelah terbit fajar), para ulama berselisih pendapat. Imam Syafi’i, Daud (Azh Zhohiriy), Ibnul Mundzir dan selain mereka berpendapat bahwa waktu penyembelihan qurban itu masuk jika matahari telah terbit dan lewat sekitar shalat ‘ied dan dua khutbah dilaksanakan. Jika qurban disembelih setelah waktu itu, sahlah qurbannya, baik imam melaksanakan shalat ‘ied ataukah tidak, baik imam melaksanakan shalat Dhuha ataukah tidak, begitu pula baik yang melaksanakan qurban adalah penduduk negeri atau kampung atau bawadi atau musafir, juga baik imam telah menyembelih qurbannya ataukah belum. …”
Adapun hadits,
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan barangsiapa yang berqurban sebelum beliau berqurban, maka hendaklah ia mengulangi qurbannya. Janganlah berqurban sampai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berqurban.”
Hadits ini menjadi alasan bagi Imam Malik bahwa tidak sah qurban kecuali setelah imam menyembelih qurbannya. Imam Nawawi menyanggah alasan ini dengan perkataan, “Jumhur (mayoritas) ulama memahami hadits tersebut bahwa maksudnya adalah larangan keras bagi orang yang terburu-buru menyembelih qurban sebelum waktunya. Karena dalam hadits lainnya dikaitkan hal tersebut dengan shalat. Yaitu siapa yang menyembelih setelah shalat ‘ied, maka sah. Siapa yang menyembelih sebelumnya, maka tidaklah sah.”

H.    Menyembelih Qurban Pada Waktu Malam Hari
1.      Menurut Maliki, tidak boleh.
2.      Menurut Syafi’i dan segolongan ulama, boleh.
Perbedaan tersebut berasal dari penerapan istilah hari. Menurut istilah Arab, hari itu adakalanya:
a.       Meliputi siang dan malam, seperti firman Allah : QS. Hud :65
$ydrãs)yèsùtA$s)sù(#qãè­GyJs?ÎûöNà2Í#yŠspsW»n=rO5Q$­ƒr&(šÏ9ºsŒîôãurçŽöxî5>räõ3tBÇÏÎÈ
 “mereka membunuh unta itu, Maka berkata Shaleh: "Bersukarialah kamu sekalian di rumahmu selama tiga hari, itu adalah janji yang tidak dapat didustakan." (QS. Hud; 65)

b.      Meliputi siang saja tanpa malam, seperti firman Allah :QS. Al-Haqqah:7
$ydt¤yöNÍköŽn=tãyìö7y5A$uŠs9spuŠÏY»yJrOurBQ$­ƒr&$YBqÝ¡ãmuŽtIsùtPöqs)ø9$#$pkŽÏù4Ótç÷Ž|ÀöNåk¨Xr(x.ã$yfôãr&@@øƒwU7ptƒÍr%s{ÇÐÈ
“yang Allah menimpakan angin itu kepada mereka selama tujuh malam dan delapan hari terus menerus; Maka kamu Lihat kaum 'Aad pada waktu itu mati bergelimpangan seakan-akan mereka tunggul pohon kurma yang telah kosong (lapuk)”. (QS. Al-Haqqah :7 )
Ulama yang mengartikan hari dalam ayat tersebut hanya meliputi siang saja, tanpa malam, berpendapat bahwa tidak boleh menyembelih kurban malam hari.Seandainya arti itu dipilih salah satu antara siang dan malam, tentu lebih tepat siang.Namun seandainya hanya diartikan siang saja, tidaklah terlarang untuk melakukannya pada malam hari.Kalau terlarang pada malam hari, berarti mempertentangkan antara dalil khithab dengan pemahaman kita, dan begini ini lemah.
Ulama mutakkalimin tidak ada yang menempuh cara itu kecuali Ad-Daqqaq saja. Sedangkan pada siang hari sudah jelas boleh.Namun, yang memperbolehkan menyembelih pada malam hari juga mempunyai dalil.
Bolehnya Menyembelih Qurban di Siang atau pun Malam Hari ?
Menyembelih qurban dibolehkan di siang atau malam hari. Akan tetapi, disunnahkan menyembelihnya di siang hari agar lebih baik dalam penyembelihan dan orang-orang miskin pun bisa hadir.
Imam Nawawi berkata, “Para ulama berselisih pendapat mengenai bolehnya berqurban di malam hari dari malam-malam qurban (hari Idul Adha dan hari tasyriq). Imam Syafi’i sendiri membolehkan namun menilainya makruh. Demikian pula dikatakan oleh Abu Hanifah, Ahmad, Ishaq, Abu Tsaur dan jumhur. Imam Malik pun berpendapat demikian dalam pendapat yang masyhur dari beliau dan para pengikutnya. Sedangkan salah satu pendapat dari Imam Ahmad menyatakan tidak sahnya penyembelihan di malam hari bahkan dianggap seperti daging biasa (bukan qurban).”
Yang benar adalah masih bolehnya penyembelihan di malam hari. Alasan ulama yang tidak membolehkan, sebagaimana firman Allah dalam QS al-Hajj: 28
(#rßygô±uŠÏj9 yìÏÿ»oYtB öNßgs9 (#rãà2õtƒur zNó$# «!$# þÎû 5Q$­ƒr& BM»tBqè=÷è¨B 4n?tã $tB Nßgs%yu .`ÏiB ÏpyJÎgt/ ÉO»yè÷RF{$# ( (#qè=ä3sù $pk÷]ÏB (#qßJÏèôÛr&ur }§Í¬!$t6ø9$# uŽÉ)xÿø9$# ÇËÑÈ  
“Supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan atas rezki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak. Maka makanlah sebahagian daripadanya dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara dan fakir. (QS. Al-Hajj: 28)

Dalam hadits juga disebutkan,

أَيَّامُ التَّشْرِيقِ كُلُّهَا ذَبْحٌ

“Hari-hari tasyriq semuanya adalah waktu penyembelihan.”

I.       Akhir Waktu Penyembelihan Qurban
Sebagaimana keterangan dari Syaikh Musthofa Al ‘Adawi hafizhohullah, “Adapun waktu akhir dari penyembelihan qurban, maka tidak ada hadits yang shahih dari Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai hal itu. Oleh karena itu, para ulama berselisih pendapat mengenai akhir waktunya. Ada 4 pendapat dalam masalah ini:
1.      Waktu penyembelihan qurban hanya pada hari Idul Adha saja (10 Dzulhijjah). Pendapat ini jelas alasannya. Dan tidak ada khilaf jika waktu penyembelihannya pada 10 Dzulhijjah  setelah shalat ‘ied menurut pendapat jumhur (mayoritas) ulama. Sedangkan menurut pendapat lainnya, penyembelihan pada hari tersebut dilakukan setelah imam menyembelih qurban.
2.      Waktu penyembelihannya pada hari Idul Adha (10 Dzulhijjah) dan 2 hari setelahnya (11 dan 12 Dzulhijjah). Tidak ada dalil shahih yang marfu’ (sampai pada Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam-) selain atsar dari Ibnu ‘Umar yang mauquf (hanya perkataan Ibnu ‘Umar) yang menyatakan bolehnya sampai dua hari setelah Idul Adha. Ada atsar dari beliau yang menjelaskan tafsiran ‘ayyam ma’lumaat’ (hari tertentu sebagaimana disebut dalam surat Al Hajj ayat 28) dan termasuk di dalamnya hari ke-11 dan 12 Dzulhijjah. Akan tetapi atsar ini dho’if.
3.      Waktu penyembelihan qurban pada hari Idul Adha dan 3 hari tasyriq setelahnya (11, 12, dan 13 Dzulhijjah). Dasar pendapat ini adalah hadits dho’if dan mereka qiyaskan dengan hadyu.
4.      Waktu penyembelihan qurban adalah sampai akhir Dzulhijjah. Inilah pendapat Ibnu Hazm, namun dasar yang digunakan adalah hadits dho’if. Ada pendapat demikian pula mengenai hadyu, namun pendalilannya dho’if.

Yang hati-hati bagi seseorang muslim bagi agamanya adalah melaksanakan penyembelihan qurban pada hari Idul Adha (10 Dzulhijjah) sebagaimana yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lakukan dan hal ini lebih selamat dari perselisihan para ulama yang ada. Jika sulit melakukan pada waktu tersebut, maka boleh melakukannya pada 11 dan 12 Dzulhijjah sebagaimana pendapat jumhur (mayoritas) ulama.

J.      Tata Cara Penyembelihan Qurban
Berqurban sebagaimana definisi di atas yaitu menyembelih hewan qurban, sehingga menurut jumhur ulama tidak boleh atau tidak sah berqurban hanya dengan memberikan uangnya saja kepada fakir miskin seharga hewan qurban tersebut, tanpa ada penyembelihan hewan qurban. Karena maksud berqurban adalah adanya penyembelihan hewan qurban kemudian dagingnya dibagikan kepada fakir miskin. Dan menurut jumhur ulama yaitu mazhab Imam Malik, Ahmad dan lainnya, bahwa berqurban dengan menyembelih kambing jauh lebih utama dari sedekah dengan nilainya. Dan jika berqurban dibolehkan dengan membayar harganya akan berdampak pada hilangnya ibadah qurban yang disyariatkan Islam tersebut. Adapun jika seseorang berqurban, sedangkan hewan qurban dan penyembelihannya dilakukan ditempat lain, maka itu adalah masalah teknis yang dibolehkan. Dan bagi yang berqurban, jika tidak bisa menyembelih sendiri diutamakan untuk menyaksikan penyembelihan tersebut, sebagaimana hadits riwayat Ibnu Abbas RA:
Hadirlah ketika kalian menyembelih qurban, karena Allah akan mengampuni kalian dari mulai awal darah keluar.
Ketika seorang muslim hendak menyembelih hewan qurban, maka bacalah: Bismillahi Wallahu Akbar, ya Allah ini qurban si Fulan (sebut namanya), sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah SAW:
Bismillahi Wallahu Akbar, ya Allah ini qurban dariku dan orang yang belum berqurban dari umatku (HR Abu Dawud dan At-Tirmidzi).
Bacaan boleh ditambah sebagaimana Rasulullah SAW memerintahkan pada Fatimah AS:
Wahai Fatimah, bangkit dan saksikanlah penyembelihan qurbanmu, karena sesungguhnya Allah mengampunimu setiap dosa yang dilakukan dari awal tetesan darah qurban, dan katakanlah: Sesungguhnya shalatku, ibadah (qurban) ku, hidupku dan matiku lillahi rabbil alamiin, tidak ada sekutu bagi-Nya. Dan oleh karena itu aku diperintahkan, dan aku termasuk orang yang paling awal berserah diri (HR Al-Hakim dan Al-Baihaqi)
K.                Hikmah Qurban
Adapun hikmah yang bisa di dapat dalam pelaksaan quban, diantaranya ;
1.      Menambah cintanya kepada Allah SWT
2.       Akan menambah keimanannya kepada Allah SWT
3.      Dengan berkurban, berarti seseorang telah bersyukur kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karunia yang telah dilimpahkan pada dirinya.
4.      Dengan berkurban, berarti seseorang telah berbakti kepada orang lain, dimana tolong menolong, kasih mengasihi dan rasa solidaritas dan toleransi memang dianjurkan oleh agama Islam.



2.3.            Bolehkah Satu Sembelihan Untuk Qurban dan Aqiqah
Mengenai permasalahan menggabungkan niat udh-hiyah (qurban) dan aqiqah, para ulama memiliki beda pendapat.
1.      Pendapat pertama: Udh-hiyah (qurban) tidak boleh digabungkan dengan aqiqah. Pendapat ini adalah pendapat ulama Malikiyah, Syafi’iyah dan salah satu pendapat dari Imam Ahmad.
Alasan dari pendapat pertama ini karena aqiqah dan qurban memiliki sebab dan maksud tersendiri yang tidak bisa menggantikan satu dan lainnya. ‘Aqiqah dilaksanakan dalam rangka mensyukuri nikmat kelahiran seorang anak, sedangkan qurban mensyukuri nikmat hidup dan dilaksanakan pada hari An Nahr (Idul Adha).
 Al Haitami –salah seorang ulama Syafi’iyah- mengatakan, “Seandainya seseorang berniat satu kambing untuk qurban dan ‘aqiqah sekaligus maka keduanya sama-sama tidak teranggap. Inilah yang lebih tepat karena maksud dari qurban dan ‘aqiqah itu berbeda.” Ibnu Hajar Al Haitami Al Makkiy dalam Fatawa Kubronya menjelaskan, “Sebagaimana pendapat ulama madzhab kami sejak beberapa tahun silam, tidak boleh menggabungkan niat aqiqah dan qurban. Alasannya, karena yang dimaksudkan dalam qurban dan aqiqah adalah dzatnya (sehingga tidak bisa digabungkan dengan lainnya.  
Begitu pula keduanya memiliki sebab dan maksud masing-masing. Udh-hiyah (qurban) sebagai tebusan untuk diri sendiri, sedangkan aqiqah sebagai tebusan untuk anak yang diharap dapat tumbuh menjadi anak sholih dan berbakti, juga aqiqah dilaksanakan untuk mendoakannya.”
2.      Pendapat kedua: Penggabungan qurban dan ‘aqiqah itu dibolehkan. Menurut pendapat ini, boleh melaksanakan qurban sekaligus dengan niat ‘aqiqah atau sebaliknya. Inilah salah satu pendapat dari Imam Ahmad, pendapat ulama Hanafiyah, pendapat Al Hasan Al Bashri, Muhammad bin Sirin dan Qotadah.
Al Hasan Al Bashri mengatakan, “Jika seorang anak ingin disyukuri dengan qurban, maka qurban tersebut bisa jadi satu dengan ‘aqiqah.” Hisyam dan Ibnu Sirin mengatakan, “Tetap dianggap sah jika qurban digabungkan dengan ‘aqiqah.” Al Bahuti –seorang ulama Hambali- mengatakan, “Jika waktu aqiqah dan penyembelihan qurban bertepatan dengan waktu pelaksanaan qurban, yaitu hari ketujuh kelahiran atau lainnya bertepatan dengan hari Idul Adha, maka boleh melakukan aqiqah sekaligus dengan niat qurban atau melakukan qurban sekaligus dengan niat aqiqah. Sebagaimana jika hari ‘ied bertepatan dengan hari Jum’at, kita melaksanakan mandi jum’at sekaligus dengan niat mandi ‘ied atau sebaliknya.”
Pendapat ini juga dipilih oleh Syaikh Muhammad bin Ibrahim rahimahullah. Beliau mengatakan, “Jika qurban dan ‘aqiqah digabungkan, maka cukup dengan satu sembelihan untuk satu rumah. Jadi, diniatkan qurban untuk dirinya, lalu qurban itu juga diniatkan untuk ‘aqiqah.
Sebagian mereka yang berpendapat demikian, ada yang memberi syarat bahwa aqiqah dan qurban itu diatasnamakan si kecil. Pendapat yang lainnya mengatakan bahwa tidak disyaratkan demikian. Jika seorang ayah berniat untuk berqurban, maka dia juga langsung boleh niatkan aqiqah untuk anaknya.”
Intinya, Syaikh Muhammad bin Ibrahim membolehkan jika qurban diniatkan sekaligus dengan aqiqah. Point Penting dalam Penggabungan Niat Perlu diketahui terlebih dahulu bahwa penggabungan niat  diperbolehkan jika memang memenuhi dua syarat:
1)      Kesamaan jenis.
2)      Ibadah tersebut bukan ibadah yang berdiri sendiri, artinya ia bisa diwakili oleh ibadah sejenis lainnya.
Kami contohkan di sini, bolehnya penggabungan niat shalat tahiyatul masjid dengan shalat sunnah rawatib. Dua shalat ini jenisnya sama yaitu sama-sama shalat sunnah. Mengenai shalat tahiyatul masjid, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Jika salah seorang dari kalian memasuki masjid, maka janganlah dia duduk sampai dia mengerjakan shalat sunnah dua raka’at (shalat sunnah tahiyatul masjid).”
 Maksud hadits ini yang penting mengerjakan shalat sunnah dua raka’at ketika memasuki masjid, bisa diwakili dengan shalat sunnah wudhu atau dengan shalat sunnah rawatib. Shalat tahiyatul masjid bukan dimaksudkan dzatnya. Asalkan seseorang mengerjakan shalat sunnah dua raka’at (apa saja shalat sunnah tersebut) ketika memasuki masjid, ia berarti telah melaksanakan perintah dalam hadits di atas.
Namun untuk kasus aqiqah dan qurban berbeda dengan shalat sunnah awatib dan shalat sunnah tahiyatul masjid. Qurban dan aqiqah memang sama-sama sejenis yaitu sama-sama daging sembelihan. Namun keduanya adalah ibadah yang berdiri sendiri dan tidak bisa digabungkan dengan lainnya. Qurban untuk tebusan diri sendiri, sedangkan aqiqah adalah tebusan untuk anak. Lihat kembali penjelasan Ibnu Hajar Al Makki di atas.
Jalan Keluar dari Masalah Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin pernah ditanya mengenai hukum menggabungkan niat udh-hiyah (qurban) dan ‘aqiqah, jika Idul Adha bertepatan dengan hari ketujuh kelahiran anak? Syaikh rahimahullah menjawab, “Sebagian ulama berpendapat, jika hari Idul Adha bertepatan dengan hari ketujuh kelahiran anak, kemudian dilaksanakan udh-hiyah (qurban), maka tidak perlu lagi melaksanakan aqiqah (artinya qurban sudah jadi satu dengan aqiqah, pen). Sebagaimana pula jika seseorang masuk masjid dan langsung melaksanakan shalat fardhu, maka tidak perlu lagi ia melaksanakan shalat tahiyatul masjid. Alasannya, karena dua ibadah tersebut adalah ibadah sejenis dan keduanya bertemu dalam waktu yang sama. Maka satu ibadah sudah mencakup ibadah lainnya. Akan tetapi, saya sendiri berpandangan bahwa jika Allah memberi kecukupan rizki, (ketika Idul Adha bertepatan dengan hari aqiqah), maka hendaklah ia berqurban dengan satu kambing, ditambah beraqiqah dengan satu kambing (jika anaknya perempuan) atau beraqiqah dengan dua kambing (jika anaknya laki-laki).”
Dari dua pendapat di atas, kami lebih condong pada pendapat pertama yang menyatakan bahwa penggabungan niat antara aqiqah dan qurban tidak diperbolehkan, karena walaupun ibadahnya itu sejenis namun maksud aqiqah dan qurban adalah dzatnya sehingga tidak bisa digabungkan dengan yang lainnya. Pendapat pertama juga lebih hati-hati dan lebih selamat dari perselisihan yang ada.
Jika memang aqiqah bertepatan dengan qurban pada Idul Adha, maka sebaiknya dipisah antara aqiqah dan qurban.
Jika mampu ketika itu, laksanakanlah kedua-duanya. Artinya laksanakan qurban dengan satu kambing atau ikut urunan sapi, sekaligus laksanakan aqiqah dengan dua kambing (bagi anak laki-laki) atau satu kambing (bagi anak perempuan).
Jika tidak mampu melaksanakan aqiqah dan qurban sekaligus, maka yang lebih didahulukan adalah ibadah udh-hiyah (qurban) karena waktunya bertepatan dengan hari qurban dan waktunya cukup sempit. Jika ada kelapangan rizki lagi, barulah ditunaikan aqiqah.



3.1.   


DAFTAR PUSTAKA
Mawsu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, 2/1526, Multaqo Ahlul Hadits. Tuhfatul Muhtaj Syarh Al Minhaj, 41/172, Mawqi’ Al Islam.
Al Fatawa Al Fiqhiyah Al Kubro, 9/420, Mawqi’ Al Islam 
Mushonnaf Ibnu Abi Syaibah, 5/116, Maktabah Ar Rusyd, cetakan pertama, tahun 1409 H.
Syarh Muntahal Irodaat, 4/146, Mawqi’ Al Islam.  
Fatawa wa Rasa-il Syaikh Muhammad bin Ibrahim, 6/136, Asy Syamilah
HR. Bukhari no. 1163 dan Muslim no. 714, dari Abu Qotadah.
Majmu’ Fatawa wa Rosail Al ‘Utsaimin, 25/287-288, Darul Wathon-Dar Ats Tsaroya, cetakan terakhir, tahun 1413 H.
Dedih, Ujang, 2013, Fiqih Ibadah, Bandung: CV Insan Mandiri
Rajid Sulaiman, 2013, Fiqih Islam, Bandung: Sinar Baru Algensindo












Tidak ada komentar:

Posting Komentar