BAB
I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang Masalah
Berqurban merupakan
bagian dari Syariat Islam yang sudah ada semenjak manusia ada. Ketika
putra-putra nabi Adam AS diperintahkan berqurban. Maka Allah SWT menerima
qurban yang baik dan diiringi ketakwaan dan menolak qurban
yang buruk. Allah SWT berfirman:
“Ceritakanlah
kepada mereka kisah kedua putra Adam (Habil dan Qabil) menurut yang sebenarnya,
ketika keduanya mempersembahkan qurban, maka diterima dari salah seorang dari
mereka berdua (Habil) dan tidak diterima dari yang lain (Qabil). Ia berkata
(Qabil): “Aku
pasti membunuhmu!” Berkata Habil: “Sesungguhnya
Allah hanya menerima (korban) dari orang-orang yang bertaqwa”
(QS Al-Maidah 27).
Maka
dari itu kita sebagai umat islam di syariatkan untuk melaksanakan qurban. Bukan
hanya itu saja, Allah SWT juga memerintahkan kita untuk melaksanakan aqiqah.
Rasulullah SAW juga bersabda dalam hadis yang diriwayatkan oleh oleh Dari
Samurah bin Jundub yakni: “setiap bayi tergadai dengan aqiqahnya, yang
disembelih pada hari ketujuh, dicukur, dan diberi nama.” (HR Abu
Daud/An-Nasai/At-Tirmidzi).
Kedua-dua ibadah ini adalah
antara amalan mulia dan penting dalam Islam kerana amat besar fadhilatnya,
tetapi malangnya masih ramai orang yang samar-samar atau kabur kefahaman mereka
mengenainya, sehingga ada yang memandang ringan walaupun mempunyai kemampuan
tetapi tidak mau melakukan penyembelihan qurban dan aqiqah ini. Semoga dengan
penjelasan yang serba sedikit ini dapat membantu kefahaman kita semua tentang
ibadat Qurban serta Aqiqah serta keinginan untuk sama-sama mencari pahala kedua
ibadah ini akan meningkat.
1.2
Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, Adapun
masalah-masalah yang ingin di gali dalam pembuatan makalah ini yaitu seperti
terangkum dalam pertanyaan-pertanyaan berikut :
1. Apa Pengertian Aqiqah dan Bagaimanakah Syarat, Hukum, Hikmah Aqiqah, Waktu serta Pelaksanaan Aqiqah
2. Apa Pengertian Qurban dan Bagaimanakah Syarat, Hukum, Hikmah Qurban, Waktu, serta Pelaksaan Qurban ?
3. Bolehkah
Satu Sembelihan Untuk Qurban dan Aqiqah ?
1.3
Tujuan
Penulisan
Penulisan makalah ini dilakukan untuk memenuhu
tujuan-tujuan yang diharapkan dapat bermanfaat bagi kita semua dalam menambah
imu pengetahuan dan wawasan. Secara terperinci tujuan dari penelitian dan penulisan
makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk Mengetahui Apa Pengertian Aqiqah dan Bagaimanakah Syarat, Hukum, Hikmah
Aqiqah, Waktu serta Bagaimana Pelaksanaan Aqiqah.
2. Untuk Mengetahui Apa Pengertian Qurban dan Bagaimanakah Syarat, Hukum, Hikmah
Qurban, Waktu, serta Bagaimana Pelasaan Qurban.
3. Untuk
Mengetahui Bolehkah Satu Sembelihan Untuk Qurban dan Aqiqah.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1.
Aqiqah
A.
Pengertian Aqiqah
Aqiqah menurut bahasa ialah rambut kepala bayi yang
sedang lahir. Sedangkan aqiqah menurut istilah ialah menyembelih ternak
(kambing) pada hari ketujuh dari kelahiran anak, yang pada hari itu anak diberi
nama dan dipotong rambutnya.
Aqiqah dalam istilah agama adalah
sembelihan untuk anak yang baru lahir sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah
SWT dengan niat dan syarat-syarat tertentu. Oleh sebagian ulama ia disebut
dengan nasikah atau dzabihah (sembelihan).
B.
Persyaratan Hewan Aqiqah
1.
Jenis Hewan Untuk Aqiqah
Dalam masalah aqiqah, binatang yang
boleh dipergunakan sebagai sembelihan hanyalah kambing, tanpa memandang apakah
jantan atau betina, sebagaimana riwayat dibawah ini :
Dari Ummu Kurz Al-Ka’biyah, bahwasanya
ia pernah bertanya kepada Rasulullah saw. Tentang aqiqah, maka Rasulullah saw
bersabda. “Ya, untuk laki-laki dua ekor kambing, dan untuk perempuan satu ekor
kambing. Tidak menyusahkanmu baik kambing itu jantan maupun betina.” (HR. Ahmad
dan Tirmidzi)
Syarat-syarat hewan yang bisa (sah)
untuk dijadikan aqiqah:
1. Tidak cacat
2. Tidak berpenyakit
3. Cukup umur, yaitu kira-kira berumur
satu tahun
4. Warna bulu sebaiknya warna putih
2.
Jumlah Hewan yang Disembelih
Jumlah hewan aqiqah minimah adalah
satu ekor baik untuk laki-laki maupun perempuan. Namun afdolnya anak laki-laki
disembelik dua ekor sedangkan anak perempuan satu ekor. Namun ada yang
membolehkan untuk anak laki-laki cukup satu ekor, terutama apabila dalam
kesempitan. Berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas ra.
“bahwa
sesungguhnya Rasulullah telah meng-aqiqahkan Al-Hasan dan Al-Husein satu
kambing/domba satu kambing/domba”.
Berapa hadis menunjukan bahwa yang
lebih utama adalah dua ekor untuk anak laki-laki dan satu ekor untuk anak
perempuan, diantaranya sebagai berikut:
Ummu Kurz Al Kabiyyah berkata, yang
artinya : “Nabi saw. Memerintahkan agar disembelihkan aqiqah dari anak
laki-laki dua ekor domba, dan anak perempuan satu ekor”. (hadis sanad shahih
riwayat Imam Ahmad dan Ashhabus Sunan)
Dari Aisyah ra berkata, yang artinya
: “Nabi saw, memerintahkan mereka agar disembelihkan aqiqah dari anak laki-laki
dua ekor domba yang sepadan dan dari anak perempuan satu ekor”. (shahih riwayat At Tirmdzi)
Dari ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya,
dari kakenya, Rasulullah saw bersabda:
“Barangsiapa diantara kalian yang
ingin menyembelih (kambing ) karena kelahiran bayi maka hendaklah ia lakukan
untuk laki-laki dua kambing yang sama dan untuk perempuan satu kambing”. (HR
Abu Dawud, Nasa’I, Ahmad)
C.
Hukum Aqiqah
Hukum aqiqah adalah sunnah mu’akkad.
Aqiqah bagi anak laki-laki dengan dua ekor kambing, sedangkan bagi wanita
dengan seekor kambing.Apabila mencukupkan diri dengan seekor kambing bagi anak
laki-laki, itu juga diperbolehkan.Anjuran aqiqah ini menjadi kewajiban ayah
(yang menanggung nafkah anak). Apabila ketika waktu dianjurkannya aqiqah
(misalnya tujuh hari kelahiran), orang tua dalam keadaan faqir (tidak mampu),
maka ia tidak diperintahkan untuk aqiqah. Karena Allah SWT berfirman dalam QS. At
Taghobun: 16
(#qà)¨?$$sù ©!$# $tB ÷Läê÷èsÜtFó$# (#qãèyJó$#ur (#qãèÏÛr&ur (#qà)ÏÿRr&ur #Zöyz öNà6Å¡àÿRX{ 3 `tBur s-qã £xä© ¾ÏmÅ¡øÿtR y7Í´¯»s9'ré'sù ãNèd tbqßsÎ=øÿçRùQ$# ÇÊÏÈ
“Maka
bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu dan dengarlah serta taatlah
dan nafkahkanlah nafkah yang baik untuk dirimu.dan Barangsiapa yang dipelihara
dari kekikiran dirinya, Maka mereka Itulah orang-orang yang beruntung”.
D. Hikmah
Aqiqah
Sejak seorang suami memancarkan
sperma kepada istrinya, lalu sperma itu berlomba-lomba mendatangi panggilan
indung telur melalui signyal kimiawi yang dipancarkan darinya, sejak itu tanpa
banyak disadari oleh manusia, sesungguhnya setan jin sudah mengadakan
penyerangan kepada calon anak mereka. Hal tersebut dilakukan oleh jin dalam
rangka membangun pondasi di dalam janin yang masih sangat lemah itu, supaya
kelak di saat anak manusia tersebut menjadi dewasa dan kuat, setan jin tetap
dapat menguasai target sasarannya itu. Maka sejak itu pula Rasulullah saw.
telah mengajarkan kepada umatnya cara menangkal serangan yang sangat
membahayakan itu sebagaimana yang disampaikan Beliau saw. melalui sabdanya
berikut ini :
حَدِيثُ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ : قَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَوْ أَنَّ أَحَدَهُمْ إِذَا أَرَادَ
أَنْ يَأْتِيَ أَهْلَهُ قَالَ بِاسْمِ اللَّهِ اللَّهُمَّ جَنِّبْنَا الشَّيْطَانَ
وَجَنِّبِ الشَّيْطَانَ مَا رَزَقْتَنَا فَإِنَّهُ إِنْ يُقَدَّرْ بَيْنَهُمَا
وَلَدٌ فِي ذَلِكَ لَمْ يَضُرَّهُ شَيْطَانٌ أَبَد
“Diriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a
berkata: Rasulullah s.a.w pernah bersabda: apabila seseorang diantara kamu
ingin bersetubuh dengan isterinya hendaklah dia membaca”:
بِسْمِ اللَّهِ اللَّهُمَّ جَنِّبْنَا
الشَّيْطَانَ وَجَنِّبِ الشَّيْطَانَ مَا رَزَقْتَنَا
Yang artinya: “Dengan nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.
Wahai Tuhanku! Jauhkanlah kami dari setan dan jauhkanlah setan dari apa yang
Engkau karuniakan kepada kami. Sekiranya hubungan aantara suami istri itu
ditakdirkan mendapat seorang anak”
E.
Waktu Pelaksanaan Aqiqah
Pelaksanaan Aqiqah menurut
kesepakatan para ulama adalah hari ketujuh dari kelahiran. Hal ini berdasarkan
hadis Samirah dimana Nabi saw bersabda, “seorang
anak terikat dengan aqiqahnya. Ia disembelihkan aqiqah pada hari ketujuh dan
diberi nama”. (HR.al Tirmidzi)
Namun demikian apabila terlewat dan
tidak bisa dilaksanakan pada hari ketujuh, ia bisa dilaksanakan pada hari ke
14. Dan jika tidak juga, maka pada hari ke 21 atau kapan saja ia mampu. Imam
Malik berkata : pada dzohirnya bahwa keterikatannya pada hari ke 7 atar dasar
anjuran, maka sekiranya menyembelih pada hari ke 4, ke 8, ke 10, atau
setelahnya aqiqah itu telah cukup. Karena prinsip ajaran Islam adalah
memudahkan, bukan menyulitkan, sebagimana firman Allah swt dalam QS al Baqarah
185
ßÌã ª!$# ãNà6Î/ tó¡ãø9$# wur ßÌã ãNà6Î/ uô£ãèø9$# (…
“Allah menghendaki kemudian bagimu dan tidak menghendaki
kesukaran bagimu….” (QS. Al-Baqarah: 185)
Bayi yang meninggal dunia sebelum hari ke tujuh disunahkan
juga untuk disembelih aqiqahnya, bahkan meskipun bayi yang keguguran, dengan
syarat sudah berusia empat bulan didalam kandungan ibunya.
Aqiqah adalah syariat yang ditekan
kepada ayah si bayi. Namun bila seseorang yang belum disembelih hewan aqiqah
oleh orang tuanya hingga ia besar, maka ia bisa menyembelih aqiqah dari dirinya
sendiri. Syaikh Shalih Al-Fauzan berkata : “dan
bila tidak di aqiqahkan oleh ayahnya kemudian ia mengaqiqahkan dirinya sendiri,
maka hal itu tidak apa apa”.
F.
Tata Cara Pelaksanaan Aqiqah
Berikut ini adalah tata cara yang
biasa dilakukan dalam penyembelihan aqiqah :
1. Diawali membaca Basmalah
2. Membaca Shalawat atas Nabi SAW
3. Membaca Takbir
4. Membaca doa ketika penyembelihan
hewan Aqiqah
5. Kambing disembelih sendiri oleh ayah
dari yang di aqiqahkan
6. Daging dibagikan kepada fakir miskin
dan tetangga dalam keadaan sudah dimasak dahulu.
Pada hari ini anak diberi nama dan
bersedekah dengan jumlah seberat rambut bayi yang baru dicukur, bernilai ½ atau
1 dirham. Sebagian ulama berpendapat seberat timbangan rambut bayi dengan nilai
emas/perak.
Nabi SAW bersabda :
Dari Ali bin Abi Thalib ia berkata,
Rasulullah SAW telah mengakikahkan Hasan dengan seekor kambing, maka Nabi
bersabda: “Hai Fathimah, cukurlah
rambutnya, bersedekahlah dengan perak seberat rambutnya”. Kemudiam Ali
berkata lagi : Fatimah kemudian menimbangnya satu dirham atau ½ dirham. (HR.
At-Turmudzi)
2.2.
Qurban
A.
Pengertian
Qurban
Qurban menurut bahasa berasal dari kata “qaruba-yaqrubu-qurbaanan”
yang artinya dekat, mendekat.Sedangkan qurban menurut istilah ialah menyembelih
ternak pada hari raya haji (qurban) dan hari-hari tasyriq untuk mendekatkan
diri kepada Allah.
Perintah menyembelih Qurban Firman Allah SWT:
!$¯RÎ) š»oYø‹sÜôãr& trOöqs3ø9$# ÇÊÈ
Èe@|Ásù y7ÎntÏ9 öptùU$#ur ÇËÈ
“Sesungguhnya
Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka dirikanlah shalat
karena Tuhanmu; dan berkorbanlah”
B.
Hukum Qurban
Disyariatkannya qurban sebagai simbol pengorbanan
hamba kepada Allah SWT, bentuk ketaatan kepada-Nya dan rasa syukur atas nikmat
kehidupan yang diberikan Allah SWT kepada hamba-Nya. Hubungan rasa syukur atas
nikmat kehidupan dengan berqurban yang berarti menyembelih binatang dapat
dilihat dari dua sisi. Pertama, bahwa penyembelihan binatang tersebut merupakan
sarana memperluas hubungan baik terhadap kerabat, tetangga, tamu dan saudara
sesama muslim. Semua itu merupakan fenomena kegembiraan dan rasa syukur atas
nikmat Allah SWT kepada manusia, dan inilah bentuk pengungkapan nikmat yang
dianjurkan dalam Islam:
$¨Br&ur ÏpyJ÷èÏZÎ/ y7În/u ô^ÏdyÛsù ÇÊÊÈ
“Dan terhadap nikmat Tuhanmu maka
hendaklah kamu menyebut-nyebutnya (dengan bersyukur)” (QS Ad-Dhuhaa
11).
Kedua, sebagai bentuk pembenaran terhadap apa yang
datang dari Allah SWT. Allah menciptakan binatang ternak itu adalah nikmat yang
diperuntukkan bagi manusia, dan Allah mengizinkan manusia untuk
menyembelih binatang ternak tersebut sebagai makanan bagi mereka. Bahkan
penyembelihan ini merupakan salah satu bentuk pendekatan diri kepada Allah SWT.
Berqurban merupakan ibadah yang paling dicintai Allah SWT di hari Nahr,
sebagaimana disebutkan dalam hadits riwayat At-Tirmidzi dari ‘Aisyah
RA. bahwa Nabi SAW bersabda:
“Tidaklah anak Adam beramal di hari
Nahr yang paling dicintai Allah melebihi menumpahkan darah (berqurban). Qurban
itu akan datang di hari Kiamat dengan tanduk, bulu dan kukunya. Dan
sesungguhnya darah akan cepat sampai di suatu tempat sebelum darah tersebut
menetes ke bumi. Maka perbaikilah jiwa dengan berqurban”.
Hukum qurban menurut jumhur ulama
adalah sunnah muaqqadah sedang menurut mazhab Abu Hanifah adalah wajib. Allah
SWT berfirman:
Èe@|Ásù y7În/tÏ9 öptùU$#ur ÇËÈ
“Maka
dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berkorbanlah” (QS
Al-Kautsaar: 2).
Rasulullah SAW bersabda:
منكانلهسعةولميضحفلايقربنمصلانا
“Siapa yang memiliki kelapangan dan
tidak berqurban, maka jangan dekati tempat shalat kami” (HR Ahmad, Ibnu
Majah dan Al-Hakim).
Dalam hadits lain: “Jika
kalian melihat awal bulan Zulhijah, dan seseorang di antara kalian hendak
berqurban, maka tahanlah rambut dan kukunya (jangan digunting)” (HR Muslim).
Bagi seorang muslim atau keluarga muslim yang mampu
dan memiliki kemudahan, dia sangat dianjurkan untuk berqurban. Jika tidak
melakukannya, menurut pendapat Abu Hanifah, ia berdosa. Dan menurut pendapat
jumhur ulama dia tidak mendapatkan keutamaan pahala sunnah.
C. Hukum Menjual Bagian Qurban
Orang yang berqurban tidak boleh menjual sedikitpun
hal-hal yang terkait dengan hewan qurban seperti, kulit, daging, susu dll
dengan uang yang menyebabkan hilangnya manfaat barang tersebut. Jumhur ulama
menyatakan hukumnya makruh mendekati haram, sesuai dengan hadits:
“Siapa yang menjual kulit hewan
qurban, maka dia tidak berqurban”
(HR Hakim dan Baihaqi).
Kecuali dihadiahkan kepada
fakir-miskin, atau dimanfaatkan maka dibolehkan. Menurut mazhab Hanafi kulit
hewan qurban boleh dijual dan uangnya disedekahkan. Kemudian uang tersebut
dibelikan pada sesuatu yang bermanfaat bagi kebutuhan rumah tangga.
D. Hukum Memberi Upah Tukang Jagal
Qurban
Sesuatu yang dianggap makruh
mendekati haram juga memberi upah tukang jagal dari hewan qurban. Sesuai dengan
hadits dari Ali ra:
“Rasulullah SAW memerintahkanku
untuk menjadi panitia qurban (unta) dan membagikan kulit dan dagingnya. Dan
memerintahkan kepadaku untuk tidak memberi tukang jagal sedikitpun”.
Ali berkata:” Kami memberi dari uang kami” (HR Bukhari).
E. Sayarat Binatang yang Boleh
Diqurbankan
Para ulama sepakat bahwa hewan qurban
itu adalah unta, sapi, dan kambing. mereka berbeda pendapat tentang mana yang
lebih utama dari hewan-hewan tersebut;
1.
Menurut Malik, urutannya adalah kambing
kibas, sapi lalu unta, kebalikan dari hadyu haji, unta, sapi, lalu kambing
kibas.
2.
Menurut Syafi’I, al-Asyhab,dan Ibnu
Sya’ban, urutannya kebalikan dari pendapat Malik, yaitu unta, sapi, lalu
kambing.
Dengan perbuatan Rasulullah saw. Ada
hadis yang menerangkan bahwa setiap kali Rasulullah saw berkurban selalu berupa
kambing. ini menunjukan bahwa kambing lebih utama. Ada hadis yang bertentangan
dengan hadis diatas, yaitu hadis Bukhari dari Ibnu Umar, ia berkata:
Yang artinya “Rasulullah saw pernah menyembelih qurban ditempat shalat” (HR.
Nasa’i)
Qiyas adalah karena qurban itu
pendekatan diri kepada Allah dengan mengorbankan hewan, maka standar hewannya
adalah hewan yang disembelih dalah haji.
Sedangkan binatang selain itu
seperti burung, ayam dll tidak boleh dijadikan binatang qurban. Allah SWT
berfirman:
Èe@à6Ï9ur 7p¨Bé& $oYù=yèy_ %Z3|¡YtB (#rãä.õuÏj9 zNó$# «!$# 4n?tã $tB Nßgs%yu .`ÏiB ÏpyJÎgt/ ÉO»yè÷RF{$# 3 ö/ä3ßg»s9Î*sù ×m»s9Î) ÓÏnºur ÿ¼ã&s#sù (#qßJÎ=ór& 3 ÎÅe³o0ur tûüÏGÎ6÷ßJø9$# ÇÌÍÈ
“Dan bagi tiap-tiap umat telah Kami
syariatkan penyembelihan (qurban), supaya mereka menyebut nama Allah terhadap
binatang ternak yang telah direzkikan Allah kepada mereka”
(QS
Al-Hajj 34).
Kambing untuk satu orang, boleh
juga untuk satu keluarga. Karena Rasulullah SAW menyembelih dua kambing, satu
untuk beliau dan keluarganya dan satu lagi untuk beliau dan umatnya. Sedangkan
unta dan sapi dapat digunakan untuk tujuh orang, baik dalam satu keluarga atau
tidak, sesuai dengan hadits Rasulullah SAW:
Yang artinya dari Jabir bin Abdullah, berkata “Kami
berqurban bersama Rasulullah SAW di tahun Hudaibiyah, unta untuk tujuh orang
dan sapi untuk tujuh orang” (HR Muslim).
Binatang yang akan diqurbankan hendaknya yang paling
baik, cukup umur dan tidak boleh cacat. Rasulullah SAW bersabda:“Empat macam binatang yang tidak sah
dijadikan qurban: 1. Cacat matanya, 2. sakit, 3. pincang dan 4. kurus yang
tidak berlemak lagi “
(HR Bukhari dan Muslim).
Hadits lain:“Janganlah kamu menyembelih binatang
ternak untuk qurban kecuali musinnah (telah ganti gigi, kupak). Jika sukar
didapati, maka boleh jadz’ah (berumur 1 tahun lebih) dari
domba.”
(HR Muslim).
Musinnah adalah jika pada unta
sudah berumur 5 tahun, sapi umur dua tahun dan kambing umur 1 tahun, domba dari
6 bulan sampai 1 tahun. Dibolehkan berqurban dengan hewan kurban yang mandul,
bahkan Rasulullah SAW berqurban dengan dua domba yang mandul. Dan biasanya
dagingnya lebih enak dan lebih gemuk.
Menurut ijmak ulama, qurban yang
harus dihindari adalah hewan yang cacat atau sakit
Berdasarkan
hadis al-Barra’ bin Azib, Rasulullah saw bersabda”
“Rasulullah saw ditanya tentang qurban yang
harus dihindari, maka beliau bersyarat dengan tangannya dengan mengatakan,
empat. Al-Barra’ bersyarat dengan tangannya dengan mengatakan, “tangan saya
lebih pendek daripada tangan Rasulullah saw. : Hewan yang jelas
timpang/pincang, yang jelas juling/ buta sebelah, yang jelas sakit, dan yang
kurus tanpa sumsum di tulangnya.” (HR. Nasai dan Ibnu Majah)
Para ulama sepakat pula bahwa
apabila empat cacat tersebut tidak keterlaluan, tidak sampai terhalang. Ada dua
hal yang diperselisihkan oleh para ulama, yaitu :
1.
Cacat yang melebihi ketentuan dalam nash
hadis diatas, seperti buta kedua mata dan patah kaki.
2.
Cacat yang senilai dengan nash hadis
diatas namun berbeda bentuk, seperti cacat di telinganya, mata, ekor, gigi geraham,dan
lain-lain anggota jasad yang cacat tersebut tidak ringan.
F. Pembagian Daging Qurban
Orang yang berqurban boleh makan
sebagian daging qurban, sebagaimana firman Allah SWT:“Dan
telah Kami jadikan untuk kamu unta-unta itu sebahagian dari syi`ar Allah, kamu
memperoleh kebaikan yang banyak padanya, maka sebutlah olehmu nama Allah ketika
kamu menyembelihnya dalam keadaan berdiri (dan telah terikat). Kemudian apabila
telah roboh (mati), maka makanlah sebahagiannya dan beri makanlah orang yang
rela dengan apa yang ada padanya (yang tidak meminta-minta) dan orang yang
meminta. Demikianlah Kami telah menundukkan unta-unta itu kepada kamu,
mudah-mudahan kamu bersyukur” (QS Al-Hajj 36).
côç7ø9$#ur $yg»oYù=yèy_ /ä3s9 `ÏiB Îȵ¯»yèx© «!$# ö/ä3s9 $pkÏù ×öyz ( (#rãä.ø$$sù zNó$# «!$# $pkön=tæ ¤$!#uq|¹ ( #sÎ*sù ôMt7y_ur $pkæ5qãZã_ (#qè=ä3sù $pk÷]ÏB (#qßJÏèôÛr&ur yìÏR$s)ø9$# §tI÷èßJø9$#ur 4 y7Ï9ºxx. $yg»tRö¤y öNä3s9 öNä3ª=yès9 tbrãä3ô±s? ÇÌÏÈ
“Dan telah Kami jadikan untuk
kamu unta-unta itu sebahagian dari syi'ar Allah, kamu memperoleh kebaikan yang
banyak padanya, Maka sebutlah olehmu nama Allah ketika kamu menyembelihnya
dalam Keadaan berdiri (dan telah terikat). kemudian apabila telah roboh (mati),
Maka makanlah sebahagiannya dan beri makanlah orang yang rela dengan apa yang
ada padanya (yang tidak meminta-minta) dan orang yang meminta. Demikianlah Kami
telah menundukkan untua-unta itu kepada kamu, Mudah-mudahan kamu bersyukur” (QS. Al-Hajj: 36)
Hadits Rasulullah SAW:“Jika di antara kalian berqurban,
maka makanlah sebagian qurbannya”
(HR Ahmad).
Bahkan dalam hal pembagian
disunnahkan dibagi tiga. Sepertiga untuk dimakan dirinya dan keluarganya,
sepertiga untuk tetangga dan teman, sepertiga yang lainnya untuk fakir miskin
dan orang yang minta-minta. Disebutkan dalam hadits dari Ibnu Abbas menerangkan
qurban Rasulullah SAW bersabda:“Sepertiga untuk memberi
makan keluarganya, sepertiga untuk para tetangga yang fakir miskin dan
sepertiga untuk disedekahkan kepada yang meminta-minta”
(HR Abu Musa Al-Asfahani).
Tetapi orang yang berkurban karena
nadzar, maka menurut mazhab Hanafi dan Syafi’i, orang
tersebut tidak boleh makan daging qurban sedikitpun dan tidak boleh
memanfaatkannya.
G. Waktu Penyembelihan Qurban
Waktu penyembelihan hewan qurban yang
paling utama adalah hari Nahr, yaitu Raya ‘Idul Adha pada
tanggal 10 Zulhijah setelah melaksanakan shalat ‘Idul Adha bagi
yang melaksanakannya. Adapun bagi yang tidak melaksanakan shalat ‘Idul
Adha seperti jamaah haji dapat dilakukan setelah terbit matahari di hari Nahr.
Adapun hari penyembelihan menurut Jumhur ulama, yaitu madzhab Hanafi, Maliki
dan Hambali berpendapat bahwa hari penyembelihan adalah tiga hari, yaitu hari
raya Nahr dan dua hari Tasyrik, yang diakhiri dengan tenggelamnya matahari.
Pendapat ini mengambil alasan bahwa Umar RA, Ali RA, Abu Hurairah RA, Anas RA,
Ibnu Abbas dan Ibnu Umar RA mengabarkan bahwa hari-hari penyembelihan adalah
tiga hari. Dan penetapan waktu yang mereka lakukan tidak mungkin hasil ijtihad
mereka sendiri tetapi mereka mendengar dari Rasulullah SAW (Mughni Ibnu Qudamah
11/114).
Sedangkan mazhab Syafi’i
dan sebagian mazhab Hambali juga diikuti oleh Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa
hari penyembelihan adalah 4 hari, Hari Raya ‘Idul Adha dan 3
Hari Tasyrik. Berakhirnya hari Tasyrik dengan ditandai tenggelamnya matahari.
Pendapat ini mengikuti alasan hadits, sebagaimana disebutkan Rasulullah SAW:
“Semua
hari Tasyrik adalah hari penyembelihan” (HR Ahmad dan
Ibnu Hibban). Berkata Al-Haitsami:” Hadits ini para
perawinya kuat”.
Dengan adanya hadits shahih ini, maka pendapat yang kuat adalah pendapat mazhab
Syafi’i.
Mengenai waktu penyembelihan qurban dijelaskan dalam
hadits berikut,
وسلم عليه الله صلى النَّبِىُّ قَالَ قَالَ عنه الله رض مَالِكٍ
بْنِ أَنَسِ عَنْ
مَنْ ذَبَحَ قَبْلَ الصَّلاَةِ فَإِنَّمَا ذَبَحَ لِنَفْسِهِ
، وَمَنْ ذَبَحَ بَعْدَ الصَّلاَةِ فَقَدْ تَمَّ نُسُكُهُ ، وَأَصَابَ سُنَّةَ الْمُسْلِمِينَ
Dari
Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Barangsiapa yang
menyembelih qurban sebelum shalat (Idul Adha), maka ia berarti menyembelih
untuk dirinya sendiri. Barangsiapa yang menyembelih setelah shalat (Idul Adha),
maka ia telah menyempurnakan manasiknya dan ia telah melakukan sunnah kaum
muslimin.”
Dari Jundab, ia menyaksikan Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam lalu beliau berkhutbah dan bersabda, “Barangsiapa yang menyembelih sebelum shalat ‘ied, hendaklah ia
mengulanginya. Dan yang belum menyembelih, hendaklah ia menyembelih dengan menyebut
‘bismillah’.”
Imam Nawawi rahimahullah dalam Syarh Muslim (13:
110) berkata, “Adapun waktu berqurban, hendaklah qurban itu disembelih setelah
shalat bersama imam. Demikian qurban tersebut dikatakan sah. Sebagaimana kata
Ibnul Mundzir, “Para ulama sepakat bahwa udhiyah (qurban) tidaklah boleh
disembelih sebelum terbit fajar pada hari Idul Adha.” Sedangkan waktu setelah itu (setelah terbit fajar), para ulama
berselisih pendapat. Imam Syafi’i, Daud (Azh Zhohiriy), Ibnul Mundzir dan
selain mereka berpendapat bahwa waktu penyembelihan qurban itu masuk jika
matahari telah terbit dan lewat sekitar shalat ‘ied dan dua khutbah
dilaksanakan. Jika qurban disembelih setelah waktu itu, sahlah qurbannya, baik
imam melaksanakan shalat ‘ied ataukah tidak, baik imam melaksanakan shalat
Dhuha ataukah tidak, begitu pula baik yang melaksanakan qurban adalah penduduk
negeri atau kampung atau bawadi atau musafir, juga baik imam telah menyembelih
qurbannya ataukah belum. …”
Adapun hadits,
“Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan barangsiapa yang berqurban sebelum
beliau berqurban, maka hendaklah ia mengulangi qurbannya. Janganlah berqurban
sampai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berqurban.”
Hadits ini menjadi alasan bagi Imam Malik bahwa
tidak sah qurban kecuali setelah imam menyembelih qurbannya. Imam Nawawi
menyanggah alasan ini dengan perkataan, “Jumhur (mayoritas) ulama memahami
hadits tersebut bahwa maksudnya adalah larangan keras bagi orang yang
terburu-buru menyembelih qurban sebelum waktunya. Karena dalam hadits lainnya
dikaitkan hal tersebut dengan shalat. Yaitu siapa yang menyembelih setelah
shalat ‘ied, maka sah. Siapa yang menyembelih sebelumnya, maka tidaklah sah.”
H.
Menyembelih
Qurban Pada Waktu Malam Hari
1. Menurut
Maliki, tidak boleh.
2. Menurut
Syafi’i dan segolongan ulama, boleh.
Perbedaan tersebut berasal dari penerapan istilah
hari. Menurut istilah Arab, hari itu adakalanya:
a. Meliputi
siang dan malam, seperti firman Allah : QS. Hud :65
$ydrãs)yèsùtA$s)sù(#qãèGyJs?ÎûöNà2Í#yspsW»n=rO5Q$r&(Ï9ºsîôãurçöxî5>räõ3tBÇÏÎÈ
“mereka membunuh unta itu, Maka berkata
Shaleh: "Bersukarialah kamu sekalian di rumahmu selama tiga hari, itu
adalah janji yang tidak dapat didustakan." (QS.
Hud; 65)
b. Meliputi
siang saja tanpa malam, seperti firman Allah :QS. Al-Haqqah:7
$ydt¤yöNÍkön=tãyìö7y5A$us9spuÏY»yJrOurBQ$r&$YBqÝ¡ãmutIsùtPöqs)ø9$#$pkÏù4Ótç÷|ÀöNåk¨Xr(x.ã$yfôãr&@@øwU7ptÍr%s{ÇÐÈ
“yang
Allah menimpakan angin itu kepada mereka selama tujuh malam dan delapan hari
terus menerus; Maka kamu Lihat kaum 'Aad pada waktu itu mati bergelimpangan
seakan-akan mereka tunggul pohon kurma yang telah kosong (lapuk)”.
(QS. Al-Haqqah :7 )
Ulama yang mengartikan hari dalam ayat tersebut
hanya meliputi siang saja, tanpa malam, berpendapat bahwa tidak boleh menyembelih
kurban malam hari.Seandainya arti itu dipilih salah satu antara siang dan
malam, tentu lebih tepat siang.Namun seandainya hanya diartikan siang saja,
tidaklah terlarang untuk melakukannya pada malam hari.Kalau terlarang pada
malam hari, berarti mempertentangkan antara dalil khithab dengan pemahaman
kita, dan begini ini lemah.
Ulama mutakkalimin tidak ada yang menempuh cara itu
kecuali Ad-Daqqaq saja. Sedangkan pada siang hari sudah jelas boleh.Namun, yang
memperbolehkan menyembelih pada malam hari juga mempunyai dalil.
Bolehnya Menyembelih Qurban di
Siang atau pun Malam Hari ?
Menyembelih
qurban dibolehkan di siang atau malam hari. Akan tetapi, disunnahkan
menyembelihnya di siang hari agar lebih baik dalam penyembelihan dan orang-orang
miskin pun bisa hadir.
Imam
Nawawi berkata, “Para ulama berselisih pendapat mengenai bolehnya berqurban di
malam hari dari malam-malam qurban (hari Idul Adha dan hari tasyriq). Imam
Syafi’i sendiri membolehkan namun menilainya makruh. Demikian pula dikatakan
oleh Abu Hanifah, Ahmad, Ishaq, Abu Tsaur dan jumhur. Imam Malik pun
berpendapat demikian dalam pendapat yang masyhur dari beliau dan para
pengikutnya. Sedangkan salah satu pendapat dari Imam Ahmad menyatakan tidak
sahnya penyembelihan di malam hari bahkan dianggap seperti daging biasa (bukan
qurban).”
Yang
benar adalah masih bolehnya penyembelihan di malam hari. Alasan ulama yang
tidak membolehkan, sebagaimana firman Allah dalam QS al-Hajj: 28
(#rßygô±uÏj9 yìÏÿ»oYtB öNßgs9 (#rãà2õtur zNó$# «!$# þÎû 5Q$r& BM»tBqè=÷è¨B 4n?tã $tB Nßgs%yu .`ÏiB ÏpyJÎgt/ ÉO»yè÷RF{$# ( (#qè=ä3sù $pk÷]ÏB (#qßJÏèôÛr&ur }§Í¬!$t6ø9$# uÉ)xÿø9$# ÇËÑÈ
“Supaya mereka menyaksikan
berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari
yang telah ditentukan atas rezki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa
binatang ternak. Maka makanlah sebahagian daripadanya dan (sebahagian lagi)
berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara dan fakir. (QS. Al-Hajj: 28)
Dalam
hadits juga disebutkan,
أَيَّامُ
التَّشْرِيقِ كُلُّهَا ذَبْحٌ
“Hari-hari tasyriq semuanya adalah
waktu penyembelihan.”
I.
Akhir
Waktu Penyembelihan Qurban
Sebagaimana
keterangan dari Syaikh Musthofa Al ‘Adawi hafizhohullah, “Adapun waktu akhir
dari penyembelihan qurban, maka tidak ada hadits yang shahih dari Rasul
shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai hal itu. Oleh karena itu, para ulama
berselisih pendapat mengenai akhir waktunya. Ada 4 pendapat dalam masalah ini:
1. Waktu
penyembelihan qurban hanya pada hari Idul Adha saja (10 Dzulhijjah). Pendapat
ini jelas alasannya. Dan tidak ada khilaf jika waktu penyembelihannya pada 10
Dzulhijjah setelah shalat ‘ied menurut pendapat jumhur (mayoritas) ulama.
Sedangkan menurut pendapat lainnya, penyembelihan pada hari tersebut dilakukan
setelah imam menyembelih qurban.
2. Waktu
penyembelihannya pada hari Idul Adha (10 Dzulhijjah) dan 2 hari setelahnya (11
dan 12 Dzulhijjah). Tidak ada dalil shahih yang marfu’ (sampai pada Nabi
-shallallahu ‘alaihi wa sallam-) selain atsar dari Ibnu ‘Umar yang mauquf (hanya
perkataan Ibnu ‘Umar) yang menyatakan bolehnya sampai dua hari setelah Idul
Adha. Ada atsar dari beliau yang menjelaskan tafsiran ‘ayyam ma’lumaat’ (hari
tertentu sebagaimana disebut dalam surat Al Hajj ayat 28) dan termasuk di
dalamnya hari ke-11 dan 12 Dzulhijjah. Akan tetapi atsar ini dho’if.
3. Waktu
penyembelihan qurban pada hari Idul Adha dan 3 hari tasyriq setelahnya (11, 12,
dan 13 Dzulhijjah). Dasar pendapat ini adalah hadits dho’if dan mereka qiyaskan
dengan hadyu.
4. Waktu
penyembelihan qurban adalah sampai akhir Dzulhijjah. Inilah pendapat Ibnu Hazm,
namun dasar yang digunakan adalah hadits dho’if. Ada pendapat demikian pula
mengenai hadyu, namun pendalilannya dho’if.
Yang hati-hati bagi seseorang muslim bagi agamanya
adalah melaksanakan penyembelihan qurban pada hari Idul Adha (10 Dzulhijjah)
sebagaimana yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lakukan dan hal ini
lebih selamat dari perselisihan para ulama yang ada. Jika sulit melakukan pada
waktu tersebut, maka boleh melakukannya pada 11 dan 12 Dzulhijjah sebagaimana
pendapat jumhur (mayoritas) ulama.
J. Tata Cara Penyembelihan Qurban
Berqurban sebagaimana definisi di
atas yaitu menyembelih hewan qurban, sehingga menurut jumhur ulama tidak boleh
atau tidak sah berqurban hanya dengan memberikan uangnya saja kepada fakir
miskin seharga hewan qurban tersebut, tanpa ada penyembelihan hewan qurban.
Karena maksud berqurban adalah adanya penyembelihan hewan qurban kemudian
dagingnya dibagikan kepada fakir miskin. Dan menurut jumhur ulama yaitu mazhab
Imam Malik, Ahmad dan lainnya, bahwa berqurban dengan menyembelih kambing jauh
lebih utama dari sedekah dengan nilainya. Dan jika berqurban dibolehkan dengan
membayar harganya akan berdampak pada hilangnya ibadah qurban yang disyariatkan
Islam tersebut. Adapun jika seseorang berqurban, sedangkan hewan qurban dan
penyembelihannya dilakukan ditempat lain, maka itu adalah masalah teknis yang
dibolehkan. Dan bagi yang berqurban, jika tidak bisa menyembelih sendiri
diutamakan untuk menyaksikan penyembelihan tersebut, sebagaimana hadits riwayat
Ibnu Abbas RA:
“Hadirlah ketika kalian menyembelih
qurban, karena Allah akan mengampuni kalian dari mulai awal darah keluar”.
Ketika seorang muslim hendak
menyembelih hewan qurban, maka bacalah: “Bismillahi
Wallahu Akbar, ya Allah ini qurban si Fulan (sebut namanya), sebagaimana yang
dilakukan oleh Rasulullah SAW:
“Bismillahi Wallahu Akbar, ya Allah
ini qurban dariku dan orang yang belum berqurban dari umatku” (HR Abu Dawud
dan At-Tirmidzi).
Bacaan boleh ditambah sebagaimana Rasulullah
SAW memerintahkan pada Fatimah AS:
“Wahai Fatimah, bangkit dan
saksikanlah penyembelihan qurbanmu, karena sesungguhnya Allah mengampunimu
setiap dosa yang dilakukan dari awal tetesan darah qurban, dan katakanlah:”
Sesungguhnya shalatku, ibadah (qurban) ku, hidupku dan matiku lillahi rabbil ‘alamiin,
tidak ada sekutu bagi-Nya. Dan oleh karena itu aku diperintahkan, dan aku
termasuk orang yang paling awal berserah diri”
(HR Al-Hakim dan Al-Baihaqi)
K.
Hikmah
Qurban
Adapun hikmah yang bisa di dapat dalam
pelaksaan quban, diantaranya ;
1.
Menambah
cintanya kepada Allah SWT
2.
Akan menambah keimanannya kepada Allah SWT
3.
Dengan
berkurban, berarti seseorang telah bersyukur kepada Allah SWT atas segala
rahmat dan karunia yang telah dilimpahkan pada dirinya.
4.
Dengan
berkurban, berarti seseorang telah berbakti kepada orang lain, dimana tolong
menolong, kasih mengasihi dan rasa solidaritas dan toleransi memang dianjurkan
oleh agama Islam.
2.3.
Bolehkah
Satu Sembelihan Untuk Qurban dan Aqiqah
Mengenai permasalahan menggabungkan
niat udh-hiyah (qurban) dan aqiqah, para ulama memiliki beda
pendapat.
1.
Pendapat
pertama: Udh-hiyah (qurban) tidak boleh digabungkan dengan aqiqah.
Pendapat ini adalah pendapat ulama Malikiyah, Syafi’iyah dan salah satu
pendapat dari Imam Ahmad.
Alasan
dari pendapat pertama ini karena aqiqah dan qurban memiliki sebab dan maksud
tersendiri yang tidak bisa menggantikan satu dan lainnya. ‘Aqiqah dilaksanakan
dalam rangka mensyukuri nikmat kelahiran seorang anak, sedangkan qurban
mensyukuri nikmat hidup dan dilaksanakan pada hari An Nahr (Idul
Adha).
Al Haitami –salah seorang ulama Syafi’iyah-
mengatakan, “Seandainya seseorang berniat satu kambing untuk qurban dan ‘aqiqah
sekaligus maka keduanya sama-sama tidak teranggap. Inilah yang lebih tepat karena
maksud dari qurban dan ‘aqiqah itu berbeda.” Ibnu Hajar Al Haitami Al Makkiy
dalam Fatawa Kubronya menjelaskan, “Sebagaimana pendapat ulama madzhab kami
sejak beberapa tahun silam, tidak boleh menggabungkan niat aqiqah dan qurban.
Alasannya, karena yang dimaksudkan dalam qurban dan aqiqah adalah dzatnya
(sehingga tidak bisa digabungkan dengan lainnya.
Begitu
pula keduanya memiliki sebab dan maksud masing-masing. Udh-hiyah (qurban)
sebagai tebusan untuk diri sendiri, sedangkan aqiqah sebagai tebusan untuk anak
yang diharap dapat tumbuh menjadi anak sholih dan berbakti, juga aqiqah
dilaksanakan untuk mendoakannya.”
2.
Pendapat kedua: Penggabungan qurban dan
‘aqiqah itu dibolehkan. Menurut pendapat ini, boleh melaksanakan qurban
sekaligus dengan niat ‘aqiqah atau sebaliknya. Inilah salah satu pendapat dari
Imam Ahmad, pendapat ulama Hanafiyah, pendapat Al Hasan Al Bashri, Muhammad bin
Sirin dan Qotadah.
Al
Hasan Al Bashri mengatakan, “Jika seorang anak ingin disyukuri dengan qurban,
maka qurban tersebut bisa jadi satu dengan ‘aqiqah.” Hisyam dan Ibnu Sirin
mengatakan, “Tetap dianggap sah jika qurban digabungkan dengan ‘aqiqah.” Al
Bahuti –seorang ulama Hambali- mengatakan, “Jika waktu aqiqah dan penyembelihan
qurban bertepatan dengan waktu pelaksanaan qurban, yaitu hari ketujuh kelahiran
atau lainnya bertepatan dengan hari Idul Adha, maka boleh melakukan aqiqah
sekaligus dengan niat qurban atau melakukan qurban sekaligus dengan niat
aqiqah. Sebagaimana jika hari ‘ied bertepatan dengan hari Jum’at, kita melaksanakan
mandi jum’at sekaligus dengan niat mandi ‘ied atau sebaliknya.”
Pendapat
ini juga dipilih oleh Syaikh Muhammad bin Ibrahim rahimahullah. Beliau
mengatakan, “Jika qurban dan ‘aqiqah digabungkan, maka cukup dengan satu
sembelihan untuk satu rumah. Jadi, diniatkan qurban untuk dirinya, lalu qurban
itu juga diniatkan untuk ‘aqiqah.
Sebagian
mereka yang berpendapat demikian, ada yang memberi syarat bahwa aqiqah dan
qurban itu diatasnamakan si kecil. Pendapat yang lainnya mengatakan bahwa tidak
disyaratkan demikian. Jika seorang ayah berniat untuk berqurban, maka dia juga
langsung boleh niatkan aqiqah untuk anaknya.”
Intinya,
Syaikh Muhammad bin Ibrahim membolehkan jika qurban diniatkan sekaligus dengan
aqiqah. Point Penting dalam Penggabungan Niat Perlu diketahui terlebih dahulu
bahwa penggabungan niat diperbolehkan jika memang memenuhi dua syarat:
1)
Kesamaan jenis.
2)
Ibadah tersebut bukan ibadah yang
berdiri sendiri, artinya ia bisa diwakili oleh ibadah sejenis lainnya.
Kami
contohkan di sini, bolehnya penggabungan niat shalat tahiyatul masjid dengan
shalat sunnah rawatib. Dua shalat ini jenisnya sama yaitu sama-sama shalat
sunnah. Mengenai shalat tahiyatul masjid, Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
“Jika
salah seorang dari kalian memasuki masjid, maka janganlah dia duduk sampai dia
mengerjakan shalat sunnah dua raka’at (shalat sunnah tahiyatul masjid).”
Maksud
hadits ini yang penting mengerjakan shalat sunnah dua raka’at ketika memasuki
masjid, bisa diwakili dengan shalat sunnah wudhu atau dengan shalat sunnah
rawatib. Shalat tahiyatul masjid bukan dimaksudkan dzatnya. Asalkan seseorang
mengerjakan shalat sunnah dua raka’at (apa saja shalat sunnah tersebut) ketika
memasuki masjid, ia berarti telah melaksanakan perintah dalam hadits di atas.
Namun
untuk kasus aqiqah dan qurban berbeda dengan shalat sunnah awatib dan shalat
sunnah tahiyatul masjid. Qurban dan aqiqah memang sama-sama sejenis yaitu
sama-sama daging sembelihan. Namun keduanya adalah ibadah yang berdiri sendiri
dan tidak bisa digabungkan dengan lainnya. Qurban untuk tebusan diri sendiri,
sedangkan aqiqah adalah tebusan untuk anak. Lihat kembali penjelasan Ibnu Hajar
Al Makki di atas.
Jalan
Keluar dari Masalah Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin pernah ditanya
mengenai hukum menggabungkan niat udh-hiyah (qurban) dan ‘aqiqah, jika Idul
Adha bertepatan dengan hari ketujuh kelahiran anak?
Syaikh rahimahullah menjawab, “Sebagian ulama berpendapat, jika hari
Idul Adha bertepatan dengan hari ketujuh kelahiran anak, kemudian dilaksanakan
udh-hiyah (qurban), maka tidak perlu lagi melaksanakan aqiqah (artinya qurban
sudah jadi satu dengan aqiqah, pen). Sebagaimana pula jika seseorang masuk
masjid dan langsung melaksanakan shalat fardhu, maka tidak perlu lagi ia
melaksanakan shalat tahiyatul masjid. Alasannya, karena dua ibadah tersebut
adalah ibadah sejenis dan keduanya bertemu dalam waktu yang sama. Maka satu
ibadah sudah mencakup ibadah lainnya. Akan tetapi, saya sendiri berpandangan
bahwa jika Allah memberi kecukupan rizki, (ketika Idul Adha bertepatan dengan
hari aqiqah), maka hendaklah ia berqurban dengan satu kambing, ditambah
beraqiqah dengan satu kambing (jika anaknya perempuan) atau beraqiqah dengan
dua kambing (jika anaknya laki-laki).”
Dari
dua pendapat di atas, kami lebih condong pada pendapat pertama yang menyatakan
bahwa penggabungan niat antara aqiqah dan qurban tidak diperbolehkan, karena
walaupun ibadahnya itu sejenis namun maksud aqiqah dan qurban adalah dzatnya
sehingga tidak bisa digabungkan dengan yang lainnya. Pendapat pertama juga
lebih hati-hati dan lebih selamat dari perselisihan yang ada.
Jika
memang aqiqah bertepatan dengan qurban pada Idul Adha, maka sebaiknya dipisah
antara aqiqah dan qurban.
Jika
mampu ketika itu, laksanakanlah kedua-duanya. Artinya laksanakan qurban dengan
satu kambing atau ikut urunan sapi, sekaligus laksanakan aqiqah dengan dua
kambing (bagi anak laki-laki) atau satu kambing (bagi anak perempuan).
Jika
tidak mampu melaksanakan aqiqah dan qurban sekaligus, maka yang lebih
didahulukan adalah ibadah udh-hiyah (qurban) karena waktunya bertepatan dengan
hari qurban dan waktunya cukup sempit. Jika ada kelapangan rizki lagi, barulah
ditunaikan aqiqah.
3.1.
DAFTAR
PUSTAKA
Mawsu’ah Al Fiqhiyyah
Al Kuwaitiyyah, 2/1526, Multaqo Ahlul Hadits. Tuhfatul Muhtaj Syarh Al
Minhaj, 41/172, Mawqi’ Al Islam.
Al Fatawa Al Fiqhiyah
Al Kubro, 9/420, Mawqi’ Al Islam
Mushonnaf Ibnu Abi Syaibah, 5/116,
Maktabah Ar Rusyd, cetakan pertama, tahun 1409 H.
Syarh Muntahal Irodaat, 4/146,
Mawqi’ Al Islam.
Fatawa wa Rasa-il Syaikh Muhammad
bin Ibrahim, 6/136, Asy Syamilah
HR. Bukhari no. 1163 dan Muslim no.
714, dari Abu Qotadah.
Majmu’ Fatawa wa Rosail Al
‘Utsaimin, 25/287-288, Darul Wathon-Dar Ats Tsaroya, cetakan terakhir, tahun
1413 H.
Dedih, Ujang, 2013, Fiqih Ibadah, Bandung: CV Insan Mandiri
Rajid Sulaiman, 2013, Fiqih Islam, Bandung: Sinar Baru
Algensindo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar