BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar
Belakang Masalah
Korupsi, Kolusi, Nepotisme (KKN) dan Suap di Indonesia bukan lagi merupakan sebuah
fenomena, melainkan sudah merupakan fakta yang terkenal di mana-mana. Kini, setelah rezim
otoriter Orde Baru tumbang, tampak jelas bahwa praktik KKN selama ini terbukti
telah menjadi tradisi dan budaya yang keberadaannya meluas, berurat akar dan
menggurita dalam masyarakat serta sistem birokrasi Indonesia, mulai dari pusat
hingga lapisan kekuasaan yang paling bawah.
Korupsi, Kolusi, dan
Nepotisme (KKN) akhir-akhir ini dianggap sebagai wujud paling buruk dan paling
ganas dari gejala kemerosotan moral dari kehidupan masyarakat dan bernegara di
negeri kita. KKN adalah produk dari relasi sosial-politik dan ekonomi yang
pincang dan tidak manusiawi. Relasi yang dikembangkan adalah relasi yang
diskriminatif, alienatif, tidak terbuka, dan meleceh-kan kemanusiaan. Kekuasaan
dianggap sebagai sebuah privilege bagi kelompok kecil
tertentu, serta bersifat tertutup dan menempatkan semua bagian yang lain
sebagai objek yang tak punya akses untuk berpartisipasi. Setiap bentuk
kekuasaan baik politik, sosial, maupun ekonomi yang tertutup akan menciptakan
hukum-hukumnya sendiri demi melayani kepentingan penguasa yang eksklusif. Kekuasaan
yang tertutup semacam ini merupakan lahan subur yang bisa menghasilkan panen
KKN yang benar-benar melimpah.
Berbicara tentang
korupsi dan kolusi di negeri kita saat ini sangat tidak asing lagi dan bahkan
sering disorot oleh media masa, seakan korupsi dan kolusi menjadi makanan yang
empuk bagi para pejabat baik tingkat daerah maupun nasional. Kendati sudah ada institusi Negara yang sangat
besar yang khusus mengatasi korupsi, namun masih banyak mereka masih tetap tenang
untuk makan uang haram ini. Adapun menurut hukum islam sudah jelas itu hukumnya
haram dan banyak hadis-hadis Nabi yang menerangkan tentang hal itu.
عَنْ بُرَ يْدَةَعَنْ أَبِيهِ عَنْ النَّبِيِّ
صَلَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَا لَ مَنْ اسْتَعْمَلْنَا هُ عَلى عَمَلٍ
فَرَزَقْنَاهُ رِزْقًا فَمَا أَخَذَ بَعْدَ ذَلِكَ فَهُوَ غُلُولٌ [رواه أبو داود]
Artinya: “Diriwayatkan
dari Abdullah Ibn Buraidah dari ayahnya dari Nabi SAW, beliau bersabda:
“barangsiapa yang telah kami angkat
sebagai pegawai dalam suatu jabatan, kemudian kami berikan gaji, maka sesuatu yang diterima
diluar gaji itu adalah korupsi. (HR. Abu Daud)
Persoalannya adalah
dapatkah korupsi diberantas? Tidak ada jawaban lain jika bangsa kita ingin
maju, jawabanya adalah korupsi harus diberantas. Jika kita tidak berhasil
memberantas korupsi, atau paling tidak dapat mengurangi kasus-kasus korupsi
sampai pada titik yang paling rendah maka jangan harap Negara ini akan mampu
mengejar ketertinggalannya dibandingkan negara lain untuk menjadi sebuah negara
yang maju. Karena korupsi membawa dampak negatif yang cukup luas dan dapat
membawa negara ke jurang kehancuran.
Dalam
islam KKN tersebut merupakan pelanggaran atau penyelewengan amanah yang harus
dipertanggungjawabkan di akhirat nanti. Mengingat pentingnya kestabilan sosial,
tindakan-tindakan tersebut harus dibrantas sedemikian rupa terlebih lagi
apabila mengingat kita sebagai kaum muslimin.
Berkenaan
dengan itu, kami dari kelompok delapan akan membahas tentang “larangan korupsi,
kolusi, nepotisme dan suap.
1.2.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar belakang
diatas , maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut :
1. Apakah Pengertian KKN dan Suap?
2. Bagaimana Pandangan Al-Quran dan Hadits Terhadap KKN dan Suap?
3. Seperti Apa Kriteria Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme ?
4. Bagaimana Dampak KKN Terhadap Kehidupan Bangsa dan Negara?
5. Bagaimana upaya-upaya yang di lakukan dalam meyikapi KKN ?
1.3.
Tujuan Penulisan
1. Untuk Mengetahui Pengertian KKN dan Suap.
2. Untuk Mengetahui Bagaimana Pandangan Al-Quran dan Hadits Terhadap KKN dan
Suap.
3. Untuk Mengetahui Seperti Apa Kriteria Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
4. Untuk Mengetahui Bagaimana Dampak KKN Terhadap Kehidupan Bangsa dan Negara.
5. Untuk Mengetahui bagaimana
upaya-upaya yang bisa
di lakukan dalam meyikapi KKN ?
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1.
Pengertian
Korupsi, Kolusi dan Nepotisme
a)
Pengertian
Korupsi
Menurut KBBI kata
korupsi berasal dari bahasa inggris , yaitu corruption, yang artinya
penyelewengan atau penggelapan uang negara atau perusahaan dan sebagainya,
untuk kepentingan pribadi atau orang lain.
Menurut JW. Schoorl : Korupsi adalah penggunaan
kekuasaan negara untuk memperoleh penghasilan , keuntungan, atau prestise
perorangan atau untuk memberi keuntungan bagi sekelompok orang atau suatu kelas
sosial dengan cara yang bertentangan dengan undang-undang atau dengan norma
akhlak yang tinggi. (
http://www.google.com
tgl 21 maret jam 11.00).
Menurut Ani Ramayanti korupsi adalah suatu perilaku dosa besar yang dilakukan
oleh seseorang dengan memakan harta yang bukan miliknya dan digunakan untuk
kepentingan dirinya sendiri yang pelakunya tidak pernah memikirkan nasib orang
lain serta tidak memiliki hati nurani.
Dalam Al-Qur’an
surat Al-Baqarah ayat 188 Allah SWT berfirman:
وَلاَ تَأْكُلُوْا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوْا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوْا فَرِيْقًا مِنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالْاِثْمِ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ.
"Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di
antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta
itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda
orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui."
b) Pengertian Kolusi
Menurut KBBI kata
kolusi berasal dari bahasa inggris , yaitu collution, artinya: kerja sama rahasia untuk maksud
tidak terpuji.
Menurut Undang-Undang No. 28 Tahun 1999 pasal 1 ayat 4, kolusi adalah
pemufakatan atau kerja sama secara melawan hukum antara Penyelenggara negara
atau dengan pihak lain yang merugikan orang lain, masyarakat dan Negara.
Menurut Andrea Maulana kolusi adalah suatu rencana bejat untuk melaksanakan
tindakan yang bejat pula. Dari sana dapat disimpulkan bahwa kolusi merupakan bentuk
kerja sama rahasia yang bertujuan untuk merugikan orang lain, masyarakat dan
negara.
c) Pengertian Nepotisme
Kata nepotisme berasal dari bahasa inggris, yaitu nepotism,
artinya : kecenderungan untuk mengutamakan ( menguntungkan ) sanak saudara
sendiri, terutama dalam jabatan , pangkat di lingkungan pemerintah, atau
tindakan memilih kerabat atau sanak saudara sendiri untuk memegang
pemerintahan.
Menurut JW.Schoorl nepotisme adalah praktik seorang
pegawai negeri yang mengangkat seorang atau lebih dari keluarga dekatnya
menjadi pegawai pemerintah atau memberi perlakuan yang istimewa kepada mereka
denga maksud untuk menjunjung nama keluarga, untuk menambah penghasilan keluarga,
atau untuk membantu menegakan suatu organisasi politik, sedang ia seharusnya
mengabdi kepada kepentingan umum. (http://www.google.com tanggal 21 Maret jam 11.00).
Menurut Elih Rohayati nepotisme adalah suatu perbuatan yang licik yang
selalu mementingkan atas nama keluarganya untuk menduduki jabatan pemerintahan.
Dari sana dapat di simpulkan bahwa nepotisme adalah suatu perbuatan yang mengutamakan
sanak saudara sendiri dalam jabatan untuk menguasai pemerintahan.
Dalam hadits At-Tirmidzi berkenaan tentang korupsi
:
حَدَّثَنَا إِسْحَقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ حَدَّثَنَا وَهْبُ بْنُ
جَرِيرِ بْنِ حَازِمٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ يَعْلَى بْنِ حَكِيمٍ عَنْ أَبِي لَبِيدٍ
عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ سَمُرَةَ قَالَ نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ النُّهْبَةِ قَالَ أَبُو مُحَمَّد هَذَا فِي
الْغَزْوِ إِذَا غَنِمُوا قَبْلَ أَنْ يُقْسَمَ
Artinya : “Telah menceritakan
kepada kami Ishaq bin Ibrahim telah menceritakan kepada kami Wahb bin Jarir bin
Hazim dari Ayahnya dari Ya'la bin Hakim dari Abu Labid dari Abdurrahman bin
Samurah, ia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melarang korupsi
(merampas harta orang lain tanpa hak)." Abu Muhammad berkata; "Ini
berlaku ketika dalam peperangan, yaitu ketika mereka mendapatkan rampasan
perang sebelum dibagikan."
Dari ungkapan-ungkapan diatas, dapat disimpulkan
bahwa korupsi, kolusi, nepotisme dan suap adalah tindakan atau perbuatan memanfaatkan
jabatan atau kedudukan untuk mendapatkan keuntungan, baik material atau
prestise bagi pribadi atau keluarga atau kelompok, tanpa melihat kapabilitas ,
profesionalitas dan moralitas dengan jalan melanggar ketentuan-ketentuan yang
ada yangb akibatnya merugikan orang lain, masyarakat, bangsa dan negara.
2.2.
Pandangan
Islam Terhadap Korupsi, Kolusi dan Nepotisme
Pandangan islam terhadap KKN adalah merupakan hal yang harus diperhatikan oleh segenap
kaum muslimin diseluruh dunia. Nabi mengapresiasi bagi siapa saja kaum yang
mampu menghindari dirinya dari prilaku tercela tersebut. Dalam hadits tirmidzi
dikatakan bahwa :
حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ يَعْقُوبَ وَغَيْرُ وَاحِدٍ قَالُوا
حَدَّثَنَا وَهْبُ بْنُ جَرِيرٍ حَدَّثَنَا أَبِي قَال سَمِعْتُ عَبْدَ اللَّهِ
بْنَ مَلَاذٍ يُحَدِّثُ عَنْ نُمَيْرِ بْنِ أَوْسٍ عَنْ مَالِكِ بْنِ مَسْرُوحٍ
عَنْ عَامِرِ بْنِ أَبِي عَامِرٍ الْأَشْعَرِيِّ عَنْ أَبِيهِ قَالَ: قَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نِعْمَ الْحَيُّ الْأَسْدُ
وَالْأَشْعَرِيُّونَ لَا يَفِرُّونَ فِي الْقِتَالِ وَلَا يَغُلُّونَ هُمْ مِنِّي
وَأَنَا مِنْهُمْ
(TIRMIDZI - 3882) : Telah
menceritakan kepada kami Ibrahim bin Ya'qub dan yang lain, mereka berkata;
telah menceritakan kepada kami Wahb bin Jarir telah menceritakan kepada kami
ayahku dia berkata; saya mendengar Abdullah bin Maladz bercerita dari Numair
bin Aus dari Malik bin Masruh dari 'Amir bin Abu 'Amir Al Asy'ari dari ayahnya
dia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Sebaik-baik penduduk adalah (penduduk) Bani Asad dan Asy'ariyyin, mereka
tidak lari dari peperangan dan tidak pula korupsi (menyembunyikan harta
rampasan), mereka dari bagianku dan aku termasuk dari bagian mereka”.
1.
Dalam persfektif
Al-Qur’an dan Hadits
Islam sebagai agama rahmatan lil alamin mengindahkan kejujuran, keadilan,
kebijksanaan dan menjalankan amanah sebaik mungkin. Dan perilaku-perilaku
tersebut harus mampu di cerminkan dari para pemeluk agama Islam, bukan malah
menyelewengkan amanah tersebut. Allah SWT berfirman dalam Surah Al-Baqarah/ 2 : 188
"Dan janganlah kamu makan harta diantara kamu dengan
jalan yang bathil, dan (janganlah) kamu menyuap dengan harta itu kepada para
hakim, dengan maksud agar kamu dapat memakan sebagian harta orang lain itu
dengan jalan dosa, padahal kamu mengetahui. ( Al-Baqarah/2 : 188)”.
Dari ayat tersebut jelaslah Allah SWT sangan melarang bahkan mengharamkan
korupsi dengan memakan harta rakyat yang bukan hak kita. Agama Islam mengakui adanya hak milik pribadi yang
berhak mendapat perlindungan dan tidak boleh diganggu gugat. Alangkah baiknya apabila seorang pejabat atau pemimpin mampu menjaga
amanah yang telah di berikan dengan tidak melakukan hal-hal yang dapat
merugikan rakyatnya sendiri.
Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an Surah
Ali Imran / 3: 161
“Dan
tidak mungkin seorang nabi berkhianat ( dalam urusan harta rampasan perang).
dikhianatkanya itu. Kemudian setiap orang akan diberi balasan yang sempurna
sesuai dengan apa yang dilakukannya, dan mereka tidak dizalimi” (
Ali Imran/ 3 : 161).
Nabi Muhammad SAW telah menetapkan suatu peraturan,
bahwa setiap kembali dari peperangan , semua harta rampasan baik yang kecil maupun yang besar harus dilaporkan dan
dikumpulkan dihadapan panglima perang, kemudian Rasulullah SAW membaginya
sesuai dengan ketentuan bahwa 1/5 dari harta rampasan perang itu untuk Allah ,
Rasul, dan kerabatnya , anak yatim, orang miskin , dan ibnu sabil. Sedangkan
sisanya 4/5 diberikan kepada mereka yang ikut perang.
Nabi Muhammad SAW tidak pernah menggunakan jabatan
sebagai panglima perang untuk mengambil harta rampasan diluar dari ketentuan
itu. Maka dari itu kita sebagai umat Nabi Muhammad SAW ,
dilarang untuk berkhianat dalam urusan sekecil apapun agar tidak ada pihak yang
dirugikan. Sesungguhnya Allah SWT Maha mengetahui apa yang tidak manusia
ketahui (Hamidy, 1986:23)
Dalam hadits-hadits Nabi SAW banyak pula menyebutkan larangan berkhianat
(korupsi) dan suap, antara lain :
Sabda
Rasulullah SAW :
اعظم الغلول عندالله ذراع من الأرضو تجدون الرجلين جارين في الأرضو او في
الدار فيقطع احدهما من حظ صاحبه ذراعاو فاذا قطعه طوقه من سبع ارضين يوم القيامة.
( رواه احمد عن ابى مالك الأشجعى )
“Korupsi yang paling besar menurut pandangan Allah ialah sejengkal tanah.
Kamu melihat dua orang yang tanahnya atau rumahnya berbatasan. Kemudian salah
seorang dari keduanya mengambil sejengkal dari milik saudaranya itu. Maka jika
dia mengambilnya , akan dikalungkan kepadanya dari tujuh lapis bumi pada hari
Kiamat”. (HR. Ahmad Dari Abu Malik Al-Asyja’).
Dalam hadits tersebut Rasulullah menyampaikan bahwa setiap orang tidak
boleh melakukan perbuatan korupsi baik dari sipapun terhadap siapapun. Hadits
ini juga menunjukkan bahwa sekecil dan sebesar apapun tidak diperbolehkan baik
itu korupsi kepaa tetangga maupun rakyat.
Sabda Rasulullah SAW :
لعن الله الراشى
والمرتشي في الحكم ( رواه احمد والترمذي والحاكم عن ابى هريرة )
“Allah mengutuk orang yang menyogok
dan orang yang disogok dalam memutuskan perkara. (HR. At-Tirmidzi dan Al-Hakim
dari Abu Hurairah)
Dari ayat dan hadits yang telah dipaparkan diatas dapat disimpulkan bahwa
pandangan Islam terhadap perilaku korupsi dan suap itu diharamkan, Islam tidak
pernah menyuruh umat-Nya yang memilki jabatan dalam pemerintahan untuk
melakukan hal yang dpat merugikan dan memadaratkan nasib orang lain demi
kepentingan individu. Dan Allah SWT akan menghukum manusia yang selalu memakan
harta orang lain dan tidak pernah memikirkan nasib rakyatnya dengan meminta
pertanggung jawaban terhadap apa yang telah dilakukannya di akherat nanti.
2.
Larangan dan Hukum KKN
KKN diharamkan karena KKN merupakan suatu perbuatan penyalahgunaan jabatan
untuk memperkaya diri sendiri , keluarga , atau kelompok. Hal ini merupakan
perbuatan yang mengkhianati amanat yang diberikan negara dan masyarakat
kepadanya. Berkhianat terhadap amanat adalah perbuatan terlarang dan
mendatangkan dosa.
Firman Allah SWT dalam Surah Al-Anfal ayat 27 :
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah
kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu
mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui”. (Al-Anfal/8:27)
Ayat tersebut di atas menerangkan bahwa mengkhianati amanat seperti
perbuatan KKN bagi para pejabat adalah dilarang. Oleh sebab itu, hukumnya haram.
Sebagaimana dengan hukum KKN tersebut, Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah memfatwakan
, sebagai berikut :
1)
Memberikan risywah dan
menerimanya hukumnya adalah haram ;
2)
Melakukan korupsi
hukumnya adalah haram ;
3)
Memberikan hadiah
kepada pejabat ;
4)
Jika pemberian itu
pernah dilakukan sebelum pejabat tersebut memegang jabatan , maka pemberian
seperti itu hukumnya adalah halal, demikian juga menerimanya.
5)
Jika pemberian hadiah
itu tidak pernah dilakukan sebelum pejabat tersebut memegang jabatan, maka
dalam hal ini ada tiga kemungkinan :
a) Jika antara pemberi hadiah dan pejabat tidak ada atau tidak akan ada urusan
apa-apa, maka memberikan dan menerima hadiah itu tidak haram.
b) Jika antara pemberi hadiah dan pejabat terdapat urusan , maka bagi pejabat
haram menerima hadiah tersebut, sedangkan bagi pemberi, haram memberikannya
apabila pemberian dimaksud bertujuan untuk meluluskan sesuatu yang bathil.
c) Jika diantara pemberi hadiah dan pejabat ada sesuatu urusan , baik sebelum
maupun sesudah pemberian hadiah dan pemberiannya itu tidak bertujuan untuk
sesuatu yang bathil, maka halal bagi pemberi memberikan hadiah itu, tetapi bagi
pejabat haram menerimanya.
Disamping mengeluarkan fatwa, MUI juga mengimbau agar semua lapisan
masyarakat berkewajiban untuk memberantas dan tidak terlibat dalam praktik
hal-hal tersebut.
Hukuman bagi pelaku korupsi menurut hukum islam adalah ta’zir, yaitu
suatu hukuman yang dikenakan kepada pelaku tindak pidana yang diserahkan kepada
kebijaksanaan hakim untuk menentukan berat dan ringannya semua hukuman atas
pelaku tindak pidana yang belum ditentukan dalam Al-Quran dan Hadits. Tindakan
pidana korupsi belum ditentukan dalam Al-Quran dan Hadits. Oleh sebab itu,
hukuman bagi pelaku korupsi adalah ta’zir, yang mana sekarang ini telah
ada undang-undang yang dibuat oleh pemerintah penanggulangannya.
Berkenaan dengan tindak
pidana korupsi maka sanksi bagi pelakunya telah ditetapkan dalam undang-undang Pasal
2 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001:
(1) Setiap orang yang
secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang
lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara
paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda
paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.
1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). (2) Dalam hal tindak pidana korupsi
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana
mati dapat dijatuhkan. Rumusan korupsi pada Pasal 2 UU No. 31 Tahun 1999,
pertama kali termuat dalam Pasal 1 ayat (1) huruf a UU No. 3 Tahun 1971.
Perbedaan rumusan terletak pada masuknya kata ”dapat” sebelum unsur ”merugikan
keuangan/perekonomian negara” pada UU No. 31 Tahun 1999. Sampai dengan saat
ini, pasal ini termasuk paling banyak digunakan untuk memidana koruptor. Untuk
menyimpulkan apakah suatu perbuatan termasuk korupsi menurut Pasal ini, harus
memenuhi unsur-unsur:
a. Setiap orang atau korporasi;
b. Melawan hukum;
c. Memperkaya diri sendiri, orang lain atau suatu korporasi;
d. Dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Dengan melihat rumusan pasal diatas, tampaknya undang-undang tentang
pemberantasan tindak pidana korupsi di
Indonesia sudah sangat berani dan sensasional, khususnya dengan adanya tuntutan
hukuman mati bagi pelaku korupsi yang dilakukan dalam keadaan tertentu, yaitu
apabila tindak pidana tersebut dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya
sesuai dengan undang-undang yang berlaku.
Pada rumusan pasal-pasal Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang
pemberantasan tindak pidana korupsi ini terdapat tiga macam hukuman ta’zir,
yaitu sanksi pidana penjara, sanksi pidana denda, dan sanksi pidana mati.
Amir dalam kitabnya, At-Ta’zir fisy-Syariah Al-Islamiyah mengatakan bahwa
hukuman ta’zir ada sebelas macam, yaitu :
1)
Hukuman mati
2)
Hukuman cambuk
3)
Hukuman penahanan
4) Hukuman pengasingan
5) Hukuman ganti rugi
6) Hukuman publikasi dan pemanggilan paksa untuk hadir
di majelis persidangan
7) Hukuman berbentuk nasihat
8) Hukuman pencelaan
9) Hukuman pengucilan
10) Hukuman pemecatan
11) Hukuman berupa penyiaran.
Sedangkan Wahbah Az-Zuhaili dalam kitabnya, Al-Fiqh
Al-Islami wa Adillatuh, mengatakan bahwa hukuman ta’zir ada lima macam, yaitu :
1) Hukuman pencelaan
2) Hukuman penahanan
3) Hukuman pemukulan
4) Hukuman ganti rugi materi
5) Hukuman mati karena pertimbangan politik
Hukuman ta’zir itu bisa berat dan bisa ringan,
tergantung dari tindak pidana yang dilakukan, bahkan sampai kepada hukuman
mati, seperti yang disebutkan dalam UU No. 31 tahun 1999 pasal 2 ayat (2) bahwa
korupsi yang dilakukan dalam keadaan tertentu dapat dijatuhkan hukuman mati.
Disamping itu , semua harta hasil korupsi harus dikembalikan.
2.3.
Kriteria Korupsi , Kolusi dan Nepotisme
Menurut Diantara
kriteria KKN adalah sebagai berikut :
a. Penyalahgunaan wewenang untuk kepentingan pribadi, keluarga, atau kelompok.
b. Penyelewengan dana, seperti dalam bentuk-bentuk
sebagai berikut :
c. Pengeluaran fiktif
d. Manipulasi harga pembelian atau kontrak
e. Menerima suap untuk memenangkan yang bathil.
Sedangkan penyebab atau sumber KKN tersebut antara
lain sebagai berikut :
1. Proyek pembangunan fisik dan pengadaan barang , hal
ini menyangkut harga , kualitas dan komisi.
2. Bea dan cukai yang menyangkut manipulasi bea masuk barang dan penyelundupan
administratif.
3. Perpajakan yang menyangkut proses penentuan besarnya pajak dan pemeriksaan
pajak .
4. Pemberian fasilitas kredit perbankan dalam bentuk
penyelewengan komisi dan jasa pungutan liar atau suap.
Berdasarkan apa yang disebutkan diatas, maka
kriteria korupsi dapat diformulasikan sebagai suatu tindakan berupa penyelewengan
hak , kedudukan, wewenang, atau jabatan yang dilakukan untuk mengutamakan
kepentingan dan keuntunga pribadi ,
menyalahgunakan amanat rakyat dan bangsa, memperturutkan hawa nafsu serakah untuk
memperkaya diri dan mengabaikan kepentingan umum.
Dalam buku Al-hadis yang dikarang oleh Rachmat Syafei salah satu larangan
korupsi dan kolusi adalah larangan menyuap, menerima hadiah, menimbun dan
memonopoli.
A. Larangan Menyuap
وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ: ( لَعَنَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله
عليه وسلم اَلرَّاشِيَ وَالْمُرْتَشِيَ فِي اَلْحُكْمِ ) رَوَاهُ اَلْخَمْسَةُ,
وَحَسَّنَهُ اَلتِّرْمِذِيُّ, وَصَحَّحَهُ اِبْنُ حِبَّانَ
Artinya : “Abu Hurairah
Radliyallaahu 'anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam melaknat
penyuap dan penerima suap dalam masalah hukum. Riwayat Ahmad dan Imam Empat.
Hadits hasan menurut Tirmidzi dan shahih menurut Ibnu Hibban”
َوَعَنْ عَبْدِ اَللَّهِ
بْنِ عَمْرِوٍ -رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا- قَالَ: ( لَعَنَ رَسُولُ اَللَّهِ
صلى الله عليه وسلم اَلرَّاشِي وَالْمُرْتَشِيَ ) رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ,
وَاَلتِّرْمِذِيُّ وَصَحَّحَهُ
Artinya : “ Dari
Abdullah Ibnu Amar Ibnu al-'Ash Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah
Shallallaahu 'alaihi wa Sallam melaknat orang yang memberi dan menerima suap.
Riwayat Abu Dawud dan Tirmidzi. Hadits shahih menurut Tirmidzi
Dalam kedua hadits
tersebut di atas telah diterangkan dengan jelas bahwasanya Allah mengutuk orang
yang memberi uang suap dan yang menerimanya.
وعن عمر وبن مرة قال سمعت رسول الله ص م يقولما من امام اووال يغلق بابه دون
ذويالحاجة ولخلة والمسكنة الا اغلق الله ابواب اسماء دون خلته وحاجته ومسكنته
(رواه احمد و الترمذي
)
Artinya : “dan dari ‘
Amr bin Murrah,ai berkata : “aku mendengar Rasulullah saw bersabda, tidak
seorang imam punatau penguasa yang menutup pintunya terhadap orang-orang
yang berkepentingan, orang fakir dan miskin, melaikan allah akan menutup
pintu-pintu (rizki) dari langit terhadap kefakirannya,kebutuhannya dan
kemiskinanya.(H.R. Akhmad dan Tirmidzi)
Kata khallah itu sendiri seperti
tersebut dalam kitab nihayah artinya ialah kebutuhan dan kemiskinan. Tetapi
kata ini di ma’thufkan (dihubungkan) dengan kata sebelumnya yaitu “hajah” yang
artinya lebih khusus. Dalam istilah nahwu disebut “athful ‘am ‘alal khas”.
Hadits ini menunjukan ketidak halalnya seorang kepala (penguasa) menutup
pintunya terhadap orang-orang yang berkepentingan, walaupun itu orang yang
kafir dan miskin.
Dalam kitab bulughul maram telah
dijelaskan haramnya suap menyuap, dan Allah pun melaknatnya, seperti dalam
hadis berikut :
وعن ثوبان قال : لعن رسول الله صل الله عليه واله وسلم الراشى والمر تشى
.والراش.يعن الدى يمس بينهما. رواه احمد
“ Rasulullah mengutuk
orang yang memberi uang sogok dan yang menerimanya dan mereka yang menjadi
perantara “.(H.R. Ahmad ; Al-Muntaqa II: 935)
Suap menyuap sangat berbahaya bagi kehidupan masyarakat karena akan
merusak berbagai tatanan atas system
yang ada di masyarakat, dan menyebabkan terjadinya kecerobohan dan kesalahan
dalam menetapkan ketetapan hukum sehingga hukum dapat di permainkan dengan
uang. Akibatnya terjadi kekacauan dan ketidakadilan. Dengan suap, banyak para
pelanggar yang seharusnya diberi hukuman berat justru mendapat hukuman ringan,
bahkan lolos dari jeratan hukum. Sebaliknya, banyak pelanggar hukum kecil, yang
dilakukan oleh orang kecil mendapat hukuman sangat berat karena tidak memiliki
uang untuk menyuap para hakim.
Menurut Sayyid Sabiq dalam konteks sistem, suap terjadi
karena mekanisme yang ada dalam proses kebijakan memiliki celah-celah.
Argumentasi yang dikemukakan tiap pihak mentah karena apa yang dipikirkan
hanyalah kepentingan golongan masing-masing. Di satu sisi, parlemen sudah
kurang peduli terhadap konstituen dan rakyatnya, di sisi lain penyuap merasa
prosedur birokrasi yang ada terlalu membebani, tidak realistis, dan sering
mengada-ada.
Suap terjadi akibat
ketidakpercayaan dan keengganan terhadap demokrasi yang bisa melahirkan
kehidupan publik yang lebih sehat. Suap juga terjadi akibat prasangka negatif
bahwa segala jalan bisa ditempuh asalkan tujuan tercapai. Akibatnya, walaupun
dalam proses demokrasi sekalipun yang tampak di depan mata, di dalamnya publik
jarang mengetahui ada suap.
Menurut Muhammad Ibn Ismail Al-Kahlany, sebagaimana yang dikutip
Syafe’I (2000: 155) suap dibolehkan dalam rangka memperoleh sesuatu yang
menjadi haknya atau untuk mencegah dari kezaliman, baik yang akan menimpa
dirinya maupun keluarganya, hal itu di dasarkan pada pendapat sebagian tabi’in
bahwa boleh melakukan suap jika takut tertimpa zalim, baik terhadap dirinya
maupun keluarganya.
Adapun menurut Imam Asy-Syaukani sebagaimana yang dikutip Syafe’I
(2000: 155) sesungguhnya keharaman suap adalah mutlak dan tidak dapat
ditakshish. Namun demikian dalam islam ada kaidah :
الضرورة ثبيح المحضورات
(kemadaratan
memperoleh sesuatu yang membahayakan).
Dengan demikian jika tidak ada jalan lain bagi seseorang untuk
menjaga dirinya dari kerusakan, kecuali dengan melakukan suap, ia boleh
melakukannya.
B.
Unsur-Unsur
Suap
Menurut Sumartana (2001:97), unsur-unsur suap adalah sebagai
berikut:
1.
Penerima
suap, yaitu orang yang menerima sesuatu dari orang lain baik berupa harta atau
uang maupun jasa supaya mereka melaksanakan permintaan penyuap, padahal tidak
dibenarkan oleh syara’, baik berupa perbuatan atau justru tidak berbuat
apa-apa.
2.
Pemberi
suap, yaitu orang yang menyerahkan harta atau uang, atau jasa untuk mencapai
tujuannya.
3.
Suapan,
yaitu harta atau uang/ barang atau jasa, yang diberikan sebagai sarana untuk
mendapatkan benda dan atau sesuatu yang di dambakan, diharapkan atau diterima.
C.
Macam-Macam
Suap
Menurut Atarsyah macam-macam suap adalah sebagai berikut:
a.
Suap
untuk membatilkan yang haq atau membenarkan yang batil.
Halal itu jelas, haram itu jelas. Hak itu kekal dan batil itu sirna. Syariat Allah
merupakan cahaya yang menerangi kegelapan yang menyebabkan orang-orang mukmin
terpedaya dan para pelaku kejahatan tertutupi dan terlindungi. Maka, setiap
yang dijadikan sarana untuk menolong kebatilan atas kebenaran itu haram
hukumnya.
b.
Suap
untuk mempertahankan kebenaran dan mencegah kebatilan serta kedzaliman.
Secara naluri,
manusia memiliki keinginan untuk berintraksi sosial, berusaha berbuat baik.
Akan tetapi, terkadang manusia khilaf sehingga terjerumus ke dalam kemaksiatan
dan berbuat dzalim terhadap sesamanya, menghalangi jalan hidup orang lain
sehingga orang itu tidak memperoleh hak-haknya. Akhirnya, untuk menyingkirkan
rintangan dan meraih hak-haknya terpaksai harus menyuap. Suap-menyuap dalam hal
ini (dilakukan secara terpaksa), menurut Abdullah bin Abd. Muhsin suap menyuap
dalam kasus tersebut bisa ditolerir (dibolehkan). Namun ia harus bersabar
terlebih dahulu sampai Allah membuka jalan baginya.
Sekarang yang menjadi perntanyaan, siapakah yang berdosa apabila terjadi kasus
suap-menyuap seperti itu? Yang menyuap atau yang menerma suap? Ataukah
keduanya? Dalam hal ini ada dua pendapat:
a)
Menurut
jumhur ulama, yang menanggung dosa hanya penerima suap.
b)
Menurut
Abu Laits as-Samarqandi berkata, “Dalam kasus seperti ini (suap untuk mencegah
kedzaliman) tidak ada masalah jika seseorang menyerahkan hartanya kepada orang
lain demi mencari kebenaran.”
Korupsi
baik terhadap umum maupun milik Negara yang dianggap sebagai perbuatan
salah/curang diharamkan dalam Islam dan diancam dengan adzab akhirat. Hal ini sebagaimana
tercantum dalam Al-Qur’an surat Ali Imran ayat 161 :
.
“Tidak mungkin seorang nabi berkhianat dalam urusan harta rampasan perang. Barangsiapa yang berkhianat dalam urusan rampasan perang itu, maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu; kemudian tiap-tiap diri akan diberi pembalasan tentang apa yang ia kerjakan dengan (pembalasan) setimpal, sedang mereka tidak dianiaya.”
“Tidak mungkin seorang nabi berkhianat dalam urusan harta rampasan perang. Barangsiapa yang berkhianat dalam urusan rampasan perang itu, maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu; kemudian tiap-tiap diri akan diberi pembalasan tentang apa yang ia kerjakan dengan (pembalasan) setimpal, sedang mereka tidak dianiaya.”
Contoh penyuapan, misalnya dalam penerimaan tenaga kerja, jika
dilakukan karena adanya besarnya uang suap, bukan pada profesionalisme dan
kemampuan, hal itu diyakini akan merusak kualitas dan kuantitas hasil kerja,
bahkan tidak tertutup kemungkinan bahwa pekerja tersebut tidak mampu
melaksanakan pekerjaan yang ditugaskan kepadanya, sehingga akan merugikan rakyat.
Begitu pula suatu proyek atau tender yang didapatkan melalui uang
suap, maka pemenang tender akan mengerjakan proyeknya tidak sesuai program atau
rencana sebagaimana yang ada dalam gambar, tetapi mengurangi kualitasnya agar
uang yang dipakai untuk menyuap dapat ditutupi dan tidak dapat tertutupi dan ia
tidak merugi, sehingga tidak jarang hasil pekerjaan tidak tahan lama atau cepat
rusak, seperti banyak jalan dan jembatan yang seharusnya kuat 10 tahun, tetapi
baru lima tahun saja telah rusak.
Dengan demikian, kapan di mana saja, suap akan menyebabkan kerugian
bagi masyarakat banyak, dengan demikian, larangan Islam untuk menjauhi suap
tidak lain agar manusia terhindar dari kerusakan dan kebinasaan di dunia dan
disiksa Allah SWT kelak di akherat.
D.
Larangan
Bagi Pejabat Untuk Menerima Hadiah
Hadis Riwayat Imam al-Darimiy Dalam Kitab al-Zakat :
اخبرنا االحكم بن نافع ا
ناا شعيب عن الزهرى اخبرنى عروة ابن الز بير عن ا بى حميد ا لسا عدى انه اخبره ان
النبى صلى الله عليه وسلم استعمل عا ملا على الصد قة فجاء ه العا مل حين فرغ من
عمله فقا ل يارسول الله هذ ا ا لذى لكم وهذا اهدي لى فقال ا لنبى صلىا لله عليه
وسلم فهلا قعـدت فى بيت ابيك وا مك فنظرت ا يهد ى لك ا م لا ثم قال ا لنبى صلىا
لله عليه وسلم عشية بعد ا لصلاة علىا لمنبر فتشهد فحمدا لله وا ثنى عليه بما هو
اهله ثم قال ا ما بعد- فما با ل ا لعا مل نستعمله فياء تينا فيقول هذا من عملكم
وهذا اهدي لى فهلا قعد فى بيت ا بيه وا مه فينظر ا يهدى له ام لا والذى نفس محمد
بيده لا يغل ا حد كم منها شياء الا جاء به يوم ا لقيا مة يحمله على عنقه ا ن كان
بعيرا جاء به له رغاء وا ن كانت بقرة جاء بها لها خوا ر وا ن كا نت شا ة جاء بها
تيعر فقد بلغت قا ل ا بو حميد ثم رفع ا لنبى صلىا لله عليه وسلم يد يه حتى ا نا
لننظر ا لى عفرة ابطيه قا ل ا بو حميد وقد سمع ذا لك معى من رسول ا لله صلىا لله
عليه وسلم ز يد بن ثا بت فسلوه-[12]
“Abu Humaid Assa’id r.a. berkata, Rasulullah SAW, mengangkat
seorang pegawai untuk menerima sedekah/zakat, kemudian sesudah selesai dia
datang kepada Nabi SAW, dan berkata, “ini untukmu dan yang ini untuk hadiah
yang diberikan orang kepadaku”. Maka Nabi SAW bersabda kepadanya, “mengapakah
anda tidak duduk saja dirumah ayah atau ibu anda apakah diberi hadiah atau
tidak (oleh orang) ?” kemudian sesudah shalat Nabi SAW berdiri, setelah
tasyahud memuji Allah selayaknya, lalu bersabda, “Amma ba’du, mengapakah
seorang pegawai yang diserahi amal, kemudian ia datang lalu berkata, ini hadil
untuk kamu dan ini aku diberi hadiah, mengapaia tidak duduk saja dirumah ayah
atau ibunya untuk melihat apakah diberi hadiah atau tidak. Demi Allah! Yang
jiwa Muhammad di tangan-Nya, tiada seseorang yang menyembunyikan sesuatu
(korupsi), melainkan ia akan menghadap di harikiamat memikul diatas lehernya,
jika berupa onta bersuara, atau lembu yang menguak atau kambing yang mengembik,
maka sungguh aku telah menyampaikan. Abu Humaid berkat, kemudian Nabi SAW menga
ngkat kedua tangannya sehingga aku dapat melihat putih kedua ketiaknya”.
(dikeluarkan
oleh Al-Bukhari dalam kitab “Iman dan Nadzar,” bab: bagaimana cara Nabi SAW
bersumpah”.)
Dalam Islam hadiah dianggap sebagai salah satu cara untuk lebih
merekatkan persaudaraan atau persahabatan, sebagaimana disebutkan dalah sebuah
hadis yang diriwayatkan oleh Imam Malik dalam kitab Muatha dari Al-Khurasani
yang dikutip oleh Syafe’I (2000: 159) :
تصا فحوايد هب الغل و تها دوا تحا
بوا وتد هب اشحناء. (رواه الاء مام ما لك)
“Saling bersalamanlah kamu semua, niscaya akan menghilangkan
kedengkian, saling member hadiahlah kamu semua, niscaya akan saling mencintai,
dan menghilangkan perceksokan”. (H.R.
Imam Malik)
Turmudzi
meriwayatkan hadis lain dari Abu Hurairah yang dikutip oleh Syafe’I (2000: 159)
تها دوا فاء ن الهد ية تدهب حر الصدر. (رواه التر مدى)
Artinya
:“saling memberi hadihlah kamu semua, sesungguhnya hadiah itu menghilangkan
kebencian dan kemarahan”. (H.R.
Turmudzi)
Bagi orang yang diberi hadiah, disunahkan untuk menerimanya
meskipun hadiah tersebut kelihatannya hina dan tidak berguna. Nabi SAW bersabda
:
عن انس قال رسول الله صلى ا لله
عليه وسلم : لو ا هدي الي كراع لتبلت. (روه التر مدى)
“Dari
Anas r.a, bahwa Nabi SAW bersabda, “kalau saya diberi hadiah keledai, pasti
akan saya terima”. (H.R. Turmudzi)
Dari keterangan-keterangan diatas, jelaslah bahwa pada dasarnya
memberikan hadiah kepada orang lain sangat baik dan dianjurka untuk lebih
meningkatkan rasa saling mencintai. Begitu pula bagi yang diberi hadiah
disunahkan untuk menerimanya.
Akan tetapi Islampun memberi rambu-rambu tertentu dalam masalah
hadiah, baik yang berkaitan dengan pemberi hadiah maupun penerimanya. Dengan
kata lain, tidak semua orang diperbolehkan menerima hadiah, misalnya bagi
seorang pejabat atau pemegang kekuasaan karena hal itu dapat menimbulkan
fitnah.
Dengan demikian, sangatlah pantas kalau Rasululah SAW melarang
seorang pegawai atau petugas negara untuk menerima hadiah karena menimbulkan
kemadaratan walaupun pada asalnya menerima hadiah itu dianjurkan. Dalam kaidah
Ushul Fiqih dinyatakan bahwa “ Suatu perantara yang akan menimbulkan suatu kemadaratan,
tidak boleh dilakukan.
Namun demikian, kalau kaidah tersebut betul-betul murni dan tidak
ada kaian dengan jabatannya, Islam tentu saja memperbolehkannya. Misalnya
sebelum dia memangku suatu jabatan, dia sudah terbiasa menerima hadiah dari
seseorang. Begitu pula setelah dia menduduki suatu jabatan, orang tersebut
masih tetap memberinya haiah. Pemberian seperti itu kemungkinan besar tidak ada
kaitannya dengan jabatannya atau kedudukannya dan ini boleh diterima olehnya.
E.
Larangan
Terhadap Tengkulak
عن طا وس عن ابن عبا س قال : قال رسو ل الله صلي ا لله عليه و سلم :
لا تلقوا الر كابولا يبع حا ضر لبا د, قلت لابن عبا س: ما قو له : ولا يبع حا ضر
لبا د , قل : لا يكون له سمسارا. (متفق عليه و اللفظ للبخاري)
“Dari Thawus dari Ibnu Abbas ia berkata,
“telah bersabda Rasulullah SAW, “ Janganlah kamu mencegat kafilah-kafilah dan
janganlah orang kota menjualkan buat orang desa. “ Saya bertanya kepada Ibnu
Abbas, “Apa arti sabdanya, “Janganlah kamu mencegat kafilah-kafilah dan
janganlah orang kota jualbelikan buat orang desa. “ Ia menjawab, “Artinya
janganlah ia menjadi perantara baginya. “ ( Mutafaq Alaih , tetapi lafazh
tersebut dari Bukhari )
Diantara kebiasaan masyarakat Arab adalah berdagang ke
negeri-negeri tetangga. Dari Mekkah, mereka membawa barang-barang hasil
pekerjaan penduduk Mekkah untuk dijual ke negeri lain dan pulangnya mereka
membawa barang-barang dari negeri lain yang diperlukan oleh penduduk Mekkah.
Biasanya para pedagang itu berangkat bersama-sama dalam suatu rombongan besar
yang disebut kafilah.
Sebenarnya para kafilah tersebut sudah terbiasa berhenti di pasar
atau ditempat berkumpulnya penduduk. Harga barang yang dibawa oleh rombongan
dalam kafilah ini tentu saja murah karena mereka merupakan pedagang pertama.
Akan tetapi, penduduk sering kali tidak mendapatkan barang secara
langsung dari kafilah karena
barang-barang tersebut telah dicegat lebih dulu dan diborong oleh para
tengkulak atau mekalar. Mereka memanfaatkan kesempatan tersebut untuk
mendapatkan keuntungan besar, dengan cara menjual barang yang mereka beli
dengan harga lebih tinggi kepada penduduk yang tidak dapat membeli langsung
dari kafilah.
Dengan demikian, kafilah tidak bisa datang lagi ke pasar untuk
berjual beli dengan penduduk desa karena barangnya habis atau penduduk sudah
membeli barang kepada tengkulak dengan harga yang cukup tinggi. Keadaan
tersebut sangat memadharatkan, baik bagi para kafilah maupun para penduduk.
Oleh karena itu, perbuatan tersebut dilarang.
Sebenarnya
hadits diatas mengandung dua larangan :
1.
Larangan
mencegah para kafilah
Maksud kafilah disini baik sendirian ataupun dalam rombongan
banyak. Begitu juga, bik memakai kendaraan ataupun berjalan. Akan tetapi
biasanya para kafilah itu datang dengan rombongan besar dan mengendarai unta.
Tempat yang dilarang mencegat barang adalah di luar, pasar atau di
luar tempat menjual barang, sebagaimana dinyatakan dalam hadits :
عن ابن عمر : كنا نتلقي الركبان فنشترى منهم الطعام فنها نا رسول لله
صلى الله عليه وسلم ان نبيعه حتى يبلغ به سوق الطعام. (رواه البخارى)
Artinya : “Dari Ibn Umar
, “Kami semua mencegat para kafilah, kemudian membeli makanan dari mereka, maka
Rasululllah SAW melarang bertransaksi barang sehingga para kafilah sampai di
pasar makanan. “
Adapun hukum menemui kafilah, menurut Al-Kahlany adalah haram jika
sudah mengetahui larangan menemui kafilah tersebut. Kendati demikian, di
kalangan para ulama terdapat perbedaan pendapat. Menurut ualam hanafiyah
dibolehkan mencegat para kafilah jika tidak memeadaratkan penduduk, tetapi jika
memadaratkan penduduk, hukumnya makruh.
Adapun hukum transaksi yang dilakukan ketika mencegat para kafilah
tersebut adalah sah menurut Al-Hadawiyah. Namun menurut ulama Syafi’iyah
diperbolehkan khiyar bagi para kafilah tersebut,yakni hak memilih untuk
menjadikan atau membatalkan penjualan sebelum kafilah tiba di pasar.
Rasulullah SAW bersabda :
عن
ابى حريرة رضي ا لله عنه قال : قال رسول ا لله صلى ا لله عليه وسلم : لا تلقوا
اخلب فمن تلقي فا شترى منه فادااتى سيده السوق فهو باخيار. (رواه مسلم)
Artinya : “Dari Abu Hurairah, ia berkata Rasulullah SAW telah
bersabda , “Janganlah kamu cegat barang yang dibawa (dari luar kota), barang
siapa di cegat lalu di beli darinya( sesuatu ), maka apabila yang mempunyai
barang itu datang ke pasar , ia berhak khiyar. (HR Muslim)
Bila melihat zahir hadits diatas ini, illat (alasan) larangan
menemui kafilah sebelum sampai di pasar atau desa bertujuan untuk kemaslahatan
bagi penjual (kafilah) dan menghilangkan kemadaratan mereka. Menurut sebagian
ulama, juga untuk menghilangkan kemadaratan pasar.
Menurut ulama lainnya, transaksi yang dilakukan pada waktu mencegat
para kafilah adalah rusak (fasid) , karena larangan menurut mereka membawa
kepada kerusakan, dan itulah arti yang paling dekat.
2.
Larangan
menjadi perantara
Perantara yakni penduduk kota menjadi perantara bagi penduduk desa.
Dengan kata lain, menjualkan barang dengan mengambil keuntungan atau bayaran.
Jika perantara tidak mengambil keuntungan atau bayaran , hal itu di bolehkan
secara mutlak.
Namun demikian , tujuan para tengkulak dari kota menjadi perantara
tiada lain untuk mengambil keuntungan sebanyak-banyaknya. Mereka membodohi
penduduk desa dengan menjual barang dengan harga sangat tinggi sesuai keinginan
mereka. Perbuatan tersebut tentu saja dilarang oleh Islam karena sangat
memadaratkan.
Tentu saja, berbeda hukumnya bila perantara betul-betul berusaha
menolong penduduk yang tidak dapat membeli langsung dari pasar atau dari para
kafilah. Barang-barng tersebut tidak akan sampai ke tangan penduduk jika tidak
melalui tengkulak (perantara). Perantara seprti itu dibolehkan, bahkan dia
telah menjadi penolong bagi orang-orang yang tidak mampu ke kota untuk membeli
barang. Akan tetapi harganya jangan samapi mencekik penduduk . Lebih baik jika
tidak mengambil keuntungan. Ia hanya mengambil keuntungan sedikit atau
sekadarnya saja. Perantara seperti itu dikategorikan sebagai pendagang yang
diperbolehkan dalam islam, bahkan kalau jujur dan bersih , mereka telah
melakukan pekerjaan yang baik.
Dengan demikian, yang menjadi landasan tentang larangan untuk
menjadi perantar adalah adanya kemadaratan bagi penduduk, sedangkan jika
menimbulkan kemaslahatan bagi penduduk, hal itu diperbolehkan bahkan
dianjurkan.
F.
Larangan
Menimbun Barang Pokok
عن معمر بن عبدالله عن رسول الله صلى الله عليه وسلم. لا يحتكر الا خا
طىء. (راوه مسلم)
Artinya : “Dari Ma’mar bin Abdullah , rasulullah SAW bersabda,
“Tidaklah seseorang menimbun (makanan pokok) , melainkan ia berdosa.” (HR
Muslim)
Menurut Rahmat (2000:174) menimbun artinya membeli barang dengan
jumlah yang banyak kemudian menyimpannya dengan maksud untuk menjualnya dengan
harga tinggi kepada penduduk ketika mereka sangat membutuhkannya. Biasanya
barang-barang yang ditimbun adalah barang sedang melimpah dan harganya murah.
Para ahli fiqih sebagaimana dikutip oleh Sudirman berpendapat bahwa
penimbunan diharamkan bila terdapat syarat sebagai berikut :
1.
Barang
yang ditimbun melebihi kebutuhannya atau dapat dijadikan persediaan untuk
setahun penuh.
2.
Barang
yang ditimbunnya dalam usaha menunggu saat harganya naik, sehingga barang
tersebut dapat dijual dengan harga yang lebih tinggi dan para konsumen sangan
membutuhkannya.
3.
Penimbunan
itu dilakukan pada saat manusia sangat membutuhkannya, misalnya makanan,
pakaian dll. Dengan demikian penimbun barang-barang yang tidak di butuhkan oleh
konsumen, hal itu tidak dianggap sebagai penimbunan karena tidak mengakibatkan
kesulitan pada manusia.
Sedangakan mengenai hukum dari penimbunan barang tersebut, di
kalangan ulama menjadi perbedaan pendapat. Akan tetapi, secara umum pendapat
mereka dapat digolongkan menjadi dua kelompok :
1.
Menurut
mazhab jumhur dari kalangan Syafi’iyah , Malikiyah, Hanabilah, Zahiriyah,
Zaidiyah, Ibadiyah, Al-Imamiyah, dan Al-Kasani dari golongan Hanafiyah, bahwa
penimbunan barang hukumnya haram. Dengan pertimbangan bahwa perbuatan tersebut
akan menimbulkan kemadaratan bagi manusia.
2.
Menurut
pendapat fuqaha dari kalangan mazhab Hanfiyah, bahwa penimbunan barang dagangan
hukumnya adalah makruh tahrim. Dengan pertimbangan bahwa penimbunan itu
diperbolehkan jika demi kemaslahatan manusia.
Dengan demikian, pendapat jumhur lebih tepat karena akan
menimbulkan dampak hukum, misalnya dengan ta’zir ataupun barang yang
ditimbulnya. Namun demikian, untuk mencegah agar penimbun tidak leluasa
melakukan perbuatan tercela tersebut,diperlukan peran pemerintah untuk mengatur
mekanisme perdagangan secara adil dan menindak dengan tegas.
Tidak heran kalau para penimbun dianggap sebagai sejelek-jeleknya
hamba yang secara tidak langsung telah merampas hak dan kehidupan orang lain
demi kepentingan pribadinya.
2.4.
Dampak
KKN Terhadap Kehidupan Bangsa dan Negara
Inilah Dampak Buruk Korupsi Bagi Bangsa
Bagi demokrasi Korupsi menunjukan
tantangan serius terhadap pembangunan. Di dalam dunia politik, korupsi
mempersulit demokrasi dan tata pemerintahan yang baik (good governance) dengan
cara menghancurkan proses formal. Korupsi di pemilihan umum dan di badan
legislatif mengurangi akuntabilitas dan perwakilan di pembentukan
kebijaksanaan; korupsi di sistem pengadilan menghentikan ketertiban hukum; dan
korupsi di pemerintahan publik menghasilkan ketidak-seimbangan dalam pelayanan
masyarakat. Secara umum, korupsi mengkikis kemampuan institusi dari pemerintah,
karena pengabaian prosedur, penyedotan sumber daya, dan pejabat diangkat atau
dinaikan jabatan bukan karena prestasi. Pada saat yang bersamaan, korupsi
mempersulit legitimasi pemerintahan dan nilai demokrasi seperti kepercayaan dan
toleransi.
Bagi ekonomi Korupsi juga mempersulit
pembangunan ekonomi dengan membuat distorsi dan ketidak efisienan yang tinggi.
Dalam sektor private, korupsi meningkatkan ongkos niaga karena kerugian dari
pembayaran ilegal, ongkos manajemen dalam negosiasi dengan pejabat korup, dan
risiko pembatalan perjanjian atau karena penyelidikan. Walaupun ada yang
menyatakan bahwa korupsi mengurangi ongkos (niaga) dengan mempermudah
birokrasi, konsensus yang baru muncul berkesimpulan bahwa ketersediaan sogokan
menyebabkan pejabat untuk membuat aturan-aturan baru dan hambatan baru. Dimana
korupsi menyebabkan inflasi ongkos niaga, korupsi juga mengacaukan “lapangan
perniagaan”. Perusahaan yang memiliki koneksi dilindungi dari persaingan dan
sebagai hasilnya mempertahankan perusahaan-perusahaan yang tidak efisien.
Korupsi menimbulkan distorsi (kekacauan) di dalam sektor publik dengan
mengalihkan investasi publik ke proyek-proyek masyarakat yang mana sogokan dan
upah tersedia lebih banyak. Pejabat mungkin menambah kompleksitas proyek masyarakat
untuk menyembunyikan praktek korupsi, yang akhirnya menghasilkan lebih banyak
kekacauan. Korupsi juga mengurangi pemenuhan syarat-syarat keamanan bangunan,
lingkungan hidup, atau aturan-aturan lain. Korupsi juga mengurangi kualitas
pelayanan pemerintahan dan infrastruktur; dan menambahkan tekanan-tekanan
terhadap anggaran pemerintah. Kesejahteraan umum negara Korupsi politis ada di
banyak negara, dan memberikan ancaman besar bagi warga negaranya. Korupsi
politis berarti kebijaksanaan pemerintah sering menguntungkan pemberi sogok,
bukannya rakyat luas. Satu contoh lagi adalah bagaimana politikus membuat
peraturan yang melindungi perusahaan besar, namun merugikan
perusahaan-perusahaan kecil (SME). Politikus-politikus “pro-bisnis” ini hanya
mengembalikan pertolongan kepada perusahaan besar yang memberikan sumbangan
besar kepada kampanye pemilu mereka.
Korupsi memperbesar angka kemiskinan.
Selain dikarenakan program-program pemerintah sebagaimana disebut di atas tidak
mencapai sasaran, korupsi juga mengurangi potensi pendapatan yang mungkin
diterima oleh si miskin. Perusahaan perusahaan kecil adalah pihak yang paling
sering menjadi sasaran korupsi dalam bentuk pungutan tak resmi (pungutan liar).
Bahkan, pungutan tak resmi ini bisa mencapai hampir dua puluh persen dari total
biaya yang harus dikeluarkan oleh perusahaan ini amat mengkhawatirkan,
dikarenakan pada negara negara berkembang seperti Indonesia, perusahaan kecil
(UKM adalah mesin pertumbuhan karena perannya yang banyak menycrap tenaga
kerja).
Korupsi Mengurangi Nilai Investasi
Korupsi membuat sejumlah investor kurang percaya untuk menanamkan modalnya di
Indonesia dan lebih memilih menginvestasikannya ke negara-negara yang lebih
aman seperti Cina dan India. Sebagai konsekuensinya, mengurangi pencapaian actual
growth dari nilai potential growth yang lebih tinggi. Berkurangnya nilai
investasi ini diduga berasal dari tingginya biaya yang harus dikeluarkan dari
yang seharusnya. ini berdampak pada menurunnya growth yang dicapai. Studi
didasarkan atas analisa fungsi produksi dimana growthadalah fungsi dari
investasi.
Secara umum akibat Korupsi, Kolusi dan
Nepotisme (KKN) adalah merugikan negara dan merusak sendi-sendi kebersamaan
serta memperlambat tercapainya tujuan nasional seperti yang tercantum dalam
Pembukaan Undang-undang Dasar 1945.
2.5.
Upaya-Upaya Menyikapi KKN
Korupsi nampaknya susah diberantas,
tetapi kita berusaha untuk menguranginya antar daerah. Padahal yang melakukan
korupsi kebanyakan adalah orang-orang pilihan rakyat, apakah rakyat yang salah
milih, ataukah partai yang salah mencalonkan orang tersebut sebagai wakil
rakyat, hal inilah yang menjadi pertanyaan kita. Rakyat itu sebenarnya tidak
salah memilih wakil rakyatnya, karena yang lebih mengetahui kondite wakil
rakyat tersebut adalah partai. Bahkan yang mencalonkan orang tersebut adalah
dari partai pilihan rakyat yang dipercaya oleh rakyat untuk menentukan nasib
rakyat, bahkan sewaktu kampanye berjanji akan memberantas korupsi.
Cara palik efektif dan efesien untuk
menghapus KKn adalah dengan kesadaran masing-masing individu. Hanya saja
sekiranya sulit diwujudkan dengan kondisi moral, mental dan kesadaran
masing-masing individu yang relatif buruk. Maka dari itu, bukan hal yang mudah
untuk memberantas KKN, khususnya di Indonesia, perlu diupayakan banyak hal dan
perlu kerja sama dari berbagai pihak manapun sehingga tujuannyapun dapat
berjaan dengan baik pula.
Sikap anti korupsi haruslah dimulai dari
diri sendiri dan lingkungan keluarga, sejak dini harus ditanamkan sikap jujur,
adil, terbuka, dan mandiri. Dengan demikian, orang akan terhindar dari perilaku
yang merugikan orang lain demi kepentingan pribadi. Saat ini masyarakat telah
menganggap bahwa korupsi, kolusi dan nepotisme merupakan tindakan yang
berbahaya dan tidak terpuji.
Menurut Noor (2000:68) di bawah ini
adalah stake holder dengan peranannya masing-masing:
1. Pemerintah dan Perangkat Kenegaraan
·
Membuat dan menegakkan peraturan perundangan yang
melarang korupsi, kolusi dan nepotisme.
·
Membuat maupun
mendukung lembaga-lembaga pemberantas KKN
·
Mengadakan meupun mensponsori even-even yang
mendukung pemberantasan KKN, misalnya penyuluhan, workshop, dan sebagainya.
·
Sebisa mungkin menjauhi praktek KKN sekalipun dalam
porsi kecil.
·
Menumbuhkan jiwa anti KKN dalam diri dan menularkan
semangat, baik itu pada sesama aparatur kenegaraan maupun pada orang lain.
2. Guru, Dosen, dan Keluarga dan Lainnya
·
Mengajarkan pada generasi muda tentang seberapa
negatif KKN.
·
Memberi pendidikan yang mengarah pada kesadaran diri
agar sebisa mungkin selalu jujur dan adil disetiap tindakan.
·
Sebisa mungkin menjauhi praktik KKN sekalipun dalam
porsi kecil.
·
Menumbuhkan jiwa anti KKN dalam diri dan menularkan
semangat itu baik pada sesama guru maupun pada lainnya.
3. Siswa dan Mahasiswa
·
Mempelajari KKN dan seluk beluknya untuk mengetahui
seberapa negatif KKN itu.
·
Sebisa mungkin menjauhi praktik KKN sekalipun dalam
porsi kecil.
·
Membiasakan diri jujur dalam setiap tindakan
·
Mempersiapkan masa depan Indonesia bersih dari KKN
dimulai dari penerapan gerakan anti KKN pada diri sendiri dan dilanjutkan
dengan mengalirkan semangat anti KKN pada orang disekitar, terutama teman,
sesama generasi muda.
4. Pegawai Pemerintah
·
Sebisa mungkin menjauhi praktik KKN sekalipun dalam
porsi kecil.
·
Menumbuhkan jiwa anti KKN dalam diri dan menularkan
semangat itu pada masyarakat.
·
Mengadakan maupun mensponsori kegiatan-kegiatan yang
mendukung anti KKN, seperti penyuluhan, workshop,dan sebagainya di tingkat
masing-masing (desa, kecamatan, kabupaten, dll)
5. Aktivis
·
Mengadakan maupun mensponsori event-event yang mendukung
anti KKN, misalnya penyuluhan, workshop, dan sebagainya.
·
Sebisa mungkin menjauhi praktik KKN sekalipun dalam
porsi kecil.
·
Menumbuhkan jiwa anti KKN dalam diri dan menularkan
semangat itu pada orang lain.
Adapun menurut kelompok kami, cara-cara
yang bisa dilakukan untuk menyikapi KKN di Indonesia adalah sebagai berikut :
1. Penegakan hukum di Indonesia;
2. Penghukuman yang berefektif dan berefek
jera;
3. Insentif/bonus dan promosi kenaikan
pangkat bagi aparat penegak hukum/ lembaga yang berhasil menangkap atau
menghukum kruptor;
4. Sita massal terhadap aset koruptor untuk
pengembalian keuagangan negara yang dikorupsi;
5. Mamksimalkan peran serta publik;
6. Mengoptimalkan fungsi aparat penegak
hukum dan instansi terkait seperti PPATK;
7. Menjalin kerja sama dengan baik antar
pemerintahan;
BAB III
PENUTUP
3.1.
Kesimpulan
Korupsi ialah pelaku yang buruk yang
tidak legal dan tidak wajar untuk memperkaya diri. Haram hukumnya melakukan
korupsi, kolusi dan nepotisme, tetapi khusus nepotisme haram hukumnya jika yang
diserahi jabatan tidak profesional, tidak memiliki kapabilitas dan tidak
mempunyai moralitas yang sesuia dengan ajaran Al-Quran dan Hadis. Korupsi
dinilai dari sudut manapun ia tetap
suatu pelanggaran.
Korupsi mengakibatkan kurangnya
pendapatan negara dan kurangnya kepercayaan terhadap pemerintah. Agama Islam
mengakui adanya hak pribadi yang berhak mendapat perlindungan dan tidak boleh
di ganggu gugat.
KKN diharamkan karena bertantangan dengan
ajaran Al-Quran, Hadis dan tujuan syariat, selain itu juga bertentangan dengan
rasa kemanusiaan dan rasa keadilan, pula karena merugikan orang lain,
masyarakat dan negara. Maka dari itu kita sebagai re-generasi bangsa Indonesia
ini janganlah mendekati KKN.
3.2.
Saran
Makalah ini pada dasarnya masih terbilang
sangat sederhana dan masih sangat miskin referensi sehingga butuh kajian yang
lebih mendalam tentang KKN, begitupula penulisan yang terdapat pada makalah
ini. Penulis juga tekah menguraikan sedikit informasi tentang pengertian,
faktor-faktor, hubungan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan KKN. Oleh
karena itu penulis berharap ada pemaparan yang lebih spesifik dan mendalam
tentang bagaimana KKN dalam sudut pandang Islam dan hukum serta upaya
menghilangkan KKN tersebut.
Dengan ini kami selaku penulis meminta
maaf atas ketidak sempurnaannya makalah ini, dengan itu kami meminta kepada
pemabaca untuk memberikan saran dan implikasi nya terhadap makalah ini, guna
terciptanya suatu makalah yang benar dan sesuai dengan kajian sesungguhnya.
DAFTAR
PUSTAKA
Al-Bukhariy, Abi’Abd Allah Muhammad bin Ismail bin
Ibrahim ibn al-Mughirah, Shahih al-Bukhari, al-juz VII, Beirut: Dar
al-Fikr, 1401 H/1981 M
Amirudin. Aam, 2006, Bedah Masalah Kontemporer,
Bandung : Khazanah Intelektual
Anonim, 1999, Ma’mar, Macam-Macam KKN,
Bandung : Pustaka Rizki Putra
Departemen Agama RI, 1989, Al-Quran dan
Terjemahnya, Edisi Refisi. Surabaya: Mahkota
Gie, 2002, Pemberantasan Korupsi Untuk Meraih
Kemandirian, Kemakmuran, Kesejahteraan, dan Keadilan.
Hamidy, Mu’ammal dkk, 1986, Terjemahan Nailul
Authar Himpunan Hadis-Hadis Hukum, Semarang: Pustaka Rizki Putra
Hamka, 1985, Tafsir Al-Azhar, Jakarta:
Pustaka Panjimas, cetakan V, juz IV
Hasbi Ash Shiddeqy, Muhammad, 2001, Hadis-Hadis
Hukum, Semarang: Pustaka Rizki
MudjabMahalli, Ahmad, 2003, Hadis-Hadis Mutafaq
Alaih, Jakarta: Prenada Media
Sumartana, 2001, Hukum Kontemporer, Jakarta:
PT Bina Ilmu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar