Jumat, 04 Maret 2016

Hadits Korupsi, Kolusi dan Nepotisme

BAB I
PENDAHULUAN
1.1.            Latar Belakang Masalah
Korupsi, Kolusi,  Nepotisme (KKN) dan Suap  di Indonesia bukan lagi merupakan sebuah fenomena, melainkan sudah merupakan fakta yang terkenal di mana-mana. Kini, setelah rezim otoriter Orde Baru tumbang, tampak jelas bahwa praktik KKN selama ini terbukti telah menjadi tradisi dan budaya yang keberadaannya meluas, berurat akar dan menggurita dalam masyarakat serta sistem birokrasi Indonesia, mulai dari pusat hingga lapisan kekuasaan yang paling bawah.
Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) akhir-akhir ini dianggap sebagai wujud paling buruk dan paling ganas dari gejala kemerosotan moral dari kehidupan masyarakat dan bernegara di negeri kita. KKN adalah produk dari relasi sosial-politik dan ekonomi yang pincang dan tidak manusiawi. Relasi yang dikembangkan adalah relasi yang diskriminatif, alienatif, tidak terbuka, dan meleceh-kan kemanusiaan. Kekuasaan dianggap sebagai sebuah privilege bagi kelompok  kecil  tertentu, serta bersifat tertutup dan menempatkan semua bagian yang lain sebagai objek yang tak punya akses untuk berpartisipasi. Setiap bentuk kekuasaan baik politik, sosial, maupun ekonomi yang tertutup akan menciptakan hukum-hukumnya sendiri demi melayani kepentingan penguasa yang eksklusif. Kekuasaan yang tertutup semacam ini merupakan lahan subur yang bisa menghasilkan panen KKN yang benar-benar melimpah.
Berbicara tentang korupsi dan kolusi di negeri kita saat ini sangat tidak asing lagi dan bahkan sering disorot oleh media masa, seakan korupsi dan kolusi menjadi makanan yang empuk bagi para pejabat baik tingkat daerah maupun nasional. Kendati sudah ada institusi Negara yang sangat besar yang khusus mengatasi korupsi, namun masih banyak mereka masih tetap tenang untuk makan uang haram ini. Adapun menurut hukum islam sudah jelas itu hukumnya haram dan banyak hadis-hadis Nabi yang menerangkan tentang hal itu.
        
عَنْ بُرَ يْدَةَعَنْ أَبِيهِ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَا لَ مَنْ اسْتَعْمَلْنَا هُ عَلى عَمَلٍ فَرَزَقْنَاهُ رِزْقًا فَمَا أَخَذَ بَعْدَ ذَلِكَ فَهُوَ غُلُولٌ [رواه أبو داود]
 Artinya: “Diriwayatkan dari Abdullah Ibn Buraidah dari ayahnya dari Nabi SAW, beliau bersabda: “barangsiapa  yang telah kami angkat sebagai pegawai dalam suatu jabatan, kemudian kami berikan gaji, maka sesuatu yang diterima diluar gaji itu adalah korupsi. (HR. Abu Daud)
Persoalannya adalah dapatkah korupsi diberantas? Tidak ada jawaban lain jika bangsa kita ingin maju, jawabanya adalah korupsi harus diberantas. Jika kita tidak berhasil memberantas korupsi, atau paling tidak dapat mengurangi kasus-kasus korupsi sampai pada titik yang paling rendah maka jangan harap Negara ini akan mampu mengejar ketertinggalannya dibandingkan negara lain untuk menjadi sebuah negara yang maju. Karena korupsi membawa dampak negatif yang cukup luas dan dapat membawa negara ke jurang kehancuran.
Dalam islam KKN tersebut merupakan pelanggaran atau penyelewengan amanah yang harus dipertanggungjawabkan di akhirat nanti. Mengingat pentingnya kestabilan sosial, tindakan-tindakan tersebut harus dibrantas sedemikian rupa terlebih lagi apabila mengingat kita sebagai kaum muslimin.
Berkenaan dengan itu, kami dari kelompok delapan akan membahas tentang “larangan korupsi, kolusi, nepotisme dan suap.

1.2.            Rumusan Masalah
Berdasarkan  latar belakang diatas , maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut :
1.      Apakah Pengertian KKN dan Suap?
2.      Bagaimana Pandangan Al-Quran dan Hadits Terhadap KKN dan Suap?
3.      Seperti Apa Kriteria Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme ?
4.      Bagaimana Dampak KKN Terhadap Kehidupan Bangsa dan Negara?
5.      Bagaimana upaya-upaya yang di lakukan dalam meyikapi KKN ?

1.3.            Tujuan Penulisan
1.      Untuk Mengetahui Pengertian KKN dan Suap.
2.      Untuk Mengetahui Bagaimana Pandangan Al-Quran dan Hadits Terhadap KKN dan Suap.
3.      Untuk Mengetahui Seperti Apa Kriteria Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
4.      Untuk Mengetahui Bagaimana Dampak KKN Terhadap Kehidupan Bangsa dan Negara.
5.      Untuk Mengetahui bagaimana upaya-upaya yang bisa di lakukan dalam meyikapi KKN ?
BAB II
PEMBAHASAN

2.1.            Pengertian Korupsi, Kolusi dan Nepotisme
a)      Pengertian Korupsi
Menurut KBBI kata korupsi berasal dari bahasa inggris , yaitu corruption, yang artinya penyelewengan atau penggelapan uang negara atau perusahaan dan sebagainya, untuk kepentingan pribadi atau orang lain.
Menurut JW. Schoorl : Korupsi adalah penggunaan kekuasaan negara untuk memperoleh penghasilan , keuntungan, atau prestise perorangan atau untuk memberi keuntungan bagi sekelompok orang atau suatu kelas sosial dengan cara yang bertentangan dengan undang-undang atau dengan norma akhlak yang tinggi.               ( http://www.google.com  tgl 21 maret jam 11.00).
Menurut Ani Ramayanti korupsi adalah suatu perilaku dosa besar yang dilakukan oleh seseorang dengan memakan harta yang bukan miliknya dan digunakan untuk kepentingan dirinya sendiri yang pelakunya tidak pernah memikirkan nasib orang lain serta tidak memiliki hati nurani.
Dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 188 Allah SWT berfirman:

وَلاَ تَأْكُلُوْا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوْا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوْا فَرِيْقًا مِنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالْاِثْمِ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ.

"Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui."

b)     Pengertian Kolusi
Menurut KBBI kata kolusi berasal dari bahasa inggris , yaitu collution, artinya: kerja sama rahasia untuk maksud tidak terpuji.
Menurut Undang-Undang No. 28 Tahun 1999 pasal 1 ayat 4, kolusi adalah pemufakatan atau kerja sama secara melawan hukum antara Penyelenggara negara atau dengan pihak lain yang merugikan orang lain, masyarakat dan  Negara.
Menurut Andrea Maulana kolusi adalah suatu rencana bejat untuk melaksanakan tindakan yang bejat pula. Dari sana dapat disimpulkan bahwa kolusi merupakan bentuk kerja sama rahasia yang bertujuan untuk merugikan orang lain, masyarakat dan negara.

c)      Pengertian Nepotisme
Kata nepotisme berasal dari bahasa inggris, yaitu nepotism, artinya : kecenderungan untuk mengutamakan ( menguntungkan ) sanak saudara sendiri, terutama dalam jabatan , pangkat di lingkungan pemerintah, atau tindakan memilih kerabat atau sanak saudara sendiri untuk memegang pemerintahan.
Menurut JW.Schoorl nepotisme adalah praktik seorang pegawai negeri yang mengangkat seorang atau lebih dari keluarga dekatnya menjadi pegawai pemerintah atau memberi perlakuan yang istimewa kepada mereka denga maksud untuk menjunjung nama keluarga, untuk menambah penghasilan keluarga, atau untuk membantu menegakan suatu organisasi politik, sedang ia seharusnya mengabdi kepada kepentingan umum. (http://www.google.com tanggal 21 Maret jam 11.00).
Menurut Elih Rohayati nepotisme adalah suatu perbuatan yang licik yang selalu mementingkan atas nama keluarganya untuk menduduki jabatan pemerintahan.
Dari sana dapat di simpulkan bahwa nepotisme adalah suatu perbuatan yang mengutamakan sanak saudara sendiri dalam jabatan untuk menguasai pemerintahan.
                   Dalam hadits At-Tirmidzi berkenaan tentang korupsi :
حَدَّثَنَا إِسْحَقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ حَدَّثَنَا وَهْبُ بْنُ جَرِيرِ بْنِ حَازِمٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ يَعْلَى بْنِ حَكِيمٍ عَنْ أَبِي لَبِيدٍ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ سَمُرَةَ قَالَ نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ النُّهْبَةِ قَالَ أَبُو مُحَمَّد هَذَا فِي الْغَزْوِ إِذَا غَنِمُوا قَبْلَ أَنْ يُقْسَمَ
Artinya : “Telah menceritakan kepada kami Ishaq bin Ibrahim telah menceritakan kepada kami Wahb bin Jarir bin Hazim dari Ayahnya dari Ya'la bin Hakim dari Abu Labid dari Abdurrahman bin Samurah, ia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melarang korupsi (merampas harta orang lain tanpa hak)." Abu Muhammad berkata; "Ini berlaku ketika dalam peperangan, yaitu ketika mereka mendapatkan rampasan perang sebelum dibagikan."
Dari ungkapan-ungkapan diatas, dapat disimpulkan bahwa korupsi, kolusi, nepotisme dan suap adalah tindakan atau perbuatan memanfaatkan jabatan atau kedudukan untuk mendapatkan keuntungan, baik material atau prestise bagi pribadi atau keluarga atau kelompok, tanpa melihat kapabilitas , profesionalitas dan moralitas dengan jalan melanggar ketentuan-ketentuan yang ada yangb akibatnya merugikan orang lain, masyarakat, bangsa dan negara.
2.2.            Pandangan Islam Terhadap Korupsi, Kolusi  dan Nepotisme
Pandangan islam terhadap KKN adalah merupakan hal yang harus diperhatikan oleh segenap kaum muslimin diseluruh dunia. Nabi mengapresiasi bagi siapa saja kaum yang mampu menghindari dirinya dari prilaku tercela tersebut. Dalam hadits tirmidzi dikatakan bahwa :
حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ يَعْقُوبَ وَغَيْرُ وَاحِدٍ قَالُوا حَدَّثَنَا وَهْبُ بْنُ جَرِيرٍ حَدَّثَنَا أَبِي قَال سَمِعْتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ مَلَاذٍ يُحَدِّثُ عَنْ نُمَيْرِ بْنِ أَوْسٍ عَنْ مَالِكِ بْنِ مَسْرُوحٍ عَنْ عَامِرِ بْنِ أَبِي عَامِرٍ الْأَشْعَرِيِّ عَنْ أَبِيهِ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نِعْمَ الْحَيُّ الْأَسْدُ وَالْأَشْعَرِيُّونَ لَا يَفِرُّونَ فِي الْقِتَالِ وَلَا يَغُلُّونَ هُمْ مِنِّي وَأَنَا مِنْهُمْ
 (TIRMIDZI - 3882) : Telah menceritakan kepada kami Ibrahim bin Ya'qub dan yang lain, mereka berkata; telah menceritakan kepada kami Wahb bin Jarir telah menceritakan kepada kami ayahku dia berkata; saya mendengar Abdullah bin Maladz bercerita dari Numair bin Aus dari Malik bin Masruh dari 'Amir bin Abu 'Amir Al Asy'ari dari ayahnya dia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Sebaik-baik penduduk adalah (penduduk) Bani Asad dan Asy'ariyyin, mereka tidak lari dari peperangan dan tidak pula korupsi (menyembunyikan harta rampasan), mereka dari bagianku dan aku termasuk dari bagian mereka”.

1.      Dalam persfektif Al-Qur’an dan Hadits
Islam sebagai agama rahmatan lil alamin mengindahkan kejujuran, keadilan, kebijksanaan dan menjalankan amanah sebaik mungkin. Dan perilaku-perilaku tersebut harus mampu di cerminkan dari para pemeluk agama Islam, bukan malah menyelewengkan amanah tersebut. Allah SWT berfirman dalam Surah Al-Baqarah/ 2 : 188
  
"Dan janganlah kamu makan harta diantara kamu dengan jalan yang bathil, dan (janganlah) kamu menyuap dengan harta itu kepada para hakim, dengan maksud agar kamu dapat memakan sebagian harta orang lain itu dengan jalan dosa, padahal kamu mengetahui. ( Al-Baqarah/2 : 188)”.
Dari ayat tersebut jelaslah Allah SWT sangan melarang bahkan mengharamkan korupsi dengan memakan harta rakyat yang bukan hak kita. Agama Islam mengakui adanya hak milik pribadi yang berhak mendapat perlindungan dan tidak boleh diganggu gugat. Alangkah baiknya apabila seorang pejabat atau pemimpin mampu menjaga amanah yang telah di berikan dengan tidak melakukan hal-hal yang dapat merugikan rakyatnya sendiri.

Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an Surah Ali Imran / 3: 161
  
Dan tidak mungkin seorang nabi berkhianat ( dalam urusan harta rampasan perang). dikhianatkanya itu. Kemudian setiap orang akan diberi balasan yang sempurna sesuai dengan apa yang dilakukannya, dan mereka tidak dizalimi ( Ali Imran/ 3 : 161).
Nabi Muhammad SAW telah menetapkan suatu peraturan, bahwa setiap kembali dari peperangan , semua harta rampasan baik yang  kecil maupun yang besar harus dilaporkan dan dikumpulkan dihadapan panglima perang, kemudian Rasulullah SAW membaginya sesuai dengan ketentuan bahwa 1/5 dari harta rampasan perang itu untuk Allah , Rasul, dan kerabatnya , anak yatim, orang miskin , dan ibnu sabil. Sedangkan sisanya 4/5 diberikan kepada mereka yang ikut perang.
Nabi Muhammad SAW tidak pernah menggunakan jabatan sebagai panglima perang untuk mengambil harta rampasan diluar dari ketentuan itu. Maka dari itu kita sebagai umat Nabi Muhammad SAW , dilarang untuk berkhianat dalam urusan sekecil apapun agar tidak ada pihak yang dirugikan. Sesungguhnya Allah SWT Maha mengetahui apa yang tidak manusia ketahui (Hamidy, 1986:23)
Dalam hadits-hadits Nabi SAW banyak pula menyebutkan larangan berkhianat (korupsi) dan suap, antara lain :
            Sabda Rasulullah SAW :
اعظم الغلول عندالله ذراع من الأرضو تجدون الرجلين جارين في الأرضو او في الدار فيقطع احدهما من حظ صاحبه ذراعاو فاذا قطعه طوقه من سبع ارضين يوم القيامة. ( رواه احمد عن ابى مالك الأشجعى )

“Korupsi yang paling besar menurut pandangan Allah ialah sejengkal tanah. Kamu melihat dua orang yang tanahnya atau rumahnya berbatasan. Kemudian salah seorang dari keduanya mengambil sejengkal dari milik saudaranya itu. Maka jika dia mengambilnya , akan dikalungkan kepadanya dari tujuh lapis bumi pada hari Kiamat”. (HR. Ahmad Dari Abu Malik Al-Asyja’).
Dalam hadits tersebut Rasulullah menyampaikan bahwa setiap orang tidak boleh melakukan perbuatan korupsi baik dari sipapun terhadap siapapun. Hadits ini juga menunjukkan bahwa sekecil dan sebesar apapun tidak diperbolehkan baik itu korupsi kepaa tetangga maupun rakyat.
 Sabda Rasulullah SAW :

لعن الله الراشى والمرتشي في الحكم ( رواه احمد والترمذي والحاكم عن ابى هريرة )
 “Allah mengutuk orang yang menyogok dan orang yang disogok dalam memutuskan perkara. (HR. At-Tirmidzi dan Al-Hakim dari Abu Hurairah)

Dari ayat dan hadits yang telah dipaparkan diatas dapat disimpulkan bahwa pandangan Islam terhadap perilaku korupsi dan suap itu diharamkan, Islam tidak pernah menyuruh umat-Nya yang memilki jabatan dalam pemerintahan untuk melakukan hal yang dpat merugikan dan memadaratkan nasib orang lain demi kepentingan individu. Dan Allah SWT akan menghukum manusia yang selalu memakan harta orang lain dan tidak pernah memikirkan nasib rakyatnya dengan meminta pertanggung jawaban terhadap apa yang telah dilakukannya di akherat nanti.

2.      Larangan dan Hukum KKN
KKN diharamkan karena KKN merupakan suatu perbuatan penyalahgunaan jabatan untuk memperkaya diri sendiri , keluarga , atau kelompok. Hal ini merupakan perbuatan yang mengkhianati amanat yang diberikan negara dan masyarakat kepadanya. Berkhianat terhadap amanat adalah perbuatan terlarang dan mendatangkan dosa.


Firman Allah SWT dalam Surah Al-Anfal ayat 27 :

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui”. (Al-Anfal/8:27)

Ayat tersebut di atas menerangkan bahwa mengkhianati amanat seperti perbuatan KKN bagi para pejabat adalah dilarang. Oleh sebab itu, hukumnya haram.
Sebagaimana dengan hukum KKN tersebut, Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah memfatwakan , sebagai berikut :
1)      Memberikan risywah dan menerimanya hukumnya adalah haram ;
2)      Melakukan korupsi hukumnya adalah haram ;
3)      Memberikan hadiah kepada pejabat ;
4)      Jika pemberian itu pernah dilakukan sebelum pejabat tersebut memegang jabatan , maka pemberian seperti itu hukumnya adalah halal, demikian juga menerimanya.
5)      Jika pemberian hadiah itu tidak pernah dilakukan sebelum pejabat tersebut memegang jabatan, maka dalam hal ini ada tiga kemungkinan :
a)      Jika antara pemberi hadiah dan pejabat tidak ada atau tidak akan ada urusan apa-apa, maka memberikan dan menerima hadiah itu tidak haram.
b)      Jika antara pemberi hadiah dan pejabat terdapat urusan , maka bagi pejabat haram menerima hadiah tersebut, sedangkan bagi pemberi, haram memberikannya apabila pemberian dimaksud bertujuan untuk meluluskan sesuatu yang bathil.
c)      Jika diantara pemberi hadiah dan pejabat ada sesuatu urusan , baik sebelum maupun sesudah pemberian hadiah dan pemberiannya itu tidak bertujuan untuk sesuatu yang bathil, maka halal bagi pemberi memberikan hadiah itu, tetapi bagi pejabat haram menerimanya.
Disamping mengeluarkan fatwa, MUI juga mengimbau agar semua lapisan masyarakat berkewajiban untuk memberantas dan tidak terlibat dalam praktik hal-hal tersebut.
Hukuman bagi pelaku korupsi menurut hukum islam adalah ta’zir, yaitu suatu hukuman yang dikenakan kepada pelaku tindak pidana yang diserahkan kepada kebijaksanaan hakim untuk menentukan berat dan ringannya semua hukuman atas pelaku tindak pidana yang belum ditentukan dalam Al-Quran dan Hadits. Tindakan pidana korupsi belum ditentukan dalam Al-Quran dan Hadits. Oleh sebab itu, hukuman bagi pelaku korupsi adalah ta’zir, yang mana sekarang ini telah ada undang-undang yang dibuat oleh pemerintah penanggulangannya.
Berkenaan dengan tindak pidana korupsi maka sanksi bagi pelakunya telah ditetapkan dalam undang-undang Pasal 2 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001:
(1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). (2) Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan. Rumusan korupsi pada Pasal 2 UU No. 31 Tahun 1999, pertama kali termuat dalam Pasal 1 ayat (1) huruf a UU No. 3 Tahun 1971. Perbedaan rumusan terletak pada masuknya kata ”dapat” sebelum unsur ”merugikan keuangan/perekonomian negara” pada UU No. 31 Tahun 1999. Sampai dengan saat ini, pasal ini termasuk paling banyak digunakan untuk memidana koruptor. Untuk menyimpulkan apakah suatu perbuatan termasuk korupsi menurut Pasal ini, harus memenuhi unsur-unsur:
a.       Setiap orang atau korporasi;
b.      Melawan hukum;
c.       Memperkaya diri sendiri, orang lain atau suatu korporasi;
d.      Dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Dengan melihat rumusan pasal diatas, tampaknya undang-undang tentang pemberantasan  tindak pidana korupsi di Indonesia sudah sangat berani dan sensasional, khususnya dengan adanya tuntutan hukuman mati bagi pelaku korupsi yang dilakukan dalam keadaan tertentu, yaitu apabila tindak pidana tersebut dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku.
Pada rumusan pasal-pasal Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi ini terdapat tiga macam hukuman ta’zir, yaitu sanksi pidana penjara, sanksi pidana denda, dan sanksi pidana mati.
Amir dalam kitabnya, At-Ta’zir fisy-Syariah Al-Islamiyah mengatakan bahwa hukuman ta’zir ada sebelas macam, yaitu :
1)      Hukuman mati
2)      Hukuman cambuk
3)      Hukuman penahanan
4)      Hukuman pengasingan
5)      Hukuman ganti rugi
6)      Hukuman publikasi dan pemanggilan paksa untuk hadir di majelis persidangan
7)      Hukuman berbentuk nasihat
8)      Hukuman pencelaan
9)      Hukuman pengucilan
10)  Hukuman pemecatan
11)  Hukuman berupa penyiaran.
Sedangkan Wahbah Az-Zuhaili dalam kitabnya, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuh, mengatakan bahwa hukuman ta’zir ada lima macam, yaitu :
1)      Hukuman pencelaan
2)      Hukuman penahanan
3)      Hukuman pemukulan
4)      Hukuman ganti rugi materi
5)      Hukuman mati karena pertimbangan politik
Hukuman ta’zir itu bisa berat dan bisa ringan, tergantung dari tindak pidana yang dilakukan, bahkan sampai kepada hukuman mati, seperti yang disebutkan dalam UU No. 31 tahun 1999 pasal 2 ayat (2) bahwa korupsi yang dilakukan dalam keadaan tertentu dapat dijatuhkan hukuman mati. Disamping itu , semua harta hasil korupsi harus dikembalikan.

2.3.            Kriteria Korupsi , Kolusi dan Nepotisme
Menurut Diantara kriteria KKN adalah sebagai berikut :
a.       Penyalahgunaan wewenang untuk kepentingan pribadi, keluarga, atau kelompok.
b.      Penyelewengan dana, seperti dalam bentuk-bentuk sebagai berikut :
c.       Pengeluaran fiktif
d.      Manipulasi harga pembelian atau kontrak
e.       Menerima suap untuk memenangkan yang bathil.
Sedangkan penyebab atau sumber KKN tersebut antara lain sebagai berikut :
1.      Proyek pembangunan fisik dan pengadaan barang , hal ini menyangkut harga , kualitas dan komisi.
2.      Bea dan cukai yang menyangkut manipulasi bea masuk barang dan penyelundupan administratif.
3.      Perpajakan yang menyangkut proses penentuan besarnya pajak dan pemeriksaan pajak .
4.      Pemberian fasilitas kredit perbankan dalam bentuk penyelewengan komisi dan jasa pungutan liar atau suap.
Berdasarkan apa yang disebutkan diatas, maka kriteria korupsi dapat diformulasikan sebagai suatu tindakan berupa penyelewengan hak , kedudukan, wewenang, atau jabatan yang dilakukan untuk mengutamakan kepentingan dan keuntunga  pribadi , menyalahgunakan amanat rakyat dan bangsa, memperturutkan hawa nafsu serakah untuk memperkaya diri dan mengabaikan kepentingan umum.
Dalam buku Al-hadis yang dikarang oleh Rachmat Syafei salah satu larangan korupsi dan kolusi adalah larangan menyuap, menerima hadiah, menimbun dan memonopoli.

A.    Larangan Menyuap

وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ: ( لَعَنَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم اَلرَّاشِيَ وَالْمُرْتَشِيَ فِي اَلْحُكْمِ ) رَوَاهُ اَلْخَمْسَةُ, وَحَسَّنَهُ اَلتِّرْمِذِيُّ, وَصَحَّحَهُ اِبْنُ حِبَّانَ

Artinya : “Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam melaknat penyuap dan penerima suap dalam masalah hukum. Riwayat Ahmad dan Imam Empat. Hadits hasan menurut Tirmidzi dan shahih menurut Ibnu Hibban”

َوَعَنْ عَبْدِ اَللَّهِ بْنِ عَمْرِوٍ -رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا- قَالَ: ( لَعَنَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم اَلرَّاشِي وَالْمُرْتَشِيَ ) رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ, وَاَلتِّرْمِذِيُّ وَصَحَّحَهُ

Artinya :  “ Dari Abdullah Ibnu Amar Ibnu al-'Ash Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam melaknat orang yang memberi dan menerima suap. Riwayat Abu Dawud dan Tirmidzi. Hadits shahih menurut Tirmidzi

Dalam kedua hadits tersebut di atas telah diterangkan dengan jelas bahwasanya Allah mengutuk orang yang memberi uang suap dan yang menerimanya.

وعن عمر وبن مرة قال سمعت رسول الله ص م يقولما من امام اووال يغلق بابه دون ذويالحاجة ولخلة والمسكنة الا اغلق الله ابواب اسماء دون خلته وحاجته ومسكنته (رواه احمد و الترمذي
Artinya : “dan dari ‘ Amr bin Murrah,ai berkata : “aku mendengar Rasulullah saw bersabda, tidak seorang imam punatau  penguasa yang menutup pintunya terhadap orang-orang yang berkepentingan, orang fakir dan miskin, melaikan allah akan menutup pintu-pintu (rizki) dari langit terhadap kefakirannya,kebutuhannya dan kemiskinanya.(H.R. Akhmad dan Tirmidzi) 
Kata khallah itu sendiri seperti tersebut dalam kitab nihayah artinya ialah kebutuhan dan kemiskinan. Tetapi kata ini di ma’thufkan (dihubungkan) dengan kata sebelumnya yaitu “hajah” yang artinya lebih khusus. Dalam istilah nahwu disebut “athful ‘am ‘alal khas”. Hadits ini menunjukan ketidak halalnya seorang kepala (penguasa) menutup pintunya terhadap orang-orang yang berkepentingan, walaupun itu orang yang kafir dan miskin.  
Dalam kitab bulughul maram telah dijelaskan haramnya suap menyuap, dan Allah pun melaknatnya, seperti dalam hadis berikut :

وعن ثوبان قال : لعن رسول الله صل الله عليه واله وسلم الراشى والمر تشى .والراش.يعن الدى يمس بينهما.  رواه احمد

“ Rasulullah mengutuk orang yang memberi uang sogok dan yang menerimanya dan mereka yang menjadi perantara “.(H.R. Ahmad ; Al-Muntaqa II: 935)
Suap menyuap sangat berbahaya bagi kehidupan masyarakat karena akan merusak berbagai tatanan  atas system yang ada di masyarakat, dan menyebabkan terjadinya kecerobohan dan kesalahan dalam menetapkan ketetapan hukum sehingga hukum dapat di permainkan dengan uang. Akibatnya terjadi kekacauan dan ketidakadilan. Dengan suap, banyak para pelanggar yang seharusnya diberi hukuman berat justru mendapat hukuman ringan, bahkan lolos dari jeratan hukum. Sebaliknya, banyak pelanggar hukum kecil, yang dilakukan oleh orang kecil mendapat hukuman sangat berat karena tidak memiliki uang untuk menyuap para hakim.

Menurut Sayyid Sabiq dalam konteks sistem, suap terjadi karena mekanisme yang ada dalam proses kebijakan memiliki celah-celah. Argumentasi yang dikemukakan tiap pihak mentah karena apa yang dipikirkan hanyalah kepentingan golongan masing-masing. Di satu sisi, parlemen sudah kurang peduli terhadap konstituen dan rakyatnya, di sisi lain penyuap merasa prosedur birokrasi yang ada terlalu membebani, tidak realistis, dan sering mengada-ada. 

      Suap terjadi akibat ketidakpercayaan dan keengganan terhadap demokrasi yang bisa melahirkan kehidupan publik yang lebih sehat. Suap juga terjadi akibat prasangka negatif bahwa segala jalan bisa ditempuh asalkan tujuan tercapai. Akibatnya, walaupun dalam proses demokrasi sekalipun yang tampak di depan mata, di dalamnya publik jarang mengetahui ada suap.
Menurut Muhammad Ibn Ismail Al-Kahlany, sebagaimana yang dikutip Syafe’I (2000: 155) suap dibolehkan dalam rangka memperoleh sesuatu yang menjadi haknya atau untuk mencegah dari kezaliman, baik yang akan menimpa dirinya maupun keluarganya, hal itu di dasarkan pada pendapat sebagian tabi’in bahwa boleh melakukan suap jika takut tertimpa zalim, baik terhadap dirinya maupun keluarganya.
Adapun menurut Imam Asy-Syaukani sebagaimana yang dikutip Syafe’I (2000: 155) sesungguhnya keharaman suap adalah mutlak dan tidak dapat ditakshish. Namun demikian dalam islam ada kaidah :
الضرورة ثبيح المحضورات
(kemadaratan memperoleh sesuatu yang membahayakan).
Dengan demikian jika tidak ada jalan lain bagi seseorang untuk menjaga dirinya dari kerusakan, kecuali dengan melakukan suap, ia boleh melakukannya.
B.     Unsur-Unsur Suap
Menurut Sumartana (2001:97), unsur-unsur suap adalah sebagai berikut:
1.      Penerima suap, yaitu orang yang menerima sesuatu dari orang lain baik berupa harta atau uang maupun jasa supaya mereka melaksanakan permintaan penyuap, padahal tidak dibenarkan oleh syara’, baik berupa perbuatan atau justru tidak berbuat apa-apa.
2.      Pemberi suap, yaitu orang yang menyerahkan harta atau uang, atau jasa untuk mencapai tujuannya.
3.      Suapan, yaitu harta atau uang/ barang atau jasa, yang diberikan sebagai sarana untuk mendapatkan benda dan atau sesuatu yang di dambakan, diharapkan atau diterima.

C.    Macam-Macam Suap
Menurut Atarsyah macam-macam suap adalah sebagai berikut:

a.       Suap untuk membatilkan yang haq atau membenarkan yang batil.

Halal itu jelas, haram itu jelas. Hak itu kekal dan batil itu sirna. Syariat Allah merupakan cahaya yang menerangi kegelapan yang menyebabkan orang-orang mukmin terpedaya dan para pelaku kejahatan tertutupi dan terlindungi. Maka, setiap yang dijadikan sarana untuk menolong kebatilan atas kebenaran itu haram hukumnya.
b.      Suap untuk mempertahankan kebenaran dan mencegah kebatilan serta kedzaliman.

Secara naluri, manusia memiliki keinginan untuk berintraksi sosial, berusaha berbuat baik. Akan tetapi, terkadang manusia khilaf sehingga terjerumus ke dalam kemaksiatan dan berbuat dzalim terhadap sesamanya, menghalangi jalan hidup orang lain sehingga orang itu tidak memperoleh hak-haknya. Akhirnya, untuk menyingkirkan rintangan dan meraih hak-haknya terpaksai harus menyuap. Suap-menyuap dalam hal ini (dilakukan secara terpaksa), menurut Abdullah bin Abd. Muhsin suap menyuap dalam kasus tersebut bisa ditolerir (dibolehkan). Namun ia harus bersabar terlebih dahulu sampai Allah membuka jalan baginya.

Sekarang yang menjadi perntanyaan, siapakah yang berdosa apabila terjadi kasus suap-menyuap seperti itu? Yang menyuap atau yang menerma suap? Ataukah keduanya? Dalam hal ini ada dua pendapat:
a)      Menurut jumhur ulama, yang menanggung dosa hanya penerima suap.
b)      Menurut Abu Laits as-Samarqandi berkata, “Dalam kasus seperti ini (suap untuk mencegah kedzaliman) tidak ada masalah jika seseorang menyerahkan hartanya kepada orang lain demi mencari kebenaran.”
Korupsi baik terhadap umum maupun milik Negara yang dianggap sebagai perbuatan salah/curang diharamkan dalam Islam dan diancam dengan adzab akhirat. Hal ini sebagaimana tercantum dalam Al-Qur’an surat Ali Imran ayat 161 :

.
“Tidak mungkin seorang nabi berkhianat dalam urusan harta rampasan perang. Barangsiapa yang berkhianat dalam urusan rampasan perang itu, maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu; kemudian tiap-tiap diri akan diberi pembalasan tentang apa yang ia kerjakan dengan (pembalasan) setimpal, sedang mereka tidak dianiaya.”
Contoh penyuapan, misalnya dalam penerimaan tenaga kerja, jika dilakukan karena adanya besarnya uang suap, bukan pada profesionalisme dan kemampuan, hal itu diyakini akan merusak kualitas dan kuantitas hasil kerja, bahkan tidak tertutup kemungkinan bahwa pekerja tersebut tidak mampu melaksanakan pekerjaan yang ditugaskan kepadanya, sehingga akan merugikan rakyat.
Begitu pula suatu proyek atau tender yang didapatkan melalui uang suap, maka pemenang tender akan mengerjakan proyeknya tidak sesuai program atau rencana sebagaimana yang ada dalam gambar, tetapi mengurangi kualitasnya agar uang yang dipakai untuk menyuap dapat ditutupi dan tidak dapat tertutupi dan ia tidak merugi, sehingga tidak jarang hasil pekerjaan tidak tahan lama atau cepat rusak, seperti banyak jalan dan jembatan yang seharusnya kuat 10 tahun, tetapi baru lima tahun saja telah rusak.
Dengan demikian, kapan di mana saja, suap akan menyebabkan kerugian bagi masyarakat banyak, dengan demikian, larangan Islam untuk menjauhi suap tidak lain agar manusia terhindar dari kerusakan dan kebinasaan di dunia dan disiksa Allah SWT kelak di akherat.
D.    Larangan Bagi Pejabat Untuk Menerima Hadiah
Hadis Riwayat Imam al-Darimiy Dalam Kitab al-Zakat :
اخبرنا االحكم بن نافع ا ناا شعيب عن الزهرى اخبرنى عروة ابن الز بير عن ا بى حميد ا لسا عدى انه اخبره ان النبى صلى الله عليه وسلم استعمل عا ملا على الصد قة فجاء ه العا مل حين فرغ من عمله فقا ل يارسول الله هذ ا ا لذى لكم وهذا اهدي لى فقال ا لنبى صلىا لله عليه وسلم فهلا قعـدت فى بيت ابيك وا مك فنظرت ا يهد ى لك ا م لا ثم قال ا لنبى صلىا لله عليه وسلم عشية بعد ا لصلاة علىا لمنبر فتشهد فحمدا لله وا ثنى عليه بما هو اهله ثم قال ا ما بعد- فما با ل ا لعا مل نستعمله فياء تينا فيقول هذا من عملكم وهذا اهدي لى فهلا قعد فى بيت ا بيه وا مه فينظر ا يهدى له ام لا والذى نفس محمد بيده لا يغل ا حد كم منها شياء الا جاء به يوم ا لقيا مة يحمله على عنقه ا ن كان بعيرا جاء به له رغاء وا ن كانت بقرة جاء بها لها خوا ر وا ن كا نت شا ة جاء بها تيعر فقد بلغت قا ل ا بو حميد ثم رفع ا لنبى صلىا لله عليه وسلم يد يه حتى ا نا لننظر ا لى عفرة ابطيه قا ل ا بو حميد وقد سمع ذا لك معى من رسول ا لله صلىا لله عليه وسلم ز يد بن ثا بت فسلوه-[12]

“Abu Humaid Assa’id r.a. berkata, Rasulullah SAW, mengangkat seorang pegawai untuk menerima sedekah/zakat, kemudian sesudah selesai dia datang kepada Nabi SAW, dan berkata, “ini untukmu dan yang ini untuk hadiah yang diberikan orang kepadaku”. Maka Nabi SAW bersabda kepadanya, “mengapakah anda tidak duduk saja dirumah ayah atau ibu anda apakah diberi hadiah atau tidak (oleh orang) ?” kemudian sesudah shalat Nabi SAW berdiri, setelah tasyahud memuji Allah selayaknya, lalu bersabda, “Amma ba’du, mengapakah seorang pegawai yang diserahi amal, kemudian ia datang lalu berkata, ini hadil untuk kamu dan ini aku diberi hadiah, mengapaia tidak duduk saja dirumah ayah atau ibunya untuk melihat apakah diberi hadiah atau tidak. Demi Allah! Yang jiwa Muhammad di tangan-Nya, tiada seseorang yang menyembunyikan sesuatu (korupsi), melainkan ia akan menghadap di harikiamat memikul diatas lehernya, jika berupa onta bersuara, atau lembu yang menguak atau kambing yang mengembik, maka sungguh aku telah menyampaikan. Abu Humaid berkat, kemudian Nabi SAW menga ngkat kedua tangannya sehingga aku dapat melihat putih kedua ketiaknya”.
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                   
(dikeluarkan oleh Al-Bukhari dalam kitab “Iman dan Nadzar,” bab: bagaimana cara Nabi SAW bersumpah”.)
Dalam Islam hadiah dianggap sebagai salah satu cara untuk lebih merekatkan persaudaraan atau persahabatan, sebagaimana disebutkan dalah sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Malik dalam kitab Muatha dari Al-Khurasani yang dikutip oleh Syafe’I (2000: 159) :
تصا فحوايد هب الغل و تها دوا تحا بوا وتد هب اشحناء. (رواه الاء مام ما لك)
“Saling bersalamanlah kamu semua, niscaya akan menghilangkan kedengkian, saling member hadiahlah kamu semua, niscaya akan saling mencintai, dan menghilangkan perceksokan”. (H.R. Imam Malik)
Turmudzi meriwayatkan hadis lain dari Abu Hurairah yang dikutip oleh Syafe’I (2000: 159)
تها دوا فاء ن الهد ية تدهب حر الصدر. (رواه التر مدى)
Artinya :“saling memberi hadihlah kamu semua, sesungguhnya hadiah itu menghilangkan kebencian dan kemarahan”. (H.R. Turmudzi)
Bagi orang yang diberi hadiah, disunahkan untuk menerimanya meskipun hadiah tersebut kelihatannya hina dan tidak berguna. Nabi SAW bersabda :
عن انس قال رسول الله صلى ا لله عليه وسلم : لو ا هدي الي كراع لتبلت. (روه التر مدى)
“Dari Anas r.a, bahwa Nabi SAW bersabda, “kalau saya diberi hadiah keledai, pasti akan saya terima”. (H.R. Turmudzi)
Dari keterangan-keterangan diatas, jelaslah bahwa pada dasarnya memberikan hadiah kepada orang lain sangat baik dan dianjurka untuk lebih meningkatkan rasa saling mencintai. Begitu pula bagi yang diberi hadiah disunahkan untuk menerimanya.
Akan tetapi Islampun memberi rambu-rambu tertentu dalam masalah hadiah, baik yang berkaitan dengan pemberi hadiah maupun penerimanya. Dengan kata lain, tidak semua orang diperbolehkan menerima hadiah, misalnya bagi seorang pejabat atau pemegang kekuasaan karena hal itu dapat menimbulkan fitnah.
Dengan demikian, sangatlah pantas kalau Rasululah SAW melarang seorang pegawai atau petugas negara untuk menerima hadiah karena menimbulkan kemadaratan walaupun pada asalnya menerima hadiah itu dianjurkan. Dalam kaidah Ushul Fiqih dinyatakan bahwa “ Suatu perantara yang akan menimbulkan suatu kemadaratan, tidak boleh dilakukan.
Namun demikian, kalau kaidah tersebut betul-betul murni dan tidak ada kaian dengan jabatannya, Islam tentu saja memperbolehkannya. Misalnya sebelum dia memangku suatu jabatan, dia sudah terbiasa menerima hadiah dari seseorang. Begitu pula setelah dia menduduki suatu jabatan, orang tersebut masih tetap memberinya haiah. Pemberian seperti itu kemungkinan besar tidak ada kaitannya dengan jabatannya atau kedudukannya dan ini boleh diterima olehnya.
E.     Larangan Terhadap Tengkulak
عن طا وس عن ابن عبا س قال : قال رسو ل الله صلي ا لله عليه و سلم : لا تلقوا الر كابولا يبع حا ضر لبا د, قلت لابن عبا س: ما قو له : ولا يبع حا ضر لبا د , قل : لا يكون له سمسارا. (متفق عليه و اللفظ للبخاري)
“Dari Thawus dari Ibnu Abbas ia berkata, “telah bersabda Rasulullah SAW, “ Janganlah kamu mencegat kafilah-kafilah dan janganlah orang kota menjualkan buat orang desa. “ Saya bertanya kepada Ibnu Abbas, “Apa arti sabdanya, “Janganlah kamu mencegat kafilah-kafilah dan janganlah orang kota jualbelikan buat orang desa. “ Ia menjawab, “Artinya janganlah ia menjadi perantara baginya. “ ( Mutafaq Alaih , tetapi lafazh tersebut dari Bukhari )
Diantara kebiasaan masyarakat Arab adalah berdagang ke negeri-negeri tetangga. Dari Mekkah, mereka membawa barang-barang hasil pekerjaan penduduk Mekkah untuk dijual ke negeri lain dan pulangnya mereka membawa barang-barang dari negeri lain yang diperlukan oleh penduduk Mekkah. Biasanya para pedagang itu berangkat bersama-sama dalam suatu rombongan besar yang disebut kafilah.
Sebenarnya para kafilah tersebut sudah terbiasa berhenti di pasar atau ditempat berkumpulnya penduduk. Harga barang yang dibawa oleh rombongan dalam kafilah ini tentu saja murah karena mereka merupakan pedagang pertama.
Akan tetapi, penduduk sering kali tidak mendapatkan barang secara langsung  dari kafilah karena barang-barang tersebut telah dicegat lebih dulu dan diborong oleh para tengkulak atau mekalar. Mereka memanfaatkan kesempatan tersebut untuk mendapatkan keuntungan besar, dengan cara menjual barang yang mereka beli dengan harga lebih tinggi kepada penduduk yang tidak dapat membeli langsung dari kafilah.
Dengan demikian, kafilah tidak bisa datang lagi ke pasar untuk berjual beli dengan penduduk desa karena barangnya habis atau penduduk sudah membeli barang kepada tengkulak dengan harga yang cukup tinggi. Keadaan tersebut sangat memadharatkan, baik bagi para kafilah maupun para penduduk. Oleh karena itu, perbuatan tersebut dilarang.


Sebenarnya hadits diatas mengandung dua larangan :
1.      Larangan mencegah para kafilah
Maksud kafilah disini baik sendirian ataupun dalam rombongan banyak. Begitu juga, bik memakai kendaraan ataupun berjalan. Akan tetapi biasanya para kafilah itu datang dengan rombongan besar dan mengendarai unta.
Tempat yang dilarang mencegat barang adalah di luar, pasar atau di luar tempat menjual barang, sebagaimana dinyatakan dalam hadits :

عن ابن عمر : كنا نتلقي الركبان فنشترى منهم الطعام فنها نا رسول لله صلى الله عليه وسلم ان نبيعه حتى يبلغ به سوق الطعام. (رواه البخارى)
Artinya :  “Dari Ibn Umar , “Kami semua mencegat para kafilah, kemudian membeli makanan dari mereka, maka Rasululllah SAW melarang bertransaksi barang sehingga para kafilah sampai di pasar makanan. “
Adapun hukum menemui kafilah, menurut Al-Kahlany adalah haram jika sudah mengetahui larangan menemui kafilah tersebut. Kendati demikian, di kalangan para ulama terdapat perbedaan pendapat. Menurut ualam hanafiyah dibolehkan mencegat para kafilah jika tidak memeadaratkan penduduk, tetapi jika memadaratkan penduduk, hukumnya makruh.
Adapun hukum transaksi yang dilakukan ketika mencegat para kafilah tersebut adalah sah menurut Al-Hadawiyah. Namun menurut ulama Syafi’iyah diperbolehkan khiyar bagi para kafilah tersebut,yakni hak memilih untuk menjadikan atau membatalkan penjualan sebelum kafilah tiba di pasar.
Rasulullah SAW bersabda :

عن ابى حريرة رضي ا لله عنه قال : قال رسول ا لله صلى ا لله عليه وسلم : لا تلقوا اخلب فمن تلقي فا شترى منه فادااتى سيده السوق فهو باخيار. (رواه مسلم)
Artinya : “Dari Abu Hurairah, ia berkata Rasulullah SAW telah bersabda , “Janganlah kamu cegat barang yang dibawa (dari luar kota), barang siapa di cegat lalu di beli darinya( sesuatu ), maka apabila yang mempunyai barang itu datang ke pasar , ia berhak khiyar. (HR Muslim)

Bila melihat zahir hadits diatas ini, illat (alasan) larangan menemui kafilah sebelum sampai di pasar atau desa bertujuan untuk kemaslahatan bagi penjual (kafilah) dan menghilangkan kemadaratan mereka. Menurut sebagian ulama, juga untuk menghilangkan kemadaratan pasar.
Menurut ulama lainnya, transaksi yang dilakukan pada waktu mencegat para kafilah adalah rusak (fasid) , karena larangan menurut mereka membawa kepada kerusakan, dan itulah arti yang paling dekat.
2.      Larangan menjadi perantara
Perantara yakni penduduk kota menjadi perantara bagi penduduk desa. Dengan kata lain, menjualkan barang dengan mengambil keuntungan atau bayaran. Jika perantara tidak mengambil keuntungan atau bayaran , hal itu di bolehkan secara mutlak.
Namun demikian , tujuan para tengkulak dari kota menjadi perantara tiada lain untuk mengambil keuntungan sebanyak-banyaknya. Mereka membodohi penduduk desa dengan menjual barang dengan harga sangat tinggi sesuai keinginan mereka. Perbuatan tersebut tentu saja dilarang oleh Islam karena sangat memadaratkan.
Tentu saja, berbeda hukumnya bila perantara betul-betul berusaha menolong penduduk yang tidak dapat membeli langsung dari pasar atau dari para kafilah. Barang-barng tersebut tidak akan sampai ke tangan penduduk jika tidak melalui tengkulak (perantara). Perantara seprti itu dibolehkan, bahkan dia telah menjadi penolong bagi orang-orang yang tidak mampu ke kota untuk membeli barang. Akan tetapi harganya jangan samapi mencekik penduduk . Lebih baik jika tidak mengambil keuntungan. Ia hanya mengambil keuntungan sedikit atau sekadarnya saja. Perantara seperti itu dikategorikan sebagai pendagang yang diperbolehkan dalam islam, bahkan kalau jujur dan bersih , mereka telah melakukan pekerjaan yang baik.
Dengan demikian, yang menjadi landasan tentang larangan untuk menjadi perantar adalah adanya kemadaratan bagi penduduk, sedangkan jika menimbulkan kemaslahatan bagi penduduk, hal itu diperbolehkan bahkan dianjurkan.

F.     Larangan Menimbun Barang Pokok

عن معمر بن عبدالله عن رسول الله صلى الله عليه وسلم. لا يحتكر الا خا طىء. (راوه مسلم)

Artinya : “Dari Ma’mar bin Abdullah , rasulullah SAW bersabda, “Tidaklah seseorang menimbun (makanan pokok) , melainkan ia berdosa.” (HR Muslim)
Menurut Rahmat (2000:174) menimbun artinya membeli barang dengan jumlah yang banyak kemudian menyimpannya dengan maksud untuk menjualnya dengan harga tinggi kepada penduduk ketika mereka sangat membutuhkannya. Biasanya barang-barang yang ditimbun adalah barang sedang melimpah dan harganya murah.
Para ahli fiqih sebagaimana dikutip oleh Sudirman berpendapat bahwa penimbunan diharamkan bila terdapat syarat sebagai berikut :
1.      Barang yang ditimbun melebihi kebutuhannya atau dapat dijadikan persediaan untuk setahun penuh.
2.      Barang yang ditimbunnya dalam usaha menunggu saat harganya naik, sehingga barang tersebut dapat dijual dengan harga yang lebih tinggi dan para konsumen sangan membutuhkannya.
3.      Penimbunan itu dilakukan pada saat manusia sangat membutuhkannya, misalnya makanan, pakaian dll. Dengan demikian penimbun barang-barang yang tidak di butuhkan oleh konsumen, hal itu tidak dianggap sebagai penimbunan karena tidak mengakibatkan kesulitan pada manusia.
Sedangakan mengenai hukum dari penimbunan barang tersebut, di kalangan ulama menjadi perbedaan pendapat. Akan tetapi, secara umum pendapat mereka dapat digolongkan menjadi dua kelompok :
1.      Menurut mazhab jumhur dari kalangan Syafi’iyah , Malikiyah, Hanabilah, Zahiriyah, Zaidiyah, Ibadiyah, Al-Imamiyah, dan Al-Kasani dari golongan Hanafiyah, bahwa penimbunan barang hukumnya haram. Dengan pertimbangan bahwa perbuatan tersebut akan menimbulkan kemadaratan bagi manusia.
2.      Menurut pendapat fuqaha dari kalangan mazhab Hanfiyah, bahwa penimbunan barang dagangan hukumnya adalah makruh tahrim. Dengan pertimbangan bahwa penimbunan itu diperbolehkan jika demi kemaslahatan manusia.
Dengan demikian, pendapat jumhur lebih tepat karena akan menimbulkan dampak hukum, misalnya dengan ta’zir ataupun barang yang ditimbulnya. Namun demikian, untuk mencegah agar penimbun tidak leluasa melakukan perbuatan tercela tersebut,diperlukan peran pemerintah untuk mengatur mekanisme perdagangan secara adil dan menindak dengan tegas.
Tidak heran kalau para penimbun dianggap sebagai sejelek-jeleknya hamba yang secara tidak langsung telah merampas hak dan kehidupan orang lain demi kepentingan pribadinya.

2.4.            Dampak KKN Terhadap Kehidupan Bangsa dan Negara
Inilah Dampak Buruk Korupsi Bagi Bangsa
Bagi demokrasi Korupsi menunjukan tantangan serius terhadap pembangunan. Di dalam dunia politik, korupsi mempersulit demokrasi dan tata pemerintahan yang baik (good governance) dengan cara menghancurkan proses formal. Korupsi di pemilihan umum dan di badan legislatif mengurangi akuntabilitas dan perwakilan di pembentukan kebijaksanaan; korupsi di sistem pengadilan menghentikan ketertiban hukum; dan korupsi di pemerintahan publik menghasilkan ketidak-seimbangan dalam pelayanan masyarakat. Secara umum, korupsi mengkikis kemampuan institusi dari pemerintah, karena pengabaian prosedur, penyedotan sumber daya, dan pejabat diangkat atau dinaikan jabatan bukan karena prestasi. Pada saat yang bersamaan, korupsi mempersulit legitimasi pemerintahan dan nilai demokrasi seperti kepercayaan dan toleransi.
Bagi ekonomi Korupsi juga mempersulit pembangunan ekonomi dengan membuat distorsi dan ketidak efisienan yang tinggi. Dalam sektor private, korupsi meningkatkan ongkos niaga karena kerugian dari pembayaran ilegal, ongkos manajemen dalam negosiasi dengan pejabat korup, dan risiko pembatalan perjanjian atau karena penyelidikan. Walaupun ada yang menyatakan bahwa korupsi mengurangi ongkos (niaga) dengan mempermudah birokrasi, konsensus yang baru muncul berkesimpulan bahwa ketersediaan sogokan menyebabkan pejabat untuk membuat aturan-aturan baru dan hambatan baru. Dimana korupsi menyebabkan inflasi ongkos niaga, korupsi juga mengacaukan “lapangan perniagaan”. Perusahaan yang memiliki koneksi dilindungi dari persaingan dan sebagai hasilnya mempertahankan perusahaan-perusahaan yang tidak efisien. Korupsi menimbulkan distorsi (kekacauan) di dalam sektor publik dengan mengalihkan investasi publik ke proyek-proyek masyarakat yang mana sogokan dan upah tersedia lebih banyak. Pejabat mungkin menambah kompleksitas proyek masyarakat untuk menyembunyikan praktek korupsi, yang akhirnya menghasilkan lebih banyak kekacauan. Korupsi juga mengurangi pemenuhan syarat-syarat keamanan bangunan, lingkungan hidup, atau aturan-aturan lain. Korupsi juga mengurangi kualitas pelayanan pemerintahan dan infrastruktur; dan menambahkan tekanan-tekanan terhadap anggaran pemerintah. Kesejahteraan umum negara Korupsi politis ada di banyak negara, dan memberikan ancaman besar bagi warga negaranya. Korupsi politis berarti kebijaksanaan pemerintah sering menguntungkan pemberi sogok, bukannya rakyat luas. Satu contoh lagi adalah bagaimana politikus membuat peraturan yang melindungi perusahaan besar, namun merugikan perusahaan-perusahaan kecil (SME). Politikus-politikus “pro-bisnis” ini hanya mengembalikan pertolongan kepada perusahaan besar yang memberikan sumbangan besar kepada kampanye pemilu mereka.
Korupsi memperbesar angka kemiskinan. Selain dikarenakan program-program pemerintah sebagaimana disebut di atas tidak mencapai sasaran, korupsi juga mengurangi potensi pendapatan yang mungkin diterima oleh si miskin. Perusahaan perusahaan kecil adalah pihak yang paling sering menjadi sasaran korupsi dalam bentuk pungutan tak resmi (pungutan liar). Bahkan, pungutan tak resmi ini bisa mencapai hampir dua puluh persen dari total biaya yang harus dikeluarkan oleh perusahaan ini amat mengkhawatirkan, dikarenakan pada negara negara berkembang seperti Indonesia, perusahaan kecil (UKM adalah mesin pertumbuhan karena perannya yang banyak menycrap tenaga kerja).
Korupsi Mengurangi Nilai Investasi Korupsi membuat sejumlah investor kurang percaya untuk menanamkan modalnya di Indonesia dan lebih memilih menginvestasikannya ke negara-negara yang lebih aman seperti Cina dan India. Sebagai konsekuensinya, mengurangi pencapaian actual growth dari nilai potential growth yang lebih tinggi. Berkurangnya nilai investasi ini diduga berasal dari tingginya biaya yang harus dikeluarkan dari yang seharusnya. ini berdampak pada menurunnya growth yang dicapai. Studi didasarkan atas analisa fungsi produksi dimana growthadalah fungsi dari investasi.
Secara umum akibat Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) adalah merugikan negara dan merusak sendi-sendi kebersamaan serta memperlambat tercapainya tujuan nasional seperti yang tercantum dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945.

2.5.            Upaya-Upaya Menyikapi KKN
Korupsi nampaknya susah diberantas, tetapi kita berusaha untuk menguranginya antar daerah. Padahal yang melakukan korupsi kebanyakan adalah orang-orang pilihan rakyat, apakah rakyat yang salah milih, ataukah partai yang salah mencalonkan orang tersebut sebagai wakil rakyat, hal inilah yang menjadi pertanyaan kita. Rakyat itu sebenarnya tidak salah memilih wakil rakyatnya, karena yang lebih mengetahui kondite wakil rakyat tersebut adalah partai. Bahkan yang mencalonkan orang tersebut adalah dari partai pilihan rakyat yang dipercaya oleh rakyat untuk menentukan nasib rakyat, bahkan sewaktu kampanye berjanji akan memberantas korupsi.
Cara palik efektif dan efesien untuk menghapus KKn adalah dengan kesadaran masing-masing individu. Hanya saja sekiranya sulit diwujudkan dengan kondisi moral, mental dan kesadaran masing-masing individu yang relatif buruk. Maka dari itu, bukan hal yang mudah untuk memberantas KKN, khususnya di Indonesia, perlu diupayakan banyak hal dan perlu kerja sama dari berbagai pihak manapun sehingga tujuannyapun dapat berjaan dengan baik pula.
Sikap anti korupsi haruslah dimulai dari diri sendiri dan lingkungan keluarga, sejak dini harus ditanamkan sikap jujur, adil, terbuka, dan mandiri. Dengan demikian, orang akan terhindar dari perilaku yang merugikan orang lain demi kepentingan pribadi. Saat ini masyarakat telah menganggap bahwa korupsi, kolusi dan nepotisme merupakan tindakan yang berbahaya dan tidak terpuji.
Menurut Noor (2000:68) di bawah ini adalah stake holder dengan peranannya masing-masing:
1.      Pemerintah dan Perangkat Kenegaraan
·         Membuat dan menegakkan peraturan perundangan yang melarang korupsi, kolusi dan nepotisme.
·         Membuat maupun  mendukung lembaga-lembaga pemberantas KKN
·         Mengadakan meupun mensponsori even-even yang mendukung pemberantasan KKN, misalnya penyuluhan, workshop, dan sebagainya.
·         Sebisa mungkin menjauhi praktek KKN sekalipun dalam porsi kecil.
·         Menumbuhkan jiwa anti KKN dalam diri dan menularkan semangat, baik itu pada sesama aparatur kenegaraan maupun pada orang lain.
2.      Guru, Dosen, dan Keluarga dan Lainnya
·         Mengajarkan pada generasi muda tentang seberapa negatif KKN.
·         Memberi pendidikan yang mengarah pada kesadaran diri agar sebisa mungkin selalu jujur dan adil disetiap tindakan.
·         Sebisa mungkin menjauhi praktik KKN sekalipun dalam porsi kecil.
·         Menumbuhkan jiwa anti KKN dalam diri dan menularkan semangat itu baik pada sesama guru maupun pada lainnya.
3.      Siswa dan Mahasiswa
·         Mempelajari KKN dan seluk beluknya untuk mengetahui seberapa negatif KKN itu.
·         Sebisa mungkin menjauhi praktik KKN sekalipun dalam porsi kecil.
·         Membiasakan diri jujur dalam setiap tindakan
·         Mempersiapkan masa depan Indonesia bersih dari KKN dimulai dari penerapan gerakan anti KKN pada diri sendiri dan dilanjutkan dengan mengalirkan semangat anti KKN pada orang disekitar, terutama teman, sesama generasi muda.
4.      Pegawai Pemerintah
·         Sebisa mungkin menjauhi praktik KKN sekalipun dalam porsi kecil.
·         Menumbuhkan jiwa anti KKN dalam diri dan menularkan semangat itu pada masyarakat.
·         Mengadakan maupun mensponsori kegiatan-kegiatan yang mendukung anti KKN, seperti penyuluhan, workshop,dan sebagainya di tingkat masing-masing (desa, kecamatan, kabupaten, dll)
5.      Aktivis
·         Mengadakan maupun mensponsori event-event yang mendukung anti KKN, misalnya penyuluhan, workshop, dan sebagainya.
·         Sebisa mungkin menjauhi praktik KKN sekalipun dalam porsi kecil.
·         Menumbuhkan jiwa anti KKN dalam diri dan menularkan semangat itu pada orang lain.
Adapun menurut kelompok kami, cara-cara yang bisa dilakukan untuk menyikapi KKN di Indonesia adalah sebagai berikut :
1.      Penegakan hukum di Indonesia;
2.      Penghukuman yang berefektif dan berefek jera;
3.      Insentif/bonus dan promosi kenaikan pangkat bagi aparat penegak hukum/ lembaga yang berhasil menangkap atau menghukum kruptor;
4.      Sita massal terhadap aset koruptor untuk pengembalian keuagangan negara yang dikorupsi;
5.      Mamksimalkan peran serta publik;
6.      Mengoptimalkan fungsi aparat penegak hukum dan instansi terkait seperti PPATK;
7.      Menjalin kerja sama dengan baik antar pemerintahan;


BAB III
PENUTUP
3.1.            Kesimpulan
Korupsi ialah pelaku yang buruk yang tidak legal dan tidak wajar untuk memperkaya diri. Haram hukumnya melakukan korupsi, kolusi dan nepotisme, tetapi khusus nepotisme haram hukumnya jika yang diserahi jabatan tidak profesional, tidak memiliki kapabilitas dan tidak mempunyai moralitas yang sesuia dengan ajaran Al-Quran dan Hadis. Korupsi dinilai dari sudut  manapun ia tetap suatu pelanggaran.
Korupsi mengakibatkan kurangnya pendapatan negara dan kurangnya kepercayaan terhadap pemerintah. Agama Islam mengakui adanya hak pribadi yang berhak mendapat perlindungan dan tidak boleh di ganggu gugat.
KKN diharamkan karena bertantangan dengan ajaran Al-Quran, Hadis dan tujuan syariat, selain itu juga bertentangan dengan rasa kemanusiaan dan rasa keadilan, pula karena merugikan orang lain, masyarakat dan negara. Maka dari itu kita sebagai re-generasi bangsa Indonesia ini janganlah mendekati KKN.

3.2.            Saran
Makalah ini pada dasarnya masih terbilang sangat sederhana dan masih sangat miskin referensi sehingga butuh kajian yang lebih mendalam tentang KKN, begitupula penulisan yang terdapat pada makalah ini. Penulis juga tekah menguraikan sedikit informasi tentang pengertian, faktor-faktor, hubungan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan KKN. Oleh karena itu penulis berharap ada pemaparan yang lebih spesifik dan mendalam tentang bagaimana KKN dalam sudut pandang Islam dan hukum serta upaya menghilangkan KKN tersebut.
Dengan ini kami selaku penulis meminta maaf atas ketidak sempurnaannya makalah ini, dengan itu kami meminta kepada pemabaca untuk memberikan saran dan implikasi nya terhadap makalah ini, guna terciptanya suatu makalah yang benar dan sesuai dengan kajian sesungguhnya.


DAFTAR PUSTAKA

Al-Bukhariy, Abi’Abd Allah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim ibn al-Mughirah, Shahih al-Bukhari, al-juz VII, Beirut: Dar al-Fikr, 1401 H/1981 M
Amirudin. Aam, 2006, Bedah Masalah Kontemporer, Bandung : Khazanah Intelektual
Anonim, 1999, Ma’mar, Macam-Macam KKN, Bandung : Pustaka Rizki Putra
Departemen Agama RI, 1989, Al-Quran dan Terjemahnya, Edisi Refisi. Surabaya: Mahkota
Gie, 2002, Pemberantasan Korupsi Untuk Meraih Kemandirian, Kemakmuran, Kesejahteraan, dan Keadilan.
Hamidy, Mu’ammal dkk, 1986, Terjemahan Nailul Authar Himpunan Hadis-Hadis Hukum, Semarang: Pustaka Rizki Putra
Hamka, 1985, Tafsir Al-Azhar, Jakarta: Pustaka Panjimas, cetakan V, juz IV
Hasbi Ash Shiddeqy, Muhammad, 2001, Hadis-Hadis Hukum, Semarang: Pustaka Rizki
MudjabMahalli, Ahmad, 2003, Hadis-Hadis Mutafaq Alaih, Jakarta: Prenada Media
Sumartana, 2001, Hukum Kontemporer, Jakarta: PT Bina Ilmu




Tidak ada komentar:

Posting Komentar