BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Masalah suap menyuap di
Indonesia bukan lagi merupakan sebuah fenomena, melainkan sudah merupakan fakta
yang terkenal di mana-mana. Kini, setelah rezim otoriter Orde Baru tumbang,
tampak jelas bahwa praktik suap menyuap selama ini terbukti telah menjadi
tradisi dan budaya yang keberadaannya meluas, berurat akar dan menggurita dalam
masyarakat serta sistem birokrasi Indonesia, mulai dari pusat hingga lapisan
kekuasaan yang paling bawah.
Dalam islam
kegiatan suap menyuap dan pejabat yang menerima hadiah tersebut merupakan
pelanggaran atau penyelewengan amanah yang harus dipertanggungjawabkan di
akhirat nanti. Mengingat pentingnya kestabilan sosial, tindakan-tindakan
tersebut harus dibrantas sedemikian rupa terlebih lagi apabila mengingat kita
sebagai kaum muslimin.
Bukan hanya masalah
suap saja yang merajarela di Indonesia, melainkan banyak masalah lain yang
diantaranya munculnya pemahaman seputar gender, yang menganggap bahwa laki-laki
dan perempuan memiliki hak dan derajar yang sama, baik itu dalam pendidikan,
pekerjaan dan bahkan dalam masalah kepemimpinan. Banyak pemahaman yang
menyatakan bahwa wanita juga berhak menjadi pemimpin, baik pemimpin Negara,
wilayah, daerah, desa, kementrian maupun dalam perusahaan. Lantas bagaimana
Islam memandang pemahaman yang mulai menjamur dikalangan masyarakat tersebut.
Berkenaan dengan itu,
makalah yang kami buat ini akan membahas materi tentang suap menyuap, dan
bolehkan memilih wanita sebagai pemimpin dalam pandangan Islam.
1.2.
1.2.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas,
Adapun masalah-masalah yang ingin di gali dalam pembuatan makalah ini yaitu
seperti terangkum dalam pertanyaan-pertanyaan berikut:
1. Bagaimana hadits tentang wanita sebagai kepala
negara ?
2. Bagaimana hadits tentang larangan menyogok/menyuap ?
3.
Bagaiaman hadits tentang pejabat yang menerima hadiah ?
4.
Bagaiaman hadits tentang bendahara yang mendapat pahala ?
1.3.
Tujuan Pembahasan
Secara terperinci tujuan dari
penelitian dan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui hadits tentang wanita sebagai kepala negara.
2. Untuk mengetahui hadits tentang larangan menyogok/menyuap.
3. Untuk mengetahui hadits tentang pejabat yang menerima hadiah.
4. Untuk mengetahui hadits tentang bendahara yang mendapat pahala.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1.
Wanita sebagai Kepala Negara
حَدَّثَنَا
عُثْمَانُ بْنُ الْهَيْثَمِ حَدَّثَنَا عَوْفٌ عَنْ الْحَسَنِ عَنْ أَبِي بَكْرَةَ
قَال لَقَدْ نَفَعَنِي اللَّهُ بِكَلِمَةٍ أَيَّامَ الْجَمَلِ لَمَّا بَلَغَ
النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ فَارِسًا مَلَّكُوا ابْنَةَ
كِسْرَى قَالَ لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمْ امْرَأَةً
(
BUKHARI – 6570 ) Telah menceritakan kepada kami Utsman
bin Al Haitsam telah menceritakan kepada kami 'Auf dari Al Hasan dari Abu
Bakrah mengatakan; Dikala berlangsung hari-hari perang jamal, aku telah
memperoleh pelajaran dari pesan baginda Nabi, tepatnya ketika beliau
Shallallahu'alaihiwasallam tahu kerajaan Persia mengangkat anak perempuan Kisra
sebagai raja, beliau langsung bersabda: "Tak akan baik keadaan sebuah kaum
yang mengangkat wanita sebagai pemimpin urusan mereka."
1. Arti
Mufradat
Persia
|
فَارِسًا
|
Tak kan baik keadaan
|
لَنْ يُفْلِحَ
|
Pemimpin mereka
|
أَمْرَهُمْ
|
Seorang wanita
|
امْرَأَةً
|
1.
2. Takhrij
Hadits
a. Jalur
Hadits
JALUR SANAD KE - 1
b. Analisis
Rawi
Hadits Imam Bukhari
No. 6570
a)
Utsman
bin Al Haitsam bin Jahm
·
Nama
Lengkap : Utsman bin Al Haitsam bin Jahm
·
Kalangan
: Tabi'ul Atba' kalangan tua
·
Kuniyah
: Abu 'Amru
·
Negeri
semasa hidup : Bashrah
·
Wafat
: 220 H
|
a)
b)
Auf
bin Abi Jamilah
·
Nama
Lengkap : Auf bin Abi Jamilah
·
Kalangan
: Tabi'in (tdk jumpa Shahabat)
·
Kuniyah
: Abu Sahal
·
Negeri
semasa hidup : Bashrah
·
Wafat
: 146 H
|
c)
Al
Hasan bin Abi Al Hasan Yasar
·
Nama
Lengkap : Al Hasan bin Abi Al Hasan Yasar
·
Kalangan
: Tabi'in kalangan pertengahan
·
Kuniyah
: Abu Sa'id
·
Negeri
semasa hidup : Bashrah
·
Wafat
: 110 H
|
d)
Nufai'
bin Al Harits bin Kildah
·
Nama
Lengkap : Nufai' bin Al Harits bin Kildah
·
Kalangan
: Tabi'in kalangan biasa
·
Kuniyah
: Abu Bakrah
·
Negeri
semasa hidup : Bashrah
·
Wafat
: 52 H
|
c.
Tashih
dan Itibar
Analisis
hadits yang dapat di ketahui dari nash hadis dan takhrij hadits oleh kebanyakan
muhadisin yang mengomentari hadis tersebut di atas menerangkan bahwa hadis
tentang wanita sebagai kepala Negara adalah
hadits shahih karena terdapat dalam kitab Sunan Bukhari No. 6570. Kemudian
ditinjau dari kualitas hadits, hadits ini termasuk hadits maqbul artinya
dapat diterima dan dapat dijadikan hujjah.
d. Ta’ammul
hadits
Ta’ammul hadits
memiliki makna implementasi atau pengamalan sebuah hadits.
Sebuah hadits ada yang diamalkan (ma’mul) dan ada pula
yang tidak diamalkan (ghair ma’mul) maka ditinjau dari ta’ammul haditsnya bahwa
hadits tentang wanita sebagai kepala
Negara termasuk ke dalam hadits ma’mul bih artinya dapat diamalkan dalam
kehidupan sehari-hari dan termasuk muhkam artinya jelas dan tegas.
e. Munasabah
·
Munasabah dengan ayat Al-Quran
ãA%y`Ìh9$# cqãBº§qs% n?tã Ïä!$|¡ÏiY9$# $yJÎ/ @Òsù ª!$# óOßgÒ÷èt/ 4n?tã <Ù÷èt/
“kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh
karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian
yang lain (wanita), (QS. An-Nisa : 34)
f.
Syarah Istinbath Ahkam
حَدَّثَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى حَدَّثَنَا خَالِدُ بْنُ الْحَارِثِ حَدَّثَنَا
حُمَيْدٌ الطَّوِيلُ عَنْ الْحَسَنِ عَنْ أَبِي بَكْرَةَ قَالَ عَصَمَنِي اللَّهُ
بِشَيْءٍ سَمِعْتُهُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
لَمَّا هَلَكَ كِسْرَى قَالَ مَنْ اسْتَخْلَفُوا قَالُوا ابْنَتَهُ فَقَالَ النَّبِيُّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمْ
امْرَأَةً قَالَ فَلَمَّا قَدِمَتْ عَائِشَةُ يَعْنِي الْبَصْرَةَ ذَكَرْتُ قَوْلَ
رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَعَصَمَنِي اللَّهُ بِه قَالَ
أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيح
(
TIRMIDZI – 2188 ) Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Al Mutsanna telah
menceritakan kepada kami Khalid bin Al Harits telah menceritakan kepada kami
Humaid Ath Thawil dari Al Hasan dari Abu Bakrah berkata: Allah menjagaku dengan
sesuatu yang aku dengar dari Rasulullah Shallallahu 'alahi wa Salam saat Kisra
mati, beliau bersabda: "Siapa yang menjadi penggantinya?" mereka
menjawab: Putrinya, nabi Shallallahu 'alaihi wa Salam bersabda: "Tidak
akan beruntung suatu kaum yang menguasakan urusan mereka kepada seorang
wanita." Berkata Abu Bakrah: Saat 'A`isyah tiba di Bashrah, aku sebutkan
sabda Rasulullah Shallallahu 'alahi wa Salam lalu Allah Subhaanahu wa Ta'ala
menjagaku dengan sabda itu. Berkata Abu Isa: Hadits ini hasan shahih.
g.
Natijah
Hadits Imam Bukhari no 6570 diatas, tidak diragukan
lagi bahwa hadits ini menunjukkan tidak bolehnya seorang wanita menduduki jabatan
kepemimpinan tertinggi, juga sebagai kepala daerah. Karena itu semua merupakan
sifat umum. Rasulullah SAW menafikan keberuntungan dan kemenangan bagi siapa
yang mengangkatnya sebagai pemimpin.
Juga, karena kemaslahatan yang dapat ditangkap dengan akal
menunjukkan bahwa kaum wanita tidak layak mendudukan jabatan public tertinggi.
Karena yang diminta dari orang yang dipilih sebagai pemimpin adalah memiliki
kelebihan dalam kesempurnaan akal, tekad, kecerdikan, kemauan kuat, pandai
memenej. Sifat-sifat ini bertentangan dengan karakteristik seorang wanita yang
akalnya kurang, lemah pikiran, emosinya kuat. Maka jika dia dipilih untuk
posisi tersebut tidak sesuai dengan tuntutan memberi nasehat bagi kaum
muslimin, atau tuntutan meraih kemuliaan dan kemenangan.
2.2.
Larangan Menyogok
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ يُونُسَ
حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي ذِئْبٍ عَنْ الْحَارِثِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ
أَبِي سَلَمَةَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّاشِي وَالْمُرْتَشِي
( ABU DAWUD – 3109 ) Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Yunus telah
menceritakan kepada kami Ibnu Abu Dzi`b dari Al Harits bin Abdurrahman dari Abu
Salamah dari Abdullah bin 'Amru ia berkata, "Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam melaknat orang yang memberi uang sogokan dan orang yang
menerimanya."
1.
Arti Mufradat
Melaknat
|
لَعَنَ
|
orang yang memberi sogokan
|
الرَّاشِي
|
orang yang menerimanya
|
الْمُرْتَشِي
|
2.
Takhrij Hadits
a.
Jalur Hadits
JALUR SANAD KE - 1
b.
Analisis Rawi
Hadits Imam Abu
Dawud No. 3109
a)
Ahmad bin 'Abdullah bin Yunus bin
'Abdullah bin Qais
·
Nama Lengkap : Ahmad bin 'Abdullah bin Yunus
bin 'Abdullah bin Qais
·
Kalangan : Tabi'ul Atba' kalangan tua
·
Kuniyah : Abu 'Abdullah
·
Negeri semasa hidup : Kufah
·
Wafat : 227 H
|
b) Muhammad bin
'Abdur Rahman bin Al
·
Nama Lengkap : Muhammad bin 'Abdur
Rahman bin Al Mughirah bin Al Harits bin Abi Dzi`b
·
Kalangan : Tabi'in kalangan biasa
·
Kuniyah : Abu Al Harits
·
Negeri semasa hidup : Madinah
·
Wafat : 158 H
|
c) Al Harits bin 'Abdur Rahman
·
Nama Lengkap :
Al Harits bin 'Abdur Rahman
·
Kalangan :
Tabi'in kalangan biasa
·
Kuniyah :
·
Negeri semasa
hidup :
·
Wafat :
|
d) Abdullah bin 'Abdur Rahman bin 'Auf
·
Nama Lengkap :
Abdullah bin 'Abdur Rahman bin 'Auf
·
Kalangan :
Tabi'in kalangan pertengahan
·
Kuniyah : Abu
Salamah
·
Negeri semasa
hidup : Madinah
·
Wafat : 94 H
|
e) Abdullah bin 'Amru bin Al 'Ash bin Wa'il
·
Nama Lengkap :
Abdullah bin 'Amru bin Al 'Ash bin Wa'il
·
Kalangan :
Shahabat
·
Kuniyah : Abu
Muhammad
·
Negeri semasa
hidup : Maru
·
Wafat : 63 H
|
c.
Tashih
dan Itibar
Analisis hadits yang
dapat di ketahui dari nash hadis dan takhrij hadits oleh kebanyakan muhadisin
yang mengomentari hadis tersebut di atas menerangkan bahwa hadis tentang larangan menyogok adalah hadits shahih karena terdapat dalam kitab Sunan
Abu Dawud no 3109. Kemudian
ditinjau dari kualitas hadits, hadits ini termasuk hadits maqbul artinya
dapat diterima dan dapat dijadikan hujjah.
d. Ta’ammul
hadits
Ta’ammul hadits memiliki
makna implementasi atau pengamalan sebuah hadits.Sebuah hadits ada yang
diamalkan (ma’mul) dan ada pula yang tidak diamalkan (ghair ma’mul) maka
ditinjau dari ta’ammul haditsnya bahwa hadits tentang larangan menyogok termasuk ke dalam hadits ma’mul bih artinya dapat
diamalkan dalam kehidupan sehari-hari dan termasuk muhkam artinya jelas dan
tegas.
e. Munasabah
·
Munasabah
dengan ayat Al-Quran
wur (#þqè=ä.ù's? Nä3s9ºuqøBr& Nä3oY÷t/ È@ÏÜ»t6ø9$$Î/ (#qä9ôè?ur !$ygÎ/ n<Î) ÏQ$¤6çtø:$# (#qè=à2ù'tGÏ9 $Z)Ìsù ô`ÏiB ÉAºuqøBr& Ĩ$¨Y9$# ÉOøOM}$$Î/ óOçFRr&ur tbqßJn=÷ès? ÇÊÑÑÈ
Dan
janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu
dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada
hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu
dengan (jalan berbuat) dosa, Padahal kamu mengetahui. (QS. Al-Baqarah : 188)
f.
f.
Syarah
Istinbath Ahkam
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ حَدَّثَنَا أَبُو عَوَانَةَ عَنْ
عُمَرَ بْنِ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ لَعَنَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّاشِيَ وَالْمُرْتَشِيَ
فِي الْحُكْمِ قَالَ وَفِي الْبَاب عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو وَعَائِشَةَ
وَابْنِ حَدِيدَةَ وَأُمِّ سَلَمَةَ قَالَ أَبُو عِيسَى حَدِيثُ أَبِي هُرَيْرَةَ
حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ وَقَدْ رُوِيَ هَذَا الْحَدِيثُ عَنْ أَبِي سَلَمَةَ بْنِ
عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَرُوِيَ عَنْ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ
النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَا يَصِحُّ قَالَ و سَمِعْت
عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَبْدِ الرَّحْمَنِ يَقُولُ حَدِيثُ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ
عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
أَحْسَنُ شَيْءٍ فِي هَذَا الْبَابِ وَأَصَحُّ
( TIRMIDZI –
1256 ) Telah menceritakan kepada kami Qutaibah, telah menceritakan kepada kami
Abu 'Awanah dari Umar bin Abu Salamah dari ayahnya dari Abu Hurairah ia
berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melaknati penyuap dan yang
disuap dalam masalah hukum. Ia berkata; Dalam hal ini ada hadits serupa dari
Abdullah bin Umar, A`isyah, Ibnu Hadidah dan Ummu Salamah. Abu Isa berkata;
Hadits Abu Hurairah adalah hadits hasan shahih, hadits ini telah diriwayatkan
dari Abu Salamah bin Abdurrahman dari Abdullah bin Amru dari Nabi shallallahu
'alaihi wasallam. Dan diriwayatkan juga dari Abu Salamah dari ayahnya dari Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam namun tidak shahih. Ia mengatakan; Serta aku
mendengar Abdullah bin Abdurrahman berkata; Hadits Abu Salamah dari Abdullah
bin Amru dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam adalah hadits yang lebih hasan
dan lebih shahih di dalam bab ini.
g.
Natijah
Menyuap
dalam masalah hukum adalah memberikan sesuatu, baik berupa uang maupun lainnya
kepada petugas hukum agar terlepas dari ancaman hukum atau mendapat hukuman
ringan. Perbuatan ringan seperti itu sangat dilarang dalam Islam dan disepakati
oleh para ulama sebagai perbuatan haram. Harta yang diterima dari hasil menyuap
tersebut tergolong dalam harta yang diperoleh melalui jalan bathil.
Dalam kitab
bulughul maram telah dijelaskan haramnya suap menyuap, dan Allah pun
melaknatnya, seperti dalam hadis berikut :
وعن ثوبان قال : لعن رسول الله صل الله عليه واله وسلم
الراشى والمر تشى .والراش.يعن الدى يمس بينهما. رواه احمد
“ Rasulullah mengutuk
orang yang memberi uang sogok dan yang menerimanya dan mereka yang menjadi
perantara “.(H.R. Ahmad ; Al-Muntaqa II: 935)
Suap menyuap
sangat berbahaya bagi kehidupan masyarakat karena akan merusak berbagai
tatanan atas system yang ada di masyarakat,
dan menyebabkan terjadinya kecerobohan dan kesalahan dalam menetapkan ketetapan
hukum sehingga hukum dapat di permainkan dengan uang. Akibatnya terjadi
kekacauan dan ketidakadilan. Dengan suap, banyak para pelanggar yang seharusnya
diberi hukuman berat justru mendapat hukuman ringan, bahkan lolos dari jeratan
hukum. Sebaliknya, banyak pelanggar hukum kecil, yang dilakukan oleh orang
kecil mendapat hukuman sangat berat karena tidak memiliki uang untuk menyuap
para hakim.
Menurut Sayyid
Sabiq dalam konteks
sistem, suap terjadi karena mekanisme yang ada dalam proses kebijakan memiliki
celah-celah. Argumentasi yang dikemukakan tiap pihak mentah karena apa yang
dipikirkan hanyalah kepentingan golongan masing-masing. Di satu sisi, parlemen
sudah kurang peduli terhadap konstituen dan rakyatnya, di sisi lain penyuap
merasa prosedur birokrasi yang ada terlalu membebani, tidak realistis, dan
sering mengada-ada.
Suap terjadi
akibat ketidakpercayaan dan keengganan terhadap demokrasi yang bisa melahirkan
kehidupan publik yang lebih sehat. Suap juga terjadi akibat prasangka negatif
bahwa segala jalan bisa ditempuh asalkan tujuan tercapai. Akibatnya, walaupun
dalam proses demokrasi sekalipun yang tampak di depan mata, di dalamnya publik
jarang mengetahui ada suap.
Menurut
Muhammad Ibn Ismail Al-Kahlany, sebagaimana yang dikutip Syafe’I (2000: 155)
suap dibolehkan dalam rangka memperoleh sesuatu yang menjadi haknya atau untuk
mencegah dari kezaliman, baik yang akan menimpa dirinya maupun keluarganya, hal
itu di dasarkan pada pendapat sebagian tabi’in bahwa boleh melakukan suap jika
takut tertimpa zalim, baik terhadap dirinya maupun keluarganya.
Adapun menurut
Imam Asy-Syaukani sebagaimana yang dikutip Syafe’I (2000: 155) sesungguhnya
keharaman suap adalah mutlak dan tidak dapat ditakshish. Namun demikian dalam
islam ada kaidah :
الضرورة ثبيح
المحضورات
(kemadaratan
memperoleh sesuatu yang membahayakan).
Dengan
demikian jika tidak ada jalan lain bagi seseorang untuk menjaga dirinya dari
kerusakan, kecuali dengan melakukan suap, ia boleh melakukannya.
Unsur-Unsur
Suap
Menurut Sumartana (2001:97), unsur-unsur suap adalah sebagai
berikut:
1.
Penerima suap,
yaitu orang yang menerima sesuatu dari orang lain baik berupa harta atau uang
maupun jasa supaya mereka melaksanakan permintaan penyuap, padahal tidak
dibenarkan oleh syara’, baik berupa perbuatan atau justru tidak berbuat
apa-apa.
2.
Pemberi suap,
yaitu orang yang menyerahkan harta atau uang, atau jasa untuk mencapai
tujuannya.
3.
Suapan, yaitu
harta atau uang/ barang atau jasa, yang diberikan sebagai sarana untuk
mendapatkan benda dan atau sesuatu yang di dambakan, diharapkan atau diterima.
Macam-Macam
Suap
Menurut Atarsyah macam-macam suap adalah sebagai berikut:
a.
Suap untuk
membatilkan yang haq atau membenarkan yang batil.
Halal itu jelas, haram itu jelas. Hak itu kekal dan batil itu sirna. Syariat Allah merupakan cahaya yang menerangi kegelapan yang menyebabkan orang-orang mukmin terpedaya dan para pelaku kejahatan tertutupi dan terlindungi. Maka, setiap yang dijadikan sarana untuk menolong kebatilan atas kebenaran itu haram hukumnya.
Halal itu jelas, haram itu jelas. Hak itu kekal dan batil itu sirna. Syariat Allah merupakan cahaya yang menerangi kegelapan yang menyebabkan orang-orang mukmin terpedaya dan para pelaku kejahatan tertutupi dan terlindungi. Maka, setiap yang dijadikan sarana untuk menolong kebatilan atas kebenaran itu haram hukumnya.
b.
Suap untuk
mempertahankan kebenaran dan mencegah kebatilan serta kedzaliman.
2.3.
Pejabat
yang menerima hadiah
حَدَّثَنَا
زَيْدُ بْنُ أَخْزَمَ أَبُو طَالِبٍ حَدَّثَنَا أَبُو عَاصِمٍ عَنْ عَبْدِ الْوَارِثِ
بْنِ سَعِيدٍ عَنْ حُسَيْنٍ الْمُعَلِّمِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ بُرَيْدَةَ
عَنْ أَبِيهِ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ
اسْتَعْمَلْنَاهُ عَلَى عَمَلٍ فَرَزَقْنَاهُ رِزْقًا فَمَا أَخَذَ بَعْدَ ذَلِكَ
فَهُوَ غُلُولٌ
( ABU DAWUD – 2554 ) Telah
menceritakan kepada kami Zaid bin Akhzam Abu Thalib, telah menceritakan kepada
kami Abu 'Ashim dari Abdul Warits bin Sa'id dari Husain Al Mu'allim dari
Abdullah bin Buraidah, dari ayahnya, dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam
beliau bersabda: "Barangsiapa yang kami beri jabatan untuk mengurusi suatu
pekerjaan kemudian kami berikan kepadanya suatu pemberian (gaji), maka apa yang
ia ambil setelah itu (selain gaji) adalah suatu bentuk pengkhianatan."
1.
Arti Mufradat
Kami beri jabatan
|
اسْتَعْمَلْنَا
|
Pekerjaan
|
عَمَلٍ
|
Kami berikan rizki
|
فَرَزَقْنَا
|
Mengambil
|
أَخَذَ
|
Pengkhianatan
|
غُلُولٌ
|
2.
Takhrij Hadits
a.
Jalur Hadits
JALUR SANAD KE - 1
b.
Analisis Rawi
Hadit Imam Abu Dawud No. 2554
a)
Zaid
bin Akhzam
·
Nama
Lengkap : Zaid bin Akhzam
·
Kalangan
: Tabi'ul Atba' kalangan pertengahan
·
Kuniyah
: Abu Thalib
·
Negeri
semasa hidup : Bashrah
·
Wafat
: 257 H
|
b)
Adl
Dlahhaak bin Makhlad bin Adl Dlahhaak bin Muslim
·
Nama
Lengkap : Adl Dlahhaak bin Makhlad bin Adl Dlahhaak bin Muslim
·
Kalangan
: Tabi'ut Tabi'in kalangan biasa
·
Kuniyah
: Abu 'Ashim
·
Negeri
semasa hidup : Bashrah
·
Wafat
: 212 H
|
c) Abdul Warits bin Sa'id bin Dzakwan
·
Nama
Lengkap : Abdul Warits bin Sa'id bin Dzakwan
·
Kalangan
: Tabi'ut Tabi'in kalangan pertengahan
·
Kuniyah
: Abu 'Ubaidah
·
Negeri
semasa hidup : Bashrah
·
Wafat
: 180 H
|
d)
Al
Husain bin Dzakwan
·
Nama
Lengkap : Al Husain bin Dzakwan
·
Kalangan
: Tabi'in (tdk jumpa Shahabat)
·
Kuniyah
: Al Muktib Al Mu'allim
·
Negeri
semasa hidup : Bashrah
·
Wafat
: 145 H
|
e) Abdullah bin Al Buraidah bin Al
Hushaib
·
Nama
Lengkap : Abdullah bin Al Buraidah bin Al Hushaib
·
Kalangan
: Tabi'in kalangan pertengahan
·
Kuniyah
: Abu Sahal
·
Negeri
semasa hidup : Himsh
·
Wafat
: 115 H
|
f) Buraidah bin Al Hashib bin 'Abdullah
bin Al
·
Nama
Lengkap : Buraidah bin Al Hashib bin 'Abdullah bin Al Harits
·
Kalangan
: Shahabat
·
Kuniyah
: Abu Sahal
·
Negeri
semasa hidup : Bashrah
·
Wafat
: 63 H
|
c.
Tashih
dan Itibar
Analisis hadits yang dapat di
ketahui dari nash hadis dan takhrij hadits oleh kebanyakan muhadisin yang
mengomentari hadis tersebut di atas menerangkan bahwa hadis tentang pejabat yang menerima hadiah adalah
hadits shahih karena terdapat dalam kitab Sunan Abu Dawud no 2554. Kemudian
ditinjau dari kualitas hadits, hadits ini termasuk hadits maqbul artinya
dapat diterima dan dapat dijadikan hujjah.
d. Ta’ammul
hadits
Ta’ammul hadits memiliki makna
implementasi atau pengamalan sebuah hadits.Sebuah hadits ada yang diamalkan
(ma’mul) dan ada pula yang tidak diamalkan (ghair ma’mul) maka ditinjau dari ta’ammul
haditsnya bahwa hadits tentang pejabat
yang menerima hadiah termasuk ke dalam hadits ma’mul bih artinya dapat
diamalkan dalam kehidupan sehari-hari dan termasuk muhkam artinya jelas dan
tegas.
e. Munasabah
·
Munasabah dengan ayat Al-Quran
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qãèÏÛr& ©!$# (#qãèÏÛr&ur tAqߧ9$# Í<'ré&ur ÍöDF{$# óOä3ZÏB ( bÎ*sù ÷Läêôãt»uZs? Îû &äóÓx« çnrãsù n<Î) «!$# ÉAqߧ9$#ur bÎ) ÷LäêYä. tbqãZÏB÷sè? «!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ÌÅzFy$# 4 y7Ï9ºs ×öyz ß`|¡ômr&ur ¸xÍrù's? ÇÎÒÈ
Hai
orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil
amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu,
Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu
benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih
utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS. An-Nisa : 59)
f. Syarah Istinbath Ahkam
حَدَّثَنَا
أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا وَكِيعُ بْنُ الْجَرَّاحِ حَدَّثَنَا
إِسْمَعِيلُ بْنُ أَبِي خَالِدٍ عَنْ قَيْسِ بْنِ أَبِي حَازِمٍ عَنْ عَدِيِّ بْنِ
عَمِيرَةَ الْكِنْدِيِّ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ اسْتَعْمَلْنَاهُ مِنْكُمْ عَلَى عَمَلٍ فَكَتَمْنَا
مِخْيَطًا فَمَا فَوْقَهُ كَانَ غُلُولًا يَأْتِي بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ قَالَ
فَقَامَ إِلَيْهِ رَجُلٌ أَسْوَدُ مِنْ الْأَنْصَارِ كَأَنِّي أَنْظُرُ إِلَيْهِ
فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ اقْبَلْ عَنِّي عَمَلَكَ قَالَ وَمَا لَكَ قَالَ
سَمِعْتُكَ تَقُولُ كَذَا وَكَذَا قَالَ وَأَنَا أَقُولُهُ الْآنَ مَنْ
اسْتَعْمَلْنَاهُ مِنْكُمْ عَلَى عَمَلٍ فَلْيَجِئْ بِقَلِيلِهِ وَكَثِيرِهِ فَمَا
أُوتِيَ مِنْهُ أَخَذَ وَمَا نُهِيَ عَنْهُ انْتَهَىو حَدَّثَنَاه مُحَمَّدُ بْنُ
عَبْدِ اللَّهِ بْنِ نُمَيْرٍ حَدَّثَنَا أَبِي وَمُحَمَّدُ بْنُ بِشْرٍ ح و
حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ رَافِعٍ حَدَّثَنَا أَبُو أُسَامَةَ قَالُوا حَدَّثَنَا
إِسْمَعِيلُ بِهَذَا الْإِسْنَادِ بِمِثْلِهِ و حَدَّثَنَاه إِسْحَقُ بْنُ
إِبْرَاهِيمَ الْحَنْظَلِيُّ أَخْبَرَنَا الْفَضْلُ بْنُ مُوسَى حَدَّثَنَا
إِسْمَعِيلُ بْنُ أَبِي خَالِدٍ أَخْبَرَنَا قَيْسُ بْنُ أَبِي حَازِمٍ قَالَ
سَمِعْتُ عَدِيَّ بْنَ عَمِيرَةَ الْكِنْدِيَّ يَقُولُ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ بِمِثْلِ حَدِيثِهِمْ
(
MUSLIM – 3415 ) Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abu Syaibah telah
menceritakan kepada kami Waki' bin Jarrah telah menceritakan kepada kami
Isma'il bin Abi Khalid dari Qais bin Abu Hazim dari 'Adi bin Amirah Al Kindi
dia berkata, "Saya mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
bersabda: "Barangsiapa dari kalian yang aku angkat atas suatu amal,
kemudian dia menyembunyikan dari kami (meskipun) sebuah jarum, atau sesuatu
yang lebih kecil dari itu, maka itu adalah ghulul (pencurian) yang pada hari kiamat
akan ia bawa." 'Adi bin 'Amirah berkata, "Kemudian seorang laki-laki
hitam dari Anshar -sepertinya saya pernah melihatnya- berdiri sambil berkata,
"Wahai Rasulullah, kalau begitu saya akan tarik kembali tugas yang pernah
anda bebankan kepada saya!" Beliau balik bertanya:
"Ada apa denganmu?" dia menjawab, "Saya telah mendengar bahwa
Anda pernah bersabda seperti ini dan seperti ini." Beliau bersabda:
"Sekarang saya sampaikan, bahwa barangsiapa dari kalian yang aku tugasi
atas suatu amal hendaklah ia datang baik dengan sedikit atau banyaknya, apa
yang memang diberikan untuknya ia boleh mengambilnya, dan apa yang memang
dilarang untuknya, maka ia harus dapat menahan diri." Dan telah
menceritakan kepada kami Muhammad bin Abdullah bin Numair telah menceritakan
kepada kami ayahku dan Muhammad bin Bisyr. (dalam jalur lain disebutkan) Telah
menceritakan kepadaku Muhammad bin Rafi' telah menceritakan kepada kami Abu
Usamah mereka berkata; telah menceritakan kepada kami Isma'il dengan isnad
seperti ini." Dan telah menceritakan kepada kami Ishaq bin Ibrahim Al
Handlali telah mengabarkan kepada kami Al Fadl bin Musa telah menceritakan
kepada kami Isma'il bin Abu Khalid telah mengabarkan kepada kami Qais bin Abu
Hazim dia berkata, "Saya pernah mendengar 'Adi bin 'Amirah Al Kindi
berkata, "Saya mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda…
seperti hadits mereka."
g. Natijah
Hadiah adalah
sesuatu yang di apresiasi dalam Islam karena dapat menumbuhkan rasa cinta kasih
diantara umat Islam, namun hadiah kepada pejabat atau pegawai yang berwenang
tidak diperbolehkan karena dapat menimbulkan kemudharatan setelahnya.
Dalam Islam hadiah dianggap sebagai salah satu
cara untuk lebih merekatkan persaudaraan atau persahabatan, sebagaimana
disebutkan dalah sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Malik dalam kitab
Muatha dari Al-Khurasani yang dikutip oleh Syafe’I (2000: 159) :
تصا
فحوايد هب الغل و تها دوا تحا بوا وتد هب اشحناء. (رواه الاء مام ما لك)
“Saling bersalamanlah kamu semua, niscaya akan
menghilangkan kedengkian, saling member hadiahlah kamu semua, niscaya akan
saling mencintai, dan menghilangkan perceksokan”. (H.R. Imam Malik)
Turmudzi meriwayatkan hadis lain dari Abu Hurairah yang dikutip oleh
Syafe’I (2000: 159)
تها دوا فاء ن الهد ية تدهب حر
الصدر. (رواه التر مدى)
Artinya :“saling memberi hadihlah kamu semua, sesungguhnya hadiah
itu menghilangkan kebencian dan kemarahan”. (H.R.
Turmudzi)
Bagi
orang yang diberi hadiah, disunahkan untuk menerimanya meskipun hadiah tersebut
kelihatannya hina dan tidak berguna. Nabi SAW bersabda :
عن انس قال رسول الله صلى ا لله عليه وسلم : لو ا هدي الي
كراع لتبلت. (روه التر مدى)
“Dari Anas r.a, bahwa Nabi SAW bersabda, “kalau saya diberi hadiah
keledai, pasti akan saya terima”. (H.R. Turmudzi)
Dari
keterangan-keterangan diatas, jelaslah bahwa pada dasarnya memberikan hadiah
kepada orang lain sangat baik dan dianjurka untuk lebih meningkatkan rasa
saling mencintai. Begitu pula bagi yang diberi hadiah disunahkan untuk
menerimanya.
Akan tetapi
Islampun memberi rambu-rambu tertentu dalam masalah hadiah, baik yang berkaitan
dengan pemberi hadiah maupun penerimanya. Dengan kata lain, tidak semua orang
diperbolehkan menerima hadiah, misalnya bagi seorang pejabat atau pemegang
kekuasaan karena hal itu dapat menimbulkan fitnah.
Dengan
demikian, sangatlah pantas kalau Rasululah SAW melarang seorang pegawai atau
petugas negara untuk menerima hadiah karena menimbulkan kemadaratan walaupun
pada asalnya menerima hadiah itu dianjurkan. Dalam kaidah Ushul Fiqih
dinyatakan bahwa “ Suatu perantara yang akan menimbulkan suatu kemadaratan,
tidak boleh dilakukan.
Namun demikian,
kalau kaidah tersebut betul-betul murni dan tidak ada kaian dengan jabatannya,
Islam tentu saja memperbolehkannya. Misalnya sebelum dia memangku suatu
jabatan, dia sudah terbiasa menerima hadiah dari seseorang. Begitu pula setelah
dia menduduki suatu jabatan, orang tersebut masih tetap memberinya haiah.
Pemberian seperti itu kemungkinan besar tidak ada kaitannya dengan jabatannya
atau kedudukannya dan ini boleh diterima olehnya.
2.4.
Bendahara yang
mendapat pahala
حَدَّثَنَا
أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَأَبُو عَامِرٍ الْأَشْعَرِيُّ وَابْنُ
نُمَيْرٍ وَأَبُو كُرَيْبٍ كُلُّهُمْ عَنْ أَبِي أُسَامَةَ قَالَ أَبُو عَامِرٍ
حَدَّثَنَا أَبُو أُسَامَةَ حَدَّثَنَا بُرَيْدٌ عَنْ جَدِّهِ أَبِي بُرْدَةَ عَنْ
أَبِي مُوسَىعَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ
الْخَازِنَ الْمُسْلِمَ الْأَمِينَ الَّذِي يُنْفِذُ وَرُبَّمَا قَالَ يُعْطِي مَا
أُمِرَ بِهِ فَيُعْطِيهِ كَامِلًا مُوَفَّرًا طَيِّبَةً بِهِ نَفْسُهُ
فَيَدْفَعُهُ إِلَى الَّذِي أُمِرَ لَهُ بِهِ أَحَدُ الْمُتَصَدِّقَيْن
( MUSLIM – 1699 ) Telah
menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abi Syaibah dan Abu Amir Al Asy'ari dan
Ibnu Numair dan Abu Kuraib semuanya dari Abu Usamah - Abu Amir berkata- Telah
menceritakan kepada kami Abu Usamah Telah menceritakan kepada kami Buraid dari
kakeknya Abu Burdah, dari Abu Musa dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam,
beliau bersabda: "Seorang bendahara muslim yang melaksanakan tugasnya
dengan jujur, dan membayar sedekah kepada orang yang diperintahkan oleh
majikannya secara sempurna, dengan segera dan dengan pelayanan yang baik, maka
ia mendapat pahala yang sama seperti orang yang bersedekah."
1.
Arti Mufradat
Bendahara
|
الْخَازِنَ
|
Jujur
|
الْأَمِينَ
|
Memberi
|
يُعْطِي
|
Membayarnya
|
فَيَدْفَعُهُ
|
Orang yang bersedekah
|
الْمُتَصَدِّقَيْن
|
2.
Takhrij Hadits
a.
Jalur Hadits
JALUR SANAD KE - 1
b.
Analisis Rawi
Hadits Imam Muslim No. 1699
a)
Abdullah
bin Muhammad bin Abi Syaibah Ibrahim bin 'Utsman
·
Nama
Lengkap : Abdullah bin Muhammad bin Abi Syaibah Ibrahim bin 'Utsman
·
Kalangan
: Tabi'ul Atba' kalangan tua
·
Kuniyah
: Abu Bakar
·
Negeri
semasa hidup : Kufah
·
Wafat
: 235 H
|
b)
Hammad
bin Usamah bin Zaid
·
Nama
Lengkap : Hammad bin Usamah bin Zaid
·
Kalangan
: Tabi'ut Tabi'in kalangan biasa
·
Kuniyah
: Abu Usamah
·
Negeri
semasa hidup : Kufah
·
Wafat
: 201 H
|
c)
Buraid
bin 'Abdullah bin Abi Burdah bin Abi Musa
·
Nama
Lengkap : Buraid bin 'Abdullah bin Abi Burdah bin Abi Musa
·
Kalangan
: Tabi'in (tdk jumpa Shahabat)
·
Kuniyah
: Abu Burdah
·
Negeri
semasa hidup : Kufah
·
Wafat
:
|
d)
Amir
bin 'Abdullah bin Qais
·
Nama
Lengkap : Amir bin 'Abdullah bin Qais
·
Kalangan
: Tabi'in kalangan pertengahan
·
Kuniyah
: Abu Burdah
·
Negeri
semasa hidup : Kufah
·
Wafat
: 104 H
|
e) Abdullah bin Qais bin Sulaim bin
Hadldlor
·
Nama
Lengkap : Abdullah bin Qais bin Sulaim bin Hadldlor
·
Kalangan
: Shahabat
·
Kuniyah
: Abu Musa
·
Negeri
semasa hidup : Kufah
·
Wafat
: 50 H
|
c.
Tashih
dan Itibar
Analisis hadits yang
dapat di ketahui dari nash hadis dan takhrij hadits oleh kebanyakan muhadisin
yang mengomentari hadis tersebut di atas menerangkan bahwa hadis tentang bendahara yang mendapat pahala adalah
hadits shahih karena terdapat dalam kitab Sunan Muslim No. 1699. Kemudian
ditinjau dari kualitas hadits, hadits ini termasuk hadits maqbul artinya
dapat diterima dan dapat dijadikan hujjah.
d. Ta’ammul
hadits
Ta’ammul hadits memiliki makna
implementasi atau pengamalan sebuah hadits.Sebuah hadits ada yang diamalkan
(ma’mul) dan ada pula yang tidak diamalkan (ghair ma’mul) maka ditinjau dari
ta’ammul haditsnya bahwa hadits tentang bendahara
yang mendapat pahala termasuk ke dalam hadits ma’mul bih artinya dapat
diamalkan dalam kehidupan sehari-hari dan termasuk muhkam artinya jelas dan
tegas.
e. Munasabah
·
Munasabah
dengan ayat Al-Quran
tA$s% ÓÍ_ù=yèô_$# 4n?tã ÈûÉî!#tyz ÇÚöF{$# ( ÎoTÎ) îáÏÿym ÒOÎ=tæ ÇÎÎÈ
“berkata
Yusuf: "Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir); Sesungguhnya aku
adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan". (QS. Yusuf : 55)
·
Munasabah dengan
hadits
الْخَازِنُ الْمُسْلِم الأَمِينُ
الَّذِى يُنْفِذُ وَرُبَّمَا قَالَ يُعْطِى مَا أُمِرَ بِهِ كَامِلاً مُوَفَّرًا
طَيِّبٌ بِهِ نَفْسُهُ فَيَدْفَعُهُ إِلَى الَّذِى أُمِرَ لَهُ بِهِ أَحَدُ
الْمُتَصَدِّقَيْنِ
“Bendahara
muslim yang diberi amanat ketika memberi sesuai yang diperintahkan untuknya
secara sempurna dan berniat baik, lalu ia menyerahkan harta tersebut pada orang
yang ia ditunjuk menyerahkannya, maka keduanya (pemilik harta dan bendahara
yang amanat tadi) termasuk dalam orang yang bersedekah.” (HR. Bukhari no. 1438
dan Muslim no. 1023).
f. Syarah
Istinbath Ahkam
حَدَّثَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ الْعَلَاءِ حَدَّثَنَا أَبُو أُسَامَةَ عَنْ بُرَيْدِ بْنِ عَبْدِ
اللَّهِ عَنْ أَبِي بُرْدَةَ عَنْ أَبِي مُوسَىعَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْخَازِنُ الْمُسْلِمُ الْأَمِينُ الَّذِي يُنْفِذُ
وَرُبَّمَا قَالَ يُعْطِي مَا أُمِرَ بِهِ كَامِلًا مُوَفَّرًا طَيِّبًا بِهِ
نَفْسُهُ فَيَدْفَعُهُ إِلَى الَّذِي أُمِرَ لَهُ بِهِ أَحَدُ الْمُتَصَدِّقَيْن
Telah menceritakan
kepada kami Muhammad bin Al 'Alaa' telah menceritakan kepada kami Abu Usamah
dari Buraid bin 'Abdullah dari Abu Burdah dari Abu Musa dari Nabi
Shallallahu'alaihiwasallam bersabda: "Seorang bendahara muslim yang amanah
adalah orang yang melaksanakan tugasnya (dengan baik) ". Dan seolah Beliau
bersabda: "Dia melaksanakan apa yang diperintahkan kepadanya dengan
sempurna dan jujur serta memiliki jiwa yang baik, dia mengeluarkannya
(shadaqah) kepada orang yang berhak sebagaimana diperintahkan adalah termasuk
salah satu dari Al Mutashaddiqin".
g. Natijah
Bendahara (al
khozin al muslim) yang dimaksud di sini adalah orang yang diberi amanat untuk
menyimpan harta orang lain dan diberi amanat terhadap harta tersebut.
Beberapa faedah
dari hadits di atas:
1) Bolehnya memiliki bendahara dan ini bukan berarti boros.
2) Banyaknya harta asalkan halal tidaklah berdosa.
3) Dorongan bagi orang yang memiliki harta supaya bersedekah dengan
hartanya.
4) Siapa saja yang diberi amanat untuk memegang harta orang lain lalu
ia menunaikan amanat tersebut dengan baik, maka ia akan diberi pahala seperti
orang yang memiliki harta. Hal ini begitu pula berlaku untuk setiap orang yang
membantu atau menolong dalam tercapainya kebaikan atau manfaat, maka ia akan
mendapatkan pahala walau ia tidak memiliki harta.
5) Dalam hal pahala sama-sama mendapatkan, namun yang satu bisa jadi
lebih banyak dari yang lainnya dan bisa jadi pula sama dalam jumlah.
6) Bendahara yang dipuji di sini adalah yang memiliki tiga sifat: (1)
muslim (bukan kafir), (2) memegang amanat, bukan orang yang khianat dan bukan
orang yang sengaja mengurangi amanat yang mesti ia sampaikan, (3) berniat baik.
7) Pentingnya sikap amanah dalam harta.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Suap adalah perbuatan yang
dicelah oleh Islam dan disepakati oleh para ulama sebagai perbuatan haram.
Suap-menyuap sangat berbahaya bagi kehidupan masyarakat karena merusak berbagai
tatanan atas sistem yang ada di masyarakat dan menyebabkan terjadinya
kecerobohan dan kesalahan dalam menetapkan hukum sehingga hukum dapat
dipermainkan dengan uang.
Dalam Islam, hadiah dianggap
sebagai salah satu cara untuk lebih merekatkan persaudaraan atau persahabatan. Bagi
orang yang diberi hadiah, disunahkan untuk menerimanya meskipun hadiah tersebut
kelihatannya hina dan tidak berguna. Akan tetapi, Islam pun memberi rambu-rambu
tertentu dalam masalah hadiah, baik yang berkaitan dengan pemberi hadiah maupun
penerimanya. Dengan kata lain, tidak semua orang diperbolehkan menerima hadiah.
Misalnya bagi seorang pejabat atau pemegang kekuasaan.
Adapun wanita hanya diperbolehkan
menjadi pemimpin di rumahnya, itu pun di bawah pengawasan suaminya, atau orang
yang sederajat dengannya. Mereka memimpin dalam hal yang khusus yaitu terutama
memelihara diri, mendidik anak dan memelihara harta suami yang ada di rumah.
Tujuan dari ini semua adalah agar kebutuhan perbaikan keluarga teratasi oleh
wanita sedangkan perbaikan masyarakat nantinya dilakukan oleh kaum laki-laki.
Di zaman seperti ini susah menemukan
bendahara yang amanat. Ada yang memang jujur dan memegang amanat, namun itu
bisa dihitung dengan jari. Merekalah segelintir orang yang yang Allah beri
petunjuk. Padahal orang yang amanat dan jujur itulah yang bisa terus
mendapatkan pahala sedekah jika membelanjakan harta untuk tujuan baik. Begitu
pula hidup orang seperti itu akan mudah meraih berkah dan kemudahan
DAFTAR PUSTAKA
Lidwa
Pusaka i-Software - Kitab 9 Imam Hadist
Al-Bukhariy, Abi’Abd Allah Muhammad bin
Ismail bin Ibrahim ibn al-Mughirah, Shahih al-Bukhari, al-juz VII, Beirut:
Dar al-Fikr, 1401 H/1981 M
Amirudin. Aam, 2006, Bedah Masalah
Kontemporer, Bandung : Khazanah Intelektual
Departemen Agama RI, 1989, Al-Quran
dan Terjemahnya, Edisi Refisi. Surabaya: Mahkota
Hamidy, Mu’ammal dkk, 1986, Terjemahan
Nailul Authar Himpunan Hadis-Hadis Hukum, Semarang: Pustaka Rizki Putra
Hamka, 1985, Tafsir Al-Azhar, Jakarta:
Pustaka Panjimas, cetakan V, juz IV
MudjabMahalli, Ahmad, 2003, Hadis-Hadis
Mutafaq Alaih, Jakarta: Prenada Media
Sumartana, 2001, Hukum Kontemporer, Jakarta:
PT Bina Ilmu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar