Jumat, 04 Maret 2016

Fiqih Ijaroh

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Ijarah merupakan menjual manfaat yang dilakukan oleh seseorang dengan orang lain dengan menggunakan ketentuan syari’at islam. Kegiatan ijarah ini tidak dapat dilepaskan dari kehidupan kita sehari-hari baik dilingkungan keluarga maupun masyarakat sekitar kita. Oleh sebab itu kita harus mengetahui apa pengertian dari ijarah yang sebenarnya, rukun dan syarat ijarah, dasar hukum ijarah, manfaat ijarah dan lain sebagainya mengenai ijarah. Karena begitu pentingnya masalah tersebut maka permasalahan ini akan dijelaskan dalam pembahasan makalah ini.

B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah yang  kami jadikan dasar bahan pembahasan dan kajian dalam makalah ini yaitu:
1.      Apa definisi ijarah?
2.      Apa dasar hukum dan ada berapakah pembagian Ijarah dan hukumnya?
3.      Apa saja yang termasuk rukun dan syarat-syarat Ijarah?
4.      Apa saja macam-macam Ijarah?
5.      Bagaimana proses berakhir dan batalnya Ijarah?

C.    Tujuan Penulisan
Adapun tujuan pembahasan dalam makalah ini, diantaranya untuk:
1.      Mengetahui definisi Ijarah
2.      Mengetahui dasar hukum Ijarah dan pembagiannya
3.      Mengetahui rukun dan syarat-syarat Ijarah
4.      Mengetahui macam-macam Ijarah
5.      Mengetahui proses atau yang mengakibatkan berakhir dan bartalnya Ijarah.



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Ijarah
Sewa (ijarah) berasal dari kata al-ajru artinya ‘ganti’, upah atau menjual manfaat’. Menurut seperti yang di kutip zuhaily (1989:729) mengatakan, ijarah adalah transaksi sewa (ijarah) identik dengan jual beli, tetapi dalam sewa (ijarah) pemilikan dibatasi dengan waktu. Menurut al-Jazaairi (2005:523) ijarah adalah:
عَقد لاَزِم عَلَى مَنفَعةٍ مُدَةً مَعلُومَةً بِثَمَنٍ مَعلُومٍ
Suatu akad terhadap manfaat dengan waktu yang tentu dan dengan harga yang tentu pula. 
Sementara itu menurut Abu Hanifah seperti yang di kutip oleh al-Jajiiry (2004:77) ijarah adalah:
عَقد يُفِيدُ تَملِيكَ مَنفَعَةٍ مَعلُومَةٍ مَقصُودَةٍ مِنَ العَينِ المُستَأجَرَةِ بِعَوضٍ
 Suatu akad yang memiliki kemanfaatan dan maksud yang tentu dari suatu barang yang di sewakan dengan ganti yang di berikan.
Menurut al-Bajury (1258H:27), ijarah adalah:
عَقد عَلَى مَنفَعةٍ مَعلُومةٍ مَقصُودَةٍ قَابِلَةٍ لِلبَذلِ وَالإِبَاحَةِ بِعَوضٍ مَعلُومٍ
Suatu akad terhadap manfaat dengan waktu yang tentu dan dengan harga yang tentu pula. 
Menurut Sabiq (1983:732), sewa adalah suatu jenis akad untuk mengambil manfaat dengan jalan penggantian.
Pendapat lain dikemukakan oleh Zuhaily (1989:729), ia mengatakan bahwa sewa (ijarah) adalah transaksi pemindahan hak guna atas barang atau jasa dalam batasan waktu tertentu melalui pembayaran upah sewa tanpa diikuti dengan pemindahan hak pemilikan atas barang.

B.     Dasar Hukum Ijarah
            Landasan hukum sewa menyewa( ijarah) dalam islam diperbolehkan berdasarkan dalil-dalil sebagai berikut:
Allah SWT berfirman:
$s)n=sÜR$$sù #Ó¨Lym !#sŒÎ) !$us?r& Ÿ@÷dr& >ptƒös% !$yJyèôÜtGó$# $ygn=÷dr& (#öqt/r'sù br& $yJèdqàÿÍhŸÒム#yy`uqsù $pkŽÏù #Y#yÉ` ߃̍ムbr& žÙs)Ztƒ ¼çmtB$s%r'sù ( tA$s% öqs9 |Mø¤Ï© |Nõy­Gs9 Ïmøn=tã #\ô_r& ÇÐÐÈ  
Maka keduanya berjalan; hingga tatkala keduanya sampai kepada penduduk suatu negeri, mereka minta dijamu kepada penduduk negeri itu, tetapi penduduk negeri itu tidak mau menjamu mereka, kemudian keduanya mendapatkan dalam negeri itu dinding rumah yang hampir roboh, Maka Khidhr menegakkan dinding itu. Musa berkata: "Jikalau kamu mau, niscaya kamu mengambil upah untuk itu".(QS. Al-Kahfi [18]:77)

Dalam firman lain:
ôMs9$s% $yJßg1y÷nÎ) ÏMt/r'¯»tƒ çnöÉfø«tGó$# ( žcÎ) uŽöyz Ç`tB |Nöyfø«tGó$# Èqs)ø9$# ßûüÏBF{$# ÇËÏÈ  
Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: "Ya bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena Sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya". (QS. Al-Qashas [28]:26)

Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, Maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu Maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan Maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya. (QS. Al-Thalaq [65]:6)

 Dan Nabi saw bersabda:

( قَالَ الله عز وجل: ثَلاَثَة أَنَا خَصَمُهُم يَومَ القِيَامَةِ : رَجُلٌ أَعطَى بِي ثُم غَدَرَ,  بَاعَ حُرًا فَأَكَلَ ثَمَنَهُ,  استَأجَرَ أَجِيرًا فَاستَوفَى مِنهُ وَلَم يُوفِيهِ أَجرَهُ) (رواه ابن ماجه(2442), وورد في فتح الباري ( 4/ 448)
Rosululloh saw bersabda: “Alloh Azza wa Jalla berfirman, ‘Tiga orang dimana aku menjadi musuh mereka pada hari kiamat, orang yang member dengan-Ku kemudian mengkhianatinya, orang yang menjual orang merdeka kemudian memakan hasil perjualanya, dan orang yang menyewa pekerja kemudian pekerja bekerja baik untuknya namun ia tidak membereikan upahnya”. (HR.ibn majah:2442. Dan juga dari path al-barri: 4/448)

C.    Hukum Ijarah
Hukum ijarah sahih adalah tetapnya kemanfaatan bagi penyewa, dan tetapnya upah bagi pekerja atau orang yang menyewakan ma'qud alaih, sebab ijarah termasuk jual-beli pertukaran, hanya saja dengan kemanfaatan.
Adapun hukum ijarah rusak, menurut ulama Hanafiyah. Jika penyewa telah mendapatkan manfaat tetapi orang yang menyewakan atau yang bekerja dibayar lebih kecil dari kesepakatan pada waktu akad. Ini bila kerusakan tersebut terjadi pada syarat. Akan tetapi, jika kerusakan disebabkan penyewa tidak memberitahukan jenis pekerjaan perjanjiannya, upah harus diberikan semestinya.
Jafar dan ulama Syaffiyah berpendapat bahwa ijarah fasid sama dengan jual-beli fasid, yakni harus dibayar sesuai dengan nilai atau ukuran yang dicapai oleh barang sewaan. Rahmat Syafe’i (2001:131).

D.  Pembagian dan Hukum Ijarah
Ijarah terbagi dua, yaitu ijarah terhadap benda atau sewa-menyewa, dan ijarah atas pekerjaan atau upah-mengupah.
1.  Hukum Sewa-Menyewa
Dibolehkan ijarah atas barang mubah, seperti rumah, kamar, dan lain-lain, tetapi dilarang ijarah terhadap benda-benda yang diharamkan.
A. Ketetapan Hukum Akad dalam Ijarah
Menurut ulama Hanafiyah, ketetapan akad ijarah adalah kemanfaatan yang sifatnya mubah. Menurut ulama Malikiyah, hukum ijarah sesuai dengan keberadaan manfaat. Ulama Hanabillah dan Syafi’iyah berpendapat bahwa hukum ijarah tetap pada keadaannya, dan hukum tersebut menjadikan masa sewa, seperi benda yang tampak. Rahmat Syafe’i (2001:131)
2.  Hukum dan Syarat Upah-Mengupah
A. Hukum Upah-Mengupah
Upah mengupah atau ijarah ‘ala al-a’mal, yakni jual-beli jasa, biasanya berlaku dalam beberapa hal seperti menjahitkan pakaian, membangun rumah, dan lain-lain. Ijarah ‘ala al-a’mal terbagi dua yaitu:
1.  Ijarah Khusus
Yaitu ijarah yang dilakukan oleh seorang pekerja. Hukumnya, yang bekerja tidak boleh bekerja selain dengan otang yang telah memberinya upah.
2.  Ijarah Musytarik
Yaitu ijarah yang dilakukan secara bersama-sama atau melalui kerja sama. Hukumnya dibolehkan bekerja sama dengan orang lain. Rahmat Syafe’i (2001:133-134)
B. Syarat Ujrah (Upah)
Para ulama telah menetapkan syarat upah, yaitu:
1.  Berupa harta tetap yang dapat diketahui
2.  Tidak boleh sejenis dengan barang manfaat dari ijarah, seperti upah menyewa rumah untuk ditempati dengan menempati rumah tersebut. Rahmat Syafe’i (2001:129)
Contoh Upah-Mengupah:
-     Menurut Mazhab Hambali
Tidak boleh membayar upah: Azan, iqamat, mengajarkan A1 Qur'an, fiqih, hadist, badal haji dan qadha.
Perbutan-perbuatan ini tidak bisa, kecuali menjadi perbuatan taqarrub bagi si pelakunya. Dan diharamkan mengambil bayaran untuk perbuatan tersebut. Mereka mengatakan: Boleh mengambil rezeki dari baitul mal atau dari wakaf untuk perbuatan yang mengalirkan manfaat, seperti qadha. pengajaran A1 Qur'an, Hadits, Fqih, Badal Haji, Menanggung Syahadat (kesaksian) dan melaksanakannya serta azan dan yang seumpamanya. Karena termasuk jenis mashatih. bukan termasuk ganti (iwadh), tetapi rezeki untuk menopang ketaatan (biaya taat) dan tidak dikeluarkan untuk perbuatan yang dikatagorikan qurbah dan tidak diperlukan kesungguhan dalam ikhlas. Jika tidak tentu, tidak dibenarkan mengambil ghanimah dan bukti-bukti orang yang membunuh (seperti pakaian. senjata dan lain-lain, red). Sayyid Sabiq (1987:22)
-     Mazhab Maliki, Asy Syafi’i dan Ibnu Hazm
Membolehkan mengambil upah sebagai imbalan mengajarkan A1 Qur'an dan Ilmu, karena ini termasuk jenis imbalan dari perbuat­an yang diketahui dan dengan tenaga yang diketahui pula.
Ibnu Hazm mengatakan: "Pengimbalan untuk mengajarkan A1 Qur'an dan Pengajaran Ilmu dibolehkan, baik secara bulanan maupun sekaligus. Semua itu boleh. Untuk pengobatan, menulis A1 Qur'an dan menulis buku-buku pengetahuan (juga boleh) karena nash pelarangannya tidak adam bahkan yang ada membolehkannya.
-     Adapun Imamah
Bahwasanya tidak dibolehkan mengambil imbalan untuk hal tersebut jika hanya satu jenis saja. Adapun jika digabungkan dengan adzan, maka imbalan dibolehkan. Dan Upahnya itu hanyalah untuk imbalan adzan dan iqamat, bukannya upah untuk mengimami shalat. Imam Asy Syafi'i mengatakan:
Pengimbalan haji dibolehkan. Untuk pengimbalan imam dalam shalat fardhu tidak dibolehkan. Pengimbalan pengajaran berhitung/ matematik, khat, bahasa, sastra, fiqih, hadits, membangun masjid dan madrasah dibolehkan.
Dan menurut mazhab Asy Syafi'i pula: Imbalan memandikan mayit, mentalqinkan dan memandikannya, boleh.
Menurut Abu Hanifah: Tidak boleh menerima imbalan untuk meman­dikan mayit, akan tetapi untuk menggali dan membawa jenazah, boleh. Sayyid Sabiq (1987:22-24).

E.     Rukun Ijarah
Menurut ulama Hanafiyah, rukun al-ijarah itu hanya satu, yaitu ijab (ungkapan menyewakan) dan qabul persetujuan tehadap sewa menyewa. Akan tetapi, jumhur ulama mengatakan bahwa rukun al-ijarah itu ada 4 yaitu:
1.    Orang yang berakad (‘Aqid)
2.    Sewa atau imbalan
3.    Manfaat
4.     shighat (ijab dan qabul)
Ulama Hanafiyah menyatakan bahwa orang yang berakad, sewa/imbalan, dan manfaat termasuk syarat-syarat al-ijarahbukan rukunnya. Nasrun Haroen (2007:231).

F.     Syarat-Syarat Ijarah
Adapun syarat-syarat Ijarah, yang kami kutip dari buku karangan Rahmat Syafe’i (2001:125-129) diantaranya ialah:
Syarat ijarah terdiri atas empat macam, sebagaimana syarat dalam jual-beli, yaitu syarat al-inqad (terjadinya akad), syarat an-nafadz (syarat pelaksanaan akad), syarat sah. dan syarat lazim.
1.         Syarat Terjadinya Akad
Syarat ininqad (terjadinya akad) berkaitan dengan aqid, zat akad, dan tempat akad.
Sebagaimana telah dijelaskan dalam jual-beli, menurut ulania Hanafiyah, 'aqid (orangyang melakukan akad) disyaratkan harus berakal dan mumayyiz (minimal 7 tahun), serta tidak disyaratkan harus baligh. Akan tctapi, jika bukan barang miliknya sendiri, akad ijarah anak mumayyiz, dipandang sah bila telah diizinkan walinya.
Ulama Malikiyah berpendapat bahwa tamyiz adalah syarat ijarah dan jual-beli, sedangkan baligh adalah syarat penyerahan. Dengan demikian, akad anak mumayyiz adalah sah, tetapi bergantung atas keridaan walinya.
Ulama Hanabilah dan Syafi'iyah mensyaratkan orang yang akad harus mukallaf, yaitu baligh dan berakal, sedangkan anak mumayyiz belum dapat dikategorikan ahli akad.
2.        Syarat Pelaksanaan (an-nafadz)
Agar ijarah terlaksana, barang harus dimiliki oleh aqid atau ia memiliki kekuasaan penuh untuk akad (ahliah). Dengan demikian, ijarah al-fudhul (ijarah yang dilakukan oleh orang memiliki kekuasaan atau tidak diizinkan oleh pemiliknya) tidak dapat menjadikan adanya ijarah.
3.        Syarat Syah Ijarah
            Keabsahan ijarah sangat berkaitan dengan 'aqid (orang yang akad).  ma'qud 'alaih (barang yang menjadi objek akad), ujrah (upah), dan zat akad (nafs al- aqad), yaitu:
a.         Adanya keridaan dari kedua pihak yang akad
            Syarat ini didasarkan pada Firman Allah SWT.:
  
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan saling memakai harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang dilakukan suka sama suka. (QS. An-Nisa:29)

Ijarah dapat dikategorikan jual-beli sebab menganandung pertukaran harta.  Syarat ini berkaitan dengan 'aqid.
b.         Ma'qud 'Alaih bermanfaat dengan jelas
Adanya kejelasan pada ma'qud alaih menghilangkan pertentangan di antara 'aqid.
Di antara cara untuk mengetahui ma'qud 'alaih (barang) adalah dengan menjelaskan manfaatnya, pembatasan waktu, atau menjelaskan jenis pekerjaan jika ijarah atas pekerjaan seseorang atau jasa.
c.          Ma'qud Alaih (barang) harus dapat memenuhi secara syara’
Dipandang tidak sah menyewa hewan untuk berbicara  dengan anaknya,  sebab hal itu sangat mustahil atau dipandang tidak sah menyewa seorang pcrempuan yang sedang haid untuk membersihkan mesjid sebab diharamkan syara'.
d.         Kemanfaatan benda dibolehkan menurut syara'
Pemanfaatan barang harus digunakan untuk perkara-perkara yang dibolehkan syara', seperti menyewakan rumah untuk ditempati atau menyewakan  jaring untuk memburu, dan Iain-Iain.
Para ulama sepakat melarang ijarah, baik benda maupun orang untuk berbuat maksiat atau berbuat dosa. Dalam kaidah fiqih dinyatakan:    

الاا ستعجا ر على ا لمعا صى لا يجو ز
)menyewa untuk suatu kemaksiatan tidak boleh)
e.          Tidak menyewa untuk pekerjaan yang diwajibkan kepadanya
Di antara contohnya adalah menyewa orang untuk shalat fardu, puasa, dan Iain-Iain. Juga dilarang menyewa istri sendiri untuk melayaninya sebab hal itu merupakan kewajiban si istri.
f.           Tidak mengambil manfaat bagi diri orang yang disewa
Tidak menyewakan diri untuk perbuatan ketaatan sebab manfaat dari ketaatan tersebut adalah untuk dirinya. Juga mengambil manfaat dari sisa hasil pekerjaannya, seperti menggiling gandum dan mengambil bubuknya atau tepungnya untuk dirinya. Hal itu didasarkan pada hadis yang diriwayatkan oleh Daruquthni bahwa Rasulullah SAW. melarang untuk mengambil bekas gilingan gandum. Ulama Syafi'iyah menyepakatinya.
Ulama Hanabilah dan Malikiyah  membolehkannya ukurannya jelas sebab hadis di atas dipandang tidak sahih.
g.         Manfaat ma'qud 'alaih sesuai dengan keadaan yang umum
Tidak boleh menyewa pohon untuk dijadikan jemuran atau tempat berlindung sebab tidak sesuai dengan manfaat pohon yang dimaksud dalam ijarah.

G.    Macam-Macam Sewa Menyewa
1.         Sewa-menyewa Tanah
            Dibolehkan menyewakan tanah. Dan disyaratkan menjelaskan barang yang disewakan, baik itu berbentuk tanaman atau tumbuhan atau bangunan.
Jika yang dimaksudkan adalah untuk pertanian, maka harus dijelaskan jenis apa yang ditanam di tanah tersebut, kecuali jika orang yang menyewakan mengizinkan ditanami apa saja yang ia kehendaki.
Jika syarat-syarat ini tidak dipenuhi, maka ijarah dinyatakan fasid (tidak sah). Karena kegunaan tanah itu bermacam-macam,  sesuai dengan pembangunan dan tanaman. Seperti halnya juga memperlambat tumbuhan yang ditanam di tanah.
Si penyewa berhak menanam tanaman jenis lain dari yang disepakati, dengan syarat; akibat yang ditimbulkan sama dengan akibat yang ditimbulkan oleh tanaman yang disepakati lebih sedikit. Menurut Daud penyewa tidak mempunyai hak untuk yang demikian.
2.         Menyewakan Binatang
Boleh menyewakan binatang. Dengan syarat; dijelaskan tempo waktunya, atau tempatnya. Dan disyaratkan pula dijelaskan kegunaan penyewaan,  berupa untuk mengangkut barang atau untuk ditunggangi, apa yang diangkut dan siapa yang menunggangi.
Jika binatang yang disewakan itu terjadi kecelakaan, apabila binatang sewaan itu cacat dan kemudian celaka, maka penyewaan menjadi batal (terputus). Dan apabila binatang itu tidak beraib (bercacat), dan kemudian celaka, penyewaan tidak menjadi batal. Dan orang yang menyewakan wajib mendatangkan yang lainnya, dia tidak mempunyai hak untuk memfasakh (membatalkan) akad.
Karena ijarah dimaksudkan untuk mengambil manfaat yang berada dalam tanggungan (si penyewa), serta orang yang menyewakan (muajjir) berkemampuan untuk memenuhi konsekuensi akad. Di dalam masalah ini para fuqaha dari madzhab yang empat sependapat.
3.         Menyewakan Rumah untuk Tempat Tinggal
            Menyewakan rumah untuk tempat tinggal dibolehkan. Baik rumah itu ditempati oleh penyewa atau ia menempatkan orang lain dengan cara I’arah (pinjam) atau sewa, dengan syarat tidak merusak bangunan, atau membuat rapuh seperti tukang besi dan semisalnya.
Dan orang yang menyewakan berkewajiban memenuhi hal-hal yang memungkinkan rumah itu dapat ditempati (dihuni) menurut kebiasaan yang berlaku.
4.         Menyewakan barang sewaan
            Penyewa boleh menyewakan barang sewaan. Jika itu berbentuk binatang, maka pekerjaannya harus sama atau menyerupai pekerjaan yang dahulu pada saat binatang itu disewa pertama, sehingga tidak membahayakan binatang. Dan si penyewa boleh menyewakan lagi dengan harga serupa pada waktu ia menyewa, atau lebih sedikit atau lebih banyak. Dan ia berhak mengambil apa yang disebut Al-Khuwu.

Batalnya akad sewa-menyewa ada dua cara:
1.   Menyewa barang yang tertentu, misalnya kuda atau rumah. Masa menyewa habis dengan matinya kuda, robohnya rumah, atau habisnya masa yang dijanjikan. Sekiranya barang yang disewa itu dijual oleh orang yang menyewakan, akad sewa-menyewanya tidak batal, melainkan diteruskan sampai habis masanya. Hanya, yang menyewa hendaklah berhubungan langsung dengan yang membeli rumah itu.
2.   Menyewa barang yang ada dalam tanggungan seseorang. misalnya menyewa mobil yang tidak ditentukan mobil mana. Maka rusaknya mobil yang dinaiki tidak membatalkan akad sewa- menyewa, tetapi berlaku sampai habis masanya. Yang menyewakan wajib mengganti dengan mobil yang lain sehingga habis masanya atau sampai ke tempat yang ditentukan. Juga akad sewa-menyewa tidak batal dengan matinya orang yang menyewa atau yang menyewakan, tetapi boleh diteruskan oleh ahli waris masing-masing. Sulaiman Rasjid (2010:305).

I.       Berakhirnya Akad Ijarah
Menurut nasrun Haroen (2007:237-238) berakhirnya masa ijarah diantaranya:
Para ulama fiqh menyatakan bahwa akad al-ijarah akan berakhir apabila:
1.    Objek hilang atau musnah, seperti rumah terbakar atau baju yang dijahitkan hilang.
2.    Tenggang waktu yang disepakati dalam akad al-ijarah telah berakhir. Apabila yang disewakan itu rumah, maka rumah itu dikembalikan kepada pemiliknya, dan apabila yang disewa itu adalah jasa seseorang, maka ia berhak menerima upahnya. Kedua hal ini disepakati oleh seluruh ulama fiqh.
3.    Menurut ulama Hanafiyah, wafatnya salah seorang yang berakad, karena akad al-ijarah, menurut mereka tidak boleh diwariskan. Sedangkan menurut jumhur ulama, akad al-ijarah tidak batal dengan wafatnya salah seorang yang berakad, karena manfaat, menurut mereka, boleh diwariskan dan al-ijarah sama dengan jual-beli, yaitu mengikat kedua belah pihak.
4.    Menurut ulama Hanafiyah, apabila ada uzur dari salah satu pihak, seperti rumah yang disewakan disita negara karena terkait utang yang banyak, maka akad al-ijarah batal. Uzur-uzur yang dapat membatalkan akad al-ijarah itu, menurut ulama Hanafiyah adalah salah satu pihak jatuh muflis, dan berpindah tempatnya penyewa, misalnya, seseorang digaji untuk menggali sumur di suatu desa, sebelum sumur itu selesai, penduduk desa itu pindah ke desa lain. Akan tetapi, menurut jumhur ulama, uzur yang boleh membatalkan akad al-ijarah itu hanyalah apabila obyeknya mengandung cacat atau manfaat yang dituju dalam akad itu hilang, seperti kebakaran dan dilanda banjir.




BAB III
PENUTUP
A.    Simpulan
1.    ijarah adalah transaksi sewa (ijarah) identik dengan jual beli, tetapi dalam sewa (ijarah) pemilikan dibatasi dengan waktu.
2.    Landasan hukum sewa menyewa( ijarah) dalam islam diperbolehkan berdasarkan dalil-dali yang telah di jelaskan di atas.
3.  Hukum ijarah sahih adalah tetapnya kemanfaatan bagi penyewa, dan tetapnya upah bagi pekerja atau orang yang menyewakan ma'qud alaih, sebab ijarah termasuk jual-beli pertukaran, hanya saja dengan kemanfaatan. Dan ada juga ijarah fasid atau gagal/rusak.
4.    Rukun Ijarah ada 4. Yaitu: Orang yang akad (‘aqid), shighat, ujrah, dan manfaat.
5.    Sedangkan syarat-syarat Ijarah diantaranya yaitu syarat terjadinya akad dan syarat pelaksanaan (an-nafadz).
6.    Macam-macam Ijarah: sewa menyewa binatang, barang sewaan, tanah.
7.    Adapun berakhirnya akad ijarah diantaranya: Objek hilang atau musnah, Tenggang waktu yang disepakati dalam akad al-ijarah telah berakhir, wafatnya salah seorang yang berakad, dan ada uzur dari salah satu pihak.

B.     Saran
Kami menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyusunan makalah ini masih terdapat banyak kesalahan dan kekurangan, baik dalam segi ejaan ataupun pengetikkan. Oleh karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun untuk perbaikan kami di masa yang akan datang.






DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an dan Terjemahnya
Al-jajiry,2004 al-fiqhatu alal madzhabil arba’ah mesir, daru al-hadits.
Al-jazairy,2007 minhajul muslim mesir,daru al-hadits.
Haroen Nasrun, 2007 Fiqh Muamalah Gaya Media Pratama, Jakarta
Ismail, 2012 fiqih muamalah bogor, ghalia Indonesia.
Rasyid Sulaiman,2010 Fiqih Islam Sinar Baru Algensindo Bandung
Sabiq Sayyid, 1987 Fikih Sunnah 13 PT.Al-Ma’arif Bandung
Syafe’i Rahmat, 2001 Fiqih Muamalah CV. Pustaka setia Bandung



Tidak ada komentar:

Posting Komentar