BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Ijarah merupakan menjual manfaat yang dilakukan oleh seseorang
dengan orang lain dengan menggunakan ketentuan syari’at islam. Kegiatan ijarah
ini tidak dapat dilepaskan dari kehidupan kita sehari-hari baik dilingkungan
keluarga maupun masyarakat sekitar kita. Oleh sebab itu kita harus mengetahui
apa pengertian dari ijarah yang sebenarnya, rukun dan syarat ijarah, dasar
hukum ijarah, manfaat ijarah dan lain sebagainya mengenai ijarah. Karena begitu
pentingnya masalah tersebut maka permasalahan ini akan dijelaskan dalam
pembahasan makalah ini.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah
yang kami jadikan dasar bahan pembahasan
dan kajian dalam makalah ini yaitu:
1.
Apa definisi ijarah?
2.
Apa dasar hukum dan ada berapakah pembagian
Ijarah dan hukumnya?
3.
Apa saja yang termasuk rukun dan
syarat-syarat Ijarah?
4.
Apa saja macam-macam Ijarah?
5.
Bagaimana proses berakhir dan batalnya
Ijarah?
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan pembahasan dalam makalah ini, diantaranya untuk:
1. Mengetahui definisi Ijarah
2. Mengetahui dasar hukum Ijarah dan pembagiannya
3. Mengetahui rukun dan syarat-syarat Ijarah
4. Mengetahui macam-macam Ijarah
5. Mengetahui proses atau yang mengakibatkan
berakhir dan bartalnya Ijarah.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Ijarah
Sewa (ijarah) berasal dari kata al-ajru artinya ‘ganti’, upah atau
menjual manfaat’. Menurut seperti yang di kutip zuhaily (1989:729) mengatakan,
ijarah adalah transaksi sewa (ijarah) identik dengan jual beli, tetapi dalam
sewa (ijarah) pemilikan dibatasi dengan waktu. Menurut al-Jazaairi (2005:523)
ijarah adalah:
عَقد لاَزِم عَلَى مَنفَعةٍ مُدَةً مَعلُومَةً
بِثَمَنٍ مَعلُومٍ
Suatu akad terhadap manfaat dengan waktu yang tentu dan dengan
harga yang tentu pula.
Sementara itu menurut Abu Hanifah seperti yang di kutip
oleh al-Jajiiry (2004:77) ijarah adalah:
عَقد يُفِيدُ تَملِيكَ مَنفَعَةٍ مَعلُومَةٍ
مَقصُودَةٍ مِنَ العَينِ المُستَأجَرَةِ بِعَوضٍ
Suatu
akad yang memiliki kemanfaatan dan maksud yang tentu dari suatu barang yang di
sewakan dengan ganti yang di berikan.
Menurut
al-Bajury (1258H:27), ijarah adalah:
عَقد عَلَى مَنفَعةٍ مَعلُومةٍ مَقصُودَةٍ
قَابِلَةٍ لِلبَذلِ وَالإِبَاحَةِ بِعَوضٍ مَعلُومٍ
Suatu akad terhadap manfaat dengan waktu yang tentu dan dengan
harga yang tentu pula.
Menurut Sabiq (1983:732), sewa adalah suatu jenis akad untuk
mengambil manfaat dengan jalan penggantian.
Pendapat lain dikemukakan oleh Zuhaily (1989:729), ia mengatakan
bahwa sewa (ijarah) adalah transaksi pemindahan hak guna atas barang atau jasa
dalam batasan waktu tertentu melalui pembayaran upah sewa tanpa diikuti dengan
pemindahan hak pemilikan atas barang.
B.
Dasar Hukum
Ijarah
Landasan hukum sewa menyewa( ijarah) dalam islam diperbolehkan
berdasarkan dalil-dalil sebagai berikut:
Allah SWT berfirman:
$s)n=sÜR$$sù #Ó¨Lym !#sÎ) !$us?r& @÷dr& >ptös% !$yJyèôÜtGó$# $ygn=÷dr& (#öqt/r'sù br& $yJèdqàÿÍhÒã #yy`uqsù $pkÏù #Y#yÉ` ßÌã br& Ùs)Zt ¼çmtB$s%r'sù ( tA$s% öqs9 |Mø¤Ï© |NõyGs9 Ïmøn=tã #\ô_r& ÇÐÐÈ
Maka keduanya berjalan; hingga tatkala
keduanya sampai kepada penduduk suatu negeri, mereka minta dijamu kepada
penduduk negeri itu, tetapi penduduk negeri itu tidak mau menjamu mereka,
kemudian keduanya mendapatkan dalam negeri itu dinding rumah yang hampir roboh,
Maka Khidhr menegakkan dinding itu. Musa
berkata: "Jikalau kamu mau, niscaya kamu mengambil upah untuk itu".(QS.
Al-Kahfi [18]:77)
Dalam firman lain:
ôMs9$s% $yJßg1y÷nÎ) ÏMt/r'¯»t çnöÉfø«tGó$# ( cÎ) uöyz Ç`tB |Nöyfø«tGó$# Èqs)ø9$# ßûüÏBF{$# ÇËÏÈ
Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: "Ya bapakku
ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena Sesungguhnya orang
yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang
kuat lagi dapat dipercaya". (QS. Al-Qashas [28]:26)
Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal
menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan
(hati) mereka. dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang
hamil, Maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian
jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu Maka berikanlah kepada mereka
upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan
jika kamu menemui kesulitan Maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu)
untuknya. (QS. Al-Thalaq [65]:6)
Dan Nabi
saw bersabda:
( قَالَ الله عز وجل: ثَلاَثَة أَنَا خَصَمُهُم يَومَ القِيَامَةِ
: رَجُلٌ أَعطَى بِي ثُم غَدَرَ, بَاعَ
حُرًا فَأَكَلَ ثَمَنَهُ, استَأجَرَ
أَجِيرًا فَاستَوفَى مِنهُ وَلَم يُوفِيهِ أَجرَهُ) (رواه ابن ماجه(2442), وورد في
فتح الباري ( 4/ 448)
Rosululloh saw bersabda: “Alloh Azza wa Jalla berfirman, ‘Tiga
orang dimana aku menjadi musuh mereka pada hari kiamat, orang yang member
dengan-Ku kemudian mengkhianatinya, orang yang menjual orang merdeka kemudian
memakan hasil perjualanya, dan orang yang menyewa pekerja kemudian pekerja
bekerja baik untuknya namun ia tidak membereikan upahnya”. (HR.ibn majah:2442.
Dan juga dari path al-barri: 4/448)
C. Hukum Ijarah
Hukum
ijarah sahih adalah tetapnya kemanfaatan bagi penyewa, dan tetapnya upah bagi pekerja
atau orang yang menyewakan ma'qud alaih, sebab ijarah termasuk jual-beli pertukaran,
hanya saja dengan kemanfaatan.
Adapun hukum
ijarah rusak, menurut ulama Hanafiyah. Jika penyewa telah mendapatkan manfaat
tetapi orang yang menyewakan atau yang bekerja dibayar lebih kecil dari
kesepakatan pada waktu akad. Ini bila kerusakan tersebut terjadi pada syarat.
Akan tetapi, jika kerusakan disebabkan penyewa tidak memberitahukan jenis pekerjaan
perjanjiannya, upah harus diberikan semestinya.
Jafar dan ulama Syaffiyah berpendapat bahwa ijarah fasid sama dengan jual-beli fasid, yakni
harus dibayar sesuai dengan nilai atau ukuran yang dicapai oleh barang sewaan.
Rahmat Syafe’i (2001:131).
D. Pembagian dan Hukum Ijarah
Ijarah terbagi dua, yaitu ijarah terhadap benda atau
sewa-menyewa, dan ijarah atas pekerjaan atau upah-mengupah.
1. Hukum Sewa-Menyewa
Dibolehkan ijarah atas barang mubah,
seperti rumah, kamar, dan lain-lain, tetapi dilarang ijarah terhadap
benda-benda yang diharamkan.
A. Ketetapan Hukum Akad dalam Ijarah
Menurut ulama Hanafiyah, ketetapan akad ijarah
adalah kemanfaatan yang sifatnya mubah. Menurut ulama Malikiyah, hukum ijarah
sesuai dengan keberadaan manfaat. Ulama Hanabillah dan Syafi’iyah
berpendapat bahwa hukum ijarah tetap pada keadaannya, dan hukum tersebut
menjadikan masa sewa, seperi benda yang tampak. Rahmat Syafe’i (2001:131)
2. Hukum dan Syarat Upah-Mengupah
A. Hukum Upah-Mengupah
Upah mengupah atau ijarah ‘ala al-a’mal,
yakni jual-beli jasa, biasanya berlaku dalam beberapa hal seperti menjahitkan
pakaian, membangun rumah, dan lain-lain. Ijarah ‘ala al-a’mal terbagi dua
yaitu:
1. Ijarah Khusus
Yaitu ijarah yang dilakukan oleh seorang pekerja. Hukumnya, yang bekerja
tidak boleh bekerja selain dengan otang yang telah memberinya upah.
2. Ijarah Musytarik
Yaitu ijarah yang dilakukan secara bersama-sama atau melalui kerja sama.
Hukumnya dibolehkan bekerja sama dengan orang lain. Rahmat Syafe’i
(2001:133-134)
B. Syarat Ujrah (Upah)
Para ulama telah menetapkan syarat upah,
yaitu:
1. Berupa harta tetap yang dapat diketahui
2. Tidak boleh sejenis dengan barang manfaat dari
ijarah, seperti upah menyewa rumah untuk ditempati dengan menempati rumah tersebut.
Rahmat Syafe’i (2001:129)
Contoh Upah-Mengupah:
-
Menurut Mazhab Hambali
Tidak boleh membayar upah: Azan, iqamat,
mengajarkan A1 Qur'an, fiqih, hadist, badal haji dan qadha.
Perbutan-perbuatan ini tidak bisa, kecuali
menjadi perbuatan taqarrub bagi si pelakunya. Dan diharamkan mengambil bayaran
untuk perbuatan tersebut. Mereka mengatakan: Boleh mengambil rezeki dari baitul mal atau dari wakaf untuk perbuatan yang mengalirkan
manfaat, seperti qadha. pengajaran A1 Qur'an, Hadits, Fqih, Badal
Haji, Menanggung Syahadat (kesaksian) dan melaksanakannya serta azan dan yang
seumpamanya. Karena termasuk jenis mashatih. bukan termasuk ganti (iwadh), tetapi rezeki untuk menopang ketaatan (biaya
taat) dan tidak dikeluarkan untuk perbuatan yang dikatagorikan qurbah dan tidak diperlukan kesungguhan dalam ikhlas.
Jika tidak tentu, tidak dibenarkan mengambil ghanimah dan bukti-bukti orang
yang membunuh (seperti pakaian. senjata dan lain-lain, red). Sayyid Sabiq
(1987:22)
-
Mazhab Maliki, Asy Syafi’i dan Ibnu Hazm
Membolehkan mengambil upah sebagai imbalan
mengajarkan A1 Qur'an dan Ilmu, karena ini termasuk jenis imbalan dari perbuatan yang diketahui dan dengan
tenaga yang diketahui pula.
Ibnu Hazm mengatakan: "Pengimbalan untuk
mengajarkan A1 Qur'an dan Pengajaran Ilmu dibolehkan, baik secara bulanan
maupun sekaligus. Semua itu boleh. Untuk pengobatan, menulis A1 Qur'an dan
menulis buku-buku pengetahuan (juga boleh) karena nash pelarangannya tidak adam
bahkan yang ada membolehkannya.
-
Adapun Imamah
Bahwasanya tidak dibolehkan mengambil imbalan
untuk hal tersebut jika hanya satu jenis saja. Adapun jika digabungkan dengan adzan,
maka imbalan dibolehkan. Dan Upahnya itu hanyalah untuk imbalan adzan dan
iqamat, bukannya upah untuk mengimami shalat. Imam Asy Syafi'i mengatakan:
Pengimbalan haji dibolehkan. Untuk pengimbalan
imam dalam shalat fardhu tidak dibolehkan. Pengimbalan pengajaran berhitung/
matematik, khat, bahasa, sastra, fiqih, hadits, membangun masjid dan madrasah
dibolehkan.
Dan menurut mazhab Asy Syafi'i pula: Imbalan
memandikan mayit, mentalqinkan dan memandikannya, boleh.
Menurut Abu Hanifah: Tidak boleh menerima
imbalan untuk memandikan mayit, akan tetapi untuk menggali dan membawa
jenazah, boleh. Sayyid Sabiq (1987:22-24).
E. Rukun Ijarah
Menurut ulama Hanafiyah, rukun al-ijarah itu
hanya satu, yaitu ijab (ungkapan menyewakan) dan qabul persetujuan tehadap sewa
menyewa. Akan tetapi, jumhur ulama mengatakan bahwa rukun al-ijarah itu ada 4
yaitu:
1. Orang yang berakad (‘Aqid)
2. Sewa atau imbalan
3. Manfaat
4. shighat
(ijab dan qabul)
Ulama Hanafiyah menyatakan bahwa orang yang
berakad, sewa/imbalan, dan manfaat termasuk syarat-syarat al-ijarahbukan
rukunnya. Nasrun Haroen (2007:231).
F. Syarat-Syarat Ijarah
Adapun syarat-syarat Ijarah, yang kami kutip
dari buku karangan Rahmat Syafe’i (2001:125-129) diantaranya ialah:
Syarat ijarah terdiri atas empat macam, sebagaimana
syarat dalam jual-beli, yaitu syarat al-inqad (terjadinya akad), syarat an-nafadz (syarat pelaksanaan akad), syarat
sah. dan syarat
lazim.
1.
Syarat Terjadinya Akad
Syarat in’inqad (terjadinya akad) berkaitan dengan aqid, zat akad, dan tempat akad.
Sebagaimana telah dijelaskan dalam jual-beli,
menurut ulania Hanafiyah,
'aqid (orangyang melakukan akad) disyaratkan harus berakal dan
mumayyiz (minimal 7 tahun), serta tidak disyaratkan harus baligh. Akan tctapi,
jika bukan barang miliknya sendiri, akad ijarah anak mumayyiz, dipandang sah
bila telah diizinkan walinya.
Ulama Malikiyah berpendapat bahwa tamyiz
adalah syarat ijarah dan jual-beli, sedangkan baligh adalah syarat penyerahan.
Dengan demikian, akad anak mumayyiz adalah sah, tetapi bergantung atas keridaan
walinya.
Ulama Hanabilah dan Syafi'iyah mensyaratkan
orang yang akad harus mukallaf, yaitu baligh dan berakal, sedangkan anak
mumayyiz belum dapat dikategorikan ahli akad.
2.
Syarat Pelaksanaan (an-nafadz)
Agar ijarah terlaksana, barang harus dimiliki oleh aqid
atau ia memiliki kekuasaan penuh untuk akad (ahliah). Dengan demikian, ijarah al-fudhul (ijarah yang dilakukan oleh orang memiliki kekuasaan
atau tidak diizinkan oleh pemiliknya) tidak dapat menjadikan adanya ijarah.
3.
Syarat Syah Ijarah
Keabsahan
ijarah sangat berkaitan dengan 'aqid (orang yang akad). ma'qud 'alaih (barang yang menjadi objek akad), ujrah (upah), dan zat akad (nafs al- aqad), yaitu:
a.
Adanya
keridaan dari kedua pihak yang akad
Syarat
ini didasarkan pada Firman Allah SWT.:
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan saling
memakai harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan
yang dilakukan suka sama suka. (QS. An-Nisa:29)
Ijarah dapat dikategorikan jual-beli sebab menganandung
pertukaran harta. Syarat ini berkaitan
dengan 'aqid.
b.
Ma'qud
'Alaih bermanfaat dengan jelas
Adanya kejelasan pada ma'qud alaih menghilangkan
pertentangan di antara 'aqid.
Di antara cara untuk mengetahui ma'qud 'alaih
(barang) adalah dengan menjelaskan manfaatnya, pembatasan waktu, atau
menjelaskan jenis pekerjaan jika ijarah atas pekerjaan seseorang atau jasa.
c.
Ma'qud
Alaih (barang) harus dapat memenuhi secara syara’
Dipandang tidak sah menyewa hewan untuk berbicara dengan anaknya, sebab hal itu sangat mustahil atau dipandang
tidak sah menyewa seorang pcrempuan yang sedang haid untuk membersihkan mesjid
sebab diharamkan syara'.
d.
Kemanfaatan
benda dibolehkan menurut syara'
Pemanfaatan barang harus digunakan untuk
perkara-perkara yang dibolehkan syara', seperti menyewakan rumah untuk
ditempati atau menyewakan jaring untuk
memburu, dan Iain-Iain.
Para ulama sepakat melarang ijarah, baik benda
maupun orang untuk berbuat maksiat atau berbuat dosa. Dalam kaidah fiqih
dinyatakan:
الاا ستعجا ر على ا
لمعا صى لا يجو ز
)menyewa untuk
suatu kemaksiatan tidak boleh)
e.
Tidak
menyewa untuk pekerjaan yang diwajibkan kepadanya
Di antara contohnya adalah menyewa orang untuk shalat
fardu, puasa, dan Iain-Iain. Juga dilarang menyewa istri sendiri untuk
melayaninya sebab hal itu merupakan kewajiban si istri.
f.
Tidak
mengambil manfaat bagi diri orang yang disewa
Tidak menyewakan diri untuk perbuatan ketaatan
sebab manfaat dari ketaatan tersebut adalah untuk dirinya. Juga mengambil
manfaat dari sisa hasil pekerjaannya, seperti menggiling gandum dan mengambil
bubuknya atau tepungnya untuk dirinya. Hal itu didasarkan pada hadis yang
diriwayatkan oleh Daruquthni bahwa Rasulullah SAW. melarang untuk mengambil
bekas gilingan gandum. Ulama Syafi'iyah menyepakatinya.
Ulama Hanabilah dan Malikiyah membolehkannya ukurannya jelas sebab hadis di
atas dipandang tidak sahih.
g.
Manfaat
ma'qud 'alaih sesuai dengan keadaan yang umum
Tidak boleh menyewa pohon untuk dijadikan jemuran atau
tempat berlindung sebab tidak sesuai dengan manfaat pohon yang dimaksud dalam
ijarah.
G. Macam-Macam Sewa Menyewa
1.
Sewa-menyewa
Tanah
Dibolehkan
menyewakan tanah. Dan disyaratkan menjelaskan barang yang disewakan, baik itu berbentuk
tanaman atau tumbuhan atau bangunan.
Jika yang dimaksudkan adalah untuk pertanian,
maka harus dijelaskan jenis apa yang ditanam di tanah tersebut, kecuali jika
orang yang menyewakan mengizinkan ditanami apa saja yang ia kehendaki.
Jika syarat-syarat ini tidak dipenuhi, maka ijarah
dinyatakan fasid (tidak sah). Karena kegunaan tanah itu bermacam-macam, sesuai dengan pembangunan dan tanaman. Seperti
halnya juga memperlambat tumbuhan yang ditanam di tanah.
Si penyewa berhak menanam tanaman jenis lain
dari yang disepakati, dengan syarat; akibat yang ditimbulkan sama dengan akibat
yang ditimbulkan oleh tanaman yang disepakati lebih sedikit. Menurut Daud penyewa
tidak mempunyai hak untuk yang demikian.
2.
Menyewakan Binatang
Boleh menyewakan binatang. Dengan syarat;
dijelaskan tempo waktunya, atau tempatnya. Dan disyaratkan pula dijelaskan kegunaan
penyewaan, berupa untuk mengangkut barang
atau untuk ditunggangi, apa yang diangkut dan siapa yang menunggangi.
Jika binatang yang disewakan itu terjadi kecelakaan,
apabila binatang sewaan itu cacat dan kemudian celaka, maka penyewaan menjadi batal
(terputus). Dan apabila binatang itu tidak beraib (bercacat), dan kemudian celaka,
penyewaan tidak menjadi batal. Dan orang yang menyewakan wajib mendatangkan
yang lainnya, dia tidak mempunyai hak untuk memfasakh (membatalkan) akad.
Karena ijarah dimaksudkan untuk mengambil manfaat
yang berada dalam tanggungan (si penyewa), serta orang yang menyewakan
(muajjir) berkemampuan untuk memenuhi konsekuensi akad. Di dalam masalah ini para
fuqaha dari madzhab yang empat sependapat.
3.
Menyewakan Rumah
untuk Tempat Tinggal
Menyewakan
rumah untuk tempat tinggal dibolehkan. Baik rumah itu ditempati oleh penyewa atau
ia menempatkan orang lain dengan cara I’arah (pinjam) atau sewa, dengan syarat tidak
merusak bangunan, atau membuat rapuh seperti tukang besi dan semisalnya.
Dan orang yang menyewakan berkewajiban memenuhi
hal-hal yang memungkinkan rumah itu dapat ditempati (dihuni) menurut kebiasaan
yang berlaku.
4.
Menyewakan barang
sewaan
Penyewa
boleh menyewakan barang sewaan. Jika itu berbentuk binatang, maka pekerjaannya harus
sama atau menyerupai pekerjaan yang dahulu pada saat binatang itu disewa pertama,
sehingga tidak membahayakan binatang. Dan si penyewa boleh menyewakan lagi dengan
harga serupa pada waktu ia menyewa, atau lebih sedikit atau lebih banyak. Dan
ia berhak mengambil apa yang disebut Al-Khuwu.
Batalnya akad sewa-menyewa ada dua cara:
1.
Menyewa
barang yang tertentu, misalnya kuda atau rumah. Masa menyewa habis dengan matinya kuda,
robohnya rumah, atau habisnya masa yang dijanjikan. Sekiranya barang yang
disewa itu dijual oleh orang yang menyewakan, akad sewa-menyewanya tidak batal,
melainkan diteruskan sampai habis masanya. Hanya, yang menyewa hendaklah berhubungan
langsung dengan yang membeli rumah itu.
2.
Menyewa
barang yang ada dalam tanggungan seseorang. misalnya menyewa mobil yang tidak ditentukan mobil mana. Maka
rusaknya mobil yang dinaiki tidak membatalkan akad sewa- menyewa, tetapi berlaku sampai habis masanya. Yang menyewakan wajib mengganti dengan
mobil yang lain sehingga habis masanya atau sampai ke tempat yang ditentukan.
Juga akad sewa-menyewa tidak batal dengan matinya orang yang menyewa atau yang
menyewakan, tetapi boleh diteruskan oleh ahli waris masing-masing. Sulaiman Rasjid (2010:305).
I. Berakhirnya Akad Ijarah
Menurut nasrun Haroen (2007:237-238)
berakhirnya masa ijarah diantaranya:
Para ulama fiqh menyatakan bahwa akad
al-ijarah akan berakhir apabila:
1.
Objek hilang atau musnah, seperti rumah terbakar
atau baju yang dijahitkan hilang.
2.
Tenggang waktu yang disepakati dalam akad al-ijarah
telah berakhir. Apabila yang disewakan itu rumah, maka rumah itu dikembalikan kepada
pemiliknya, dan apabila yang disewa itu adalah jasa seseorang, maka ia berhak
menerima upahnya. Kedua hal ini disepakati oleh seluruh ulama fiqh.
3. Menurut ulama Hanafiyah, wafatnya salah
seorang yang berakad, karena akad al-ijarah, menurut mereka tidak boleh
diwariskan. Sedangkan menurut jumhur ulama, akad al-ijarah tidak batal
dengan wafatnya salah seorang yang berakad, karena manfaat, menurut mereka,
boleh diwariskan dan al-ijarah sama dengan jual-beli, yaitu mengikat
kedua belah pihak.
4. Menurut ulama Hanafiyah, apabila ada uzur dari
salah satu pihak, seperti rumah yang disewakan disita negara karena terkait
utang yang banyak, maka akad al-ijarah batal. Uzur-uzur yang dapat
membatalkan akad al-ijarah itu, menurut ulama Hanafiyah adalah salah
satu pihak jatuh muflis, dan berpindah tempatnya penyewa, misalnya, seseorang
digaji untuk menggali sumur di suatu desa, sebelum sumur itu selesai, penduduk
desa itu pindah ke desa lain. Akan tetapi, menurut jumhur ulama, uzur yang
boleh membatalkan akad al-ijarah itu hanyalah apabila obyeknya
mengandung cacat atau manfaat yang dituju dalam akad itu hilang, seperti
kebakaran dan dilanda banjir.
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
1. ijarah adalah transaksi sewa (ijarah)
identik dengan jual beli, tetapi dalam sewa (ijarah) pemilikan dibatasi
dengan waktu.
2.
Landasan hukum
sewa menyewa( ijarah) dalam islam diperbolehkan berdasarkan dalil-dali yang telah di jelaskan
di atas.
3. Hukum ijarah
sahih adalah tetapnya kemanfaatan bagi penyewa, dan tetapnya upah
bagi pekerja atau orang yang menyewakan ma'qud
alaih, sebab ijarah termasuk jual-beli pertukaran, hanya saja
dengan kemanfaatan. Dan ada juga ijarah fasid atau gagal/rusak.
4.
Rukun Ijarah ada 4. Yaitu: Orang yang akad (‘aqid),
shighat, ujrah, dan manfaat.
5. Sedangkan syarat-syarat Ijarah diantaranya
yaitu syarat terjadinya akad dan syarat pelaksanaan (an-nafadz).
6. Macam-macam Ijarah: sewa menyewa binatang,
barang sewaan, tanah.
7. Adapun berakhirnya akad ijarah
diantaranya: Objek hilang atau musnah, Tenggang waktu yang disepakati dalam
akad al-ijarah telah berakhir, wafatnya salah seorang yang berakad, dan ada uzur dari
salah satu pihak.
B. Saran
Kami menyadari sepenuhnya bahwa dalam
penyusunan makalah ini masih terdapat banyak kesalahan dan kekurangan, baik
dalam segi ejaan ataupun pengetikkan. Oleh karena itu, kami mengharapkan kritik
dan saran yang bersifat membangun untuk perbaikan kami di masa yang akan
datang.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an dan Terjemahnya
Al-jajiry,2004 al-fiqhatu
alal madzhabil arba’ah mesir, daru al-hadits.
Al-jazairy,2007
minhajul muslim mesir,daru al-hadits.
Haroen Nasrun, 2007 Fiqh Muamalah Gaya Media Pratama, Jakarta
Ismail, 2012 fiqih
muamalah bogor, ghalia Indonesia.
Rasyid Sulaiman,2010 Fiqih Islam Sinar Baru Algensindo Bandung
Sabiq Sayyid, 1987 Fikih Sunnah 13 PT.Al-Ma’arif Bandung
Syafe’i Rahmat, 2001 Fiqih Muamalah CV. Pustaka setia Bandung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar