1. Pengertian
Al-Musaqah
Secara
etimologi, menurut Haroen (2007:281-182) al-musaqah berarti transaksi dalam
pengairan, yang oleh penduduk Madinah disebut dengan al-mu’amalah. Secara
terminologis fiqh, al-musaqah didefinisikan oleh para ulama fiqh dengan :
مُعَا قَدَ ةُ دَفْعِ الاَشْجَا رِ أِلَى مَنْ يَعْمَلُ
فِيهَا عَلَى أَنَّ الثَّمَرَةَ بَيْنَهُمَا
Penyerahan sebidang kebun pada petani untuk digarap dan
dirawat dengan ketentuan bahwa petani mendapatkan bagian dari hasil kebun itu.
Ulama Syafi’iyah mendefinisikan dengan:
أَنْ يُعَا مِلَ غَيْرُهُ عَلَى نَخْل أَوْ شَجَرَ عِنَبٍ
فَقَطْ لِيَتَعَهَدَهُ بِا لسَقَى وَالتَربِيَةِ عَلَى أَنَّ الشًّمَرَةَ لَهُمَا
Mempekerjakan petani untuk menggarap kurma atau pohon
anggur saja dengan cara mengairi dan merawatnya
dan hasil kurma atau anggur itu dibagi bersama antara pemilik dengan
petani penggarap.
Menurut
Syariffudin (2003:243) Secara
sederhana al-musaqah diartikan dengan kerja sama dalam perawatan tanaman dengan
imbalan bagian dari hasil yang diperoleh dari tanaman tersebut.
Yang dimaksud dengan “tanaman” dalam muamalah ini adalah
tanaman tua atau tanaman keras yang berbuah untuk mengharapkan buahnya seperti
kelapa dan sawit, atau yang bergetah untuk mengharapkan getahnya, bukan tanaman
tua untuk mengharapkan kayu nya.
Sabiq
(1987:183) di dalam bukunya juga
dijelaskan bahwa musaqah dalam pengertian syara’ adalah penyerahan pohon kepada
orang yang menyiramnya dan menjanjikannya, bila sampai buah pohon masak dia
akan diberi imbalan buah dalam jumlah tertentu.
Ia merupakan persekutuan perkebunan untuk mengembangkan
pohon. Dimana pohon berada dalam satu pihak dan penggarapan pohon pada pihak
lain. Dengan perjanjian bahwa buah yang dihasilkan untuk kedua belah pihak.
Dengan presentasi yang telah disepakati, misalnya:setengah, sepertiga atau yang
lainnya.
Untuk pohon yang tidak berbuah, imbalan untuk musaqi
(penggarap) adalah berbentuk pelepah dan kayu serta semacamnya.
Tugas
kewajiban pemelihara pohon (musaqi) ialah sebagai mana dikatakan oleh imam
Nawawi, yang dikutip oleh Masjfuk Zuhdi dalam bukunya Masail Fiqhiyah yaitu
“menyiram pohon, membersihkan saluran air, membersihkan rumput-rumput dan
tumbuhan-tumbuhan liar di sekitarnya, dan membersihkan
ulat,menyerbukkan/mengawinkannya, dan sebagainya.
2.
Hukum Akad al-Musaqah
Menurut
Imam al-Kasani sebagai mana yang dukutip oleh Haroen (2007:282) dalam
menentukan keabsahan akad al-musaqah dari segi syara’ terdapat perbedaan ulama
fiqh. Imam Abu Hanifah dan Zufar ibn Huzailmberpendirian bahwa akad al-musaqah
dengan ketentuan petani menggarap mendapatkan sebagian hasil yang akan dipanen
dari kebun itu. Menurut Ibnu Qudamah sebagai mana yang dikutip oleh Haroen
(2007:282) hal ini menurut mereka termasuk kedalam larangan Rasulullah saw.
Dalam sabdanya yang berbunyi:
مَنْ كَانَ لَهُ أَرْضٌ فَلْيَزْرَعهَا وَلاَ يَكْرِيْهَا
بِثُلُثِ وَلاَ بِرُبْعٍ وَلاَ بِطَعَامٍ مُسَمَّىز
(رواه البخارومسلم عن رافع بن خد يج)
Siapa yang memiliki sebidang tanah, hendaklah ia jadikan
dan oleh tanah pertanian dan jangan diupahkan dengan imbalan sepertiga atau
seperempat (dari hasil yang akan diapanen) dan jangan pula dengan imbalan
sejumlah makanan tertentu. (HR
al-Bukhari dan Muslim dari Rafi’ibn Khudaijj)
Jumhur ulama fiqh termasuk Abu Yusuf dan Muhammad ibn
al-Hasan asy-Syaibani, keduanya tokoh fiqh Hanafi, berpendirian bahwa akad
al-musaqah dibolehkan. Alasan kebolehan akad al-musaqah, menurut mereka adalah
sebuah hadis dari Abdullah ibn Umar yang menyatakan bahwa :
أن رسول الله صلى ا لله عليه وسلم عَا
مَلَ أَهْلَ خَيْبَرٍ بِشَطْرِ مَا يَخْرُخُ مِنْ ثَمَرٍ أَوْزَرْعٍ (رواه الجما
عة)
Bahwa Rasulullah saw. Melakukan kerjasama perkebunan
dengan penduduk Khaibar dengan ketentuan bahwa mereka mendapatkan sebagian dari
hasil kebun atau pertanian itu. (HR
al-Jama’ah (mayoritas pakar hadis))
Disamping kedua hadis diatas, kebolehan al-musaqah jika
didasarkan atas ijma’ (kesepakatan para ulama fiqh), karena sudah merupakan
suatu transaksi yang amat dibutuhkan oleh umat untuk memenuhi keperluan hidup
mereka.
Menurut Sabiq (1987:184) di dalam kitab Nailul Authar Al
Hazami berkata: diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib ra., Abdullah bin Mas’ud,
Ammar bin Yasir, Said bin Al Musayyad, Muhammad bin Sirin, Umar bin Abdul Aziz,
Ibnu Abi Laila, Ibnu Syihab az-Zuhri dan sejumlah tokoh diantaranya Abu Yusuf, Al Qadhi dan Muhammad bin Al-Hasan,
mereka mengatakan : kerja sama dalam pertanian dan musaqah dibolehkan, dengan
imbalan buah atau tanaman. Lebih lanjut mereka mengatakan ; boleh akad kerja
sama cocok tanam dan musaqah sekaligus. Pohon kurma disiram dan tanah ditanami,
seperti yang berlangsung di Khaibar. Dan boleh pula akad dipisah satu-satu.
3. Rukun dan Syarat-syarat Al-Musaqah
Menurut Haroen (2007:283-284) Ulama Hanafiyah
berpendirian bahwa yang menjadi rukun dalam akad al-musaqah adalah ijab dari
pemilik tanah dan qabul dari petani penggarap, dan pekerjaan dari petani
penggarap.
Sedangkan jumhur ulama yang terdiri atas ulama Malikiyah,
Syafiiyah, dan Hanabilah berpendirian bahwa transaksi al-musaqah harus memenuhi
lima rukun yaitu :
1) Dua orang/pihak yang melakukan transaksi
2) Tanah yang dijadikan obyek al-musaqah
3) Jenis usaha yang akan dilakukan petani penggarap
4) Ketentuan mengenai pembagian hasil al-musaqah
5) Shigat (ungkapan) ijab dan qabul
Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh
masing-masing rukun adalah :
1. Kedua belah pihak yang melakukan transaksi al-musaqah
harus orang yang cakap bertindak hukum, yakni dewasa (akil balig), dan berakal.
2. Obyek al-musaqah harus terdiri atas pepohonan yang
mempunyai buah
a) Menurut ulama Hanafiyah yang menjadi obyek al-musaqah
adalah pepohonan yang berbuah, seperti kurma, anggur dan terong.
b) Menurut ulama Hanafiyah muta’akhirin menyatakan
al-musaqah juga berlaku pada pepohonan yang tidak memiliki buah, jika hal itu
dibutuhkan masyarakat.
c) Ulama Malikiyah menyatakan bahwa yang menjadi obyek
al-musaqah adalah tanaman keras dan palawija,seperti kurma, terong, apel,dan
anggur, dengan syarat bahwa :
1) Akad al-musaqah itu dilakukan sebelum buah itu laik panen
2) Tanggung jawab yang ditentukan jelas
3) Akad dilakukan setelah tanaman itu tumbuh
4) Pemilik perkebunan tadk mampu untuk mengelola dan
memelihara tanaman itu.
d) Menurut Ulama Hanabilah, yang boleh dijadikan obyek
musaqah adalah terhadap tanaman yang buahnya di konsumsi, oleh sebab itu
al-musaqah tidak berlaku terhadap tanaman yang tidak memiliki buah.
e) Menurut ulama Syafi’iyah bahwayang boleh dijadikan obyek
al-musaqah adalah kurma dan anggur saja, sebagaimana yang dijumpai dalam sabda
Rasulullah saw, yang menyatakan :
أن رسول الله صلى الله علىه وسلم دَفَعَ أِلَى يَهُوْدِى
خَيْبَرٍ نَخْلَهَا وَاَرْضَهَا بِشَطْرِمَا يَهْرُجُ مِنْحَا مِنْ ثَمَرٍ
اَوْزَرعٍ
Rasulullah saw menyerahkan perkebunan kurma di Khubair
kepada orang Yahudi dengan ketentuan sebagian dari hasilnya, baik dari
buah-buahan maupun dari biji-bijian menjadi milik orang itu.
3. Tanah itu diserahkan sepenuhnya kepada petani penggarap
setelah akad berlangsung untuk digarapi, tanpa campur tangan pemilik tanah.
4. Hasil (buah) yang dihasilkan dari kebun itu merupakan hak
mereka bersama,sesuai dengan kesepakatan yang mereka buat, baim dibagi dua,
dibagi tiga, dan sebagaiya.
5. Lamanya perjanjian itu harus jelas.
4. Perbedaan al-Musaqah dan al-Muzara’ah
Menurut Ibnu Qudamah sebagaimana yang dikutip oleh Haroen
(2007: 285) ulama Hanafiyah menyatakan bahwa ada perbedaan mendasar antara
al-musaqah dan al-muzara’ah. Perbedaan dimaksud antara lain adalah :
1. Jika salah satu pihak dalam akad al-musaqah tidak mau
melaksanakan hal-hal yang telah disetujui dalam akad, maka yang bersangkutan
boleh dipaksa untuk melaksanakan kesepakatan itu. Sedangkan dalam akad
al-muzara’ah bahwa jika pemilik benih tidak mau kerjasama itu dilanjutkan
sebelum benih itu disemaikan, maka ia tidak boleh dipaksa. Kebolehan memaksa
dalam akad al-musaqah dikarnakan menurut jumhur ulama, selain ulama Hanabilah,
akad al-musaqah bersifat mengikat kedua belah pihak. Tetapi dalam akad
al-muzara’ah sifatnya baru mengikat setelah benih disemaikan, maka pemilik
benih boleh saja untuk membatalkan perjanjian itu.
2. Menurut Ibnu Abiddin, sebagaimana yang dikutip oleh
Haroen (2007:286) bahwa penentuan tenggang waktu pada akad al-musaqah, menurut
ulama Hanafiyah bukanlah sebagai salah satu syarat dalam akad al-musaqah.
Pendapat ini mereka dasarkan atas kaidah istihsan (berpaling dari kehendak
qiyas jali kepada qiyas khafi, karena ada dalil yang menghendaki pemalingan
ini). Atas dasar itu penentuan lamanya akad al-musaqah berlangsung sesuai
dengan adat kebiasaan adat setempat. Sedangkan akad al-muzara’ah, dalam
penentuan tenggang waktu, terdapat dua pendapat dalam madzhab Hanafi : orang
pertama disyaratkan tenggang waktu, dan kedua tidak disyaratkan tenggang waktu,
tetapi diserahkan kepada adat kebiasaan setempat. Pendapat yang kedua inilah
merupakan fatwa yang terkuat dalam madzhab Hanafi.
3. Jika tenggang waktu yang disetujui dalam akad al-musaqah
berakhir,akad tetap dapat dilanjutkan, tanpai mbalan terhadap petani penggarap.
Petani penggarap berkewajiban melanjutkan pekerjaannya, sampai pohon-pohon yang
ditanami itu berbuah, tetapi untuk pekerjaan ini petani penggarap tidak berhak
meminta upah, karena pekerjaan sampai tanaman berbuah dan dipanen adalah
kewajiban pihak petani penggarap. Sedangkan dlam akad al-muzara’ah, bila
tenggang waktu telah habis dan tanaman belum juga berbuah (dipanen), maka
petani penggarap melanjutkan pekerjaannya dengan syarat ia berhak menerima
upah, dari hasil bumi yang akan dipetik.
5. Hukum-hukum yang Terkait Dengan Al-Musaqah
Menurut Haroen (2007:286) akad al-musaqah menurut para
ulama fiqh ada kalanya sahih, jika memenuhi rukun dan syaratnya,dan adakalanya
juga fasid, yaitu apabilasalah satu syarat dari akad al-musaqah tidak
terpenuhi.
Menurut Imam al-Kasani sebagaimana yang dikutip oleh
Haroen (2007:286), adapun hukum-hukum yang berkaitan dengat akad al-musaqah yang
sahih adalah :
a. Seluruh pekerjaan yang berkaitan dengan pemeliharaan
tanaman, pengairan kebun dan segala yang dibutuhkan untuk kebaikan tanaman itu,
merupakan tanggung jawab petani penggarap.
b. Seluruh tanaman dari hasil itu menjadi milik kedua belah
pihak.
c. Jika kebun itu tidak menghasilkan apapun (gagal panen),
maka masing-masing pihak tidak mendapatkan apa-apa.
d. Akad al-musaqah telah disepakati oleh kedua belah pihak,
sehingga masing-masing pihak tidak boleh membatalhan akad itu, kecuali ada uzur
(halangan)
e. Petani penggarap tidak boleh melakukan akad al-musaqah
dengan pihak ketiga, kecuali atas izin pihak pemilik perkebunan.
Menurut Ibnu Abiddin sebagaimana yang dikutip Haroen
(2007:287) bahwa akad al-musaqih bisa fasid apabila :
a. Seluruh hasil panen disyaratkan menjadi milik salah satu
pihak yang berakad, segingga makna serikat tidak ada dalam akad itu.
b. Mensyaratkan jumlah tertentu dari hasil panen dengan
salah satu pihak, isalnya dalam bentuk uang, sehingga makna al-musaqah sebagai
serikat dalam hasil panen tidak ada lagi.
c. Disyaratkan pemilik kebun juga ikut bekerja di kebun itu,
bukan petani penggarap saja.
d. Disyaratkan bahwa mencakul tanah menjadi kewajiban petani
penggarap. Karena tugas petani penggarap hanyalah memlihara dan mengairi
tanaman.
e. Mensyaratkan seluruh pekerjaan yang bukan kewajiban
petani atau pemilik.
Menurut Imam al-Kasani sebagaimana yang dikutip oleh
Haroen (2007:287) bahwa jika akad al-musaqah fasid, maka akibat hukumnya adalah
:
a. Petani penggarap tidak boleh dipaksa untuk bekerja di
kebun itu
b. Hasil panen seluruhnya menjadi pemilik kebun, sedangkan
petani penggarap tidak menerima apapun dari hasil kebun itu, tetapi ia hanya
berhak upah yang wajar yang berlaku di daerah itu.
6. Berakhirnya Akad al-Musaqah
Menurut Ibnu Abiddin dan Imam al-Kasani sebagaimana yang
dikutip oleh Haroen (2007 : 287-288) menurut para ulama fiqh bahwa berakhirnya
akad al-musaqah apabila:
1. Tenggang waktu yang disepakati telah habis
2. Salah satu pihak meninggal dunia. Jika petani yang wafat
maka ahli warisnya boleh melanjutkan akad itu, jika tanaman itu belum dipanen,
sedangkan jika pemilik perkebunan yang wafat, maka pekerjaan petani harus
dilanjutkan. Jika kedua belah pihak yang berakad meninggal dunia, kedua belah
pihak ahli waris boleh memilih antara melanjutkan akad atau meninggalkan.
3. Ada uzur yang membuat salah satu pihak tidak melanjutkan
akad. Misalnya, petani penggarap itu terkenal sebagai seorang pencuri hasil tanaman,
dan petani penggarap sakit yang tidak memungkinkan dia untuk bekerja.
Referensi :
Haroen, Nasroen. 2007. Fiqh Muamalah. Jakarta:
Gaya Media Pratama
Sabiq, Sayyid. 1987. Fiqh Sunnah. Bandung: PT.
Alma’arif
Zuhdi, Masjfuk. 1987. Masail Fiqhiyah. Jakarta:
PT. Toko Gunung Agung
Syariffudin, Amir. 2003. Garis-Garis Besar Fiqh. Jakarta:
Kencana Prenada Media Group
Tidak ada komentar:
Posting Komentar