Jumat, 04 Maret 2016

Fiqih Al-Musaqah

1.      Pengertian Al-Musaqah
Secara etimologi, menurut Haroen (2007:281-182) al-musaqah berarti transaksi dalam pengairan, yang oleh penduduk Madinah disebut dengan al-mu’amalah. Secara terminologis fiqh, al-musaqah didefinisikan oleh para ulama fiqh dengan :
مُعَا قَدَ ةُ دَفْعِ الاَشْجَا رِ أِلَى مَنْ يَعْمَلُ فِيهَا عَلَى أَنَّ الثَّمَرَةَ بَيْنَهُمَا
Penyerahan sebidang kebun pada petani untuk digarap dan dirawat dengan ketentuan bahwa petani mendapatkan bagian dari hasil kebun itu.
Ulama Syafi’iyah mendefinisikan dengan:
أَنْ يُعَا مِلَ غَيْرُهُ عَلَى نَخْل أَوْ شَجَرَ عِنَبٍ فَقَطْ لِيَتَعَهَدَهُ بِا لسَقَى وَالتَربِيَةِ عَلَى أَنَّ الشًّمَرَةَ لَهُمَا
Mempekerjakan petani untuk menggarap kurma atau pohon anggur saja dengan cara mengairi dan merawatnya  dan hasil kurma atau anggur itu dibagi bersama antara pemilik dengan petani penggarap.
Menurut Syariffudin (2003:243) Secara sederhana al-musaqah diartikan dengan kerja sama dalam perawatan tanaman dengan imbalan bagian dari hasil yang diperoleh dari tanaman tersebut.
Yang dimaksud dengan “tanaman” dalam muamalah ini adalah tanaman tua atau tanaman keras yang berbuah untuk mengharapkan buahnya seperti kelapa dan sawit, atau yang bergetah untuk mengharapkan getahnya, bukan tanaman tua untuk mengharapkan kayu nya.
Sabiq (1987:183) di dalam bukunya juga dijelaskan bahwa musaqah dalam pengertian syara’ adalah penyerahan pohon kepada orang yang menyiramnya dan menjanjikannya, bila sampai buah pohon masak dia akan diberi imbalan buah dalam jumlah tertentu.
Ia merupakan persekutuan perkebunan untuk mengembangkan pohon. Dimana pohon berada dalam satu pihak dan penggarapan pohon pada pihak lain. Dengan perjanjian bahwa buah yang dihasilkan untuk kedua belah pihak. Dengan presentasi yang telah disepakati, misalnya:setengah, sepertiga atau yang lainnya.
Untuk pohon yang tidak berbuah, imbalan untuk musaqi (penggarap) adalah berbentuk pelepah dan kayu serta semacamnya.
Tugas kewajiban pemelihara pohon (musaqi) ialah sebagai mana dikatakan oleh imam Nawawi, yang dikutip oleh Masjfuk Zuhdi dalam bukunya Masail Fiqhiyah yaitu “menyiram pohon, membersihkan saluran air, membersihkan rumput-rumput dan tumbuhan-tumbuhan liar di sekitarnya, dan membersihkan ulat,menyerbukkan/mengawinkannya, dan sebagainya.
2.      Hukum Akad al-Musaqah
Menurut Imam al-Kasani sebagai mana yang dukutip oleh Haroen (2007:282) dalam menentukan keabsahan akad al-musaqah dari segi syara’ terdapat perbedaan ulama fiqh. Imam Abu Hanifah dan Zufar ibn Huzailmberpendirian bahwa akad al-musaqah dengan ketentuan petani menggarap mendapatkan sebagian hasil yang akan dipanen dari kebun itu. Menurut Ibnu Qudamah sebagai mana yang dikutip oleh Haroen (2007:282) hal ini menurut mereka termasuk kedalam larangan Rasulullah saw. Dalam sabdanya yang berbunyi:
مَنْ كَانَ لَهُ أَرْضٌ فَلْيَزْرَعهَا وَلاَ يَكْرِيْهَا بِثُلُثِ وَلاَ بِرُبْعٍ وَلاَ بِطَعَامٍ مُسَمَّىز
(رواه البخارومسلم عن رافع بن خد يج)
Siapa yang memiliki sebidang tanah, hendaklah ia jadikan dan oleh tanah pertanian dan jangan diupahkan dengan imbalan sepertiga atau seperempat (dari hasil yang akan diapanen) dan jangan pula dengan imbalan sejumlah makanan tertentu. (HR al-Bukhari dan Muslim dari Rafi’ibn Khudaijj)
Jumhur ulama fiqh termasuk Abu Yusuf dan Muhammad ibn al-Hasan asy-Syaibani, keduanya tokoh fiqh Hanafi, berpendirian bahwa akad al-musaqah dibolehkan. Alasan kebolehan akad al-musaqah, menurut mereka adalah sebuah hadis dari Abdullah ibn Umar yang menyatakan bahwa :
أن رسول الله صلى ا لله عليه وسلم عَا مَلَ أَهْلَ خَيْبَرٍ بِشَطْرِ مَا يَخْرُخُ مِنْ ثَمَرٍ أَوْزَرْعٍ (رواه الجما عة)
Bahwa Rasulullah saw. Melakukan kerjasama perkebunan dengan penduduk Khaibar dengan ketentuan bahwa mereka mendapatkan sebagian dari hasil kebun atau pertanian itu. (HR al-Jama’ah (mayoritas pakar hadis))
Disamping kedua hadis diatas, kebolehan al-musaqah jika didasarkan atas ijma’ (kesepakatan para ulama fiqh), karena sudah merupakan suatu transaksi yang amat dibutuhkan oleh umat untuk memenuhi keperluan hidup mereka.
Menurut Sabiq (1987:184) di dalam kitab Nailul Authar Al Hazami berkata: diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib ra., Abdullah bin Mas’ud, Ammar bin Yasir, Said bin Al Musayyad, Muhammad bin Sirin, Umar bin Abdul Aziz, Ibnu Abi Laila, Ibnu Syihab az-Zuhri dan sejumlah tokoh diantaranya  Abu Yusuf, Al Qadhi dan Muhammad bin Al-Hasan, mereka mengatakan : kerja sama dalam pertanian dan musaqah dibolehkan, dengan imbalan buah atau tanaman. Lebih lanjut mereka mengatakan ; boleh akad kerja sama cocok tanam dan musaqah sekaligus. Pohon kurma disiram dan tanah ditanami, seperti yang berlangsung di Khaibar. Dan boleh pula akad dipisah satu-satu.
3.      Rukun dan Syarat-syarat Al-Musaqah
Menurut Haroen (2007:283-284) Ulama Hanafiyah berpendirian bahwa yang menjadi rukun dalam akad al-musaqah adalah ijab dari pemilik tanah dan qabul dari petani penggarap, dan pekerjaan dari petani penggarap.
Sedangkan jumhur ulama yang terdiri atas ulama Malikiyah, Syafiiyah, dan Hanabilah berpendirian bahwa transaksi al-musaqah harus memenuhi lima rukun yaitu :
1)      Dua orang/pihak yang melakukan transaksi
2)      Tanah yang dijadikan obyek al-musaqah
3)      Jenis usaha yang akan dilakukan petani penggarap
4)      Ketentuan mengenai pembagian hasil al-musaqah
5)      Shigat (ungkapan) ijab dan qabul
Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh masing-masing rukun adalah :
1.      Kedua belah pihak yang melakukan transaksi al-musaqah harus orang yang cakap bertindak hukum, yakni dewasa (akil balig), dan berakal.
2.      Obyek al-musaqah harus terdiri atas pepohonan yang mempunyai buah
a)      Menurut ulama Hanafiyah yang menjadi obyek al-musaqah adalah pepohonan yang berbuah, seperti kurma, anggur dan terong.
b)      Menurut ulama Hanafiyah muta’akhirin menyatakan al-musaqah juga berlaku pada pepohonan yang tidak memiliki buah, jika hal itu dibutuhkan masyarakat.
c)      Ulama Malikiyah menyatakan bahwa yang menjadi obyek al-musaqah adalah tanaman keras dan palawija,seperti kurma, terong, apel,dan anggur, dengan syarat bahwa :
1)      Akad al-musaqah itu dilakukan sebelum buah itu laik panen
2)      Tanggung jawab yang ditentukan jelas
3)      Akad dilakukan setelah tanaman itu tumbuh
4)      Pemilik perkebunan tadk mampu untuk mengelola dan memelihara tanaman itu.
d)     Menurut Ulama Hanabilah, yang boleh dijadikan obyek musaqah adalah terhadap tanaman yang buahnya di konsumsi, oleh sebab itu al-musaqah tidak berlaku terhadap tanaman yang tidak memiliki buah.
e)      Menurut ulama Syafi’iyah bahwayang boleh dijadikan obyek al-musaqah adalah kurma dan anggur saja, sebagaimana yang dijumpai dalam sabda Rasulullah saw, yang menyatakan :
أن رسول الله صلى الله علىه وسلم دَفَعَ أِلَى يَهُوْدِى خَيْبَرٍ نَخْلَهَا وَاَرْضَهَا بِشَطْرِمَا يَهْرُجُ مِنْحَا مِنْ ثَمَرٍ اَوْزَرعٍ
Rasulullah saw menyerahkan perkebunan kurma di Khubair kepada orang Yahudi dengan ketentuan sebagian dari hasilnya, baik dari buah-buahan maupun dari biji-bijian menjadi milik orang itu.
3.      Tanah itu diserahkan sepenuhnya kepada petani penggarap setelah akad berlangsung untuk digarapi, tanpa campur tangan pemilik tanah.
4.      Hasil (buah) yang dihasilkan dari kebun itu merupakan hak mereka bersama,sesuai dengan kesepakatan yang mereka buat, baim dibagi dua, dibagi tiga, dan sebagaiya.
5.      Lamanya perjanjian itu harus jelas.
4.      Perbedaan al-Musaqah dan al-Muzara’ah
Menurut Ibnu Qudamah sebagaimana yang dikutip oleh Haroen (2007: 285) ulama Hanafiyah menyatakan bahwa ada perbedaan mendasar antara al-musaqah dan al-muzara’ah. Perbedaan dimaksud antara lain adalah :
1.      Jika salah satu pihak dalam akad al-musaqah tidak mau melaksanakan hal-hal yang telah disetujui dalam akad, maka yang bersangkutan boleh dipaksa untuk melaksanakan kesepakatan itu. Sedangkan dalam akad al-muzara’ah bahwa jika pemilik benih tidak mau kerjasama itu dilanjutkan sebelum benih itu disemaikan, maka ia tidak boleh dipaksa. Kebolehan memaksa dalam akad al-musaqah dikarnakan menurut jumhur ulama, selain ulama Hanabilah, akad al-musaqah bersifat mengikat kedua belah pihak. Tetapi dalam akad al-muzara’ah sifatnya baru mengikat setelah benih disemaikan, maka pemilik benih boleh saja untuk membatalkan perjanjian itu.
2.      Menurut Ibnu Abiddin, sebagaimana yang dikutip oleh Haroen (2007:286) bahwa penentuan tenggang waktu pada akad al-musaqah, menurut ulama Hanafiyah bukanlah sebagai salah satu syarat dalam akad al-musaqah. Pendapat ini mereka dasarkan atas kaidah istihsan (berpaling dari kehendak qiyas jali kepada qiyas khafi, karena ada dalil yang menghendaki pemalingan ini). Atas dasar itu penentuan lamanya akad al-musaqah berlangsung sesuai dengan adat kebiasaan adat setempat. Sedangkan akad al-muzara’ah, dalam penentuan tenggang waktu, terdapat dua pendapat dalam madzhab Hanafi : orang pertama disyaratkan tenggang waktu, dan kedua tidak disyaratkan tenggang waktu, tetapi diserahkan kepada adat kebiasaan setempat. Pendapat yang kedua inilah merupakan fatwa yang terkuat dalam madzhab Hanafi.
3.      Jika tenggang waktu yang disetujui dalam akad al-musaqah berakhir,akad tetap dapat dilanjutkan, tanpai mbalan terhadap petani penggarap. Petani penggarap berkewajiban melanjutkan pekerjaannya, sampai pohon-pohon yang ditanami itu berbuah, tetapi untuk pekerjaan ini petani penggarap tidak berhak meminta upah, karena pekerjaan sampai tanaman berbuah dan dipanen adalah kewajiban pihak petani penggarap. Sedangkan dlam akad al-muzara’ah, bila tenggang waktu telah habis dan tanaman belum juga berbuah (dipanen), maka petani penggarap melanjutkan pekerjaannya dengan syarat ia berhak menerima upah, dari hasil bumi yang akan dipetik.
5.      Hukum-hukum yang Terkait Dengan Al-Musaqah
Menurut Haroen (2007:286) akad al-musaqah menurut para ulama fiqh ada kalanya sahih, jika memenuhi rukun dan syaratnya,dan adakalanya juga fasid, yaitu apabilasalah satu syarat dari akad al-musaqah tidak terpenuhi.
Menurut Imam al-Kasani sebagaimana yang dikutip oleh Haroen (2007:286), adapun hukum-hukum yang berkaitan dengat akad al-musaqah yang sahih adalah :
a.       Seluruh pekerjaan yang berkaitan dengan pemeliharaan tanaman, pengairan kebun dan segala yang dibutuhkan untuk kebaikan tanaman itu, merupakan tanggung jawab petani penggarap.
b.      Seluruh tanaman dari hasil itu menjadi milik kedua belah pihak. 
c.       Jika kebun itu tidak menghasilkan apapun (gagal panen), maka masing-masing pihak tidak mendapatkan apa-apa.
d.      Akad al-musaqah telah disepakati oleh kedua belah pihak, sehingga masing-masing pihak tidak boleh membatalhan akad itu, kecuali ada uzur (halangan)
e.       Petani penggarap tidak boleh melakukan akad al-musaqah dengan pihak ketiga, kecuali atas izin pihak pemilik perkebunan.
Menurut Ibnu Abiddin sebagaimana yang dikutip Haroen (2007:287) bahwa akad al-musaqih bisa fasid apabila :
a.       Seluruh hasil panen disyaratkan menjadi milik salah satu pihak yang berakad, segingga makna serikat tidak ada dalam akad itu.
b.      Mensyaratkan jumlah tertentu dari hasil panen dengan salah satu pihak, isalnya dalam bentuk uang, sehingga makna al-musaqah sebagai serikat dalam hasil panen tidak ada lagi.
c.       Disyaratkan pemilik kebun juga ikut bekerja di kebun itu, bukan petani penggarap saja.
d.      Disyaratkan bahwa mencakul tanah menjadi kewajiban petani penggarap. Karena tugas petani penggarap hanyalah memlihara dan mengairi tanaman.
e.       Mensyaratkan seluruh pekerjaan yang bukan kewajiban petani atau pemilik.
Menurut Imam al-Kasani sebagaimana yang dikutip oleh Haroen (2007:287) bahwa jika akad al-musaqah fasid, maka akibat hukumnya adalah :
a.       Petani penggarap tidak boleh dipaksa untuk bekerja di kebun itu
b.      Hasil panen seluruhnya menjadi pemilik kebun, sedangkan petani penggarap tidak menerima apapun dari hasil kebun itu, tetapi ia hanya berhak upah yang wajar yang berlaku di daerah itu.
6.      Berakhirnya Akad al-Musaqah
Menurut Ibnu Abiddin dan Imam al-Kasani sebagaimana yang dikutip oleh Haroen (2007 : 287-288) menurut para ulama fiqh bahwa berakhirnya akad al-musaqah apabila:
1.      Tenggang waktu yang disepakati telah habis
2.      Salah satu pihak meninggal dunia. Jika petani yang wafat maka ahli warisnya boleh melanjutkan akad itu, jika tanaman itu belum dipanen, sedangkan jika pemilik perkebunan yang wafat, maka pekerjaan petani harus dilanjutkan. Jika kedua belah pihak yang berakad meninggal dunia, kedua belah pihak ahli waris boleh memilih antara melanjutkan akad atau meninggalkan.
3.      Ada uzur yang membuat salah satu pihak tidak melanjutkan akad. Misalnya, petani penggarap itu terkenal sebagai seorang pencuri hasil tanaman, dan petani penggarap sakit yang tidak memungkinkan dia untuk bekerja.

Referensi :
Haroen, Nasroen. 2007. Fiqh Muamalah. Jakarta: Gaya Media Pratama
Sabiq, Sayyid. 1987. Fiqh Sunnah. Bandung: PT. Alma’arif
Zuhdi, Masjfuk. 1987. Masail Fiqhiyah. Jakarta: PT. Toko Gunung Agung

Syariffudin, Amir. 2003. Garis-Garis Besar Fiqh. Jakarta: Kencana Prenada Media Group

Tidak ada komentar:

Posting Komentar