BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Pendidikan dalam
sejarah peradaban manusia merupakan salah satu komponen kehidupan yang paling
urgen. Aktivitas ini telah dan akan terus berjalan semenjak manusia pertama ada
di dunia sampai berakhirnya kehidupan di muka bumi ini. Bahkan kalau ditarik
mundur lebih jauh lagi, kita akan dapatkan bahwa pendidikan telah mulai
berproses sejak Allah SWT menciptakan manusia pertama, yaitu Adam di surga dan
telah mengajarkan kepadanya semua nama yang belum dikenal sama sekali oleh malaikat[1].
Membahas pendidikan,
kita tidak bisa hanya berbicara seputar sekolah, karena sekolah hanya merupakan
salah satu bagian integral dari proses pendidikan. Pendidikan juga terjadi
dalam lingkungan keluarga dan masyarakat. Kedua lembaga inilah yang merupakan
input dari proses pendidikan yang dilaksanakan di sekolah[2].
Di sisi
lain, pendidikan yang diartikan sebagai usaha yang dijalankan oleh seseorang
atau kelompok orang lain agar menjadi dewasa atau mencapai tingkat hidup atau
penghidupan yang lebih tinggi dalam arti fisik dan mental[3] serta sebagai media pembentuk generasi
penerus bangsa yang tangguh kini menjadi barang mahal dan tidak dapat
dikonsumsi oleh semua lapisan masyarakat khususnya masyarakat pedesaan.
Pendidikan Wajib Belajar 9 Tahun yang dikampanyekan pemerintah, untuk sebagian
orang hanya menjadi “angin lalu” karena kebutuhan pokok keluarga menjadi
perhatian utama yang menggeser pentingnya pendidikan.
Otonomi
Daerah sebagai media bagi pemerintah desa untuk mengembangkan desanya di
berbagai aspek kehidupan dirasa belum berdampak banyak khususnya di bidang
pendidikan. Masih banyak daerah-daerah tertinggal yang tidak semua masyarakat
desanya dapat mengenyam bangku sekolah. Kurangnya biaya merupakan alasan utama
mengapa mereka tidak menyekolahkan anaknya. Selain itu, sarana dan prasarana
pendidikan pun di beberapa daerah cenderung masih kurang.
Persoalan
mengenai pengaruh Otonomi Daerah terhadap kebijakan pendidikan hingga sekarang
masih menjadi “isu” yang mengundang rasa keingintahuan penulis dan mungkin
masyarakat lainnya. Otonomi Daerah yang merupakan program pemerintah dalam
memberikan wewenang kepada pemerintah desa untuk memajukan desanya dirasa belum
optimal dalam memberikan perubahan di bidang pendidikan khususnya di
daerah-daerah tertinggal. Oleh sebab itu, tulisan ini dibuat untuk melihat
seberapa jauhkah peran pemerintah desa terhadap kebijakan pendidikan untuk
masyarakatnya.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar
belakang diatas, Adapun masalah-masalah yang ingin di gali dalam pembuatan makalah
ini yaitu:
1. Apa makna Otonomi Daerah ?
2. Seberapa besar wewenang pemerintah daerah terhadap kehidupan desa
berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 ?
3. Bagaimana pengaruh Otonomi Daerah terhadap praktek pendidikan di
Indonesia
1.3.
Tujuan
Berdasarkan rumusan
masalah diatas, maka tujuan yang diharapkan dalam pembuatan makalah ini adalah
sebagai berikut:
1. Mengetahui makna Otonomi Daerah
2. Mengetahui berapa besar wewenang pemerintah daerah terhadap
kehidupan desa berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999
3.
Mengetahui pengaruh Otonomi
Daerah terhadap praktek pendidikan di Indonesia
BAB II
PEMBAHASAN
2.1.
Makna Otonomi Daerah
Otonomi daerah berasal dari kata
otonomi dan daerah. Otonomi berasal bahasa Yunani yaitu "autos"
dan "namos". Autos yang berarti sendiri dan namos yang
berarti aturan atau undang-undang. Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004 otonomi daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom
untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan
masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan[4].
Sedangkan daerah ialah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas
wilayah tertentu.
Otonomi
daerah merupakan pembagian kekuasaan yang diberikan oleh pemerintah pusat
kepada pemerintah daerah untuk mengurus dan mengatur daerahnya. Kekuasaan ini
diberikan oleh pemerintah pusat agar pemerintah setiap daerah dapat dikontrol
dengan mudah oleh pemerintah pusat. Pemerintah daerah memiliki kewajiban untuk
bertanggung jawab kepada pemerintah pusat terhadap daerah yang diurus dan
diaturnya. Ketentuan mengenai tanggung jawab pemerintah daerah kepada
pemerintah pusat ini diatur di dalam UU.
Adapun pengertian otonomi daerah
menurut para ahli antara lain sebagai berikut:
- Syarif Saleh : Otonomi daerah ialah hak
mengatur dan memerintah daerah sendiri yang mana hak tersebut merupakan
hak yang diberikan oleh pemerintah pusat.
- F. Sugeng Istianto : Otonomi daerah adalah hak
dan wewenang dalam mengatur dan mengurus rumah tangga suatu daerah.
- Ateng Syarifuddin : Otonomi mempunyai makna kebebasan
atau kemandirian, namun bukanlah kemerdekaan tetapi kebebasan yang
terbatas dan terwujud pada pemberian kesempatan yang harus bisa
dipertanggungjawabkan.
- Benyamin Hoesein : Otonomi daerah adalah
pemerintahan oleh rakyat dan untuk rakyat di bagian wilayah nasional suatu
negara dan secara informal berada di luar pemerintah pusat.
- Philip Mahwood : Otonomi daerah ialah suatu
pemerintah daerah yang memiliki kewenangan sendiri dimana keberadaannya
terpisah dengan otoritas yang diserahkan pemerintah guna untuk
mengalokasikan sumber material yang sifatnya substansi berkenaan dengan
fungsi yang berbeda.
- Mariun : Otonomi daerah
adalah kebebasan yang dimiliki pemerintah daerah yang memungkinkan
untuk membuat inisiatif sendiri dalam rangka mengelola dan mengoptimalkan
sumber daya yang dimiliki oleh daerahnya sendiri dalam suatu negara.
Otonomi daerah diartikan juga sebagai kebebasan yang diberikan untuk bisa
berbuat apapun sesuai dengan kebutuhan masyarakat di lingkungan setempat.
- Vincent Lemius : Otonomi daerah
merupakan kebebasan
dalam mengambil ataupun membuat suatu keputusan politik atau lainnya yang
sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Didalam otonomi daerah tedapat
kewenangan atau kebebasan yang dimiliki oleh setiap pemerintah daerah
untuk menentukan apa yang akan menjadi kebutuhan daerah namun tetap
senantiasa harus disesuaikan dengan kepentingan nasional sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
- Sunarsip : adalah kewenangan dari
daerah untuk mengurus dan mengatur kepentingan masyarakat yang ada di
daerah tersebut menurut prakarsa sendiri yang didasarkan pada aspirasi
masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan
- Kansil : adalah hak yang diberikan
kepada daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri dalam
ikatan NKRI, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Daerah dibentuk berdasarkan asas desentralisasi
2.2. Wewenang
pemerintah daerah terhadap kehidupan desa berdasarkan Undang-Undang Nomor 22
Tahun 1999
Secara historis
suatu daerah atau yang selanjutnya kita sebut desa, merupakan cikal bakal
terbentuknya masyarakat politik dan pemerintahan di Indonesia jauh sebelum
negara-bangsa ini terbentuk. Struktur sosial sejenis desa, masyarakat adat dan
lain sebagainya telah menjadi institusi sosial yang mempunyai posisi yang
sangat penting. Desa merupakan institusi yang otonom dengan tradisi, adat
istiadat dan hukumnya sendiri serta relatif mandiri. Hal ini antara lain
ditunjukkan dengan tingkat keragaman yang tinggi membuat desa mungkin merupakan
wujud bangsa yang paling konkret[5].
Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 1999 menegaskan bahwa desa tidak lagi merupakan wilayah
administratif, bahkan tidak lagi menjadi bawahan atau unsur pelaksana daerah,
tetapi menjadi daerah yang istimewa dan bersifat mandiri yang berada dalam
wilayah kabupaten sehingga setiap warga desa berhak berbicara atas kepentingan
sendiri sesuai kondisi sosial budaya yang hidup di lingkungan masyarakatnya[6].
Pengesahan
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 mengindikasikan bahwa kini pemerintah desa
berhak dan berwenang untuk mengatur daerahnya. Adapun wewenang Pemerintah
Daerah mencakup beberapa aspek, seperti tercantum pada Pasal 7 Ayat 1 UU No. 22
Tahun 1999 “kewenangan Daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidang
pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan
keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan bidang lain”
dan Pasal 8 Ayat 1 “kewenangan Pemerintahan yang diserahkan kepada Daerah dalam
rangka desentralisasi harus disertai dengan penyerahan dan pengalihan
pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia sesuai dengan
kewenangan yang diserahkan tersebut.”
Daerah yang otonom memberi ruang
gerak yang luas pada perencanaan pembangunan yang merupakan kebutuhan nyata
masyarakat dan tidak banyak terbebani oleh program-program kerja dari berbagai
instansi dan pemerintahan.
Untuk melakukan
otonomi daerah, maka segenap potensi desa baik berupa kelembagaan, sumber daya
alam dan sumber daya manusia harus dapat dioptimalkan. Untuk itu, pemerintah
daerah harus mengoptimalkan segala potensi daerah dan menetapkan pengaturan
administratif dengan bijak agar tercipta kesejahteraan bagi semua masyarakat
daerah, termasuk mengedepankan pendidikan, yang mana pendidikan itu menurut UU
Nomor 2 Tahun 1989, bahwa Pendidikan adalah usaha sadar untuk menyiapkan
peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan atau latihan bagi
peranannya di masa yang akan datang[7].
Setiap kegiatan
apa pun bentuk dan jenisnya, sadar atau tidak sadar, selalu diharapkan kepada tujuan
yang ingin dicapai. Adapun tujuan pendidikan ini tertuang dalam Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 1989, secara jelas disebutkan Tujuan Pendidikan Nasional, yaitu “Mencerdaskan
kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusai
yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti
luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani,
kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan
dan kebangsaan”[8]
Sebagai
implementasi GBHN 1993, minimal ada tiga hal yang perlu dijadikan pedoman:
1.
Pendidikan harus
diarahkan untuk kesejahteraan bangsa;
2.
Pendidikan berfungsi
untuk mempersiapkan tenaga kerja bagi industrialisasi
mendatang;
3.
Pendidikan bertujuan
untuk penguasaan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK)[9].
Berdasarkan
penjelasan diatas, jelas bahwa pendidikan adalah salah satu komponen terpenting
untuk keberlajutan bukan hanya keluarga tapi juga negara. Harus disadari bahwa
pendidikan merupakan titik awal untuk membentuk generasi penerus bangsa yang
kompeten dan dapat meningkatkan kesejahteraan bangsa. Dengan pendidikan,
masyarakat dipersiapkan untuk menghadapi masa depan yang lebih terencana dan
lebih matang.
2.3.
Pengaruh
Otonomi Daerah Terhadap Praktek Pendidikan di Indonesia
Ketentuan otonomi
daerah yang dilandasi oleh Undang-Undang Nomor 22 dan Nomor 25 Tahun 1999,
telah membawa perubahan dalam berbagai bidang kehidupan, termasuk
penyelenggaraan pendidikan. bila sebelumnya manajemen pendidikan merupakan
wewenang pusat, dengan berlakunya undang-undang tersebut, kewenangan tersebut
dialihkan ke pemerintahan kota dan kabupaten[10].
Implikasi otonomi
daerah bagi desentralisasi pendidikan sangat bergantung pada pembagian
kewenangan di bidang pendidikan yang akan ditangani pemerintah pusat,
pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota. Pelaksanaan otonomi daerah
merupakan momentum yang sangat tepat untuk mereformasi penyelenggaraan
pendidikan dari aspek birokrasi, pendanaan dan manajemen pendidikan.
desentralisasi pendidikan yang efektif tidak hanya melibatkan proses pemberian
kewenangan dan pendanaan yang lebih besar dari pemerintah pusat ke pemerintah
daerah, tetapi desentralisasi juga harus menyentuh pemberian kewenangan yang
lebih besar ke sekolah-sekolah dalam menentukan kebijakan organisasi dan proses
belajar mengajar, manajemen guru, struktur dan perencanaan di tingkat sekolah,
dan sumber-sumber pendanaan sekolah[11]
2.3.1.
Pendidikan di
Era Otonomi Daerah dan Implementasi dalam Pendidikan
Pada hakikatnya pendidikan merupakan tanggung jawab semua
pihak. Oleh karena itu partisipasi masyarakat sangat menentukan keberhasilan
pendidikan, kenyataan selama ini partisipasi masyarakat terhadap pendidikan
semakin berkurang, apalagi ada kata-kata sumbang yang sering dilontarkan bahwa
pendidikan gratis mulai dari sekolah dasar sampai ke perguruan tinggi.
Pendidikan Islam yang merupakan salah satu unsur dalam system
pendidikan dalam masyarakat, yang berhubungan secara timbal balik dan saling
bergantung dengan unsur-unsur lainnya. Dengan demikian pendidikan Islam
diharapkan agar mampu mengembangkan potensi yang sudah ada dan menggali potensi
masyarakat yang belum ada[12].
Pelaksanaan undang-undang otonomi daerah memerlukan suatu
perubahan sikap dari para pelakunya serta kemampuan kelembagaan agar pelaksanaan
otonomi dapat berjalan dengan sebaik-baiknya. Pendidikan yang benar adalah
pendidikan yang hidup dari dan untuk masyarakat. Pendidikan yang berdasarkan
masyarakat (community-based education) merupakan bentuk pendidikan yang
seharusnya.
Antara pemda kabupaten dengan masyarakat didalam
penyelenggaraan pendidikan dan kebudayaan terdapat hubungan akuntabilitas
horizontal, artinya masyarakat dan pemda dua-duanya bertanggungjawab terhadap “the
stake holder” (masyarakat) yang memiliki pendidikannya. Pemda berkewajiban
untuk membantu masyarakat agar penyelenggaraan pendidikannya efisien dan
bermutu.
Dalam undang-undang No. 22 tahun 1999 tentang pemerintahan
daerah, kabupaten mempunyai otonomi yang seluas-luasnya, provinsi mempunyai
wewenang koordinatif, dan pemerintah pusat memiliki wewenang didalam menentukan
kebijakan-kebijakan umum. Pemda provinsi yang mempunyai tugas koordinatif dapat
melaksanakan tugasnya untuk mengkoordinasikan kegiatan-kegiatan pendidikan dan
kebudayaan antar pemda-pemda setempat. Perlunya suatu perubahan wawasan didalam
menyeleggarakan pendidikan. Masyarakat bersama-sama dengan pemda
bertanggungajawab terhadap mutu pendidikan didaerahnya. Dengan demikian
pelaksanaan otonomi daerah didalam bidang kebudayaan dan pendidikan akan lebih cepat
dan lebih bermutu[13].
2.3.2.
Problem dan Peluang Pendidikan dalam
Otonomi Daerah
Dalam kaitannya dengan dunia pendidikan, maka tantangan yang
mendasar dan internal, yakni system pendidika Islam berjalan semakin jauh dari
cita-cita semula yaitu mengembangkan sifat pendidikan nasional dan demokratis.
Kurikulum yang terpusat kurang bisa menjawab problema masyarakat desa dan kota.
Keseragaman kurikulum secara nasional selain bersifat kaku dan kurang mendidik,
juga kurangnya memanusiakan siswa sesuai dengan lingkungan sosial ekonomi serta
lingkungan sosial budaya disuatu daerah.
Dalam dunia pendidikan terdapat berbagai masalah di daerah
yang terjadi dan hal itu diisukan adanya kecemburuan antara pusat dan daerah.
Bagi umat Islam pendidikan Islam berakar dari tradisi Islam sendiri, sehingga
tidak mungkin ditangani secara sekuler. Tetapi pemerintahan juga memahami bahwa
umat Islam menuntut hak dan status yang lebih baik bagi pendidikan Islam
sebagai bagian dari system pendidikan nasional sehingga kedudukan dan orientasinya
sama.
Adanya kurikulum yang memperhatikan kondisi daerah merupakan langkah
awal dalam menata ulang system pendidikan yang sudah berlaku untuk kemajuan
suatu lembaga pendidikan yang akan datang. Dengan realitas tersebut maka
kebijakan pemerintah dalam rangka menumbuhkan pembangunan termasuk dalam bidang
pendidikan, dikeluarkan UU No 22/1999 tentang otonomi daerah (OTDA). Dalam
upaya untuk meningkatkan pembangunan di segala bidang termasuk pendidikan yang
tak menentu, Indonesia menerapkan OTDA dalam segala aspek kehidupan.
Demikian pula dengan berlakunya UU No 25/1999 tentang
perimbangan keuangan pusat dan daerah, maka daerah punya wewenang untuk
mengelola dan memanfaatkan sumber alam, sehingga daerah diharapkan mengalami
perubahan pembangunan pendidikan dengan cepat dan terbuka. Namun dalam
kenyataan masih banyak kendala yang menghambat peningkatan kualitas pendidikan
Islam. Hal itu dikarenakan pemerintah pusat masih setengah-setengah memberikan
wewenang untuk mengurusi rumah tangga pendidikan di daerah. Dalam kondisi
demikian maka sekolah swasta (termasuk mayoritas madrasah sebagai lembaga
pendidikan Islam) yang lebih merakyat dan lebih murah daripada sekolah negeri,
akan lebih berdampak semakin rendah kualitasnya karena lebih sedikit dana,
sarana, dan perhatian pemerintah yang kurang memusatkan pada lembaga pendidikan
tersebut. Dan gambaran itu akan timbul kesan bahwa pendidikan semata-mata milik
pemerintah, bukan milik masyarakat.
Berlakunya system pendidikan nasional yang ada dalam lembaga
pendidikan orientasinya condong kepada kepentingan daerah dan tidak memikirkan
kebutuhan masyarakat di suatu daerah. UU tersebut dalam realitanya terkesan
tidak sejalan dengan tujuan agar efisiensi pengelolaan sumber daya, keputusan
anggaran belanja dibuat daerah dan lebih tanggap terhadap masyarakat local,
sehingga berorientasi pada pembangunan daerah. Namun pendidikan Islam masih
terkesan begitu lemah, hal itu dikarenakan penentu kebijakan daerah masih belum
memahami otda dan otonomi pendidikan. banyak wakil rakyat kurang memperhatikan
kondisi pendidikan masyarakat daerah, namun justru terfokus memperkaya dirinya
sendiri dan mengenyampingkan kemanfaatan umat mereka sebagai pembuat kebijakan
membuat cambuk asal jalan kurang didasari tanggungjawab terhadap rakyat.
Dengan berlakunya otonomi daerah, semua wewenang untuk
mengatur maupun mendistribusikan kekayaan daerah dilakukan oleh pemerintah
daerah setempat. Dengan peningkatan pendidikan berarti menekankan keharusan
adanya peran besar pemerintah daerah untuk menghapuskan pesimisme yang
menghantui prospek perkembangan pendidikan daerah.
Disamping permasalahan diatas juga tidak adanya keseimbangan
dalam sector kurikulum inti dan kurikulum local. Dimana kebijakan daerah justru
berorientasi pada sector kurikulum inti. Padahal dalam realitanya bahwa
pendidikan memegang peranan penting dalam proses pengembangan potensi yang
dimiliki oleh masyarakat, curriculum is to be a useful prescription for
social and cultural realities of the times.
Pada dasarnya otonomi daerah memberikan peluang kepada
pengelola pendidikan untuk mengembangkan lembaga pendidikan. Pertama, pengelola
pendidikan memiliki peluang untuk merumuskan tujuan institusi masing-masing
mengacu pada tujuan nasional. Kedua, pengelola pendidikan memiliki
otonomi untuk merumuskan dan mengembangkan kurikulum sesuai dengan tujuan dan
kebutuhan masyarakat suatu daerah. Ketiga, pengelola pendidikan memiliki
peluang untuk menciptakan situasi belajar dan mengajar yang mendukung
pelaksanaan dan pengembangan kurikulum yang telah ditetapkan. Keempat, pendidikan
memiliki otonomi untuk mengembangkan system evaluasi yang dipandang tepat dan
akurat, baik terhadap prestasi belajar siswa maupun terhadap keseluruhan
penyelenggaraan pendidikan. Adapun strategi pengembangan kurikulum mengacu pada
filosofi daerah setempat dan memperhatikan asas masyarakat, ilmu pengetahuan
dan psikologi[14]
BAB III
PENUTUP
3.1.
Kesimpulan
Otonomi daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah
untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Otonomi daerah
yang dilaksanakan dalam Negara Republik Indonesiatelah diatur kerangka
landasannya dalam UUD 1945, kemudian telah melalui tahapan beberapa proses.
Ketentuan otonomi
daerah yang dilandasi oleh Undang-Undang Nomor 22 dan Nomor 25 Tahun 1999,
telah membawa perubahan dalam berbagai bidang kehidupan, termasuk
penyelenggaraan pendidikan, meskipun dirasa belum banyak berpengaruh terhadap
kebijakan pendidikan di beberapa desa/daerah. Masih banyak kekurangan dalam pengiplementasian
kebijakan pendidikan di desa/daerah. Masalah ini memaksa pemerintah pusat untuk
kembali mengevaluasi program kerja yang telah diberlakukan. Pemerintah pun
harus berlaku tegas terhadap bentuk-bentuk pelanggaran dan penyelewengan yang
dilakukan pemerintah daerah. Di sisi lain, pemerintah daerah harus aktif dan
bijak dalam menetapkan kebijakan pendidikan dan menggunakan kewenangan yang
diberikan sebaik-baiknya guna meningkatkan kualitas pendidikan masyarakat di
desa/daerahnya
DAFTAR PUSTAKA
Basri, Hasan, 2012, “Kapita Selekta Pendidikan”, Bandung;
CV Pustaka Setia
Busroh,
Abu, 1994, “Capita Selekta Hukum Tata
Negara”, Jakarta: Rineka Cipta
C.S.T.
Kansil dan Christine S.T. Kansil, 2000. “Hukum
Tata Negara Republik Indonesia”, Jakarta; Penerbit PT Rineka Cipta
Hasbullah, 2006, “Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan”, Jakarta; PT. Raja Grafindo Persada
UU Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional (pasal 1
ayat 1)
Widjaja,
HAW,
2005, “Otonomi Desa Merupakan
Otonomi yang Asli, Bulat dan Utuh”, Jakarta; PT Raja Grafindo Persada
Yahya,
Murip, 2010, ”Pengantar Pendidikan”, Bandung; SoloBandung
[1] Lihat
Q.S. Al-Baqarah (2) :31-33, yang dikutip langsung oleh Hasan Basri, “Kapita
Selekta Pendidikan” (Bandung: Pustaka Setia, 2012) hlm 61
[2] Ibid,
hlm 62
[3]
Sudirman N.,dkk., “Ilmu Pendidikan” (Bandung: Remaja Rosda Karya,
1992) hlm 4
[4]
Abu Daud Busroh, “Capita Selekta Hukum Tata Negara” (Jakarta: Rineka Cipta, 1994)
hlm 271
[5] Widjaja, HAW, “Otonomi Desa Merupakan Otonomi yang Asli, Bulat dan
Utuh” (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005) hlm. 4.
[6] Ibid,
hlm. 17
[7] UU Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional (pasal 1
ayat 1)
[8]
Hasbullah, “Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan” (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2006) hlm. 11
[9]
Ibid, hlm. 136
[10] Murip Yahya,
“Pengantar Pendidikan”, (Bandung: SoloBandung, 2010) hlm. 70
[11] Hasan
Basri, “Kapita Selekta Pendidikan”, (Bandung: Pustaka Setia, 2012) hlm. 73
[12]
Murip Yahya, op, cit, hlm. 71
[13]
Murip Yahya, op, cit, hlm. 74
[14]
Murip Yahya, op, cit, hlm. 78-80
Tidak ada komentar:
Posting Komentar