BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Dalam sejarah
filsafat paling awal, para pemikir mengawali dengan menanyakan bahan dasar yang
menjadikan dunia. Pertanyaan berikutnya, bisakah semua yang ada di alam semesta
ini diperinci kembali kedalam beberapa bentuk “ada” yang paling dasar, menjadi
beberapa realitas tertinggi seperti materi, energy, atau pikiran ? Hal ini
adalah masalah tentang kenyataan (reality), atau persoalan tentang “ada”
(Being). Istilah teknis untuk penyelidikan ini disebut Ontologi. Istilah
ini berasal dari dua kata dalam bahasa Yunani yang berasal dari ilmu tentang
yang “ada” (the science of being) ilmu ini menghadirkan kembali
pencarian bagi ditemukannya prinsip pertama (the first principle)[1]
Pada aspek
ontology, manusia memiliki sifat kreatif yang berfungsi sebagai hamba Tuhan dan
pemimpin dimuka bumi (abidullah dan khalifah fi al-ardhi). Dengan
demikian, pemahaman filosofis tentang cara kerja filsafat terhadap hakikat
sesuatu mengacu pada dua hal mendasar, yakni pada kenyataan adanya
firman-firman Tuhan yang diyakini sebagai petunjuk dan kepada ciptaan-Nya yang
setiap hari dirasakan fungsinya oleh manusia[2].
Segala seluk
beluk yang bertalian dengan pengetahuan berlandaskan pada kemampuan kognitif
atau kemampuan akali yang disebut dengan rasionalitas. Pada dasarnya (an sich),
rasionalitas bersifat netral, dengan kemampuan-kemampuan; menyamakan dan
membedakan (analogi), dan melakukan inferensi dengan logika deduktif atau
induktif. Kemampuan tersebut diistilahkan dengan kecerdasan yang disebut Plato
sebagai innate idea. Dari pemahaman itulah dihasilkan ilmu-ilmu formal.[3].
Untuk itu dalam makalah ini akan memaparkan tentang
landasan ontologis ilmu; yang mana cabang ini menguak tentang objek apa yang di
telaah ilmu? Bagaimana ujud yang hakiki dari objek tersebut ? bagaimana
hubungan antara objek tadi dengan daya tangkap manusia (sepert berpikir, merasa
dan mengindera) yang membuakan pengetahuan.
1.2.
Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang diatas, Adapun masalah-masalah yang ingin di gali dalam
pembuatan makalah ini yaitu:
1. Bagaimana
tafsiran metafisika?
2. Bagaimana
asumsinya?
3. Bagaimana
peluangnya?
4. Terdapat
beberapa asumsi dalam ilmu?
5. Seperti
apa batas-batas penjelajahan ilmu?
1.3. Tujuan
Berdasarkan
rumusan masalah diatas, maka tujuan yang diharapkan dalam pembuatan makalah ini
adalah sebagai berikut:
1. Untuk
mengetahui tafsiran metafisika?
2. Untuk
mengetahui asumsinya?
3. Untuk
mengetahui peluangnya?
4. Untuk
mengetahui beberapa asumsi dalam ilmu?
5. Untuk
mengetahui batas-batas penjelajahan ilmu?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1.
Tafsiran Metafisika
Yaitu untuk mengetahui adanya hakikat
realitas Ilahi yang merupakan substansi dunia ini, baik yang material,
biologis, maupun intelektual[4],
dan bidang filsafat yang disebut metafisika ini merupakan tempat berpijak dari
setiap pemikiran filsafati, termasuk pemikiran ilmiah. Diibaratkan pikiran
adalah roket yang meluncur ke bintang-bintang, menembus galaksi dan awan
gemawan, maka metafisika adalah landasan peluncurnya, dunia yang sepintas lalu
kelihatan sangat nyata ini, ternyata menimbulkan berbagai spekulasi filsafati
tentang hakikatnya[5].
Tafsiran metafisika, tafsiran yang
paling pertama yang diberikan oleh manusia terhadap alam ini adalah bahwa
terdapat ujud-ujud yang bersifat ghaib (supernatural) dan ujud-ujud ini
bersifat lebih tinggi atau lebih kuasa dibandingkan dengan alam yang nyata.
Animisme merupakan kepercayaan yang berdasarkan pemikiran supernaturalisme ini,
dimana manusia percaya bahwa terdapat roh-roh yang bersifat ghaib yang terdapat
dalam benda-benda seperti batu, pohon, dan air terjun. Animisme ini merupakan
kepercayaan yang paling tua umurnya dalam sejarah perkembangan kebudayaan
manusia dan masih dipeluk oleh beberapa masyarakat dimuka bumi[6].
Sebagai lawan dari supernaturalisme
maka terdapat paham naturalism yang menolak pendapat bahwa terdapat ujud-ujud
yang bersifat supernatural ini. Materialisme yang merupakan paham berdasarkan
naturalisme ini, berpendapat bahwa gejala-gejala alam tidak disebabkan oleh
pengaruh kekuatan yang bersifat ghaib, melainkan oleh kekuatan yang terdapat
dalam alam itu sendiri, yang dapat dipelajari kemudian dapat kita ketahui[7].
Prinsip-prinsip materialisme ini dikembangkan oleh
Democritos (460-370 S.M). Dia mengembangkan teori tentang atom yang dipelajari
dari gurunya Leucippus[8].
Bagi Democritos, unsur dasar dari alam ini adalah atom[9].
Hanya
berdasarkan kebiasaan saja maka manis itu manis, panas itu panas, dingin itu
dingin, warna itu warna. Dalam kenyataanya hanya terdapat atom dan kehampaan.
Artinya objek dari pengindraan sering kita anggap nyata, padahal tidak
demikian. Hanya atom dan kehampaan itulah yang bersifat nyata.
Atau dengan perkataan lain, manis,
panas, dingin atau warna, adalah terminology yang kita berikan kepada gejala
yang kita tangkap lewat pancaindera. Rangsangan pancaindera ini disalurkan ke
otak kita dan menghadirkan gejala tersebut.
Dengan demikian maka gejala alam dapat
didekati dari segi proses kimia-fisika. Hal ini tidak terlalu menimbulkan permasalahan
selama diterapkan kepada zat-zat yang mati seperti batuan atau karat besi.
Namun bagaimana dengan mahluk hidup termasuk manusia sendiri? Disini kaum yang
menganut paham mekanistik ditentang oleh kaum vitalistik.
Kaum mekanistik melihat gejala alam
(termasuk makhkuk hidup) hanya merupakan kimia-fisika semata. Sedangkan bagi
kaum vitalistik hidup adalah sesuatu yang unik yang berbeda secara substansi
dengan proses tersebut diatas.
Lalu apa dengan pikiran dan kesadaran
itu sendiri?
Secara fisiologis otak manusia terdiri
dari 10 sampai 15 biliun neuron. Neuron adalah sel saraf yang merupaka dasar
dari keseluruhan system saraf. Cara bekerja otak ini merupakan objek telaahan
dari berbagai disiplin keilmuan seperti fisiologi, psikologi, kimia,
matematika, fisika, teknik dan neuron-fisiologis. Sudah merupakan kenyataan
yang tidak usah lagi diperdebatkan bahwa proses berpikir manusia menghasilkan
pengetahuan tentang zat (objek) yang telah ditelaahnya. Namun apakah
kebenarannya hakikat pikiran tersebut, apakah dia berbeda dengan zat yang
ditelaahnya, ataukah hanya bentuk lain dari zat tersebut?
Dalam hal ini maka aliran monistik
mempunyai pendapat yang tidak membedakan antara pikiran dan zat: mereka hanya
berbeda dalam gejala disebabkan proses yang berlainan namun mempunyai substansi
yang sama. Ibarat zat dan energy, dalam teori relavitas Einstein, energy hanya
merupaka bentuk lain dari zat. Dalam hal ini maka proses berpikir dianggap
sebagai aktivitas elektrokimia dari otak[10],
jadi yang membedakan robot dan manusia bagi kaum yang menganut paham monistik
hanya terletak pada komponen dan struktur yang membangunnya dan sama sekali
bukan terletak pada substansinya yang pada hakikatnya, berbeda secara nyata,
kalau komponen dan struktur robot sudah bisa menyamai manusia, maka robot
itupun bisa menjadi manusia.
Pendapat ini ditolak oleh kaum yang
menganut paham dualistic. Terminology dualisme mula-mula dipakai oleh Thomas
Hyde (1700), sedangkan monisme oleh Christian Wolff (1679-1754). Dalam
metafisika maka penafsiran dualistic
membedakan antara zat dan kesadaran (pikiran) yang bagi mereka berbeda
sui generis, secara substantive. Filsuf yang menganut paham ini diantaranya
adalah Rene Descartes (1596-1650), John Locke (1632-1714) dan George Berkeley
(1685-1753).
Ketiga ahli filsuf ini berpendapat
bahwa apa yang ditangkap oleh pikiran, termasuk penginderaan dari segenap
pengalaman manusia, adalah bersifat mental. Bagi Descartes maka yang bersifat
nyata adalah pikiran, sebab dengan berpikirlah maka sesuatu itu lantas ada.
Cagito ergo sum ! (saya berpikir
maka saya ada!). descrates mulai menyusun filsafatnya secara deduktif
berdasarkan pernyataan yang baginya merupakan kebenaran yang tidak diragukan
lagi. Sebuah anekdot menceritakan bahwa setelah mengikuti filsafat Descrates,
seorang mahasiswa datang kepada professor yang mengajarkan filsafat itu, “saya
masih merasa ragu terhadap pernyataan Descrates itu, prof, bahwa pikiran adalah
satu-satunya kenyataan yang tidak dapat diragukan”. Professor itu tersenyum dan
menatap dalam-dalam, “siapa yang masih merasa ragu tersebut, kawan yang
terpelajar?” (otak udangmu itu toh?)
Locke sendiri menganggap bahwa pikiran
manusia pada mulanya dapat diibaratkan sebuah lempeng lilin yang licin (tabula
rasa) dimana pengalaman indera kemudian melekat pada lempeng tersebut. Makin
lama makin banyak pengalaman indera yang terkumpul dan kombinasi dari
pengalaman-pengalaman indera ini seterusnya membuahkan ide yang kian lama kian
rumit. Dengan demikian pikiran dapat diibaratkan sebagai organ yang menangkap
dan menyimpan pengalaman indera.
Berkeley terkenal dengan pernyataanya,
“To be is be perceived!” (ada adalah disebabkan persepsi!)[11]
(Siapa bilang filsafat, sastra dan lagu
tak bisa berdampingan?) bagi Berkeley maka buah apel itu hanya ada dalam
pikiran seseorang. Jadi kalau tak ada yang memikirkan buah apel itu taka ada?
Tanya seorang. Tetap saja ada, bersikeras Uskup Berkeley, apel itu ada dalam
pikiran Tuhan. (salah satu jawaban paling orisinil dalam masalah tentang
metafisika, geleng Kemeny, namun sulitnya bagaimana kita mengetahui pikiran
Tuhan itu sebenarnya)[12]
Keliatannya makin masuk kita ke dalam labyrinth
ini makin berputar-putar kita di dalamnya. Lalu apa kaitannya dengan ilmu
yang saya pelajari? Tanya seorang pemuda, yang semula melihat filsafat ilmu
sebagai subjek yang mungkin dapat menarik minatnya, setelah mendengar spekulasi
metafisik perhatiannya dirasa surut kembali[13]
Begini jawab saya semungkin bisa, (dia
sebelah kanan saya adalah professor-profesor metafisik, disebelah kiri saya
adalah kanak-kanak yang serba ingin tahu dan belum kenal dusta), pada
hakikatnya, ilmu tidak bisa dilepaskan dari metafisika, namun seberapa jauh
kaitan itu semuanya tergantung kita.
Ilmu merupakan pengetahuan yang mencoba
menafsirkan alam ini sebagaimana adanya. Kalau memang itu tujuannya maka kita
tidak bisa melepaskan diri dari masalah-masalah yang ada didalamnya, bukan?
Makin jauh kita beravontur dalam penjelajahan ilmiah masalah-masalah tersebut
diatas mau tidak mau akan timbul: apakah dalam batu-batuan yang saya pelajari
di laboratorium terpendam proses kimia-fisika atau tersembunyi roh yang halus?
Apakah manusia yang begitu hidup; tertawa, menangis, dan jatuh cinta; semua itu
proses kimia-fisika juga? Apakah pengetahuan yang saya dapatkan ini bersumber
pada kesadaran mental ataukah hanya rangsangan penginderaan belaka?[14]
Semua permasalahan ini telah menjadi
bahan kajian dari ahli-ahli filsafat sejak dahulu kala. Tersedia segudang
filsafat dalam menjawabnya.kita bisa setuju dengan mereka atau kitapun bisa
tidak setuju dengan mereka. Bahkan kitapun boleh mengajukan jawaban filsafat
kita
Jadi pada dasarnya tiap ilmuwan boleh
mempunyai filsafat individual yang berbeda-beda; dia bisa menganut paham
mekanistik, dia bisa menganut paham vitalistik, dan dia boleh setuju dengan
Thomas Hobbes yang metalistik atau George Berkeley yang idealistic.
Titik pertemuan kaum ilmuwan dari semua
ini adalah sifat pragmatis dari ilmu. Sekiranya terdapat dua orang dokter yang
sedang mengukur tekanan darah seseorang dan mengaitkannya dengan kadar
cholesterol di dalamnya, maka bahwa yang seorang termasuk kubu mekanistik,
serta yang seorang lagi termasuk kubu vitalistik, dalam proses pemeriksaan
medis ini komitmen filsafati mereka adalah tidak relevan lagi. Baru setelah
kedua dokter itu selesai bekerja dan menggantungkan jubah putihnya, mereka
berpisah dengan memilih koridor spiritualnya masing-masing yang berbeda, dalam
berkontemplasi dan memberikan makna.
“Betapa luhurnya manusia,” bisik dokter
yang satu. (Pasiennya yang tadi adalah seorang tua yang uzur: menderita tekanan
darah tinggi yang sudah renta, namun terpaksa membanting tulang untuk
menghidupi keluarganya) Ah, nunc scio quid sit Amor. Akhirnya ku tahu
juga wajah cinta.
“Betapa keroposnya manusia”, bisik dokter yang lainnya
(dalam buku kecilnya tercatat: cholesterol 350, tekanan darah 90 x 180, kencing
manis, asma, etcetera)
2.2.
Asumsi
Suatu hari pada zaman Wild West,
seorang jago tembak yang kenamaan, ditantang oleh seorang petani yang mabuk.
Petani ini adalah orang biasa, jadi sama sekali bukan tipe Jango, yang bisa
tembak sana tembak sini sambil tutup mata, setelah ia minum wiski dan melahap
16 jenis masakan pesta. Cuma karena mabuk saja dia berlagak jadi jagoan
disebabkan otaknya yang sedang out dari udara. Kalau waras mana berani ia
menantang penembak professional yang sudah punya reputasi seantero dunia,
dunianya koboy tentu saja.
Nah, apa yang akan terjadi? Bisik
Bandar taruhan. Bukankah kejadian semacam ini jarang ditemui, seperti menemukan
orang bisu sedang menyanyi? Lalu mulailah Bandar taruhan ini mengumpulkan data
dan informasi mengenai kedua gladiator yang akan bertarung sampai mati.
Nama: Franco Nero, KTP nomor 0941940,
RT 010, RW 13. Reputasi: 30 duel, 30 kali menang dengan TM (Tembak Mati, atau
KO, dalam boxing) Duilah!
Sedangkan petani kita belum namanya
belum tercatat dalam daftar Guiness Record, kecuali dalam buku Bapak Camat,
sebab dia masih menunggak Ipeda.
Berapa pasaran taruhan kita?
Bila semuanya berjalan beres, saran
konsultan kepada Bandar taruhan itu, berdasarkan data yang tercatat, maka
paling tidak 30 berbanding 1 yang diramalkan petani malang itu akan mendapatkan
one way ticket ke surga.
Lantas apanya yang mungkin tak beres?
Tanya Bandar kita, yang benar-benar ingin aman menanam modalnya.
Ya, bermacam-macam, jawab konsultan
yang sedang ngobyek ini yang pekerjaan sebenarnya adalah dosen filsafat ilmu di
universitas swasta, umpamanya katakan sajalah bahwa pistol si Jango itu punya
kehendak sendiri (free will), kan berabe?
Berabe gimana?
Ya, mungkin saja pistol itu tidak mau
menembak orang berdosa, apalagi seorang nonprofessional yang belum
diakreditasi. Jadi nembak ya nembak namun nembaknya ngawur seperti tendangan
PSSI.
Ah, itu nonsense, jawab Bandar taruhan,
itu bersifat akademik dan sangat
spekulatif, mana pistol punya pilihan bebas. Sekiranya pistol ditembakkan dan
tepat pada sasaran maka secara deterministic sasaran itu akan kena. (Rupanya
Bandar taruhan ini waktu kuliah di sekolah bisnis mengambil juga matakuliah
etika berniaga).
Oke jawab konsultan kita, namun
bagaimana kalau pistolnya macet?
Macet bagaimana,
Ya, macet, klik! Jawab konsultan itu.
Dari data yang dapat dikumpulkan ternyata bahwa dari 100 peluru yang
ditembakkan sebuah pistol maka satu diantaranya adalah macet. Artinya, secara
probabilistic, meskipun peluangnya satu dalam seratus, mungkin saja pistol Jago
kita itu macet, yang menyebabkan dia tersambar ”chance” (kebetulan) berupa
nasib.
Nah, lalu merenunglah Bandar taruhan
kita seperti juga merenungnya para filsuf ilmu sesudah itu. Mereka menduga-duga
apakah gejala dalam alam ini tunduk pada determinisme, yakni hukum alam
yang bersifat universal, ataukah hukum semacam itu tidak terdapat sebab setiap
gejala merupakan akibat pilihan bebas, ataukah keumuman memang ada namun
berupa peluang, sekedar tangkapan probabilistic? Ketiga masalah ini yakni
determinisme, pilihan bebas dan probabilistic merupakan permasalahan filsafati
yang rumit namun menarik. Tanpa mengenal ketiga aspek ini, serta bagaimana ilmu
sampai pada pemecahan masalah yang merupakan kompromi, akan sukar bagi kita
untuk mengenal hakikat keilmuan dengan baik.
Nanti dulu, potong konsultan yang
merangkap jadi filsuf ilmu, pembahasan mengenai determinisme pilihan bebas dan
probabilistic itu baru dapat dilakukan sekiranya bahwa hukum semacam itu memang
ada. Sekiranya hukum yang mengatur kejadian alam itu tidak ada, maka masalah
determinisme, probabilitas dan kehendak bebas itu sama sekali tidak akan
muncul, kan?
Benar juga, ya, sekiranya hukum alam
itu memang benar-benar tidak ada, maka tidak akan ada permasalahan dengan
determinisme, probabilitas atau pilihan bebas. Dengan demikian maka tidak ada
masalah tentang hubungan logam dengan panas, tekanan dengan volume, atau IQ
dengan keberhasilan belajar. Alhasil lalu ilmu itu sendiripun tidak ada sebab
ilmu justru mempelajari hukum alam seperti ini.
Jadi, marilah kita asumsikan saja bahwa
hukum yang mengatur berbagai macam kejadian itu memang ada, sebab tanpa asumsi
ini maka pembicaraan kita semuanya lantas sia-sia, tukas teoritikus filsafat
ilmu. Hukum disini diartikan sebagai suatu aturan main atau pola kejadian yang
diikuti oleh sebagian besar peserta,
gejalanya berulang kali dapat diamati yang tiap kali memberikan hasil
yang sama, yang dengan demikian dapat kita simpulkan bahwa hukum itu, seperti
kata Coca Cola, berlaku kapan saja dan dimana saja. Bagaimana?
Boleh saja, sahut seorang yang
pikirannya sangat pragmatis, asalkan hukum disini jangan ditafsirkan dalam
pengertian moral, sebab ilmu tidak mempelajari kejadian yang seharusnya
melainkan kejadian alam sebagaimana adanya. “Sayang sekali perkataan hukum
terlanjur dipergunakan dalam filsafat ilmu,” ujar Kemeny, “Penggunaan kata
hukum ini memberikan konotasi bahwa hal ini bisa saja tidak diataati, padahal
masalah taat atau tidak taat seharusnya tidak termasuk kedalam diskusi semacam
ini.[15]
Malahan dalam rangka pengembangan bahasa, selama teman saya, terdapat ahli
bahasa yang menyarankan kata “Taat asas” sebagaimana padanan kata “konsisten”,
yang sebenarnya kurang dapat dibenarkan, sebab hal ini membawa konotasi yang
sama.
Paham determinisme dikembangkan oleh
William Hamilton (1788-1856) dari doktrin Thomas Hobbes (1588-1679) yang
menyimpulkan bahwa pengetahuan adalah bersifat empiris yang dicerminkan oleh
zat dan gerak yang bersifat universal. Aliran filsafat ini merupakan lawan dari
paham vatalisme yang berpendapat bahwa segala kejadian ditentuka oleh nasib
yang telah ditetapkan lebih dulu. Demikian juga paham determinisme ini
bertentangan dengan penganut pilihan bebas yang menyatakan bahwa manusia
mempunyai kebebasan dalam menentukan pilihannya tidak terikat pada hukum alam
yang tidak memberikan alternative.
Untuk meletakan ilmu dalam perspektif
filsafat ini marilah kita bertanya kepada diri sendiri apakah sebenarnya yang
ingin dipelajari ilmu. Apakah ilmu ingin mempelajari hukum kejadian yang
berlaku bagi seluruh manusia, seperti yang coba dijangkau dalam ilmu-ilmu
sosial, ataukah cukup yang berlaku bagi sebagian besar dari mereka? Atau bahkan
mungkin juga kita tidak mempelajari hal-hal yang berlaku umum melainkan cukup
mengenai tiap individu belaka?
Konsekuensi dari pilihan ini adalah
jenis, sebab sekiranya kita memilih hukum kejadian yang berlaku bagi seluruh
manusia, maka kita harus bertolak dari paham determinisme. Sekiranya kita
memilih hukum kejadian yang bersifat khas dari setiap individu maka kita
berpaling kepada paham pilihan bebas. Sedangkan posisi tengah yang terletak
diantara keduanya mengantarkan kita kepada paham yang bersifat probabilistic.
Sebelum kita menentukan pilihan marilah
kita merenung sejenak dan berfilsafat. (Sudah agak jelas mengenai kaitan antara
ilmu dan filsafat?) sekiranya ilmu ingin menghasilkan humum yang kebenarannya
bersifat mutlak maka apakah tujuan ini cukup realistis untuk dicapai ilmu?
Mungkin kalau sasaran ini yang dibidik ilmu, maka khasanah pengetahuan ilmiah
hanya terdiri dari beberapa gelintir pernyataan yang bersifat universal saja
seperti: semua manusia akhirnya akan mati juga apakah orang ini Robert Redford,
Dra. Tatik atau Bagio.[16]
Semua manusia berkaki dua , umpamanya, tidak memenuhi persyaratan ini, sebab
ada juga yang berkaki satu malahan juga mungkin tiga atau empat. Masih inget
teka-teki waktu kita masih kanak-kanak: mahluk apa, ayo, yang masih kecil
berkaki empat, sudah besar berkaki dua, sudah tua menjadi tiga?
Demikian juga, sekiranya sifat universal
semacam ini yang disyaratkan ilmu, bagaimana kita akan mampu memenuhinya,
disebabkan kemampuan manusia yang tidak mungkin mengalami semua kejadian?
Katakan saja umpamanya bahwa kita menyimpulkan: matahari selalu terbit dari
barat dan terbenam di timur; beranikah kita menjamin siapa tahu, pada hari anu
dan bulan anu ditahun ke-2000 anu, kejadiannya terbalik yang mengakibatkan
kesimpulan ini tak berlaku?
Atau baiklah kita persempit menjadi
pernyataan yang dibatasi masa kini seperti; pada hari ini bulan ini tahun 1982
ini, semua manusia Indonesia memakai celana dalam. Oke kata saya, tetapi
bagaimana caranya kita dapat sampai kepada kesimpulan semacam ini? Ya, mudah
saja, periksa semua celana dalam semua bangsa Indonesia, baik yang punya KTP
atau tidak, dari Sabang sampai Merauke, apakah mereka memakai celana atau
tidak.
Tapi hal ini tidak praktis, realistis
dan sama sekali tidak ekonomis, potong petugas sensus yang merasa ngeri kalau dia
harus menyensus celana-celana dalam, dapatkah kalian bayangkan berapa uang
proyek yang mesti disediakan untuk itu?
Lalu tertegunlah kembali filsuf kita
memikirkan dilema ini. Kemudian ada ahli filsafat yang sampai pada kesimpulan
bahwa pengetahuan yang bersifat umum itu adalah tidak perlu. Bahkan filsuf
eksistensialis umpamanya berpendapat bahwa adalah merupakan kekejaman untuk
meletakkan hakikat manusia yang bersifat khas dan individual dibawah tirani
pengetahuan yang bersifat umum. Pengetahuan haruslah bersifat individual yang berorientasi kepada
pengalaman pribadi, tukas mereka.
Tapi untuk itu kan sudah ada seni,
potong ilmuwan yang kerjanya memang melakukan generalisasi. Filsuf
eksistensialis ini memang hebat sebagai seniman namun kurang meyakinkan sebagai
filsuf, gerutu dia. (Cobalah Albert Camus sebagai “aperitif” dan Jean-Paul
Sartre sebagai main course ). Yang kita butuhkan adalah pengetahuan yang
berada ditengah-tengah, antara kemutlakan yang dipunyai agama, dan keunikan
individual yang bersifat seni, sambungnya.
Nah, kompromi yang diusulkan ilmuwan
inilah yang dipakai landasan ilmu, sebab ilmu sebagai pengetahuan yang
berfungsi membantu manusia dalam memecahkan masalah praktis sehari-hari,
tidaklah perlu memiliki kemutlakan seperti agama yang berfungsi memberikan
pedoman terhadap hal-hal yang paling hakiki dari kehidupan ini. Walaupun
demikian sampai tahan tertentu ilmu perlu memiliki keabsahan dalam melakukan
generalisasi, sebab pengetahuan yang bersifat personal dan individual seperti
upaya seni, tidaklah bersifat praktis. Jadi diantara kutub determinisme dan
pilihan bebas ilmu menjatuhkan pilihannya terhadap penafsiran probabilistic.[17]
Dari cerita diatas, dapat disimpulkan
bahwa asumsi merupakan dugaan sementara yang dianggap benar atau dapat
diartikan juga sebagai dugaan dasar. Nah asumsi ini akan benar apabila sebab
akibat memiliki hubungan yang rasional.
2.3.
Peluang
Peluang merupakan kesempatan yang baik
yang tidak boleh disia-siakan, atau dapat diartikan juga merupakan kesempatan
yang baik untuk sebuah pilihan yang akan terjadi.
Jadi berdasarkan teori-teori keilmuwan
saya tidak akan pernah mendapatkan hal yang pasti mengenai suatu kejadian,
Tanya seorang awam kepada seorang ilmuwan. Ilmuwan itu menggelengkan kepalanya.
Tidak, jawab ilmuwan itu sambil tersenyum apolegotik, hanya kesimpulan yang
probabilistic.
Jadi berdasarkan metodologi dan
geofisika saya tidak pernah merasakan bahwa esok hari akan hujan atau tidak
akan hujan, sambung orang awam kita, kian penasaran. Tidak, jawab ilmuwan kita,
tetap tersenyum sebab ia termasuk pada golongan “orang yang tahu ditahunya dan
tahu ditidaktahunya”, jadi tidak pernah groggy bila diserang: saya hanya bisa
mengatakan, umpamanya, bahwa dengan probabilitas 0.8 esok tidak akan turun
hujan.
“Apa artinya peluang 0.8 ini?” Tanya
orang awam.
Peluang 0.8 secara sederhana dapat
diartikan bahwa probabilitas untuk turun hujan esok adalah 8 dari 10 (yang
merupakan kepastian). Atau sekiranya saya merasa pasti (100%) bahwa besok akan
turun hujan maka saya akan berikan peluang 1.0 atau dengan perkataan lain yang
lebih sederhana, peluang 0.8 merincikan bahwa pada 10 kali ramalan tentang akan
jatuh hujan, 8 kali memang hujan itu turun, dan dua kali ramalan itu meleset.
Jadi biarpun kita mempunyai peluang 0.8
bahwa hari akan hujan, namun masih terbuka kemungkinan bahwa hari tidak akan
hujan?
“Benar demikian,” sahut ilmuwan.
“Lalu apa kegunaan pengetahuan semacam
itu?” seru orang awam kita sambil memukulkan tinju.
Pertama harus saudari sadari bahwa ilmu
tidak pernah ingin dan tidak pernah berpretensi untuk mendapatkan pengetahuan
yang bersifat mutlak. (Dalam soal pretense ini maka ilmu kalah dengan
pengetahuan perdukunan. Saudari pasti sembuh, ujar dukun, minum saja air ini.
Jelas dia tidak pernah mengatakan: Minum air ini dan dengan peluang 0.8 maka
saudara akan sembuh). Ilmu memberikan pengetahuan sebagai dasar bagi saudara
untuk mengambil keputusan, dimana keputusan saudara harus didasarkan kepada
penafsiran kesimpulan ilmiah yang bersifat relative. Dengan demikian maka kata
akhir dari suatu keputusan terletak ditangan saudara dan bukan pada teori-teori
keilmuwan. (Itulah mungkin sebabnya orang yang tidak pernah mau mengambil
keputusan sendiri lebih senang pergi ke dukun. Berkonsultasi pada ahli
psikologi atau psikiater paling-paling diberi alternatif-alternatif yang dapat
diambil; sedangkan dukun dengan pasti akan berkata; pilih jalan ini, saya
jamin, pasti berhasil).
Oleh sebab itu sekiranya kita mempunyai
pengetahuan ilmiah yang mengatakan bahwa “sekiranya hari mendung maka terdapat
peluang 0.8 akan turun hujan”, maka pengetahuan itu harus kita letakkan pada
permasalahan hidup kita yang mempunyai perspektif dan bobot berbeda-beda.
Katakanlah umpamanya saudara besok akan piknik, kemudian saudara mengetahui
bahwa esok punya peluang 0.8 bahwa hari tidak akan hujan, akankah saudara
urungkan piknik saudara?
“Tidak,” jawab orang awam itu dengan
pasti, “tidak akan saya urungkan sebab takut hujan”.
“Mengapa?” Tanya ilmuwan kita,
“Bukankah masih terdapat peluang 0,2 bahwa hari akan hujan”
Orang awam itu mengangkat bahu. “Mungkin”
sambungnya sambil tersenyum, (dia sudah mulai tersenyum; kelihatannya ia sudah
mulai melihat perspektif ilmu), “bagi saya cukup tersedia jaminan (dengan
peluang 0.8) bahwa sangat tidak jadi kemungkinan besar esok tidak akan turun
hujan.”
“Baik”, sambung ilmuwan kita, “itu
pilihan Saudara sendiri, saya tidak akan ikut campur”, sekarang bagaimana
sekiranya Saudara pedagang garam . Beranikah Saudara mengangkat garam saudara
dengan peluang 0.8 hari tidak akan turun hujan dari Tanjung Priok ke (pusat pergudangan)
Cakung?
“Gimana ya” orang itu menggaruk-garuk
kepalanya,” mau tidak diangkut dari Tanjung Priok kena denda, mau diangkut ke
Cakung, biarpun peluangnya 0.8 tidak akan turun hujan bisa saja (persetan ini
iblis yang bernama chance!) turun hujan. Berat, nih! Nanti deh akan saya
perhitungkan untung ruginya sekiranya saya mengangkut garam itu ditutupi dengan
terpal. Maunya sih ditutup dengan terpal, bukan? Semuanya lalu safe. Tetapi
apakah ongkos terpal ini sesuai dengan resiko yang akan saya tanggung berdasarkan
peluang 0.2 bahwa hari akan turun hujan?”
“Putusan yang bijaksana”, jawab ilmuwan
kita dengan sangat puas. (Belum tentu rekan-rekannya seilmu mempunyai
perspektif yang jelas seperti orang awam ini dalam menafsirkan peluang).
Sekarang… sekiranya saudara mempunyai pacar dari galaksi sana, katakanlah dari
planet Mars yang jaraknya hanya 35.170.000 mil[18])
dari bumi kita. Pacar Saudara itu cantik, sexi, rambutnya pirang, namun sayang
sekali dia tidak boleh tersentuh hujan. Bila sedikit saja kena hujan maka
kulitnya yang mulus akan meleleh seperti kulit kita terkena asam. Jika Saudara
ingin membawa pacar Saudara itu jalan-jalan di Jakarta, katakanlah umpamanya ke
proyek Senen dan tentu saja Bina Ria; dengan pengetahuan bahwa peluang adalah
0.8 bahwa hari akan cerah sepanjang hari, apakah yang akan Saudara lakukan?”
“Biarpun ahli meteorology dan geofisika
menyatakan bahwa terdapat peluang 0.95 atau bahkan 0.99 bahwa esok hari tidak
akan hujan, saya akan tetap berjalan-jalan dengan pacar saya ke proyek Senen
dan Bina Ria sambil tetap membawa payung”, seru orang awam ini dengan penuh
semangat.
“Mengapa?” Tanya ilmuwan kita.
“Sebab resikonya, Bung, resikonya”
jawab orang itu sambil tertawa, (Orang itu adalah seorang mahasiswa yang urutan
prioritasnya adalah cinta, uang, dan kesehatan. Tiga puluh tahun lagi urutan
ini kemungkinan besar akan berbalik: kesehatan, uang, dan cinta)
Ilmuwan kita menjabat tangan pemuda
itu: Bravo! Kepada yang muda yang bercinta! (Mereka lalu berbincang-bincang di
cafeteria. Mengangkat gelas bagi kehidupan yang penuh ketidakpastian ini, namun
mereka merasa betah didalamnya)
Bagi kesehatan Saudara!
Ilmuwan itu tersenyum dan memandang ke
sekeliling. Gerbang universitas yang tua dan manusia-manusia muda yang
melewatinya. Gerbang yang pula pernah dilaluinya dimana dia menemukan dirinya
sendiri, gerbang yang mendewasakan dia secara intelektual, moral dan emosional:
yang memanusiakan dirinya. (Kerongkongannya tersekat):
Bagi Alma Mater kita![19]
2.4.
Beberapa Asumsi Dalam Ilmu
Waktu kecil segalanya kelihatan serba
besar, pohon natal begitu tinggi semampai, orang-orang tampak seperti raksasa
dalam film seri televise The Land of the Giants, kehidupan penuh dengan
1001 teka-teki dan sejuta rahasia. Pandangan itu berubah setelah kita berangkat
dewasa, dunia ternyata tidak sebesar yang kita kira, ujud yang penuh dengan
misteri ternyata hanya begitu saja. Kesemestaanpun menciut, bahkan dunia bisa
selebar daun kelor, bagi orang yang putus asa.
Katakanlah kita sekarang sedang
mempelajari ilmu ukur bidang datar (planimetri). Tarik garis kesana, buat garis
kesini, hitung berapa besar sudut yang menyilang, hidung berapa garis sudut
berhadapan. Analisis seperti ini kita lakukan untuk membuat konstruksi kayu
bagi atap rumah kita. Bagi amuba bidang datar itu tidak rata dan mulus seperti
pipi wanita yang sudah di make up, melainkan bergelombang, penuh dengan lekukan
yang kurang mempesona. Permukaan yang rata berubah menjadi kumpulan berjuta
kurva.
Jarak yang terdekat bukan dari garis
lurus (seperti diformulasikan dalam ilmu ukur kita), melainkan garis lengkungan
seperti titian bianglala.
Mengapa terdapat perbedaan pandangan
yang nyata terhadap objek yang begitu kongkrit seperti sebuah bidang? Mengapa
amuba dan kita seakan-akan hidup dalam dunia yang sangat berbeda? Sebabnya,
simpul ahli fisika Swiss Charles-Eugene Guye, gejala itu diciptakan oleh skala
observasi[20].
Bagi sekala observasi anak kecil pohon-pohon natal itu begitu gigantic,
sedangkan bagi skala observasi amuba, bidang datar ini merupakan daerah pemukiman
yang berbukit-bukit.
Jadi secara mutlak sebenarnya tak ada
yang tahu seperti apa sebenarnya bidang datar itu. Hanya Tuhan yang tahu,
mungkin pdang electron, mungkin bukit meson, mungkin cuma zarah debu. Secara
filsafati mungkin ini merupakan masalah besar namun bagi ilmu masalah ini
didekati secara praktis. Seperti disebutkan terdahulu, ilmu sekadar pengetahuan
yang mempunyai kegunaan praktis yang dapat membantu kehidupan manusia secara
pragmatis. Dengan demikian maka untuk tujuan membangun atap rumah, sekiranya kita asumsikan bahwa
permukaan itu adalah bidang datar, maka secara pragmatis hal ini dapat
dipertanggungjawabkan. Namun bagi amuba asumsi ini jelas tak dapat diterima
sebab secara praktis bagi mereka permukaan kayu yang mereka hadapi bukanlah bidang
datar melainkan permukaan yang bergelombang.
Marilah kita lihat ilmu yang termasuk
paling maju dibandingkan dengan ilmu ilmu lainnya yakni fisika. Fisika
merupakan ilmu teoretis yang dibangun diatas system penalaran deduktif yang
meyakinkan serta pembuktian induktif
yang sangat mengesankan. Namun sering dilupakan orang bahwa fisikapun
belum merupakan suatu kesatuan konsep yang utuh. Artinya fisika belum merupakan
pengetahuan ilmiah yang tersusun secara sistemik, sistematik, konsisten dan
analitik berdasarkan pernyataan-pernyataan ilmiah yang disepakati bersama.
Dimana terdapat celah-celah perbedaan dalam fisika? Perbedaannya justru
terletak dalam fundasi dimana dibangun teori ilmiah diatasnya yakni dalam
asumsi dalam dunia fisiknya.
Dalam analisis secara mekanistik maka
terdapat empat komponen analisis utama, yakni zat, gerak, ruang dan waktu.
Newton dalam bukunya Philosophiae Naturalis Principia Mathematika (1686)
berasumsi bahwa keempat komponen ini bersifat absolut. Zat bersifat absolut dan
dengan demikian berbeda secara
substantive dengan energy. Einstein, berlainan dengan Newton, dalam The
Special Theory of Relativity (1905) berasumsi bahwa keempat komponen itu
bersifat relative. Tidak mungkin kita mengukur gerak secara absolut, kata
Einstein. Bahkan zat sendiri itupun tidak mutlak, hanya bentuk lain dari energy
dengan rumus yang termasyhur: E = mc²
Jadi kalau begitu, keluh si peragu,
ilmu tidak benar. Secara absolut memang demikian, jawab ilmuwan, namun bukankah
ilmu tidak bermaksud mencari pengetahuan yang bersifat absolut? Sekiranya ilmu
mencari teori-teori ilmiah yang secara praktis, umpamanya dapat kita pakai
untuk membangun rumah, maka mekanika klasik dari Newton sudah jauh dari cukup.
Demikian juga halnya dengan ilmu ukur yang kita pakai untuk mengukur dalam
mekanika klasik yakni ilmu ukur Euclid. Ilmu ukur yang dikembangkan oleh Euclid
(330-275 S.M) kurang lebih dua ribu tahun lalu itu ternyata sampai sekarang
masih memenuhi syarat. Namun sekiranya dalam kurun yang ditandai krisis energy ini,
kita ingin berpaling dari sumber energy konvensional yakni, air, angina, panas,
(bumi dan matahari) serta fosil kepada energy nuklir, maka tentu saja kita
harus berpaling kepada teori relativitas Einstein; sebab menurut teori ini
kebutuhan listrik dunia selama sebulan dapat dipenuhi hanya dengan konversi 5
kg zat[21].
Untuk analisis keempat komponen yang bersifat relative ini maka ilmu ukur Euclid tidak lagi memenuhi
syarat dan kita berpaling pada ilmu ukur non-Euclid yang dikembangkan oleh
Lobacevskii (1773-1856), Bolyai (1802-1860) dan Reimann (1823-1866).
Jadi disini kita mengadakan asumsi lagi
bahwa untuk membangun rumah, ilmu ukur Euclid dianggap memenuhi syarat untuk
dipergunakan. Sedangkan bagi amuba yang harus membangun rumah pada permukaan
yang bergelombang, hal ini tidak demikian, sebaiknya mereka memakai ilmu ukur
yang dipakai dalam relativitas Einstein yakni ilmu ukur non-Euclid. Apakah
asumsi semacam ini dapat dipertanggungjawabkan! Tanya seorang awam. Apakah
kalau saya mau menimbang beras jatah pegawai negeri saya harus mempergunakan
timbangan tukang emas? Ilmuwan yang dosen yang dus pegawai negeri itu balik
bertanya.
Indeterministik dalam gejala fisik ini
muncul dengan menemukan Niels Bohr dalam Prinsip Komplementer (Principle of
Complementarity) yang dipublikasikan pada tahun 1913. Peinsip komplementer ini
menyatakan bahwa electron bisa berupa gelombang cahaya dan bisa juga berupa
partikel tergantung dari konteksnya. Masalah ini yang menggoyahkan sendi-sendi
fisika ditambah lagi dengan penemuan prinsip inditerministik (Principle of
Indeterminancy) oleh Werner Heisenberg pada tahun 1927. Heisenberg
menyatkan bahwa untuk pasangan besaran tertentu yang disebut conjugate
magnitude pada prinsipnya tidak mungkin mengukur kedua besar tersebut pada
waktu yang sama dengan ketelitian yang tinggi. Prinsip Indeterministik ini,
kata William Barret, menunjukakan bahwa terdapat limit dalam kemampuan manusia
untuk mengetahui dan meramalkan gejala-gejala fisik. Prinsip ini membuka
kesempatan untuk menengok sejenak kepada hakikat alam yang mungkin saja “pada
keraknya bersifat irrasional dan kacau” (at
botton be irrational and chaotic)[22]
2.5.
Batas-Batas Penjelajahan Ilmu
Apakah batas yang merupakan lingkup
penjelajahan ilmu? Dimanakah ilmu berhenti dan menyerahkan pengkajian
selanjutnya kepada pengetahuan lain? Apakah yang menjadi karakteristik objek ontologis
ilmu yang membedakan ilmu dari pengetahuan-pengetahuan lainnya? Jawab dari
semua pernyataan itu adalah sangat sederhana: ilmu memulai penjelajahannya pada
pengalaman manusia dan berhenti dibatas pengalaman manusia. Apakah ilmu
mempelajari hal ihwal surga dan neraka? Jawabannya adalah tidak; sebab surga
dan neraka berada diluar jangkauan pengalaman manusia. Apakah ilmu mempelajari
sebab musabab kajadian terciptanya manusia? Jawabannya juga adalah tidak; sebab
kejadian itu juga berada diluar jangkauan pengalaman kita. Baik hal-hal yang
terjadi sebelum hidup kita, maupun apa-apa yang terjadi sesudah kematian kita,
semua itu bedara diluar penjelajahan ilmu.
Mengapa ilmu hanya membatasi daripada
hal-hal yang berada dalam batas pengalaman kita? Jawabannya terletak pada
fungsi ilmu itu sendiri dalam kehidupan manusia; yakni sebagai alat pembantu
manusia dalam menanggulangi masalah-masalah yang dihadapinya sehari-hari. Ilmu
diharapkan dapat membantu kita memerangi penyakit, membangun jembatan, membikin
irigasi, membangkit tenaga listrik, mendidik anak, memeratakan pendapatan
nasional dan sebagainya. Persoalan mengenai hari kemudian tidak akan kita
tanyakan kepada ilmu, melainkan kepada agama, sebab agamalah pengetahuan yang
mengkaji masalah-masalah seperti itu[23]
Ilmu membatasi lingkup penjelajahannya
pada batas pengalaman manusia juga disebabkan metode yang dipergunakan dalam
menyusun yang telah teruji kebenarannya secara empiris. Sekiranya ilmu
memasukkan daerah diluar batas pengalaman empirisnya, bagaimanakah kita
melakukan pembuktian secara metodologis? Bukankah hal ini merupakan suatu
kontradiksi yang menghilangkan kesahihan metode ilmiah?
Kalau begitu maka sempit sekali batas
jelajahan ilmu, kata seorang, cuma sepotong dari sekian permasalahan kehidupan.
Memang demikian jawab filsuf ilmu, bahkan dalam batas pengalaman manusiapun,
ilmu hanya berwenang dalam menentukan benar atau salahnya suatu pernyataan.
Tentang baik dan buruk, semua (termasuk ilmu) berpaling kepada sumber-sumber
moral; tentang indah dan jelek, senua (termasuk ilmu) berpaling kepada
pengkajian estetik.
Ilmu tanpa (bimbingan moral) agama
adalah buta, demikian kata Einstein. Kebutaan moral dari ilmu mungkin membawa
kemanusiaan kejurang malapetaka. Ruang penjelajah keilmuan kemudian kita
menjadi “kapling-kapling” berbagai disiplin keilmuan. Kapling ini makin lama
makin sempit sesuai dengan perkembangan kuantitatif disiplin keilmuan. Kalau
pada fase permulaan hanya terdapat ilmu-ilmu alam (natural philosophy) dan
ilmu-ilmu sosial (moral philosophy) maka dewasa ini terdapat lebih dari 650
cabang keilmuan. Seperti juga pemilik kapling yang sah, maka tiap ilmuwan harus
tahu benar batas-batas penjelajahan cabang keilmuwannya masing-masing. Sering
kita temui tendensi imperialistic dari seorang ilmuwan yang menuntun disiplin
territorial keilmuan lain. Hal ini tentu saja tidak benar, dan langkah pertama
agar kita tidak menjadi tuan tanah yang serakah, adalah mengenal baik
batas-batas kapling kita.
Mengenal batas-batas kapling ini,
disamping menunjukkan kematangan keilmuan dan professional kita, juga dimaksud
agar kita mengenal tetangga-tetangga kita. Dengan makin sempitnya daerah
penjelajahan suatu bidang keilmuan maka sering sekali diperlukan “pandangan”
dari disiplin-disiplin lain. Saling pandang memandang ini, atau dalam bahasa
protokolnya pendekatan multi-disipliner, membutuhkan pengetahuan tentang
tetangga-tetangga yang berdekatan. Artinya harus jelas bagi semua; dimana
disiplin seorang berhenti dan dimana disiplin orang lain mulai. Tanpa kejelasan
batas-batas ini maka pendekatan multi-disipliner tidak akan bersifat
konstruktif melainkan berubah menjadi sengketa kapling (yang sering terjadi
akhir-akhir ini)
Cabang-cabang ilmu
Ilmu berkembang dengan sangat pesat dan
demikian juga jumlah cabang-cabangnya. Hasrat untuk menspesialisasikan diri
pada satu bidang telaahan yang memungkinkan analisis yang makin cermat dan
saksama menyebabkan objek forma (objek ontologis) dari disiplin keilmuan
menjadi kian terbatas. Diperkirakan sekarang ini terdapat sekitar 650 cabang
keilmuan yang kebanyakan belum dikenal oleh orang-orang awam.
Pada dasarnya cabang-cabang ilmu
tersebut berkembang dari dua cabang utama yakni filsafat alam yang kemudian
menjadi rumpun ilmu-ilmu alam (the natural sciences) dan filsafat moral
yang kemudian berkembang kedalam cabang ilmu-ilmu sosial (the social
sciences). Ilmu-ilmu alam membagi diri kepada dua kelompok lagi yakni ilmu
alam (the physical sciences) dan ilmu hayat (the biological
sciences). Ilmu alam bertuan mempelajari zat yang membentuk alam semesta
sedangkan alam kemudian bercabang lagi menjadi fisika (mempelajari massa dan
energy), kimia (mempelajari substansi zat), astronomi (mempelajari benda-benda
langit) dan ilmu bumi atau (the earth science) yang mempelajari bumi
kita ini.
Tiap-tiap cabang kemudian membuat ranting-ranting baru
seperti fisika berkembang menjadi mekanika, hidrodinamika, bunyi, cahaya,
panas, kelistrikan, dan magnetism, fisika nuklir dan kimia fisika. Sampai tahap
ini maka kelompok ilmu ini termasuk kedalam ilmu-ilmu murni. Ilmu-ilmu murni
kemudian berkembang menjadi ilmu-ilmu terapan, seperti contoh dibawah ini:
ILMU MURNI ILMU TERAPAN
Mekanika Mekanika
Teknik
Hidrodinamika Teknik
Aeronautikal/ Teknik & Desain
Kapal
Bunyi Teknik
Akustik
Cahaya dan Optik Teknik
Iluminasi
Kelistrikan/ Teknik
Elektronik/
Magnetistik Teknik
Kelistrikan
Fisika Nuklir Teknik Nuklir
Ilmu-ilmu sosial berkembang agak lambat
dibandingkan dengan ilmu-ilmu alam. Pada pokoknya terdapat cabang utama ilmu-ilmu
sosial, yakni antropologi (mempelajari manusia dalam perspektif waktu dan
tempat), psikologi (mempelajari proses mental dan kelakuan manusia), ekonomi
(mempelajari manusia dalam memenuhi kebutuhan kehidupannya lewat proses
pertukaran), sosial (mempelajari struktur organisasi sosial manusia) dan ilmu
politik (mempelajari system dan proses dalam kehidupan manusia berpemerintahan
dan bernegara)
Disamping ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu
sosial, pengetahuan mencakup juga humaniora dan matematika. Humaniora terdiri
dari seni, filsafat, agama, bahasa dan sejarah.
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Pada dasarnya tiap ilmuwan boleh mempunyai filsafat
individual yang berbeda-beda; dia bisa menganut paham mekanistik, dia bisa
menganut paham vitalistik, dan dia boleh setuju dengan Thomas Hobbes yang
metalistik atau George Berkeley yang idealistic, karena ilmu tidak memberi
jawaban mutlak, meliankan ilmu berfungsi sebagai alat pembantu manusia dalam
menanggulangi masalah-masalah yang dihadapinya sehari-hari. Ilmu diharapkan
dapat membantu kita memerangi penyakit, membangun jembatan, membikin irigasi,
membangkit tenaga listrik, mendidik anak, memeratakan pendapatan nasional dan
sebagainya. Persoalan mengenai hari kemudian tidak akan kita tanyakan kepada
ilmu, melainkan kepada agama, sebab agamalah pengetahuan yang mengkaji
masalah-masalah seperti itu..
Segala seluk beluk yang bertalian dengan pengetahuan
berlandaskan pada kemampuan kognitif atau kemampuan akali yang disebut dengan
rasionalitas. Adapun sumber pengetahuan bukan hanya berakar dari akal pemikiran
manusia dengan kemampuan kognitifnya, tetapi karena dilengkapi dengan
kecerdasan memahami sarwa yang ada yang real dan menantang manusia untuk menduga-duga
dalam memikirkan dan memahami setiap kejadian dan yang mungkin terjadi secara
fenomenologis. Kejadian sebagaimana yang tampak dan dirasakan manusia merupakan
hakikat keberadaan alam yang tidak pernah pasti dan mutlak.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Boedi. 2009. “Filsafat Ilmu”, Bandung;
Pustaka Setia
Irawan, 2008, “Pengantar Singkat Ilmu Filsafat”. Bandung:
Intelek Pratama Press
S.Suriasumantri, Jujun, 2010, “Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer”, Jakarta:
PT Penebar Swadaya
[1]George
Thomas White Patrick, Introduction To Philosophy, disadur oleh Irawan,
“Pengantar Singkat Ilmu Filsafat”. (Bandung: Intelek Pratama Press, 2008). Hlm.
39
[2]
Boedi Abdullah, “Filsafat Ilmu”, (Bandung; Pustaka Setia, 2009). Hlm. 25
[3]
Ibid, hlm. 26
[4]
Ahmad Tafsir, “Filsafat ilmu”. (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2012) Hlm. 71
[5]
Jujun S.Suriasumantri, “Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer”, (Jakarta: PT
Penebar Swadaya, 2010). Hlm. 63-64
[6]
Ibid, hlm. 64
[7]
Ibid, hlm. 64
[8]
Betty Radice, “Who’s Who in the Ancient World”, Middlesex, U.K, : Penguin,
1977, hlm. 102, dikutip oleh Jujun S.Suriasumantri, “Filsafat Ilmu Sebuah
Pengantar Populer”, (Jakarta: PT Penebar Swadaya, 2010). Hlm. 64
[9]
Dikutip dalam John Herman Randall, Jr,
dan Justus Buchler, Philosophy An
Introduction (New York: Barnes & Noble, 1969), hlm, 184, dikutip oleh Jujun
S.Suriasumantri, “Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer”, (Jakarta: PT Penebar
Swadaya, 2010). Hlm. 64
[10]
Stanley M. Honer dan Thomas C. Hunt, Invitation to Philosophy (Belmont,
Cal: Wadsworth, 1968), hlm, 78, dikutip oleh Jujun S.Suriasumantri, “Filsafat
Ilmu Sebuah Pengantar Populer”, (Jakarta: PT Penebar Swadaya, 2010). Hlm. 66
[11]
Ibid, hlm. 68
[12]
John G.kemeny, A Philosopher Looks at Science (D. Van Nostrand Company,
1959), hlm. 218. Dikutip oleh Jujun S.Suriasumantri, “Filsafat Ilmu Sebuah
Pengantar Populer”, (Jakarta: PT Penebar Swadaya, 2010). Hlm. 69
[13]
“What is mind? No matter. What is matter? Never mind” komentar nenek
Bertrand Russel kepada dia ketika menyatakan bahwa dia tertarik kepada
metafisika. Dikutip dalam The Autobiography of Bertrand Russel (New
York: Bantam, 1968) hlm. 48. Dikutip oleh Jujun S.Suriasumantri, “Filsafat Ilmu
Sebuah Pengantar Populer”, (Jakarta: PT Penebar Swadaya, 2010). Hlm. 69
[14]
Ibid, hlm. 69-70
[15]
John G.Kemeny, A Philosopher Looks at Science (New York: Van Nostrand:
1959) hlm. 37, dikutip oleh Jujun S.Suriasumantri, “Filsafat Ilmu Sebuah
Pengantar Populer”, (Jakarta: PT Penebar Swadaya, 2010). Hlm. 75
[16]
….satu-satunya kenyataan-kematian! Romain Rolland, Jean Christophe (New
York:Dell, 1958), glm.83. dikutip oleh Jujun S.Suriasumantri, “Filsafat Ilmu
Sebuah Pengantar Populer”, (Jakarta: PT Penebar Swadaya, 2010). Hlm. 76
[17]
Jujun S.Suriasumantri, “Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer”, (Jakarta: PT
Penebar Swadaya, 2010). Hlm.72-77
[18]
Kenneth W. Catland and Derek D. Dempster, The Inhabited Universe (Greenwich,
Conn: Fawcett, 1959), hlm. 71, dikutip oleh Jujun S.Suriasumantri, “Filsafat
Ilmu Sebuah Pengantar Populer”, (Jakarta: PT Penebar Swadaya, 2010). Hlm. 80
[19]
Jujun S.Suriasumantri, Op. Cit. Hlm.78-81
[20]
Lecomte Du Nouy, Human Destiny (New York: Mentor, 1959) hlm. 20. Dikutip
oleh Jujun S.Suriasumantri, “Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer”, (Jakarta:
PT Penebar Swadaya, 2010). Hlm. 82-84
[21]
Philip Cane, Giants of Science (New
York: Pyramide, 1959), hlm. 258. dikutip oleh Jujun S.Suriasumantri, “Filsafat
Ilmu Sebuah Pengantar Populer”, (Jakarta: PT Penebar Swadaya, 2010). Hlm. 86
[22]
William Barret, Irrational Man (New York: Doubleday-Anchor, 1962), hlm. 38.
Dikutip oleh Jujun S.Suriasumantri, “Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer”,
(Jakarta: PT Penebar Swadaya, 2010). Hlm. 88
[23]
Endang S. Anshari, Ilmu, Filsafat dan Agama (Surabaya; Bina Ilmu, 1979).
Dikutip oleh Jujun S.Suriasumantri, “Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer”,
(Jakarta: PT Penebar Swadaya, 2010). Hlm. 86
Tidak ada komentar:
Posting Komentar