Jumat, 04 Maret 2016

Filsafat : Landasan Ontologi Ilmu

BAB I
PENDAHULUAN
1.1.       Latar Belakang
Dalam sejarah filsafat paling awal, para pemikir mengawali dengan menanyakan bahan dasar yang menjadikan dunia. Pertanyaan berikutnya, bisakah semua yang ada di alam semesta ini diperinci kembali kedalam beberapa bentuk “ada” yang paling dasar, menjadi beberapa realitas tertinggi seperti materi, energy, atau pikiran ? Hal ini adalah masalah tentang kenyataan (reality), atau persoalan tentang “ada” (Being). Istilah teknis untuk penyelidikan ini disebut Ontologi. Istilah ini berasal dari dua kata dalam bahasa Yunani yang berasal dari ilmu tentang yang “ada” (the science of being) ilmu ini menghadirkan kembali pencarian bagi ditemukannya prinsip pertama (the first principle)[1]
Pada aspek ontology, manusia memiliki sifat kreatif yang berfungsi sebagai hamba Tuhan dan pemimpin dimuka bumi (abidullah dan khalifah fi al-ardhi). Dengan demikian, pemahaman filosofis tentang cara kerja filsafat terhadap hakikat sesuatu mengacu pada dua hal mendasar, yakni pada kenyataan adanya firman-firman Tuhan yang diyakini sebagai petunjuk dan kepada ciptaan-Nya yang setiap hari dirasakan fungsinya oleh manusia[2].
Segala seluk beluk yang bertalian dengan pengetahuan berlandaskan pada kemampuan kognitif atau kemampuan akali yang disebut dengan rasionalitas. Pada dasarnya (an sich), rasionalitas bersifat netral, dengan kemampuan-kemampuan; menyamakan dan membedakan (analogi), dan melakukan inferensi dengan logika deduktif atau induktif. Kemampuan tersebut diistilahkan dengan kecerdasan yang disebut Plato sebagai innate idea. Dari pemahaman itulah dihasilkan ilmu-ilmu formal.[3].
Untuk itu dalam makalah ini akan memaparkan tentang landasan ontologis ilmu; yang mana cabang ini menguak tentang objek apa yang di telaah ilmu? Bagaimana ujud yang hakiki dari objek tersebut ? bagaimana hubungan antara objek tadi dengan daya tangkap manusia (sepert berpikir, merasa dan mengindera) yang membuakan pengetahuan.
1.2.       Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, Adapun masalah-masalah yang ingin di gali dalam pembuatan makalah ini yaitu:
1.      Bagaimana tafsiran metafisika?
2.      Bagaimana asumsinya?
3.      Bagaimana peluangnya?
4.      Terdapat beberapa asumsi dalam ilmu?
5.      Seperti apa batas-batas penjelajahan ilmu?
1.3.    Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan yang diharapkan dalam pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut:
1.      Untuk mengetahui  tafsiran metafisika?
2.      Untuk mengetahui asumsinya?
3.      Untuk mengetahui peluangnya?
4.      Untuk mengetahui beberapa asumsi dalam ilmu?
5.      Untuk mengetahui batas-batas penjelajahan ilmu?





BAB II
PEMBAHASAN
2.1.       Tafsiran Metafisika
Yaitu untuk mengetahui adanya hakikat realitas Ilahi yang merupakan substansi dunia ini, baik yang material, biologis, maupun intelektual[4], dan bidang filsafat yang disebut metafisika ini merupakan tempat berpijak dari setiap pemikiran filsafati, termasuk pemikiran ilmiah. Diibaratkan pikiran adalah roket yang meluncur ke bintang-bintang, menembus galaksi dan awan gemawan, maka metafisika adalah landasan peluncurnya, dunia yang sepintas lalu kelihatan sangat nyata ini, ternyata menimbulkan berbagai spekulasi filsafati tentang hakikatnya[5].
Tafsiran metafisika, tafsiran yang paling pertama yang diberikan oleh manusia terhadap alam ini adalah bahwa terdapat ujud-ujud yang bersifat ghaib (supernatural) dan ujud-ujud ini bersifat lebih tinggi atau lebih kuasa dibandingkan dengan alam yang nyata. Animisme merupakan kepercayaan yang berdasarkan pemikiran supernaturalisme ini, dimana manusia percaya bahwa terdapat roh-roh yang bersifat ghaib yang terdapat dalam benda-benda seperti batu, pohon, dan air terjun. Animisme ini merupakan kepercayaan yang paling tua umurnya dalam sejarah perkembangan kebudayaan manusia dan masih dipeluk oleh beberapa masyarakat dimuka bumi[6].
Sebagai lawan dari supernaturalisme maka terdapat paham naturalism yang menolak pendapat bahwa terdapat ujud-ujud yang bersifat supernatural ini. Materialisme yang merupakan paham berdasarkan naturalisme ini, berpendapat bahwa gejala-gejala alam tidak disebabkan oleh pengaruh kekuatan yang bersifat ghaib, melainkan oleh kekuatan yang terdapat dalam alam itu sendiri, yang dapat dipelajari kemudian dapat kita ketahui[7].
Prinsip-prinsip materialisme ini dikembangkan oleh Democritos (460-370 S.M). Dia mengembangkan teori tentang atom yang dipelajari dari gurunya Leucippus[8]. Bagi Democritos, unsur dasar dari alam ini adalah atom[9].
Hanya berdasarkan kebiasaan saja maka manis itu manis, panas itu panas, dingin itu dingin, warna itu warna. Dalam kenyataanya hanya terdapat atom dan kehampaan. Artinya objek dari pengindraan sering kita anggap nyata, padahal tidak demikian. Hanya atom dan kehampaan itulah yang bersifat nyata.
Atau dengan perkataan lain, manis, panas, dingin atau warna, adalah terminology yang kita berikan kepada gejala yang kita tangkap lewat pancaindera. Rangsangan pancaindera ini disalurkan ke otak kita dan menghadirkan gejala tersebut.
Dengan demikian maka gejala alam dapat didekati dari segi proses kimia-fisika. Hal ini tidak terlalu menimbulkan permasalahan selama diterapkan kepada zat-zat yang mati seperti batuan atau karat besi. Namun bagaimana dengan mahluk hidup termasuk manusia sendiri? Disini kaum yang menganut paham mekanistik ditentang oleh kaum vitalistik.
Kaum mekanistik melihat gejala alam (termasuk makhkuk hidup) hanya merupakan kimia-fisika semata. Sedangkan bagi kaum vitalistik hidup adalah sesuatu yang unik yang berbeda secara substansi dengan proses tersebut diatas.
Lalu apa dengan pikiran dan kesadaran itu sendiri?
Secara fisiologis otak manusia terdiri dari 10 sampai 15 biliun neuron. Neuron adalah sel saraf yang merupaka dasar dari keseluruhan system saraf. Cara bekerja otak ini merupakan objek telaahan dari berbagai disiplin keilmuan seperti fisiologi, psikologi, kimia, matematika, fisika, teknik dan neuron-fisiologis. Sudah merupakan kenyataan yang tidak usah lagi diperdebatkan bahwa proses berpikir manusia menghasilkan pengetahuan tentang zat (objek) yang telah ditelaahnya. Namun apakah kebenarannya hakikat pikiran tersebut, apakah dia berbeda dengan zat yang ditelaahnya, ataukah hanya bentuk lain dari zat tersebut?
Dalam hal ini maka aliran monistik mempunyai pendapat yang tidak membedakan antara pikiran dan zat: mereka hanya berbeda dalam gejala disebabkan proses yang berlainan namun mempunyai substansi yang sama. Ibarat zat dan energy, dalam teori relavitas Einstein, energy hanya merupaka bentuk lain dari zat. Dalam hal ini maka proses berpikir dianggap sebagai aktivitas elektrokimia dari otak[10], jadi yang membedakan robot dan manusia bagi kaum yang menganut paham monistik hanya terletak pada komponen dan struktur yang membangunnya dan sama sekali bukan terletak pada substansinya yang pada hakikatnya, berbeda secara nyata, kalau komponen dan struktur robot sudah bisa menyamai manusia, maka robot itupun bisa menjadi manusia.
Pendapat ini ditolak oleh kaum yang menganut paham dualistic. Terminology dualisme mula-mula dipakai oleh Thomas Hyde (1700), sedangkan monisme oleh Christian Wolff (1679-1754). Dalam metafisika maka penafsiran dualistic  membedakan antara zat dan kesadaran (pikiran) yang bagi mereka berbeda sui generis, secara substantive. Filsuf yang menganut paham ini diantaranya adalah Rene Descartes (1596-1650), John Locke (1632-1714) dan George Berkeley (1685-1753).
Ketiga ahli filsuf ini berpendapat bahwa apa yang ditangkap oleh pikiran, termasuk penginderaan dari segenap pengalaman manusia, adalah bersifat mental. Bagi Descartes maka yang bersifat nyata adalah pikiran, sebab dengan berpikirlah maka sesuatu itu lantas ada.
Cagito ergo sum ! (saya berpikir maka saya ada!). descrates mulai menyusun filsafatnya secara deduktif berdasarkan pernyataan yang baginya merupakan kebenaran yang tidak diragukan lagi. Sebuah anekdot menceritakan bahwa setelah mengikuti filsafat Descrates, seorang mahasiswa datang kepada professor yang mengajarkan filsafat itu, “saya masih merasa ragu terhadap pernyataan Descrates itu, prof, bahwa pikiran adalah satu-satunya kenyataan yang tidak dapat diragukan”. Professor itu tersenyum dan menatap dalam-dalam, “siapa yang masih merasa ragu tersebut, kawan yang terpelajar?” (otak udangmu itu toh?)
Locke sendiri menganggap bahwa pikiran manusia pada mulanya dapat diibaratkan sebuah lempeng lilin yang licin (tabula rasa) dimana pengalaman indera kemudian melekat pada lempeng tersebut. Makin lama makin banyak pengalaman indera yang terkumpul dan kombinasi dari pengalaman-pengalaman indera ini seterusnya membuahkan ide yang kian lama kian rumit. Dengan demikian pikiran dapat diibaratkan sebagai organ yang menangkap dan menyimpan pengalaman indera.
Berkeley terkenal dengan pernyataanya, “To be is be perceived!” (ada adalah disebabkan persepsi!)[11]
(Siapa bilang filsafat, sastra dan lagu tak bisa berdampingan?) bagi Berkeley maka buah apel itu hanya ada dalam pikiran seseorang. Jadi kalau tak ada yang memikirkan buah apel itu taka ada? Tanya seorang. Tetap saja ada, bersikeras Uskup Berkeley, apel itu ada dalam pikiran Tuhan. (salah satu jawaban paling orisinil dalam masalah tentang metafisika, geleng Kemeny, namun sulitnya bagaimana kita mengetahui pikiran Tuhan itu sebenarnya)[12]
Keliatannya makin masuk kita ke dalam labyrinth ini makin berputar-putar kita di dalamnya. Lalu apa kaitannya dengan ilmu yang saya pelajari? Tanya seorang pemuda, yang semula melihat filsafat ilmu sebagai subjek yang mungkin dapat menarik minatnya, setelah mendengar spekulasi metafisik perhatiannya dirasa surut kembali[13]
Begini jawab saya semungkin bisa, (dia sebelah kanan saya adalah professor-profesor metafisik, disebelah kiri saya adalah kanak-kanak yang serba ingin tahu dan belum kenal dusta), pada hakikatnya, ilmu tidak bisa dilepaskan dari metafisika, namun seberapa jauh kaitan itu semuanya tergantung kita.
Ilmu merupakan pengetahuan yang mencoba menafsirkan alam ini sebagaimana adanya. Kalau memang itu tujuannya maka kita tidak bisa melepaskan diri dari masalah-masalah yang ada didalamnya, bukan? Makin jauh kita beravontur dalam penjelajahan ilmiah masalah-masalah tersebut diatas mau tidak mau akan timbul: apakah dalam batu-batuan yang saya pelajari di laboratorium terpendam proses kimia-fisika atau tersembunyi roh yang halus? Apakah manusia yang begitu hidup; tertawa, menangis, dan jatuh cinta; semua itu proses kimia-fisika juga? Apakah pengetahuan yang saya dapatkan ini bersumber pada kesadaran mental ataukah hanya rangsangan penginderaan belaka?[14]
Semua permasalahan ini telah menjadi bahan kajian dari ahli-ahli filsafat sejak dahulu kala. Tersedia segudang filsafat dalam menjawabnya.kita bisa setuju dengan mereka atau kitapun bisa tidak setuju dengan mereka. Bahkan kitapun boleh mengajukan jawaban filsafat kita
Jadi pada dasarnya tiap ilmuwan boleh mempunyai filsafat individual yang berbeda-beda; dia bisa menganut paham mekanistik, dia bisa menganut paham vitalistik, dan dia boleh setuju dengan Thomas Hobbes yang metalistik atau George Berkeley yang idealistic.
Titik pertemuan kaum ilmuwan dari semua ini adalah sifat pragmatis dari ilmu. Sekiranya terdapat dua orang dokter yang sedang mengukur tekanan darah seseorang dan mengaitkannya dengan kadar cholesterol di dalamnya, maka bahwa yang seorang termasuk kubu mekanistik, serta yang seorang lagi termasuk kubu vitalistik, dalam proses pemeriksaan medis ini komitmen filsafati mereka adalah tidak relevan lagi. Baru setelah kedua dokter itu selesai bekerja dan menggantungkan jubah putihnya, mereka berpisah dengan memilih koridor spiritualnya masing-masing yang berbeda, dalam berkontemplasi dan memberikan makna.
“Betapa luhurnya manusia,” bisik dokter yang satu. (Pasiennya yang tadi adalah seorang tua yang uzur: menderita tekanan darah tinggi yang sudah renta, namun terpaksa membanting tulang untuk menghidupi keluarganya) Ah, nunc scio quid sit Amor. Akhirnya ku tahu juga wajah cinta.
“Betapa keroposnya manusia”, bisik dokter yang lainnya (dalam buku kecilnya tercatat: cholesterol 350, tekanan darah 90 x 180, kencing manis, asma, etcetera)

2.2.       Asumsi
Suatu hari pada zaman Wild West, seorang jago tembak yang kenamaan, ditantang oleh seorang petani yang mabuk. Petani ini adalah orang biasa, jadi sama sekali bukan tipe Jango, yang bisa tembak sana tembak sini sambil tutup mata, setelah ia minum wiski dan melahap 16 jenis masakan pesta. Cuma karena mabuk saja dia berlagak jadi jagoan disebabkan otaknya yang sedang out dari udara. Kalau waras mana berani ia menantang penembak professional yang sudah punya reputasi seantero dunia, dunianya koboy tentu saja.
Nah, apa yang akan terjadi? Bisik Bandar taruhan. Bukankah kejadian semacam ini jarang ditemui, seperti menemukan orang bisu sedang menyanyi? Lalu mulailah Bandar taruhan ini mengumpulkan data dan informasi mengenai kedua gladiator yang akan bertarung sampai mati.
Nama: Franco Nero, KTP nomor 0941940, RT 010, RW 13. Reputasi: 30 duel, 30 kali menang dengan TM (Tembak Mati, atau KO, dalam boxing) Duilah!
Sedangkan petani kita belum namanya belum tercatat dalam daftar Guiness Record, kecuali dalam buku Bapak Camat, sebab dia masih menunggak Ipeda.
Berapa pasaran taruhan kita?
Bila semuanya berjalan beres, saran konsultan kepada Bandar taruhan itu, berdasarkan data yang tercatat, maka paling tidak 30 berbanding 1 yang diramalkan petani malang itu akan mendapatkan one way ticket ke surga.
Lantas apanya yang mungkin tak beres? Tanya Bandar kita, yang benar-benar ingin aman menanam modalnya.
Ya, bermacam-macam, jawab konsultan yang sedang ngobyek ini yang pekerjaan sebenarnya adalah dosen filsafat ilmu di universitas swasta, umpamanya katakan sajalah bahwa pistol si Jango itu punya kehendak sendiri (free will), kan berabe?
Berabe gimana?
Ya, mungkin saja pistol itu tidak mau menembak orang berdosa, apalagi seorang nonprofessional yang belum diakreditasi. Jadi nembak ya nembak namun nembaknya ngawur seperti tendangan PSSI.
Ah, itu nonsense, jawab Bandar taruhan, itu bersifat akademik  dan sangat spekulatif, mana pistol punya pilihan bebas. Sekiranya pistol ditembakkan dan tepat pada sasaran maka secara deterministic sasaran itu akan kena. (Rupanya Bandar taruhan ini waktu kuliah di sekolah bisnis mengambil juga matakuliah etika berniaga).
Oke jawab konsultan kita, namun bagaimana kalau pistolnya macet?
Macet bagaimana,
Ya, macet, klik! Jawab konsultan itu. Dari data yang dapat dikumpulkan ternyata bahwa dari 100 peluru yang ditembakkan sebuah pistol maka satu diantaranya adalah macet. Artinya, secara probabilistic, meskipun peluangnya satu dalam seratus, mungkin saja pistol Jago kita itu macet, yang menyebabkan dia tersambar ”chance” (kebetulan) berupa nasib.
Nah, lalu merenunglah Bandar taruhan kita seperti juga merenungnya para filsuf ilmu sesudah itu. Mereka menduga-duga apakah gejala dalam alam ini tunduk pada determinisme, yakni hukum alam yang bersifat universal, ataukah hukum semacam itu tidak terdapat sebab setiap gejala merupakan akibat pilihan bebas, ataukah keumuman memang ada namun berupa peluang, sekedar tangkapan probabilistic? Ketiga masalah ini yakni determinisme, pilihan bebas dan probabilistic merupakan permasalahan filsafati yang rumit namun menarik. Tanpa mengenal ketiga aspek ini, serta bagaimana ilmu sampai pada pemecahan masalah yang merupakan kompromi, akan sukar bagi kita untuk mengenal hakikat keilmuan dengan baik.
Nanti dulu, potong konsultan yang merangkap jadi filsuf ilmu, pembahasan mengenai determinisme pilihan bebas dan probabilistic itu baru dapat dilakukan sekiranya bahwa hukum semacam itu memang ada. Sekiranya hukum yang mengatur kejadian alam itu tidak ada, maka masalah determinisme, probabilitas dan kehendak bebas itu sama sekali tidak akan muncul, kan?
Benar juga, ya, sekiranya hukum alam itu memang benar-benar tidak ada, maka tidak akan ada permasalahan dengan determinisme, probabilitas atau pilihan bebas. Dengan demikian maka tidak ada masalah tentang hubungan logam dengan panas, tekanan dengan volume, atau IQ dengan keberhasilan belajar. Alhasil lalu ilmu itu sendiripun tidak ada sebab ilmu justru mempelajari hukum alam seperti ini.
Jadi, marilah kita asumsikan saja bahwa hukum yang mengatur berbagai macam kejadian itu memang ada, sebab tanpa asumsi ini maka pembicaraan kita semuanya lantas sia-sia, tukas teoritikus filsafat ilmu. Hukum disini diartikan sebagai suatu aturan main atau pola kejadian yang diikuti oleh sebagian besar peserta,  gejalanya berulang kali dapat diamati yang tiap kali memberikan hasil yang sama, yang dengan demikian dapat kita simpulkan bahwa hukum itu, seperti kata Coca Cola, berlaku kapan saja dan dimana saja. Bagaimana?
Boleh saja, sahut seorang yang pikirannya sangat pragmatis, asalkan hukum disini jangan ditafsirkan dalam pengertian moral, sebab ilmu tidak mempelajari kejadian yang seharusnya melainkan kejadian alam sebagaimana adanya. “Sayang sekali perkataan hukum terlanjur dipergunakan dalam filsafat ilmu,” ujar Kemeny, “Penggunaan kata hukum ini memberikan konotasi bahwa hal ini bisa saja tidak diataati, padahal masalah taat atau tidak taat seharusnya tidak termasuk kedalam diskusi semacam ini.[15] Malahan dalam rangka pengembangan bahasa, selama teman saya, terdapat ahli bahasa yang menyarankan kata “Taat asas” sebagaimana padanan kata “konsisten”, yang sebenarnya kurang dapat dibenarkan, sebab hal ini membawa konotasi yang sama.
Paham determinisme dikembangkan oleh William Hamilton (1788-1856) dari doktrin Thomas Hobbes (1588-1679) yang menyimpulkan bahwa pengetahuan adalah bersifat empiris yang dicerminkan oleh zat dan gerak yang bersifat universal. Aliran filsafat ini merupakan lawan dari paham vatalisme yang berpendapat bahwa segala kejadian ditentuka oleh nasib yang telah ditetapkan lebih dulu. Demikian juga paham determinisme ini bertentangan dengan penganut pilihan bebas yang menyatakan bahwa manusia mempunyai kebebasan dalam menentukan pilihannya tidak terikat pada hukum alam yang tidak memberikan alternative.
Untuk meletakan ilmu dalam perspektif filsafat ini marilah kita bertanya kepada diri sendiri apakah sebenarnya yang ingin dipelajari ilmu. Apakah ilmu ingin mempelajari hukum kejadian yang berlaku bagi seluruh manusia, seperti yang coba dijangkau dalam ilmu-ilmu sosial, ataukah cukup yang berlaku bagi sebagian besar dari mereka? Atau bahkan mungkin juga kita tidak mempelajari hal-hal yang berlaku umum melainkan cukup mengenai tiap individu belaka?
Konsekuensi dari pilihan ini adalah jenis, sebab sekiranya kita memilih hukum kejadian yang berlaku bagi seluruh manusia, maka kita harus bertolak dari paham determinisme. Sekiranya kita memilih hukum kejadian yang bersifat khas dari setiap individu maka kita berpaling kepada paham pilihan bebas. Sedangkan posisi tengah yang terletak diantara keduanya mengantarkan kita kepada paham yang bersifat probabilistic.
Sebelum kita menentukan pilihan marilah kita merenung sejenak dan berfilsafat. (Sudah agak jelas mengenai kaitan antara ilmu dan filsafat?) sekiranya ilmu ingin menghasilkan humum yang kebenarannya bersifat mutlak maka apakah tujuan ini cukup realistis untuk dicapai ilmu? Mungkin kalau sasaran ini yang dibidik ilmu, maka khasanah pengetahuan ilmiah hanya terdiri dari beberapa gelintir pernyataan yang bersifat universal saja seperti: semua manusia akhirnya akan mati juga apakah orang ini Robert Redford, Dra. Tatik atau Bagio.[16] Semua manusia berkaki dua , umpamanya, tidak memenuhi persyaratan ini, sebab ada juga yang berkaki satu malahan juga mungkin tiga atau empat. Masih inget teka-teki waktu kita masih kanak-kanak: mahluk apa, ayo, yang masih kecil berkaki empat, sudah besar berkaki dua, sudah tua menjadi tiga?
Demikian juga, sekiranya sifat universal semacam ini yang disyaratkan ilmu, bagaimana kita akan mampu memenuhinya, disebabkan kemampuan manusia yang tidak mungkin mengalami semua kejadian? Katakan saja umpamanya bahwa kita menyimpulkan: matahari selalu terbit dari barat dan terbenam di timur; beranikah kita menjamin siapa tahu, pada hari anu dan bulan anu ditahun ke-2000 anu, kejadiannya terbalik yang mengakibatkan kesimpulan ini tak berlaku?
Atau baiklah kita persempit menjadi pernyataan yang dibatasi masa kini seperti; pada hari ini bulan ini tahun 1982 ini, semua manusia Indonesia memakai celana dalam. Oke kata saya, tetapi bagaimana caranya kita dapat sampai kepada kesimpulan semacam ini? Ya, mudah saja, periksa semua celana dalam semua bangsa Indonesia, baik yang punya KTP atau tidak, dari Sabang sampai Merauke, apakah mereka memakai celana atau tidak.
Tapi hal ini tidak praktis, realistis dan sama sekali tidak ekonomis, potong petugas sensus yang merasa ngeri kalau dia harus menyensus celana-celana dalam, dapatkah kalian bayangkan berapa uang proyek yang mesti disediakan untuk itu?
Lalu tertegunlah kembali filsuf kita memikirkan dilema ini. Kemudian ada ahli filsafat yang sampai pada kesimpulan bahwa pengetahuan yang bersifat umum itu adalah tidak perlu. Bahkan filsuf eksistensialis umpamanya berpendapat bahwa adalah merupakan kekejaman untuk meletakkan hakikat manusia yang bersifat khas dan individual dibawah tirani pengetahuan yang bersifat umum. Pengetahuan haruslah bersifat  individual yang berorientasi kepada pengalaman pribadi, tukas mereka.
Tapi untuk itu kan sudah ada seni, potong ilmuwan yang kerjanya memang melakukan generalisasi. Filsuf eksistensialis ini memang hebat sebagai seniman namun kurang meyakinkan sebagai filsuf, gerutu dia. (Cobalah Albert Camus sebagai “aperitif” dan Jean-Paul Sartre sebagai main course ). Yang kita butuhkan adalah pengetahuan yang berada ditengah-tengah, antara kemutlakan yang dipunyai agama, dan keunikan individual yang bersifat seni, sambungnya.
Nah, kompromi yang diusulkan ilmuwan inilah yang dipakai landasan ilmu, sebab ilmu sebagai pengetahuan yang berfungsi membantu manusia dalam memecahkan masalah praktis sehari-hari, tidaklah perlu memiliki kemutlakan seperti agama yang berfungsi memberikan pedoman terhadap hal-hal yang paling hakiki dari kehidupan ini. Walaupun demikian sampai tahan tertentu ilmu perlu memiliki keabsahan dalam melakukan generalisasi, sebab pengetahuan yang bersifat personal dan individual seperti upaya seni, tidaklah bersifat praktis. Jadi diantara kutub determinisme dan pilihan bebas ilmu menjatuhkan pilihannya terhadap penafsiran probabilistic.[17]
Dari cerita diatas, dapat disimpulkan bahwa asumsi merupakan dugaan sementara yang dianggap benar atau dapat diartikan juga sebagai dugaan dasar. Nah asumsi ini akan benar apabila sebab akibat memiliki hubungan yang rasional.

2.3.       Peluang
Peluang merupakan kesempatan yang baik yang tidak boleh disia-siakan, atau dapat diartikan juga merupakan kesempatan yang baik untuk sebuah pilihan yang akan terjadi.
Jadi berdasarkan teori-teori keilmuwan saya tidak akan pernah mendapatkan hal yang pasti mengenai suatu kejadian, Tanya seorang awam kepada seorang ilmuwan. Ilmuwan itu menggelengkan kepalanya. Tidak, jawab ilmuwan itu sambil tersenyum apolegotik, hanya kesimpulan yang probabilistic.
Jadi berdasarkan metodologi dan geofisika saya tidak pernah merasakan bahwa esok hari akan hujan atau tidak akan hujan, sambung orang awam kita, kian penasaran. Tidak, jawab ilmuwan kita, tetap tersenyum sebab ia termasuk pada golongan “orang yang tahu ditahunya dan tahu ditidaktahunya”, jadi tidak pernah groggy bila diserang: saya hanya bisa mengatakan, umpamanya, bahwa dengan probabilitas 0.8 esok tidak akan turun hujan.
“Apa artinya peluang 0.8 ini?” Tanya orang awam.
Peluang 0.8 secara sederhana dapat diartikan bahwa probabilitas untuk turun hujan esok adalah 8 dari 10 (yang merupakan kepastian). Atau sekiranya saya merasa pasti (100%) bahwa besok akan turun hujan maka saya akan berikan peluang 1.0 atau dengan perkataan lain yang lebih sederhana, peluang 0.8 merincikan bahwa pada 10 kali ramalan tentang akan jatuh hujan, 8 kali memang hujan itu turun, dan dua kali ramalan itu meleset.
Jadi biarpun kita mempunyai peluang 0.8 bahwa hari akan hujan, namun masih terbuka kemungkinan bahwa hari tidak akan hujan?
“Benar demikian,” sahut ilmuwan.
“Lalu apa kegunaan pengetahuan semacam itu?” seru orang awam kita sambil memukulkan tinju.
Pertama harus saudari sadari bahwa ilmu tidak pernah ingin dan tidak pernah berpretensi untuk mendapatkan pengetahuan yang bersifat mutlak. (Dalam soal pretense ini maka ilmu kalah dengan pengetahuan perdukunan. Saudari pasti sembuh, ujar dukun, minum saja air ini. Jelas dia tidak pernah mengatakan: Minum air ini dan dengan peluang 0.8 maka saudara akan sembuh). Ilmu memberikan pengetahuan sebagai dasar bagi saudara untuk mengambil keputusan, dimana keputusan saudara harus didasarkan kepada penafsiran kesimpulan ilmiah yang bersifat relative. Dengan demikian maka kata akhir dari suatu keputusan terletak ditangan saudara dan bukan pada teori-teori keilmuwan. (Itulah mungkin sebabnya orang yang tidak pernah mau mengambil keputusan sendiri lebih senang pergi ke dukun. Berkonsultasi pada ahli psikologi atau psikiater paling-paling diberi alternatif-alternatif yang dapat diambil; sedangkan dukun dengan pasti akan berkata; pilih jalan ini, saya jamin, pasti berhasil).
Oleh sebab itu sekiranya kita mempunyai pengetahuan ilmiah yang mengatakan bahwa “sekiranya hari mendung maka terdapat peluang 0.8 akan turun hujan”, maka pengetahuan itu harus kita letakkan pada permasalahan hidup kita yang mempunyai perspektif dan bobot berbeda-beda. Katakanlah umpamanya saudara besok akan piknik, kemudian saudara mengetahui bahwa esok punya peluang 0.8 bahwa hari tidak akan hujan, akankah saudara urungkan piknik saudara?
“Tidak,” jawab orang awam itu dengan pasti, “tidak akan saya urungkan sebab takut hujan”.
“Mengapa?” Tanya ilmuwan kita, “Bukankah masih terdapat peluang 0,2 bahwa hari akan hujan”
Orang awam itu mengangkat bahu. “Mungkin” sambungnya sambil tersenyum, (dia sudah mulai tersenyum; kelihatannya ia sudah mulai melihat perspektif ilmu), “bagi saya cukup tersedia jaminan (dengan peluang 0.8) bahwa sangat tidak jadi kemungkinan besar esok tidak akan turun hujan.”
“Baik”, sambung ilmuwan kita, “itu pilihan Saudara sendiri, saya tidak akan ikut campur”, sekarang bagaimana sekiranya Saudara pedagang garam . Beranikah Saudara mengangkat garam saudara dengan peluang 0.8 hari tidak akan turun hujan dari Tanjung Priok ke (pusat pergudangan) Cakung?
“Gimana ya” orang itu menggaruk-garuk kepalanya,” mau tidak diangkut dari Tanjung Priok kena denda, mau diangkut ke Cakung, biarpun peluangnya 0.8 tidak akan turun hujan bisa saja (persetan ini iblis yang bernama chance!) turun hujan. Berat, nih! Nanti deh akan saya perhitungkan untung ruginya sekiranya saya mengangkut garam itu ditutupi dengan terpal. Maunya sih ditutup dengan terpal, bukan? Semuanya lalu safe. Tetapi apakah ongkos terpal ini sesuai dengan resiko yang akan saya tanggung berdasarkan peluang 0.2 bahwa hari akan turun hujan?”
“Putusan yang bijaksana”, jawab ilmuwan kita dengan sangat puas. (Belum tentu rekan-rekannya seilmu mempunyai perspektif yang jelas seperti orang awam ini dalam menafsirkan peluang). Sekarang… sekiranya saudara mempunyai pacar dari galaksi sana, katakanlah dari planet Mars yang jaraknya hanya 35.170.000 mil[18]) dari bumi kita. Pacar Saudara itu cantik, sexi, rambutnya pirang, namun sayang sekali dia tidak boleh tersentuh hujan. Bila sedikit saja kena hujan maka kulitnya yang mulus akan meleleh seperti kulit kita terkena asam. Jika Saudara ingin membawa pacar Saudara itu jalan-jalan di Jakarta, katakanlah umpamanya ke proyek Senen dan tentu saja Bina Ria; dengan pengetahuan bahwa peluang adalah 0.8 bahwa hari akan cerah sepanjang hari, apakah yang akan Saudara lakukan?”
“Biarpun ahli meteorology dan geofisika menyatakan bahwa terdapat peluang 0.95 atau bahkan 0.99 bahwa esok hari tidak akan hujan, saya akan tetap berjalan-jalan dengan pacar saya ke proyek Senen dan Bina Ria sambil tetap membawa payung”, seru orang awam ini dengan penuh semangat.
“Mengapa?” Tanya ilmuwan kita.
“Sebab resikonya, Bung, resikonya” jawab orang itu sambil tertawa, (Orang itu adalah seorang mahasiswa yang urutan prioritasnya adalah cinta, uang, dan kesehatan. Tiga puluh tahun lagi urutan ini kemungkinan besar akan berbalik: kesehatan, uang, dan cinta)
Ilmuwan kita menjabat tangan pemuda itu: Bravo! Kepada yang muda yang bercinta! (Mereka lalu berbincang-bincang di cafeteria. Mengangkat gelas bagi kehidupan yang penuh ketidakpastian ini, namun mereka merasa betah didalamnya)
Bagi kesehatan Saudara!
Ilmuwan itu tersenyum dan memandang ke sekeliling. Gerbang universitas yang tua dan manusia-manusia muda yang melewatinya. Gerbang yang pula pernah dilaluinya dimana dia menemukan dirinya sendiri, gerbang yang mendewasakan dia secara intelektual, moral dan emosional: yang memanusiakan dirinya. (Kerongkongannya tersekat):
Bagi Alma Mater kita![19]

2.4.       Beberapa Asumsi Dalam Ilmu
Waktu kecil segalanya kelihatan serba besar, pohon natal begitu tinggi semampai, orang-orang tampak seperti raksasa dalam film seri televise The Land of the Giants, kehidupan penuh dengan 1001 teka-teki dan sejuta rahasia. Pandangan itu berubah setelah kita berangkat dewasa, dunia ternyata tidak sebesar yang kita kira, ujud yang penuh dengan misteri ternyata hanya begitu saja. Kesemestaanpun menciut, bahkan dunia bisa selebar daun kelor, bagi orang yang putus asa.
Katakanlah kita sekarang sedang mempelajari ilmu ukur bidang datar (planimetri). Tarik garis kesana, buat garis kesini, hitung berapa besar sudut yang menyilang, hidung berapa garis sudut berhadapan. Analisis seperti ini kita lakukan untuk membuat konstruksi kayu bagi atap rumah kita. Bagi amuba bidang datar itu tidak rata dan mulus seperti pipi wanita yang sudah di make up, melainkan bergelombang, penuh dengan lekukan yang kurang mempesona. Permukaan yang rata berubah menjadi kumpulan berjuta kurva.
Jarak yang terdekat bukan dari garis lurus (seperti diformulasikan dalam ilmu ukur kita), melainkan garis lengkungan seperti titian bianglala.
Mengapa terdapat perbedaan pandangan yang nyata terhadap objek yang begitu kongkrit seperti sebuah bidang? Mengapa amuba dan kita seakan-akan hidup dalam dunia yang sangat berbeda? Sebabnya, simpul ahli fisika Swiss Charles-Eugene Guye, gejala itu diciptakan oleh skala observasi[20]. Bagi sekala observasi anak kecil pohon-pohon natal itu begitu gigantic, sedangkan bagi skala observasi amuba, bidang datar ini merupakan daerah pemukiman yang berbukit-bukit.
Jadi secara mutlak sebenarnya tak ada yang tahu seperti apa sebenarnya bidang datar itu. Hanya Tuhan yang tahu, mungkin pdang electron, mungkin bukit meson, mungkin cuma zarah debu. Secara filsafati mungkin ini merupakan masalah besar namun bagi ilmu masalah ini didekati secara praktis. Seperti disebutkan terdahulu, ilmu sekadar pengetahuan yang mempunyai kegunaan praktis yang dapat membantu kehidupan manusia secara pragmatis. Dengan demikian maka untuk tujuan membangun  atap rumah, sekiranya kita asumsikan bahwa permukaan itu adalah bidang datar, maka secara pragmatis hal ini dapat dipertanggungjawabkan. Namun bagi amuba asumsi ini jelas tak dapat diterima sebab secara praktis bagi mereka permukaan kayu yang mereka hadapi bukanlah bidang datar melainkan permukaan yang bergelombang.
Marilah kita lihat ilmu yang termasuk paling maju dibandingkan dengan ilmu ilmu lainnya yakni fisika. Fisika merupakan ilmu teoretis yang dibangun diatas system penalaran deduktif yang meyakinkan serta pembuktian induktif  yang sangat mengesankan. Namun sering dilupakan orang bahwa fisikapun belum merupakan suatu kesatuan konsep yang utuh. Artinya fisika belum merupakan pengetahuan ilmiah yang tersusun secara sistemik, sistematik, konsisten dan analitik berdasarkan pernyataan-pernyataan ilmiah yang disepakati bersama. Dimana terdapat celah-celah perbedaan dalam fisika? Perbedaannya justru terletak dalam fundasi dimana dibangun teori ilmiah diatasnya yakni dalam asumsi dalam dunia fisiknya.
Dalam analisis secara mekanistik maka terdapat empat komponen analisis utama, yakni zat, gerak, ruang dan waktu. Newton dalam bukunya Philosophiae Naturalis Principia Mathematika (1686) berasumsi bahwa keempat komponen ini bersifat absolut. Zat bersifat absolut dan dengan demikian berbeda  secara substantive dengan energy. Einstein, berlainan dengan Newton, dalam The Special Theory of Relativity (1905) berasumsi bahwa keempat komponen itu bersifat relative. Tidak mungkin kita mengukur gerak secara absolut, kata Einstein. Bahkan zat sendiri itupun tidak mutlak, hanya bentuk lain dari energy dengan rumus yang termasyhur:  E = mc²
Jadi kalau begitu, keluh si peragu, ilmu tidak benar. Secara absolut memang demikian, jawab ilmuwan, namun bukankah ilmu tidak bermaksud mencari pengetahuan yang bersifat absolut? Sekiranya ilmu mencari teori-teori ilmiah yang secara praktis, umpamanya dapat kita pakai untuk membangun rumah, maka mekanika klasik dari Newton sudah jauh dari cukup. Demikian juga halnya dengan ilmu ukur yang kita pakai untuk mengukur dalam mekanika klasik yakni ilmu ukur Euclid. Ilmu ukur yang dikembangkan oleh Euclid (330-275 S.M) kurang lebih dua ribu tahun lalu itu ternyata sampai sekarang masih memenuhi syarat. Namun sekiranya dalam kurun yang ditandai krisis energy ini, kita ingin berpaling dari sumber energy konvensional yakni, air, angina, panas, (bumi dan matahari) serta fosil kepada energy nuklir, maka tentu saja kita harus berpaling kepada teori relativitas Einstein; sebab menurut teori ini kebutuhan listrik dunia selama sebulan dapat dipenuhi hanya dengan konversi 5 kg zat[21]. Untuk analisis keempat komponen yang bersifat relative  ini maka ilmu ukur Euclid tidak lagi memenuhi syarat dan kita berpaling pada ilmu ukur non-Euclid yang dikembangkan oleh Lobacevskii (1773-1856), Bolyai (1802-1860) dan Reimann (1823-1866).
Jadi disini kita mengadakan asumsi lagi bahwa untuk membangun rumah, ilmu ukur Euclid dianggap memenuhi syarat untuk dipergunakan. Sedangkan bagi amuba yang harus membangun rumah pada permukaan yang bergelombang, hal ini tidak demikian, sebaiknya mereka memakai ilmu ukur yang dipakai dalam relativitas Einstein yakni ilmu ukur non-Euclid. Apakah asumsi semacam ini dapat dipertanggungjawabkan! Tanya seorang awam. Apakah kalau saya mau menimbang beras jatah pegawai negeri saya harus mempergunakan timbangan tukang emas? Ilmuwan yang dosen yang dus pegawai negeri itu balik bertanya.
Indeterministik dalam gejala fisik ini muncul dengan menemukan Niels Bohr dalam Prinsip Komplementer (Principle of Complementarity) yang dipublikasikan pada tahun 1913. Peinsip komplementer ini menyatakan bahwa electron bisa berupa gelombang cahaya dan bisa juga berupa partikel tergantung dari konteksnya. Masalah ini yang menggoyahkan sendi-sendi fisika ditambah lagi dengan penemuan prinsip inditerministik (Principle of Indeterminancy) oleh Werner Heisenberg pada tahun 1927. Heisenberg menyatkan bahwa untuk pasangan besaran tertentu yang disebut conjugate magnitude pada prinsipnya tidak mungkin mengukur kedua besar tersebut pada waktu yang sama dengan ketelitian yang tinggi. Prinsip Indeterministik ini, kata William Barret, menunjukakan bahwa terdapat limit dalam kemampuan manusia untuk mengetahui dan meramalkan gejala-gejala fisik. Prinsip ini membuka kesempatan untuk menengok sejenak kepada hakikat alam yang mungkin saja “pada keraknya bersifat irrasional  dan kacau” (at botton be irrational and chaotic)[22]

2.5.       Batas-Batas Penjelajahan Ilmu
Apakah batas yang merupakan lingkup penjelajahan ilmu? Dimanakah ilmu berhenti dan menyerahkan pengkajian selanjutnya kepada pengetahuan lain? Apakah yang menjadi karakteristik objek ontologis ilmu yang membedakan ilmu dari pengetahuan-pengetahuan lainnya? Jawab dari semua pernyataan itu adalah sangat sederhana: ilmu memulai penjelajahannya pada pengalaman manusia dan berhenti dibatas pengalaman manusia. Apakah ilmu mempelajari hal ihwal surga dan neraka? Jawabannya adalah tidak; sebab surga dan neraka berada diluar jangkauan pengalaman manusia. Apakah ilmu mempelajari sebab musabab kajadian terciptanya manusia? Jawabannya juga adalah tidak; sebab kejadian itu juga berada diluar jangkauan pengalaman kita. Baik hal-hal yang terjadi sebelum hidup kita, maupun apa-apa yang terjadi sesudah kematian kita, semua itu bedara diluar penjelajahan ilmu.
Mengapa ilmu hanya membatasi daripada hal-hal yang berada dalam batas pengalaman kita? Jawabannya terletak pada fungsi ilmu itu sendiri dalam kehidupan manusia; yakni sebagai alat pembantu manusia dalam menanggulangi masalah-masalah yang dihadapinya sehari-hari. Ilmu diharapkan dapat membantu kita memerangi penyakit, membangun jembatan, membikin irigasi, membangkit tenaga listrik, mendidik anak, memeratakan pendapatan nasional dan sebagainya. Persoalan mengenai hari kemudian tidak akan kita tanyakan kepada ilmu, melainkan kepada agama, sebab agamalah pengetahuan yang mengkaji masalah-masalah seperti itu[23]
Ilmu membatasi lingkup penjelajahannya pada batas pengalaman manusia juga disebabkan metode yang dipergunakan dalam menyusun yang telah teruji kebenarannya secara empiris. Sekiranya ilmu memasukkan daerah diluar batas pengalaman empirisnya, bagaimanakah kita melakukan pembuktian secara metodologis? Bukankah hal ini merupakan suatu kontradiksi yang menghilangkan kesahihan metode ilmiah?
Kalau begitu maka sempit sekali batas jelajahan ilmu, kata seorang, cuma sepotong dari sekian permasalahan kehidupan. Memang demikian jawab filsuf ilmu, bahkan dalam batas pengalaman manusiapun, ilmu hanya berwenang dalam menentukan benar atau salahnya suatu pernyataan. Tentang baik dan buruk, semua (termasuk ilmu) berpaling kepada sumber-sumber moral; tentang indah dan jelek, senua (termasuk ilmu) berpaling kepada pengkajian estetik.
Ilmu tanpa (bimbingan moral) agama adalah buta, demikian kata Einstein. Kebutaan moral dari ilmu mungkin membawa kemanusiaan kejurang malapetaka. Ruang penjelajah keilmuan kemudian kita menjadi “kapling-kapling” berbagai disiplin keilmuan. Kapling ini makin lama makin sempit sesuai dengan perkembangan kuantitatif disiplin keilmuan. Kalau pada fase permulaan hanya terdapat ilmu-ilmu alam (natural philosophy) dan ilmu-ilmu sosial (moral philosophy) maka dewasa ini terdapat lebih dari 650 cabang keilmuan. Seperti juga pemilik kapling yang sah, maka tiap ilmuwan harus tahu benar batas-batas penjelajahan cabang keilmuwannya masing-masing. Sering kita temui tendensi imperialistic dari seorang ilmuwan yang menuntun disiplin territorial keilmuan lain. Hal ini tentu saja tidak benar, dan langkah pertama agar kita tidak menjadi tuan tanah yang serakah, adalah mengenal baik batas-batas kapling kita.
Mengenal batas-batas kapling ini, disamping menunjukkan kematangan keilmuan dan professional kita, juga dimaksud agar kita mengenal tetangga-tetangga kita. Dengan makin sempitnya daerah penjelajahan suatu bidang keilmuan maka sering sekali diperlukan “pandangan” dari disiplin-disiplin lain. Saling pandang memandang ini, atau dalam bahasa protokolnya pendekatan multi-disipliner, membutuhkan pengetahuan tentang tetangga-tetangga yang berdekatan. Artinya harus jelas bagi semua; dimana disiplin seorang berhenti dan dimana disiplin orang lain mulai. Tanpa kejelasan batas-batas ini maka pendekatan multi-disipliner tidak akan bersifat konstruktif melainkan berubah menjadi sengketa kapling (yang sering terjadi akhir-akhir ini)
Cabang-cabang ilmu
Ilmu berkembang dengan sangat pesat dan demikian juga jumlah cabang-cabangnya. Hasrat untuk menspesialisasikan diri pada satu bidang telaahan yang memungkinkan analisis yang makin cermat dan saksama menyebabkan objek forma (objek ontologis) dari disiplin keilmuan menjadi kian terbatas. Diperkirakan sekarang ini terdapat sekitar 650 cabang keilmuan yang kebanyakan belum dikenal oleh orang-orang awam.
Pada dasarnya cabang-cabang ilmu tersebut berkembang dari dua cabang utama yakni filsafat alam yang kemudian menjadi rumpun ilmu-ilmu alam (the natural sciences) dan filsafat moral yang kemudian berkembang kedalam cabang ilmu-ilmu sosial (the social sciences). Ilmu-ilmu alam membagi diri kepada dua kelompok lagi yakni ilmu alam (the physical sciences) dan ilmu hayat (the biological sciences). Ilmu alam bertuan mempelajari zat yang membentuk alam semesta sedangkan alam kemudian bercabang lagi menjadi fisika (mempelajari massa dan energy), kimia (mempelajari substansi zat), astronomi (mempelajari benda-benda langit) dan ilmu bumi atau (the earth science) yang mempelajari bumi kita ini.
Tiap-tiap cabang kemudian membuat ranting-ranting baru seperti fisika berkembang menjadi mekanika, hidrodinamika, bunyi, cahaya, panas, kelistrikan, dan magnetism, fisika nuklir dan kimia fisika. Sampai tahap ini maka kelompok ilmu ini termasuk kedalam ilmu-ilmu murni. Ilmu-ilmu murni kemudian berkembang menjadi ilmu-ilmu terapan, seperti contoh dibawah ini:

ILMU MURNI                                                 ILMU TERAPAN
Mekanika                                                           Mekanika Teknik
Hidrodinamika                                                  Teknik Aeronautikal/ Teknik                                                                                      & Desain Kapal
Bunyi                                                                 Teknik Akustik
Cahaya dan Optik                                             Teknik Iluminasi
Kelistrikan/                                                        Teknik Elektronik/
Magnetistik                                                        Teknik Kelistrikan
Fisika Nuklir                                                      Teknik Nuklir

Ilmu-ilmu sosial berkembang agak lambat dibandingkan dengan ilmu-ilmu alam. Pada pokoknya terdapat cabang utama ilmu-ilmu sosial, yakni antropologi (mempelajari manusia dalam perspektif waktu dan tempat), psikologi (mempelajari proses mental dan kelakuan manusia), ekonomi (mempelajari manusia dalam memenuhi kebutuhan kehidupannya lewat proses pertukaran), sosial (mempelajari struktur organisasi sosial manusia) dan ilmu politik (mempelajari system dan proses dalam kehidupan manusia berpemerintahan dan bernegara)
Disamping ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial, pengetahuan mencakup juga humaniora dan matematika. Humaniora terdiri dari seni, filsafat, agama, bahasa dan sejarah.





BAB III
PENUTUP
3.1.       Kesimpulan
Pada dasarnya tiap ilmuwan boleh mempunyai filsafat individual yang berbeda-beda; dia bisa menganut paham mekanistik, dia bisa menganut paham vitalistik, dan dia boleh setuju dengan Thomas Hobbes yang metalistik atau George Berkeley yang idealistic, karena ilmu tidak memberi jawaban mutlak, meliankan ilmu berfungsi sebagai alat pembantu manusia dalam menanggulangi masalah-masalah yang dihadapinya sehari-hari. Ilmu diharapkan dapat membantu kita memerangi penyakit, membangun jembatan, membikin irigasi, membangkit tenaga listrik, mendidik anak, memeratakan pendapatan nasional dan sebagainya. Persoalan mengenai hari kemudian tidak akan kita tanyakan kepada ilmu, melainkan kepada agama, sebab agamalah pengetahuan yang mengkaji masalah-masalah seperti itu..
Segala seluk beluk yang bertalian dengan pengetahuan berlandaskan pada kemampuan kognitif atau kemampuan akali yang disebut dengan rasionalitas. Adapun sumber pengetahuan bukan hanya berakar dari akal pemikiran manusia dengan kemampuan kognitifnya, tetapi karena dilengkapi dengan kecerdasan memahami sarwa yang ada yang real dan menantang manusia untuk menduga-duga dalam memikirkan dan memahami setiap kejadian dan yang mungkin terjadi secara fenomenologis. Kejadian sebagaimana yang tampak dan dirasakan manusia merupakan hakikat keberadaan alam yang tidak pernah pasti dan mutlak.



DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Boedi. 2009. “Filsafat Ilmu”, Bandung; Pustaka Setia
Irawan, 2008, “Pengantar Singkat Ilmu Filsafat”. Bandung: Intelek Pratama Press
S.Suriasumantri, Jujun, 2010,  “Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer”, Jakarta: PT Penebar Swadaya







[1]George Thomas White Patrick, Introduction To Philosophy, disadur oleh Irawan, “Pengantar Singkat Ilmu Filsafat”. (Bandung: Intelek Pratama Press, 2008). Hlm. 39
[2] Boedi Abdullah, “Filsafat Ilmu”, (Bandung; Pustaka Setia, 2009). Hlm. 25
[3] Ibid, hlm. 26
[4] Ahmad Tafsir, “Filsafat ilmu”. (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2012) Hlm. 71
[5] Jujun S.Suriasumantri, “Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer”, (Jakarta: PT Penebar Swadaya, 2010). Hlm. 63-64
[6] Ibid, hlm. 64
[7] Ibid, hlm. 64
[8] Betty Radice, “Who’s Who in the Ancient World”, Middlesex, U.K, : Penguin, 1977, hlm. 102, dikutip oleh Jujun S.Suriasumantri, “Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer”, (Jakarta: PT Penebar Swadaya, 2010). Hlm. 64
[9] Dikutip dalam  John Herman Randall, Jr, dan  Justus Buchler, Philosophy An Introduction (New York: Barnes & Noble, 1969), hlm, 184, dikutip oleh Jujun S.Suriasumantri, “Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer”, (Jakarta: PT Penebar Swadaya, 2010). Hlm. 64
[10] Stanley M. Honer dan Thomas C. Hunt, Invitation to Philosophy (Belmont, Cal: Wadsworth, 1968), hlm, 78, dikutip oleh Jujun S.Suriasumantri, “Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer”, (Jakarta: PT Penebar Swadaya, 2010). Hlm. 66
[11] Ibid, hlm. 68
[12] John G.kemeny, A Philosopher Looks at Science (D. Van Nostrand Company, 1959), hlm. 218. Dikutip oleh Jujun S.Suriasumantri, “Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer”, (Jakarta: PT Penebar Swadaya, 2010). Hlm. 69
[13] “What is mind? No matter. What is matter? Never mind” komentar nenek Bertrand Russel kepada dia ketika menyatakan bahwa dia tertarik kepada metafisika. Dikutip dalam The Autobiography of Bertrand Russel (New York: Bantam, 1968) hlm. 48. Dikutip oleh Jujun S.Suriasumantri, “Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer”, (Jakarta: PT Penebar Swadaya, 2010). Hlm. 69
[14] Ibid, hlm. 69-70
[15] John G.Kemeny, A Philosopher Looks at Science (New York: Van Nostrand: 1959) hlm. 37, dikutip oleh Jujun S.Suriasumantri, “Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer”, (Jakarta: PT Penebar Swadaya, 2010). Hlm. 75
[16] ….satu-satunya kenyataan-kematian! Romain Rolland, Jean Christophe (New York:Dell, 1958), glm.83. dikutip oleh Jujun S.Suriasumantri, “Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer”, (Jakarta: PT Penebar Swadaya, 2010). Hlm. 76
[17] Jujun S.Suriasumantri, “Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer”, (Jakarta: PT Penebar Swadaya, 2010). Hlm.72-77
[18] Kenneth W. Catland and Derek D. Dempster, The Inhabited Universe (Greenwich, Conn: Fawcett, 1959), hlm. 71, dikutip oleh Jujun S.Suriasumantri, “Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer”, (Jakarta: PT Penebar Swadaya, 2010). Hlm. 80
[19] Jujun S.Suriasumantri, Op. Cit. Hlm.78-81
[20] Lecomte Du Nouy, Human Destiny (New York: Mentor, 1959) hlm. 20. Dikutip oleh Jujun S.Suriasumantri, “Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer”, (Jakarta: PT Penebar Swadaya, 2010). Hlm. 82-84
[21] Philip Cane, Giants of  Science (New York: Pyramide, 1959), hlm. 258. dikutip oleh Jujun S.Suriasumantri, “Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer”, (Jakarta: PT Penebar Swadaya, 2010). Hlm. 86
[22] William Barret, Irrational Man (New York: Doubleday-Anchor, 1962), hlm. 38. Dikutip oleh Jujun S.Suriasumantri, “Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer”, (Jakarta: PT Penebar Swadaya, 2010). Hlm. 88
[23] Endang S. Anshari, Ilmu, Filsafat dan Agama (Surabaya; Bina Ilmu, 1979). Dikutip oleh Jujun S.Suriasumantri, “Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer”, (Jakarta: PT Penebar Swadaya, 2010). Hlm. 86

Tidak ada komentar:

Posting Komentar